Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

APENDISITIS

Oleh:

dr. Choky Pramana Ambarita


dr. Nabila
dr. Sryita Charina Prety Sembiring
dr. Kinanti Triandani
dr. Hannan AB Zubaidi
dr. Roulina Ratih Suci Panggabean
dr. Delima Apriani Harahap

Pembimbing:
dr. Parbarita Sibarani, SpB

PESERTA INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. DJASAMEN SARAGIH
KOTA PEMATANG SIANTAR
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “APENDISITIS”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada


pembimbing kami, dr. Parbarita Sibarani, SpB, yang telah banyak meluangkan
waktu untuk kami serta memberikan ilmu dan saran dalam penyusunan laporan
kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.

Dengan demikian diharapkan laporan kasus ini dapat memberikan


kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Kami
menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna. Untuk itu
kami mengharapkan saran yang membangun sebagai masukan demi memperbaiki
penulisan laporan-laporan selanjutnya.

Pematangsiantar, Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang....................................................................................1


1.2 Tujuan.................................................................................................1
1.3 Manfaat...............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................3

2.1 Anatomi Apendiks..............................................................................3


2.2 Definisi...............................................................................................4
2.3 Etiologi...............................................................................................4
2.4 Manifestasi Klinis...............................................................................5
2.5 Patofisiologi........................................................................................7
2.6 Diagnosis............................................................................................9
2.7 Tatalaksana.......................................................................................16
BAB III LAPORAN KASUS.....................................................................22

BAB IV FOLLOW UP PASIEN................................................................28

BAB V DISKUSI KASUS..........................................................................30

BAB VI RANGKUMAN KLINIS.............................................................37

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................38

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Apendisitis adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling
sering ditemukan dan membutuhkan pembedahan dengan segera. Banyaknya
kasus apendisitis di Indonesia memerlukan perhatian penting tenaga kesehatan,
karena bila penanganan tidak tepat mungkin akan menimbulkan komplikasi lain
dan menyulitkan untuk penanganan apendisitis tersebut. Untuk meminimalisir
terjadinya penyulit dalam penatalaksanaan apendisitis maka diperlukan penilaian
apendisitis yang spesifik dan efektif (Siswandi, 2015)
Risiko seseorang menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%,
dengan insiden tertinggi pada usia 20-30 tahun. Insiden terjadinya perforasi
apendiks pada apendisitis akut berikisar antara 20-30 % pada usia lebih dari 60
tahun, sedangkan pada anak kurang dari satu tahun kasus apendisitis jarang
ditemukan (Windy, 2016). Mortalitas apendisitis kurang dari 1%, tetapi
meningkat menjadi 3% jika terjadi perforasi apendiks dan mendekati 15% pada
orang dewasa yang lebih tua. Diagnosis dan ruptur yang tertunda lebih sering
terjadi pada usia yang sangat muda dan lebih tua, yang mengarah pada kematian
yang lebih tinggi pada populasi ini (Hirsch, 2017).

1.2 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk memahami tentang Apendisitis.


2. Untuk meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di
bidang kedokteran.
3. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program
Internship Dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih
Kota Pematang Siantar Tahun 2021/2022.

1
1.3 MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah dapat
meningkatkan pemahaman dan kemampuan klinis peserta Program Internship
Dokter mengenai kasus apendisitis di fasilitas kesehatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI APENDIKS


Apendiks merupakan suatu organ yang berbentuk tabung dan panjang
apendiks pada orang dewasa bervariasi antara 20-22 cm, dengan rata-rata panjang
6-9 cm., dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proximal dan
melebar di bagian distal. Pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit diujungnya. Pangkalnya terletak pada posteromedial
caecum. Apendiks terletak dikuadran kanan bawah abdomen. Dari
topografianatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu
titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS
kanan (Hodge BD,2020).

Gambar 2.1 Anatomi dan Vaskularisasi Appendiks.

Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan


parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis ,
cabang dari a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, appendik akan mengalami gangren (Moore KL,2002).

3
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti
usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh
mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama.
Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh
darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak
retroperitoneal, maka appendik tidak terbungkus oleh tunika serosa (Moore
KL,2002).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir dicurahkan ke caecum. Jika
terjadi hambatan, maka akan terjadi apendisitis akut. GALT ( Gut Assoiated
Lymphoid Tisuue) yang terdapat pada apendiks menghasilkan Ig-A. Namun jika
apendiks diangkat, tidak ada mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlahnya
yang sedikit sekali (Hodge BD,2020).

2.2 DEFINISI
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis yang
timbul mendadak dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui. Kasus apendisitis akut biasanya terjadi dalam 24 jam dan dapat
berlangsung lebih lama menjadi kronis. Pada beberapa kasus dapat terjadi gangren
atau perforasi appendiks dan menunjukan gejala yang lebih parah (Vaos,
Dimopoulou & Dkioka, 2019).

2.3 ETIOLOGI
Apendisitis disebabkan mula-mula oleh obstruksi lumen. Obstruksi lumen
appendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid
submucosa (Akbulut, 2011; Emre, 2013). Hiperplasia limfoid submukosa ini
sering terjadi pada usia 8-20 tahun. Hal ini berkorelasi dengan insiden terjadinya
apendisitis yang sering ditemukan pada kisaran usia tersebut (Kommuru, 2013).
Feses yang terperangkap dalam lumen appendiks mengalami penyerapan air dan
terbentuklah fekalit yang akhirnya menjadi kausa dari obstruksi. Proses ini

4
merupakan kausa apendisitis yang paling umum. Selain proses ini, faktor-faktor
lain yang meski jarang terjadi namun juga dapat menyebabkan obstruksi dari
lumen appendiks ialah enterobiasis, askariasis, balantidiasis, taeniasis,
actinomycosis, schistosomiasis, amebiasis, trichuriasis, tumor dan keganasan
(Richmond, 2017).

