Anda di halaman 1dari 29

Clinical Science Session

ANEMIA

Oleh :
Salma Fairuz Fernando 1940312030
Yolanda Erdiansari 1940312037

Preseptor :
dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH,
Sp.PD FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Clinical Science
Session yang berjudul “Anemia”
Referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik
senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH,
FINASIM selaku preseptor yang telah memberikan masukan dalam pembuatan
Clinical Science Session ini.
Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan Clinical Science Session ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa penulisan ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan tulisan
ini. Semoga Clinical Science Session ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, April 2021

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1 PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Batasan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.4 Metode Penulisan 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi 6
2.2 Etiologi dan Klasifikasi Anemia 6
2.3 Epidemiologi 8
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi 9
2.5 Manifestasi Klinis 12
2.6 Diagnosis 13
2.7 Tatalaksana 17
2.8 Prognosis 25
BAB 3 PENUTUP 26
Daftar Pustaka 27

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai diseluruh
dunia dan mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi
serta kesehatan fisik. Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab
multifaktorial, dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul
sebagai konsekuensi dari penyakit lain atau sebagai faktor risiko terhadap
penyakit lain.1
Anemia didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah
atau hemoglobin (protein pengikat oksigen) berada dibawah nilai normal yang
menyebabkan darah tidak dapat mengikat oksigen sebanyak yang diperlukan oleh
tubuh. Hal ini menyebabkan gejala seperti kelelahan, lemah, pusing, dan sesak
napas. Kadar hemoglobin optimal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis bervariasi menurut usia, jenis kelamin, tempat tinggal, kebiasaan
merokok dan status kehamilan.2 Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat
dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas,
takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.3
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan
eritrosit oleh sum-sum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) dan
proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).6
Penyebab paling umum dari anemia termasuk kekurangan nutrisi, terutama
kekurangan zat besi, meskipun kekurangan folat, vitamin B12 dan A juga
merupakan penyebab penting; hemoglobinopati; dan penyakit menular, seperti
malaria, tuberkulosis, HIV dan infeksi parasit. Anemia adalah masalah kesehatan
masyarakat global yang serius yang terutama menyerang anak-anak dan wanita
hamil. WHO memperkirakan bahwa 42% anak di bawah usia 5 tahun dan 46%
wanita hamil di seluruh dunia menderita anemia.2,4 Kelompok berisiko lainnya
termasuk orang tua, karena prevalensi anemia di antara orang dewasa di atas 50
tahun meningkat dengan bertambahnya usia, meskipun datanya terbatas.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Anemia dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada
wanita dan anak-anak, hasil kelahiran yang buruk, penurunan produktivitas kerja
pada orang dewasa, dan gangguan perkembangan kognitif dan perilaku pada anak-
anak.5 Oleh karena itu, memahami berbagai macam anemia dan etiologinya sangat
penting untuk mengembangkan intervensi yang efektif dalam mengatasi penyebab
anemia yang sesuai dan untuk mengendalikan kejadian anemia.

1.2 Batasan Masalah


Clinical Science Session ini membahas tentang definisi, etiologi,
patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis
anemia.

1.3 Tujuan Penulisan


Clinical Science Session ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi,
patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis
anemia.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan Clinical Science Session ini menggunakan tinjauan kepustakaan
yang merujuk kepada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Anemia bukanlah suatu kesatuan
penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar.6
Parameter yang paling umum menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Nilai normal hemoglobin sangat bervariasi
tergantung umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO :6

Tabel 2.1 Kriteria Anemia Menurut WHO


Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Pria dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita dewasa hamil < 11 g/dl

2.2 Etiologi dan Klasifikasi Anemia


Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena :6
- Gangguan pembentukan eritrosit oleh sum-sum tulang
- Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
- Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis :6
a. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sum-sum
tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sum-sum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloplastik
- Anemia pada keganasan hematologik
- Anemia diseritropietik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
- Anemia akibat kekurangan hormon eritropoietin: anemia pada gagal
ginjal kronik
b. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia akibat perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronis
c. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
- Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati), anemia akibat defisiensi
G6PD
- Gangguan haemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopati
- Lain-lain
d. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan
patogenesis yang kompleks
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi:
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia akibat penyakit kronik

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


c. Anemia sideroblastik
d. Thalassemia major
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia aplasstik
b. Anemia hemolitik didapat
c. Anemia akibat perdarahan akut
d. Anemia akibat gagal ginjal kronik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
f. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12 termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