Tabel 2.1 Bakteri yang umunya ditemukan terisolasi pada appendiks (Towsend, 2017).
Bakteri anaerob Bakteri Aerob
 Bacteroides fragilis  Escherichia coli
 Bacteroides thetaiotaomicron  Viridans streptococcus
 Bilophila wadsworthia  Group D streptococcus
 Peptostreptococcus spp.  Pseudomonas aeruginosa

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Nyeri Abdomen
Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengeluhkan nyeri abdomen yang
bersifat samar, tumpul, dan hilang timbul pada daerah periumbilikal yang
mencerminkan nyeri akibat stimulasi jalur aferen visceral akibat distensi dari
lumen appendiks. Nyeri pada daerah periumbilikal ini disebabkan karena daerah
appendiks dan daerah umbilikal memiliki persarafan yang sama yakni dari
medulla spinalis setinggi T10 (Richmond, 2017).
Setelah 4-6 jam, nyeri akan berpindah dan menetap di abdomen kanan
bawah (titik Mc Burney). Hal ini menunjukkan telah terjadi invasi
mikroorganisme ke lapisan serosa sehingga terjadi rangsangan pada peritoneum
parietal lokal yang membuat sifat nyeri lebih tajam, terlokalisir, serta nyeri akan
terasa lebih hebat bila batuk atau berjalan kaki. Selanjutnya, jika telah terjadi
peritonitis difus akibat apendisitis perforasi, maka nyeri akan terjadi pada seluruh
lapang abdomen (Richmond, 2017).
Proses perjalanan nyeri abdomen tersebut merupakan gejala klasik
apendisitis. Namun selain gejala klasik tersebut, klinisi harus berhati-hati karena
terkadang dijumpai gejala yang berbeda dengan gejala klasik tersebut. Timbulnya

5
gejala lain ini bergantung pada letak appendiks ketika mengalami inflamasi.
Berikut gejala lain yang mungkin dijumpai:
□ Bila appendiks dalam posisi retroperitoneal, gejala rangsangan peritoneal
tidak begitu jelas dan gejala yang dijumpai adalah nyeri pinggang atau nyeri
punggung.
□ Bila appendiks dalam posisi pelvical di dekat kandung kemih, dapat
dijumpai peningkatan frekuensi berkemih dan nyeri suprapubik yang menyerupai
gejala infeksi saluran kemih.
□ Bila appendiks terletak di dekat rektum, maka akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat dan terjadi
pengosongan rektum yang lebih cepat dan berulang-ulang (diare) (Richmond,
2017; Liang, 2015).

Mual dan Muntah


Beberapa pasien dengan apendisitis akan mengalami mual dan muntah
pada fase awal apendisitis akibat rangsangan serabut saraf aferen visceral dari
aktivasi nervus vagus dan gangguan aliran limfatik. Mual dan muntah ini timbul
beberapa jam setelah timbulnya rasa nyeri, jarang berlanjut menjadi berat dan
umumnya muntah hanya terjadi sekali atau dua kali (Richmond, 2017; Liang,
2015; Dudley, 1986).

Anoreksia
Anoreksia atau penurunan nafsu makan timbul beberapa jam setelah
timbulnya rasa nyeri. Keadaan ini hampir selalu ditemukan pada setiap pasien
apendisitis (Richmond, 2017; Liang, 2015; Dudley, 1986).

Diare
Beberapa penderita apendisitis juga mengalami diare. Hal ini dapat timbul
umumnya jika letak appendiks pelvical atau dekat rektum sehingga merangsang
daerah rectum (Richmond, 2017; Liang, 2015; Dudley, 1986).

6
Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi juga ditemui pada pasien apendisitis
dengan suhu umumnya dibawah 38,5oC. Jika ditemukan suhu yang lebih tinggi,
maka diduga telah terjadi apendisitis perforasi (Richmond, 2017; Liang, 2015;
Dudley, 1986).

Tabel 2.2 Gejala apendisitis dari awal pathogenesis (Richmond, 2017; Liang, 2015;
Dudley, 1986).

Patogenesis Keluhan
Apendisitis akut sederhana Pada awal proses inflamasi yakni inflamasi
intraluminal akut, pasien umumnya mengeluh rasa
tidak nyaman atau nyeri pada daerah ulu hati dan
sekitar pusar. Kemudian setelah terjadi inflamasi
pada mukosa atau submukosa, nyeri berpindah ke
abdomen kanan bawah disertai dengan keluhan
mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan
demam ringan.

Apendisitis akut supuratif Didapati rangsangan peritoneum parietal lokal


yakni nyeri yang lebih terlokalisir pada abdomen
kanan bawah, nyeri pada gerak aktif dan pasif,
terutama saat batuk atau berjalan.
Apendisitis gangrenosa Pasien mulai mengalami demam dengan suhu yang
lebih tinggi.
Apendisitis perforasi Didapati nyeri pada seluruh lapang abdomen.

2.5 PATOFISIOLOGI
Apendisitis terjadi akibat obstruksi atau sumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup

7
disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada
peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang dapat menyebabkan
terjadinya distensi pada lumen apendiks. Keterbatasan elastisitas dinding abdomen
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan dan
membuat peningkatan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal
hanya sekitar 0,1 ml, jika sekresi mukus sekitar 0,5 ml, hal ini dapat
meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60 cm H20 (Maa, 2012).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia dan menghambat aliran limfe, hal ini membuat ulserasi pada mukosa
apendiks dan mempermudah invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan
apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemia karena terjadi thrombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Kemudian terjadi apendisitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat dan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah
dan bakteri akan menginvasi dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di kuadran kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri
terganggu, akan terjadi infark apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24 – 36 jam. Bila dinding apendiks tersebut ruptur, akan terjadi apendisitis
perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrat apendikularis (Puylaert, 2020; Maa, 2012).
Infiltrat apendikularis merupakan tahap apendisitis yang dimulai di
mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24– 48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa apendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa apendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat (Puylaert, 2020; Sjamsuhidajat, 2010).

8
Gambar 2.2 Patofisiologi apendisitis (Puylaert, 2020).

2.6 DIAGNOSIS
Pemeriksa dapat mendiagnosis sebagian besar kasus apendisitis dengan
memeriksa riwayat medis seseorang dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika
seseorang tidak memiliki gejala yang biasa, pemeriksa dapat menggunakan tes
laboratorium dan pencitraan untuk mengonfirmasi apendisitis. Tes-tes ini juga
dapat membantu mendiagnosis apendisitis pada orang yang tidak bisa jelaskan
gejalanya, misalnya seperti anak-anak atau orang yang secara mengalami
gangguan mental (Brodsky, 2013).
1. Anamnesis
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan
sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal atau epigastrium yang samar-samar,
tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah didekat titik
Mc Burney. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan
penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang
terjadi. (Petroianu, 2012).

9
Secara klasik, apendisitis timbul sebagai nyeri perut yang diawali di daerah
periumbilikalis yang kemudian melokalisasi ke kuadran kanan bawah. Nyeri
mungkin disertai atau tidak disertai oleh gejala-gejala berikut: (Jones et al., 2019)
- Anoreksia
- Mual / muntah
- Demam (40% pasien)
- Diare
- Generalisasi malaise
- Sering buang air kecil
Pemeriksa akan bertanya secara spesifik pertanyaan tentang gejala dan
riwayat kesehatan pasien. Jawaban untuk pertanyaan ini akan membantu
mengesampingkan kondisi lain. Menurut Brodsky (2013), Beberapa bertanyaan
yang dapat diajukan pada pasien yaitu:
- Kapan ketika sakit perut dimulai
- Dimana lokasi yang tepat dan tingkat keparahan rasa sakit
- Kapan ketika gejala lain muncul
- Kondisi medis lainnya seperti sebelumnya pernah sakit dan pernah
melakukan prosedur bedah
- Apakah orang tersebut menggunakan obat-obatan, alkohol, atau obat-
obatan terlarang

2. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri tekan,
nyeri saat perkusi, kekakuan, dan menahan rasa nyeri. Nyeri saat palpasi pada
RLQ pada titik McBurney adalah tanda paling penting. (Petroianu, 2012; Craig,
2018).
Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk
menunjang diagnosis apendisitis:
- Blumberg’s sign : Nyeri lepas kontralateral yaitu tekan di LLQ kemudian
lepas dan nyeri di RLQ. Tanda ini merupakan penanda bahwa apendiks meradang.

10
- Rovsing’s sign : Positif bila terdapat nyeri di RLQ saat dilakukan
penekanan di LLQ. Tanda ini menunjukkan iritasi peritoneum pada RLQ yang
dipalpasi di lokasi yang jauh. Sering positif tapi tidak spesifik.
- Psoas sign : Dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah
kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi
pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari
abses.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah apendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini.
- Obturator sign: Dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
- Dunphy’s sign: Nyeri tajam pada RLQ yang ditimbulkan setelah batuk.
Dapat membantu dalam membuat diagnosis klinis peritonisitis lokal (Warsinggih,
2010; Brodsky, 2013; Craig, 2018).

Gambar 2.3 A. Blumberg’s sign, B. Rovsing’s sign, C.


Psoas sign, D. Obturator sign (Petroianu, 2012)

3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan

11
laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit
darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah
merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar
pemeriksaan terbaik. (Warsiggih, 2010)
Leukositosis ringan, mulai dari 10.000 - 18.000 sel/mm3 , biasanya
terdapat pada pasien apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit darah
berbeda pada setiap pasien apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa
leukosit darah yang meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari
pasien dengan apendisitis akut. Apabila jumlah leukosit darah meningkat >18.000
sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi.
(Warsiggih, 2010)
Peningkatan sel darah putih (WBC) dengan atau tanpa pergeseran kiri
hadir secara klasik. Jumlah leukosit pada penderita apendisitis berkisar antara
12.000- 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis, tetapi
hingga sepertiga pasien dengan apendisitis akut akan menunjukkan jumlah WBC
normal. (Warsiggih, 2010)
Selain peningkatan sel darah putih dalam darah, dapat juga ditemukan
peningkatan dari C-reactive protein. C-reactive protein adalah reaktan fase akut
yang disintesis oleh hati sebagai respons terhadap infeksi atau peradangan dan
meningkat dengan cepat dalam 12 jam pertama. CRP telah dilaporkan bermanfaat
dalam mendiagnosis apendisitis. Kadar CRP lebih besar dari 1 mg/dl umumnya
dilaporkan pada pasien dengan apendisitis. (Craig, 2018).

- Pemeriksaan Pencitraan
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala apendisitis. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya
lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis apendisitis
adalah apendiks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, penebalan

12
dinding, struktur lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi target), atau adanya
apendikolit. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder apendiks
sebagai hasil dari salpingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga
dapat muncul karena letak apendiks yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi
banyak udara yang menghalangi apendiks (Warsinggih, 2010).

Gambar 2.4 Ultrasonografi Positif Apendisitis


Sumber: Controversies in Pediatric Appendicitis

b. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis
tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai
pilihan tes diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika
appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix
yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.
Nonvisualisasi apendiks tidak mengesampingkan apendisitis. (Warsinggih, 2010;
Jones et al., 2019)

13
Gambar 2.5 Computed Tomography Apendisitis Akut
Sumber: Harrison's Principles of Internal Medicine19th
Edition (Kasper et al., 2015)

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dapat menunjukkan tanda-tanda peradangan, apendiks yang pecah,
penyumbatan di lumen apendiks, dan sumber lainnya yang menyebabkan nyeri
perut. MRI digunakan untuk mendiagnosis apendisitis dan sumber lain penyebab
nyeri di perut (Brodsky, 2013).
Faktor-faktor yang membatasi penggunaan MRI adalah biaya yang lebih mahal,
diperlukan lebih banyak waktu untuk memperoleh gambar, ahli radiologi yang
terampil diperlukan untuk menafsirkan MRI, serta tidak banyak tersedia
(Gadiparhi dan Waseem, 2019).

14
Gambar 2.6 MRI Menunjukkan Dilatasi Apendiks
Sumber: Controversies in Pediatric Appendicitis (Hunter,2019)

4. Sistem Skoring
Diagnosis klinis apendisitis adalah suatu perkiraan subjektif dari beberapa
kemungkinan apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual
memiliki akurasi yang lemah. Jika digunakan bersama-sama maka akanmemiliki
nilai prediksi yang tinggi. Proses ini dapat dibuat lebih objektif oleh penggunaan
sistem penilaian klinis atau sistem skoring, yang didasarkan pada variabel dengan
nilai yang terbukti dan diberi bobot yang tepat. Alvarado score adalah sistem
penilaian yang paling luas. Skoring ini sangat berguna untuk mengesampingkan
apendisitis dan pemilihan pasien untuk pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
Appendicitis Inflammatory Response Score menyerupai alvarado score tetapi
menggunakan variabel lebih banyak termasuk nilai CRP. Penelitian telah
menunjukkan kinerjanya lebih baik daripada alvarado score dalam memprediksi
apendisitis secara akurat. Namun, sistem penilaian ini belum mendapatkan
penerimaan luas dalam membuat diagnosis apendistis (Kasper et al., 2015). Dalam
sistem ini sejumlah variable klinis diperoleh dari pasien dan masing-masing diberi
nilai numerik. Jumlah dari nilai-nilai tersebut akan diinterpretasikan (Craig, 2018)