2.3 Epidemiologi
Anemia adalah penyakit yang sangat umum yang menyerang sepertiga
populasi global. Penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30%
atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis.
Prevalensi anemia secara global sekitar 51%.7
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering ditemui,
baik di klinik maupun di masyarakat, terutama pada kelompok berisiko seperti
anak-anak, remaja wanita, wanita hamil. Insiden tahunan anemia defiensi besi di
Italia, Belgia, Jerman dan Spanyol dilaporkan 7,2 – 13,96 per 1000 orang per
tahun.8 Di negara-negara dengan sedikit mengonsumsi daging dalam makanan
seperti di Amerika Utara dan Eropa, anemia defisiensi besi terjadi 6-8 kali lebih
tinggi.9 Kemenkes RI menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada
semua kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif
lebih tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Di wilayah geografis tertentu,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


parasit usus, terutama cacing tambang, memperburuk defisiensi zat besi karena
kehilangan darah dari saluran pencernaan.10
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya
cukup langka di Amerika dan Eropa berkisar 2-3 kasus per 1 juta penduduk.
Insiden anemia aplastik relatif menigkat di Asia, di Korea didapatkan 5,6 kasus
per 1 juta anak, di Bangkok dilaporkan 3,9 kasus per 1 juta, dan 5 kasus per 1 juta
di Sabah Malaysia. Angka kejadian berdasarkan umur terjadi pada rentang umur
15-29 tahun dan beberapa kasus diatas 60 tahun di Negara Barat sedangkan di
Asia terjadi rentang usia 15-24 tahun.11 Perjalanan penyakit pada pria ditemukan
lebih berat dibandingkan pada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin
mungkin disebabkan karena factor risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan
geografis mungkin pengaruh lingkungan.6
Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. AIHA akut
relatif jarang, dengan kejadian satu sampai tiga kasus per 100.000 penduduk per
tahun. Anemia hemolitik tidak spesifik untuk ras apa pun. Namun, kelainan sickle
cell anemia ditemukan terutama di Afrika, Afrika Amerika, beberapa orang Arab,
dan Aborigin di India selatan. Kebanyakan kasus anemia hemolitik tidak spesifik
jenis kelamin. Namun, AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria. Defisiensi G6PD adalah gangguan resesif terkait-X. Oleh
karena itu, pria biasanya terpengaruh, dan wanita adalah pembawa. Meskipun
anemia hemolitik dapat terjadi pada segala usia, kelainan herediter biasanya
terlihat pada awal kehidupan. AIHA lebih mungkin terjadi pada individu paruh
baya dan lebih tua.12

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


A. Anemia Aplastik13
Anemia aplastik dapat terjadi akibat kegagalan hematopoietik (produksi
sel darah) sehingga terjadi kosongnya sumsum tulang, hasil pencitraan
menunjukkan bahwa sumsum tulang diganti oleh jaringan lemak yang merata.
Pada anemia aplastik juga didapatkan bahwa sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada
yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, mieloid, dan
megakariosit sangat kurang jumlahnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Pada anemia aplastik didapat terdapat adanya limfosit yang bertanggung jawab
atas destruksi kompartemen sel hematopoietik. Perubahan imunitas menyebabkan
destruksi khususnya kematian sel CD34, dan aktivasi jalur intraseluler
menyebabkan penghentian siklus sel. Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal
hematopoietik. Sel-sel asal hematopoietik primitif yang selamat dari serangan
autoimun setelah terapi imunosupresif memungkinkan pemulihan hematopoietik
secara perlahan-lahan.
B. Anemia Defisiensi Besi6
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan
besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state (ditandai dengan penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, besi dalam sumsum
tulang negatif) dan bila keadaan tersebut terus berlanjut maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali (sediaan besi untuk eritropoiesis berkurang) sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit yaitu mikrositik hipokrom namun
anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient
erythropoiesis. Pada fase tersebut kelainan pertama yang dijumpai adalah saturasi
transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, sehingga disebut anemia defisiensi
besi.
C. Anemia Megaloblastik14
Terjadinya anemia megaloblastik disebabkan karena terjadi penghambatan
sintesis DNA dan atau RNA oleh vitamin B12 (sianokonalamin) dan atau asam
folat. Defisiensi asam folat akan diikuti oleh terhambatnya sintesis basa
nukleotida (khususnya timin), menyebabkan terhambatnya sintesis DNA.
Kekurangan vitamin B12 saja dapat tidak menyebabkan sindrom makrositer bila
kadar asam folat cukup. Asam folat juga diperlukan untuk biosintesis basa
nukleotida purin dan pirimidin untuk digabungkan dalam DNA dan RNA.
Vitamin B12 berfungsi sebagai koenzim dalam reaksi re-metilasi
homosistein untuk membentuk metionin yang diperlukan untuk reaksi metilasi
substrat termasuk DNA, RNA, fosfolipid dan protein. Hambatan pada proses
metilasi tersebut akan menyebabkan ketidakstabilan kromosom sehingga mudah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


terjadi mutasi, gangguan sintesis DNA (replikasi DNA) dan gangguan translasi
(produksi asam amino dan protein). Selain hipovitaminosis anemia ini juga dapat
disebabkan oleh obat-obat kemoterapi dan antimikroba.
D. Anemia pada Penyakit Kronik15
Hampir semua infeksi supuratif kronis seperti tuberkulosis, abses paru,
endokarditis bakteri, osteomielitis, infeksi jamur kronis serta HIV berkaitan
dengan anemia, untuk terjadinya anemia membutuhkan waktu 1-2 bulan setelah
infeksi terjadi dan menetap. Akibat inflamasi dapat terjadi juga pada pasien
dengan artritis reumatoid, kolitis ulseratif dan lainnya, serta penyakit lain seperti
kanker, walaupun masih stadium dini dan asimtomatik.
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres
hematologik, di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan
jaringan akibat infeksi, inflamasi dan kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan
sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan
destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin di ginjal, serta
menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang.
Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan
transformasi T4 menjadi T3 menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi
penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoietin pun
akhirnya berkurang, selain itu juga terjadi gangguan metabolisme zat besi pada
penyakit kronis.
E. Anemia Hemolitik Imun16
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
aktivasi sistem komplomen, aktivasi mekanisme hemolisis ekstravaskular, atau
kombinasi keduanya.
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplomen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadinya hemolisis intravaskular yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berkaitan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi
aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan
oleh sel-sel retikuloendotelial melalui fagositosis.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


F. Anemia Hemolitik Non Imun17
Hemolisis pada anemia hemolitik non imun terjadi tanpa keterlibatan
imunoglobulin, tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur
membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme,
kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang
mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme
imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Hemolisis yang terjadi
dapat intravaskular, namun lebih sering terjadi di ekstravaskular oleh sistem
retikuloendotelial karena di fagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

2.5 Manifestasi Klinis18


Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada
setiap kasus anemia apapun penyebabnya, apabila kadar Hb di bawah nilai
normal. Gejala umum anemia ini timbul karena 1) Anoksia organ, 2) Mekanisme
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hb <7 gr/dl. Berat
ringannya gejala tergantung pada derajat penurunan hb, kecepatan penurunan hb,
usia, dan adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Adalah gejala yang timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hb sampai kadar < 7 gr/dl.
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan
dispepsia.
Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, pada konjungtiva, mukosa mulut,
telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
2. Gejala khas masing-masing anemia
- Anemia defisiensi besi : Disfagia, atropi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia)
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


neurologik pada defisiensi vitamin B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan
hepatomegali
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar sangat bervariasi
tergantung penyebab anemia tersebut.

2.6 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien sangat penting untuk
mengarahkan diagnosis anemia walaupun tidak spesifik. Tetapi pada umumnya
diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium ini terdiri dari:
1. Pemeriksaan penyaring (Screening test): hb, indeks eritrosit,
hapusan darah tepi (dapat diketahui adanya anemia dan jenis morfologiknya)
2. Pemeriksaan darah seri anemia: hitung leukosit, trombosit,
retikulosit dan laju endap darah
3. Pemeriksaan sumsum tulang: untuk menilai keadaan hematopoiesis yang
diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta kelainan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid seperti sindrom
mielodisplastik (MDS).
4. Pemeriksaan khusus: hanya dikerjakan atas indikasi khusus,
misalnya pada
a. Anemia defisiensi besi: serum besi, TIBC, saturasi transferin,
protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin, dan pengecatan besi pada
sumsum tulang (Perl’s stain).
b. Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin, dan tes Schiling.
c. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin, dan lain-lain.
d. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.
e. Pemeriksaan non-hematologik tertentu: pemeriksaan fungsi hati, ginjal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