15
Gambar 2.7 Perbedaan Alvarado Score dan Appendicitis Inflammatory
Response Score

2.7 TATALAKSANA
Satu-satunya yang masih menjadi tatalaksana kuratif pada apendisitis
adalah apendektomi. Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan tingkat pertama
sebelum pasien dirujuk adalah: (PB IDI, 2017; Craig, 2018)
1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
2. Pasien dipuasakan
3. Koreksi cairan intravena jika terjadi dehidrasi atau septikemia
4. Pemberian analgetik dan antiemetik parenteral seperlunya
5. Memasang pipa nasogastrik (NGT) untuk mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.

a. Tatalaksana non-operatif

16
Meskipun pembedahan tetap merupakan suatu standar, terdapat literatur
yang mendukung dilakukannya percobaan (trial) tatalaksana konservatif pada
pasien-pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi (tidak terdapat appendicolith,
perforasi, atau abses). Tatalaksana non-operatif dapat berguna ketika apendektomi
tidak dapat dijangkau atau dikerjakan. Tatalaksananya berupa bowel rest dan
pemberian antibiotik intravena. Pemberian antibiotik pada pasien terduga
apendisitis yang tidak menjalani pembedahan dilakukan selama minimal 3 hari,
sampai gejala klinis dan tanda-tanda infeksi hilang (Craig, 2018; Williams et al.,
2018).
Pilihan antibiotik untuk apendisitis akut untuk berbagai kelompok risiko
hasil akhir buruk adalah seperti tertera pada tabel dibawah.

Tabel 2.3 Pilihan antibiotik untuk kelompok risiko hasil akhir buruk yang rendah
(Craig, 2018).
Ertapenem (1g/24jam)
Monoterapi
Moxifloxacin (400mg/24jam)
Ceftriaxone (1-2g/24jam), Cefuroxime (1.5g/8jam), Cefotaxime
(1-2gr/6-8jam) + Metronidazole (500mg/8-12jam,
Terapi
1500mg/24jam)
kombinasi
Ciprofloxacin (400mg/12jam), Levofloxacin (750mg/24jam) +
Metronidazole (500mg/8-12jam, 1500mg/24jam)

17
Tabel 2.4 Pilihan antibiotik untuk kelompok risiko hasil akhir buruk yang tinggi
(Craig, 2018).

Piperacillin/tazobactam (3.375g/6jam)
Doripenem (500mg/8jam)
Monoterapi Imipenem/cilastatin ± relebactam (1.25g/6jam)
Meropenem (1g/8jam)
Eravacycline (1mg/kgBB/12jam)
Cefepime (2g/12jam) + metronidazole (500mg/8-12jam,
1500mg/24jam)
Ceftazidime (2g/8jam) + metronidazole (500mg/8-12jam,
1500mg/24jam)
Terapi Ceftolozane/tazobactam (1.5g/8jam) + metronidazole (500mg/8-
kombinasi 12jam, 1500mg/24jam)
Ceftazidime/avibactam (2.5g/8jam) + metronidazole (500mg/8-
12jam, 1500mg/24jam)
Aztreonam (1-2g/8-12jam) + metronidazole (500mg/8-12jam,
1500mg/24jam) + vancomycin (1-2g/6-8jam)

Tabel 2.5 Pilihan antibiotik untuk apendisitis akut pada anak (Ramnarine,
2021).

Ertapenem (1g/24jam)
Meropenem (20mg/kgBB/8jam)
Monoterapi
Imipenem/cilastatin (60-100mg/kgBB/24jam dibagi dalam 4 dosis)
Piperacillin-tazobactam (200-300mg/kgBB/24jam)
Ceftriaxone (50-75mg/kgBB/24jam dibagi dalam 1-2 dosis) +
Metronidazole (30-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis)
Terapi Cefotaxime (150-200mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3-4 dosis) +
kombinasi Metronidazole (30-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis)
Cefepime (100mg/kgBB/24jam dibagi dalam 2 dosis) + Metronidazole (30-
40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis)

18
Ceftazidime (50mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis) + Metronidazole
(30-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis)
Gentamicin (3-7.5mg/kgBB/24jam diberikan setiap 2-4jam) +
Metronidazole (30-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis), atau
Clindamycin (20-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3-4 dosis) ± Ampicillin
(200mg/kgBB/24jam dibagi dalam 4 dosis).
Tobramycin (3-7.5mg/kgBB/24jam diberikan dalam 1-3 dosis) +
Metronidazole (30-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3 dosis), atau
Clindamycin (20-40mg/kgBB/24jam dibagi dalam 3-4 dosis) ± Ampicillin
(200mg/kgBB/24jam dibagi dalam 4 dosis).

Data menunjukkan keberhasilan awal dari tatalaksana non-operatif pada


lebih dari 90% pasien dengan apendisitis yang terkonfirmasi melalui CT;
meskipun sekitar seperempat dari pasien tersebut akan membutuhkan pembedahan
dalam waktu 1 tahun karena apendisitis rekuren. Pendekatan ini dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan tanda dan gejala yang terbatas atau pada
pasien dengan risiko pembedahan yang tinggi (banyak komorbiditas) (Williams et
al., 2018).

b. Tatalaksana operatif
Tatalaksana untuk apendisitis akut adalah apendektomi. Apendektomi
harus dilakukan tanpa penundaan, khususnya terhadap pasien dengan risiko
morbiditas yang serius, persiapan pre-operatif intensif harus dilakukan dalam
waktu yang singkat. Pemberian cairan intravena yang adekuat dan antibiotik yang
tepat sebaiknya dilakukan (Williams et al., 2018).
Apendektomi dilakukan dibawah pemberian anestesi umum dengan pasien
dalam posisi supinasi di meja operasi, dengan pendekatan apendektomi terbuka
(open appendectomy) atau apandektomi laparaskopi (laparoscopic appendectomy)
(Williams et al., 2018). Pendekatan dengan apendektomi terbuka lebih umum
dilakukan dengan pertimbangan waktu dan biayanya, meskipun saat ini
apendektomi laparoskopi semakin banyak dipilih oleh ahli bedah karena
kemampuan diagnostiknya. Apendektomi laparoskopi memiliki beberapa

19
keuntungan, yaitu nyeri pasca bedah yang lebih rendah, hasil yang lebih estetis,
waktu pemulihan yang lebih singkat untuk kembali ke aktivitas harian, serta
angka kejadian infeksi luka atau dehisensi luka yang lebih rendah (Santacroce,
2021).

a b

Gambar 2.8 a) Beberapa jenis garis insisi untuk apendektomi terbuka b) Ilustrasi
prosedur apendektomi terbuka (Sabiston, 2011).

a b

Gambar 2.9 a) Apendektomi laparoskopi b) Ilustrasi prosedur apendektomi


laparoskopi (Sabiston, 2011).

Kontraindikasi dilakukannya apendektomi pada pasien dengan sangkaan


apendisitis belum ada diketahui, kecuali pada kasus dengan adanya flegmon atau
abses periapendikular yang penanganannya harus didahului dengan pemberian
antibiotik dan drainase perkutan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukan
apendektomi (interval appendectomy). Apendektomi laparoskopi

20
dikontraindikasikan pada kasus dengan adhesi yang luas, pasien dalam terapi
radiasi atau imunosupresi, hipertensi porta yang berat, koagulopati, serta
kehamilan trimester pertama (Santacroce, 2021).

c. Perawatan pasca bedah


Pada hari dilakukannya pembedahan, pasien diberikan cairan intravena
sesuai kebutuhan sehari kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan ringer laktat dan
dekstrosa. Pemberian antibiotika diberikan hanya 1x24 jam pada apendisitis tanpa
perforasi, sedangkan pada apendisitis dengan perforasi diberikan hingga gejala
klinis infeksi reda dan laboratorium normal. Mobilisasi secepatnya setelah pasien
sadar dengan menggerakkan kaki, miring ke kiri dan kanan bergantian, dan
duduk. Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum sedikit-
sedikit (50cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu adanya flatus dan
bising usus, dan bilamana pasien tidak kembung maka pemberian makanan
peroral dapat dimulai. Jahitan diangkat pada hari kelima sampai hari ketujuh
pasca bedah. Dilakukan pemantauan terhadap kondisi luka, abdomen, serta klinis
pasien secara keseluruhan (Magister Ilmu Bedah USU, 2017).

21
BAB III
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
Anamnesis Pribadi
Nama : Nn. EPN
Umur : 14 tahun
Tanggal masuk : 27 Januari 2022
Alamat : Jl Bah Birang Ujung, Siantar Utara
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 37.50.48
Diagnosa : Apendisitis
Status Pernikahan : Belum Menikah
Jam Masuk : 14.55 WIB

Anamnesis Penyakit
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Telaah :
Os datang ke RSUD dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan os pada perut
kanan bawah sejak sekitar 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Rasa nyeri
sebelumnya dirasakan pada area sekitar ulu hati lalu menjalar ke perut bagian
bawah. Nyeri bersifat hilang timbul, dan semakin dirasakan saat os beraktivitas,
nyeri bertambah saat batuk (+). Keluhan mual (+) muntah (-), penurunan napsu
makan (+) dalam 1 minggu ini. Keluhan diare (-), BAB dalam batas normal. BAK
dalam batas normal. Demam (+) dirasakan dalam 1 minggu ini, bersifat hilang
timbul. Riwayat os dengan keluhan yang serupa dijumpai sekitar 1 bulan yang
lalu, membaik dengan sendirinya. Riwayat trauma disangkal.

Riwayat penyakit sebelumnya : (-)


Riwayat Pengobatan : tidak jelas
Sejarah Pembedahan : (-)

22
PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign (27/01/2022)
Sens : Compos Mentis Anemis :-
TD : 110/70 mmHg Ikterik :-
Nadi : 68 x/i Sianosis :-
Pernafasan : 20 x/i Dyspnoe :-
Suhu : 37,2oc Oedema :-
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 160 cm
VAS : 7-8

Status Generalisata
Kepala : Dalam batas normal
Mata : Pemeriksaan
 Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-)
 Sklera ikterik (-/-)
 Refleks pupil (+/+)
 Isokor, ka=ki

Leher : Pembesaran KGB (-/-), TVJ R-2 cm H2O.

Thorax :
 Inspeksi : Simetris fusiformis
 Palpasi : SF kanan = kiri
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi :
Jantung : S1 (n), S2 (n), S3 (-), S4 (-) reguler, Murmur (-)
Paru : Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronchi (-/-), wheezing (-/-)

23
Abdomen :
 Inspeksi : bentuk simetris
 Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas (+) pada regio iliaka kanan
(McBurney’s), Rovsing sign (+).
 Perkusi : timpani
 Auskultasi: peristaltik (+) sedikit meningkat
Psoas sign (+), Obturator sign (+)

Ekstremitas :
Akral hangat, CRT <2 detik, Clubbing finger (-), Oedem pretibia (- / -), Refleks
KPR : (+/+), Refleks APR (+/+)

24
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (27/01/2022)


Tanggal 27 Januari 2022
Test Result Unit References
Hemoglobin 13.2 g/dl 12-16
Leukosit 9930 103/µL 4.0-11.0
Hematokrit 41.2 % 36.0-48.0
Trombosit 305000 103/µL 150-400
MCV 89.2 fl 80-97
MCH 28.6 Pg 26.5-33.5
MCHC 32.0 g/dl 31.5-35.5

Hitung Jenis Leukosit


Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 1 % 0-1
Neutrofil Batang 4 % 2-6
Neutrofil Segment 65 % 50-70
Limfosit 25 % 20-40
Monosit 4 % 2-8

Glukosa ad random 94 mg/dl <140

Pemeriksaan Radiologis

Thorax Xray (27/01/2022)


Cor dan pulmo dalam batas normal
Scoliosis thoracalis 6-8

25
USG (27/01/2022)

Hasil:
Target sign (+), nyeri tekan (+) pada regio abdomen kanan bawah.
Kesan apendisitis.