dan tiroid.
Terdapat juga bermacam-macam pendekatan diagnosis anemia, antara lain
pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta
pendekatan klinis.
A. Pendekatan tradisional, morfologik, fungsional dan probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, yang setelah dianalisis
maka disimpulkan sebagai sebuah diagnosis.
Pendekatan morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah
tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia mikrositik
hipokrom, anemia normositik normokrom dan anemia makrositik.
Pendekatan fungsional berdasarkan pada apakah anemia
disebabkan karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang (dilihat
dari penurunan angka retikulosit) atau akibat kehilangan darah atau
hemolisis (ditandai dengan peningkatan angka retikulosit). Dari kedua
pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia dan kemungkinan
penyebabnya.
Hasil tersebut dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik
berdasarkan pada pola etiologi anemia berdasarkan data epidemiologi di
suatu daerah. Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di
dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan
talasemia.
B. Pendekatan Klinis
Pendekatan klinis terdiri dari:
- Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit
1. Anemia yang timbul cepat (beberapa hari sampai minggu)
Biasanya disebabkan oleh perdarahan akut, anemia hemolitik yang
didapat seperti AIHA (Autoimmune hemolytic anemia) dimana terjadi
penurunan Hb>1gr/dl dalam seminggu, anemia hemolitik intravaskular
juga cepat seperti salah transfusi, episode hemolisis pada anemia defisiensi
G6PD, anemia akibat leukimia akut, krisis aplastik pada anemia hemolitik
kronik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


2. Anemia yang timbul secara lambat
Biasanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi, defisiensi asam
folat, akibat penyakit kronis dan anemia hemolitik kronik yang bersifat
kongenital
- Pendekatan Berdasarkan Beratnya Penyakit
Anemia berat biasanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia pada leukimia akut, anemia hemolitik didapat
ataukongenital seperti talasemia, anemia pasca perdarahan akut, dan
anemia pada gagal ginjal kronik stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih bersifat ringan sampai sedang dan jarang
berat adalah anemia akibat penyakit kronik, penyakit sistemik dan
talasemia trait. Bila pada ketiga anemia tersebut dijumpai anemia berat
maka harus pikirkan diagnosis lain atau penyebab lain yang memperberat
anemia tersebut.
- Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia
Gejala anemia yang lebih menonjol dibandingkan penyakit dasar
dijumpai pada anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik.
Sedangkan pada anemia penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.
- Pendekatan Diagnosis berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium
Algoritma pendekatan diagnosis anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Algoritme pendekatan diagnosis anemia

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Gambar 2.2 Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia mikrositik
hipokrom

Gambar 2.3 Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia normositik


normokrom

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Gambar 2.4 Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia makrositer

2.7 Tatalaksana
A. Anemia Defisiensi Besi
Terapi anemia defisiensi besi dibagi atas terapi kausal untuk mencegah
kekambuhan anemia serta terapi untuk mengganti kekurangan besi melalui
pemberian preparat besi. Beerikut tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien
dengan anemia defisiensi besi:6,19
- Terapi besi oral: ferrous sulphat 3 x 200 mg.
- Terapi besi parenteral berupa iron dextran complex (50 mg besi/ml)
sesuai indikasi, yakni sebagai berikut:
a) Intoleransi pemberian besi oral.
b) Kepatuhan obat yang rendah.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


c) Gangguan pencernaan berupa kolitis ulseratif yang akan muncul
jika diberikan preparat besi oral.
d) Penyerapan besi yang terganggu.
e) Kehilangan darah banyak yang tidak dapat ditolerir dengan
pemberian besi oral.
f) Kebutuhan besi yang besar (hamil trimester 3 atau sebelum
operasi).
g) Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoietin
pada anemia penyakit kronik.
- Konseling dan edukasi terkait perjalanan penyakit, tatalaksana, serta
efek samping obat (mual, muntah, konstipasi, diare, serta BAB bewarna
kehitaman).
- Pasien dapat dirujuk apabila pasien memiliki kondisi sebagai berikut:
a) Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/dL.
b) Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar Hb segera dirujuk.
c) Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 7 g/dL).
d) Anemia aplastik, anemia hemolitik, dan anemia megaloblastik.
e) Terdapat kegawatan seperti perdarahan aktif atau distres
pernafasan.
- Dalam pengobatan preparat besi, seorang penderita dinyatakan
memberikan respon baik bila retikulosit naik pada minggu pertama,
menjadi normal setelah hari ke-14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau
2 g/dL setelah 3 hingga 4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah
4-10 minggu.
- Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan dosis besi
yang kurang, masih ada pendarahan yang cukup banyak, pasien tidak
patuh sehingga obat tidak diminum, ada penyakit lain seperti penyakit
kronik.
B. Anemia Akibat Penyakit Kronik
Terapi utama adalah dengan menindaklanjuti penyakit dasarnya.
Untuk menatalaksana anemia yang timbul, dapat dilakukan beberapa hal
sebagai berikut:15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