26
DIAGNOSIS KERJA
Apendisitis

TATALAKSANA
 Pasien dipuasakan untuk persiapan operasi
 IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i makro
 Inj. Ranitidine 50 mg, pre-op

Rencana Tindakan
 Appendectomy pada 28 Januari 2022 pukul 14.00 WIB
 Konsultasikan ke Anestesiologi

Rencana Tatalaksana Post Appendectomy (15.50 WIB)


 Pasien dipuasakan sampai pukul 17.00 WIB
 IVFD Ringer Lactat 20 gtt/i makro
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/IV
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
 Edukasi pasien tidak boleh duduk hingga 29 Januari 2022 pukul 14.00
WIB

27
BAB IV
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal 28 Januari 2022 29 Januari 2022 30 Januari 2022


S Nyeri pada luka operasi Nyeri pada luka operasi Nyeri pada luka operasi
dirasakan berkurang
O Vital sign: Vital sign: Vital sign:
Sen: Compos Mentis Sen: Compos Mentis Sen: Compos Mentis
TD: 110/68 mmHg TD: 120/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
HR: 80 x/menit HR: 100 x/menit HR: 90 x/menit
RR: 20 x/menit RR: 22 x/menit RR: 20 x/menit
Temp: 36,3 C o
Temp: 37,1 C o
Temp: 36,5 oC
VAS: 5 VAS: 5 VAS: 3
Status Lokalisata : Status Lokalisata : Status Lokalisata :
- Abd: Soepel, peristaltik - Abd: Soepel, - Abd: Soepel,
(+) normal, luka operasi peristaltik (+) normal, peristaltik (+) normal,
kesan kering. luka operasi kesan luka operasi kesan
- BAB: (+) 1x, Flatus (+) kering. kering.
- BAK: ± 1500 cc - BAB: (-), Flatus (+) - BAB: (-), Flatus (+)
- BAK: ± 1600 cc - BAK: ± 1500 cc
A Post-Appendectomy Post-Appendectomy Post-Appendectomy
P - IVFD Ringer Lactat 20 - IVFD Ringer Lactat 20 - IVFD Ringer Lactat 20
gtt/i makro gtt/i makro gtt/i makro
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 - Inj. Ceftriaxone 1 - Inj. Ceftriaxone 1
jam/IV gr/12 jam/IV gr/12 jam/IV
- Inj. Ranitidine 50 - Inj. Ranitidine 50 - Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam/IV mg/12 jam/IV mg/12 jam/IV
- Inj. Ketorolac 30 - Inj. Ketorolac 30 - Inj. Ketorolac 30
mg/8 jam/IV mg/8 jam/IV mg/8 jam/IV

R/: Monitoring nyeri, R/: Monitoring nyeri, R/: Monitoring nyeri,


tanda vital, tanda vital, tanda vital,
penyembuhan luka penyembuhan luka penyembuhan luka

28
Tanggal 31 Januari 2022
S Nyeri pada luka operasi
dirasakan berkurang
O Vital sign:
Sen: Compos Mentis
TD: 105/68 mmHg
HR: 92 x/menit
RR: 20 x/menit
Temp: 36,7 oC
VAS: 1-2
Status Lokalisata :
- Abd: Soepel, peristaltik
(+) normal, luka operasi
kesan kering.
- BAB: (+) 1x, Flatus (+)
- BAK: ± 1000 cc

A Post-Appendectomy
P - IVFD Ringer Lactat 20
gtt/i makro
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12
jam/IV
- Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam/IV
- Inj. Ketorolac 30
mg/8 jam/IV

R/: Pasien rencana PBJ


pukul 20.00 WIB

29
BAB V
DISKUSI KASUS

TEORI PASIEN

Definisi dan Etiologi Telaah : Nyeri perut kanan bawah


Apendisitis merupakan proses peradangan telah dialami pasien kurang lebih
akut maupun kronis yang terjadi pada apendiks 1 minggu sebelum masuk Rumah
vermiformis oleh karena adanya sumbatan yang Sakit. Nyeri sebelumnya
terjadi pada lumen apendiks. Risiko dirasakan di bagian ulu hati lalu
perkembangan apendisitis bisa seumur hidup menjalar ke perut bagian bawah.
sehingga memerlukan tindakan pembedahan. Nyeri dirasakan hilang timbul dan
Secara etiologi, tidak ada hipotesis semakin memberat ketika
mengenai etiologi akut radang usus buntu. beraktivitas. Nyeri bertambah
Penurunan serat makanan dan peningkatan saat mengejan. Demam dialami
konsumsi karbohidrat olahan mungkin penting. pasien dalam 1 minggu ini. Mual
Seperti kolon divertikulitis, kejadian apendisitis dijumpai, muntah disangkal.
paling rendah di masyarakat dengan asupan serat Nafsu makan menurun dalam 1
makanan yang tinggi. Meskipun apendisitis minggu yang ini. Riwayat nyeri
secara jelas terkait dengan proliferasi bakteri di ulu hati tidak dijumpai. BAK dan
dalam apendiks, tidak ada organisme tunggal BABdalam batas normal.
yang bertanggung jawab. Pertumbuhan Riwayat dengan keluhan yang
campuran organisme aerobik dan anaerobik serupa dijumpai sekitar 1 bulan
biasa terjadi. Kejadian awal yang menyebabkan yang lalu dan membaik dengan
perkembangbiakan bakteri masih kontroversial. sendirinya. Riwayat trauma
Penyebab apendisitis biasanya dari obstruksi disangkal.
lumen apendiks. Ini bisa dari apendikolit (batu
apendiks), atau beberapa etiologi mekanis
lainnya. Tumor usus buntu seperti tumor
karsinoid, parasit usus, dan jaringan limfatik
hipertrofi semuanya diketahui penyebab obstruksi

30
apendiks dan apendisitis. Seringkali, penyebab
pasti dari apendisitis akut tidak diketahui. Ketika
lumen apendiks tersumbat, bakteri akan
menumpuk di apendiks dan menyebabkan
peradangan akut dengan perforasi dan
pembentukan abses.
Manifestasi Klinis Nyeri pada right lower quadrant
1. Nyeri abdominal: Nyeri ini merupakan pada pasien menjalar sampai ke
gejala klasik appendisitis. Mula-mula area iliaka kanan. Nyeri dapat
nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul dilokalisir, hal ini sesuai dengan
yang merupakan nyeri viseral di daerah nyeri pada peritoneum parietal.
epigastrium atau sekitar umbilicus. Demam dijumpai pada pasien dan
Setelah beberapa jam nyeri berpindah sesuai dengan temuan klinis
dan menetap di abdomen kanan bawah berupa apendisitis akut. Mual
(titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat dijumpai. BAK dan BAB dalam
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga batas normal. Flatus (+)
berupa nyeri somatik setempat. Bila
terjadi perangsangan peritonium biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut
pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah.
3. Nafsu makan menurun.
4. Demam, terjadi bila sudah ada
komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya suhu tubuh belum tinggi. Suhu
biasanya berkisar 37,5-38,5º C.

Diagnosis Dari gambaran klinis, pasien EPN


Penegakan diagnosis pada penyakit apendisitis memiliki riwayat nyeri pada ulu
adalah sebagai berikut: hati; Nyeri dapat dilokalisir;
demam

31
1. Anamnesis dialami pasien 1 minggu terakhir;
Nyeri abdomen merupakan keluhan mual dijumpai; BAB dan BAK
utama pasien dengan apendisitis akut, nyeri dalam batas normal. Pemeriksaan
awalnya berasal dari abdomen bagian fisik dijumpai perut soepel,
tengah, kemudian dalam waktu 24 McBurney sign (+) dan Rovsing
jam berpindah ke fosa iliaka kanan, bersifat sign (+). Dari gambaran
tajam dan konstan. Nyeri abdomen, panas laboratoris, tidak terjadi
badan, dan anoreksia merupakan gejala peningkatan leukosit (9.930/μL).
klasik dari apendisitis akut. Nyeri abdomen Dari pemeriksaan radiologi
tersebut akan bersifat menetap di perut kanan berupa USG abdomen dijumpai
bawah yang akan bertambah nyeri bila gambaran target sign (+) yang
pasien bergerak, batuk atau bersin. Pada mengarah ke appendisitis.
pasien dengan apendisitis akut juga
dirasakan panas badan yang
biasanya tidak terlalu tinggi (sekitar 38°C).
Anoreksia, mual dan muntah dapat timbul
beberapa jam kemudian.
2. Pemeriksaan fisik
Gaya berjalan anak dapat diamati jika
mereka cukup baik untuk berjalan. Pasien
yang tampak jelas dengan nyeri perut
memberikan kesan proses infeksi, namun
penyebab lain harus disingkirkan. Pasien
sering mengalami dehidrasi atau rasa sakit
dan mungkin takikardia atau takipnea.
Palpasi abdomen harus dilakukan dengan
sentuhan lembut dan ringan, mencari adanya
kekakuan otot abdomen. Saat pemeriksaan,
pasien akan merasakan nyeri di kuadran
kanan bawah di titik McBurney (dua pertiga
jarak dari umbilikus ke spina iliaka anterior
superior kanan), dan nyeri lepas (rebound

32
tenderness) yaitu merasakan nyeri saat
tangan dilepas tiba-tiba saat palpasi dalam
abdomen. Pemeriksaan lainnya yaitu Rovsing
sign, psoas sign, dan obturator sign.
Pemeriksaan colok dubur dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis
yang benar. Pasien harus diberi tahu bahwa
pemeriksaannya tidak nyaman tetapi tidak
menyebabkan nyeri yang tajam. Pemeriksaan
rektal sangat penting pada anak dengan
apendiks panggul, di mana temuan pada
pemeriksaan abdomen untuk apendisitis
mungkin samar-samar dan mengindikasikan
iritasi peritoneal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium

Jumlah leukosit dapat meningkat di atas


10.000/μL pada 70-90% pasien dengan
apendisitis akut, dan apabila leukosit
melebihi 15.000/μL biasanya telah terjadi
perforasi apendiks. Pemeriksaan
laboratorium lainnya yaitu panel
biomarker procalcitonin, calprotectin,
CRP, dan APPY1 (yang menggabungkan
nilai untuk hitung leukosit, kadar CRP,
dan kadar protein reaktif myeloid).
b. Foto polos abdomen

Pemeriksaan foto polos abdomen


biasanya tampak normal pada banyak
individu dengan apendisitis. Namun, foto

33
polos dapat membantu pada pasien
dengan keadaan konstipasi berat. Kotoran
apendiks terkalsifikasi ditemukan pada
kurang dari 10% orang dengan inflamasi,
tetapi keberadaannya menunjukkan
diagnosis. Temuan pada foto polos
abdomen yang cenderung ke arah
apendisitis adalah convex lumbar
scoliosis, air fluid level, dan hilangnya
batas psoas kanan.
c. Ultrasonografi (USG)

Keuntungan ultrasonografi pada pasien


apendisitis akut adalah lebih tidak
invasif, paparan radiasi lebih rendah,
dapat mendiagnosis penyebab lain dari
nyeri abdomen, dan berguna pada pasien
anak dan ibu hamil. Dengan sensitivitas
sekitar 85% dan spesifisitas >90%, USG
merupakan alat diagnostik yang berguna
untuk apendisitis akut. Temuan positif
untuk apendisitis akut pada USG adalah
struktur noncompressible tubular dengan
diameter 6 mm atau lebih lebar di region
kuadran kanan bawah. Struktur ini
dirasakan nyeri selama palpasi dengan
probe ultrasonografi. Temuan suportif
tambahan termasuk apendikolit, cairan di
lumen apendiks, nyeri fokal di atas
apendiks yang meradang (titik McBurney
sonografi), dan diameter transversal 6 mm

34
atau lebih besar. Pada pasien dengan
apendiks perforasi, ultrasonografi dapat
menunjukkan phlegmon periapendiks
atau pembentukan abses.
d. CT-scan

CT abdomen dan pelvis dianggap sebagai


modalitas pilihan untuk penilaian
definitif pasien yang sedang dievaluasi
untuk kemungkinan apendisitis. Namun,
perhatian utama dari CT scan adalah
paparan radiasi, terutama pada anak-
anak. CT-scan biasanya hanya dipakai
pada pasien dengan diagnosis yang tidak
pasti dan pada pasien obesitas berat. Oleh
karena itu, pemeriksa harus
menggunakan pemeriksaan ini dengan
bijak. Pemeriksaan dengan CT-scan
terbatas telah diusulkan pada anak-anak
untuk mengurangi dosis radiasi. Pada
CT-scan, gambaran yang dapat
ditemukan berupa apendiks melebar lebih
dari 6 mm dengan dinding menebal (lebih
dari 2 mm), peradangan peri-appendiks
(lemak peri- appendiks tergeser),
appendicolith,
appendiceal atau abses, dan cairan bebas.
Tatalaksana Medikamentosa :
1. Medikamentosa  IVFD Ringer laktat 20gtt
 Resusitasi cairan kristaloid secara makro
intravena  Injeksi ranitidine 50mg

35
 Tidak memberi obat apapun via  Injeksi ceftriaxone
mulut 1000mg
 Kontrol nyeri dengan penggunaan  Injeksi ketorolac 30mg
opioid, parasetamol atau NSAID  Rujuk ke dokter spesialis
 Antibiotik profilaksis diberikan bedah.
secara intravena sebelum
pembedahan, yang mencakup bakteri
gram negatif dan gram positif aerobik
dan anaerob (Bacteroides fragilis dan
Escherichia coli). Pada apendisitis
akut dapat diberikan antibiotik
golongan sefalosporin generasi kedua
(cefoxitin atau cefotetan) dan pada
apendisitis perforasi dapat diberikan
ampisilin, gentamisin, dan
metronidazole.
2. Pembedahan
 Apendektomi via laparatomi terbuka
melalui insisi abdomen regio kuadran
kanan bawah
 Apendektomi laparoskopi

36
BAB VI
RANGKUMAN KLINIS

Nn. EPN, 14 tahun, pelajar, belum menikah. Os dirawat di RS pada


tanggal 27 Januari 2022 dengan keluhan nyeri perut pada regio kanan bawah sejak
sekitar 1 minggu smrs, awalnya nyeri dirasakan pada area sekitar ulu hati lalu
menjalar ke perut bagian bawah. Nyeri bersifat hilang timbul, semakin berat saat
os beraktivitas, nyeri bertambah saat batuk (+). Mual (+) muntah (-), penurunan
napsu makan (+). BAB dan BAK dbn. Demam (+). Hasil pemeriksaan fisik
abdomen nyeri tekan- lepas (+) pada titik McBurney’s. Hasil pemeriksaan USG
ditemukan gambaran target sign.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, pada os
didapatkan skor Alvarado 7, yang dapat dienterpretasikan sebagai kemungkinan
besar apendisitis. Diagnosis ini didukung dengan hasil USG abdomen dengan
kesan gambaran apendisitis. Tatalaksana kuratif yang tepat pada kasus apendisitis
adalah pembedahan appendectomy, dilakukan segera untuk menghindari
perburukan kondisi apendiks. Pada os dilakukan persiapan pre-op dan
appendectomy (28 Januari 2022). Selanjutnya pemberian medikamentosa
simptomatik (ranitidine, ketorolac) dan AB profilaksis (ceftriaxone), pemantauan
vital sign serta penyembuhan luka diperlukan paska operasi. Os kemudian
dipulangkan untuk berobat jalan, 3 hari paska operasi.

37
DAFTAR PUSTAKA

Akbulut S, Tas M, Sogutcu N, Arikanoglu Z, Basbug M, Ulku A, et al. Unusual


histopathologic findings in appendectomy specimens: a retrospective
analysis and literature review. World J Gastroenterol. 2011 Apr 21;
17(15): 1961-70.
Brodsky, J. A. 2013, Appendicitis, [Online], accessed 13 February 2022,
Available at: www.niddk.nih.gov/health-information/digestive-
diseases/appendicitis
Craig, S. 2018, Appendicitis, [Online], accessed 13 February 2022, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
Dudley HAF. Acute appendicitis. In: Dudley HAF, editor. Hamilton Bailey's
Emergency Surgery. 11th ed. Bristol: John Wright & Sons, 1986. p. 336-
45.
Emre A, Akbulut S, Bozdag Z, Yilmaz M, Kanlioz M, Emre R, et al. Routine
histopathologic examination of appendectomy specimens: retrospective
analysis of 1255 patients. Int Surg. 2013 Oct-Dec; 98(4): 354-62.
Gadiparthi, R. & Waseem, M. 2018, Pediatric Appendicitis, StatPearls Publishing,
[book on- line], accessed 13 February 2022 Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441864/
Hirsch TM. Acute Appendicitis. Journal of American Academy of Physician
Assistants. 2017. Vol 30. Pp 46-7.
Hunter, C. J. (ed.) 2019, Controversies in Pediatric Appendicitis, Cham: Springer,
Chicago.
Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. Appendicitis. NCBI. 2019. [Accessed: 13
February 2022]. From: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
Jones MW, Lopez RA. and Deppen JG. 2019, Appendicitis, StatPearls Publishing,
[book on- line], accessed 13 February 2022; Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/

38
Kasper, D. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L. and
Loscalzo, J. 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th ed,
McGraw-Hill Medical, New York.
Kommuru H, Rao R, Anuradha S, Jothi S. Maximum incidence of appendicitis
during pubertal and peri pubertal age group observed by histological study
of appendix. AJMMS. 2013; 3(5): 108-11.
Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. Chapter 30. The appendix. In:
Brunikardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al., editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th ed. United States:
McGraw-Hill Education; 2015. p.1241-62.
Maa J KK. The Appendix. In: Sabiston Textbook Of Surgery. 19th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. p. 1297–1293.
Magister Ilmu Bedah USU, 2017, Modul digestif, available at:
https://bedah.usu.ac.id/index.php/akademik/modul/modul-digestif
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2017, Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 1st edn, Jakarta.
Petroianu, A. 2012, 'Diagnosis of Acute Appendicitis', International Journal of
Surgery, vol. 10 no. 3, pp. 115-119.
Puylaert J. Appendicitis - US findings. Radiology Assistant (Published on July
5th 2020). Available online: https://radiologyassistant.nl/abdomen/acute-
abdomen/appendicitis-us-findings
Ramnarine M, 2021, Appendicitis Empiric Therapy, available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1976216-overview
Richmond B. Chapter 50. The appendix. In: Towsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery : The Biological Basis of
Modern Surgical Practic. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1296-
1311.
Sabiston, DC, 2011, Atlas Bedah Umum, Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.
Santacroce L, 2021, Appendectomy, available at:
https://emedicine.medscape.com/article/195778-overview#a4

39
Siswandi A. Gambaran Klinis Pasien Apendisitis Akut dengan menggunakan
Penilaian Tzanakis Skor dan Alvarado Skor di RSUD Dr H Abdul
Moeloek Bandar Lampung Tahun 2014. 2015. Vol 2. Hal 110-4.
Sjamsuhidajat R, Karnadiharja W, Prasetyo T, Rudiman R. Apendiks. In: Buku
Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2010. p. 755–60.
Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of
surgery : the biological basis of modern surgical practic. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier. 2017. p. 1297.
Warsinggih, D. 2010, Bahan Ajar Apendisitis Akut, Nusantara Medical Science,
[Online], accessed 13 February 2022, Available at:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/Appendisit
is -akut.pdf
Williams NS, O’Connell PR, McCaskie AW, 2018, Bailey & Love’s Short
Practice of Surgery, 27th edn, Florida: CRC Press.
Windy CS, Sabir M. Perbandingan antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit, dan
Platetet Distributory Width (PWD) pada Apendisitis Akut dan Apendisitis
Perforasi di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014. Jurnal
Kesehatan Tadulako. 2016. Vol 2. Hal 24-32.

40

Anda mungkin juga menyukai