- Transfusi: jika disertai dengan gangguan hemodinamik.
- Preparat Besi: masih dalam perdebatan untuk memberikan preparat besi
pada anemia dengan penyakit kronis.
- Eritropoietin: dapat diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal
ginjal, myeloma multipel, pasien HIV, dan rhematoid arthritis.
C. Thalasemia
Terapi Suportif
Terapi suportif diberikan kepada pasien thalassemia agar tumbuh
kembangnya tidak terganggu. Terapi suportif yang diberikan lebih kearah
tatalaksana anemianya. Berikut terapi suportif yang dapat diberikan kepada
pasien thalassemia:20
- Transfusi Darah: Transfusi wajib diberikan jika Hb <7 mg/dL seteleh
pemeriksaan 2 kali dengan jeda lebih dari 2 minggu, tanpa penyebab lain
seperti infeksi, trauma, penyakti kronis lainnya. Volume darah yang
ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb pratransfusi >6
gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali
dengan kecepatan 5 mL/kg/jam. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb
berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang
ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi
dikurangi hingga 2 mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan.
Target Hb setelah transfusi adalah di atas 10 mg/dL namun jangan lebih
dari 14 mgdL.20
- Pemberian Kelasi Besi: kelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan
besi akibat transfusi rutin. Jika transfusi darah sudah dilakukan sebanyak
>10 kali, maka kadar besi secara umum sudah meningkat diambang
normal. Parameter lain adalah kadar serum feritin di atas 1000 ng/mL, dan
atau saturasi transferin ≥ 70 %. Obat kelasi besi yang dapat diberikan
berupa deferoxsamin, deferiprone, atau feriprox. Dosis Deferoxsamin
adalah 30-60/kgBB secara subkutan atau intramuskular. Desferoksamin
tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2 tahun karena risiko
toksisitas yang lebih tinggi. Deferiprone atau Feriprox, dosis yang
diberikan adalah 75-100 mg/kg/hari secara oral sesudah makan dibagi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


dalam 3 dosis.20
- Suplementasi nutrisi: Suplementasi vitamin D 50.000 IU sekali
seminggu pada pasien dengan kadar 25-hidroksi vitamin D di bawah 20
ng/dL. Suplementasi vitamin E 10 mg/kg atau 2x200 IU/hari selama 4
minggu. Vitamin C dengan dosis tidak lebih dari 2-3 mg/kg/hari
diberikan bersama desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi besi.
Selain itu asam folat juga direkomendasikan dosis 1-5 mg/kg/hari atau
2x1 mg/hari (tidak perlu jika Hb pretransfusi > 9 g/dL).20
- Splenektomi: Splenektomi tidak akan menjadi alternatif ketika tranfusi
rutin dapat dilakukan sejak usia dini dan berlangsung secara adekuat.
Tindakan spelenektomi dapat diindikasikan untuk keadaan seperti
kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL
PRC/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya,
hipersplenisme, leukopenia dan trombositopenia.20
- Vaksinasi: Vaksin Pneumokokus direkomendasikan sejak usia 2 bulan,
dan diulang pada usia 24 bulan. Pemberian ulangan dapat diberikan
setiap 5 hingga 10 tahun. Transfusi rutin dapat menyebabkan
peningkatan risiko hepatitis B, sehingga vaksinasi hepatitis B perlu
dilakukan. Selain itu juga dapat diberikan vaksin influenza setiap
tahunnya.20
- Psikososial: Lingkungan harus mendukung perkembangan emosional
dan psikologis pasien thalasemia dengan berupaya menciptakan kondisi
yang apa adanya, tidak ada bullying, keistimewaan ataupun restriksi.20
Terapi Definitif
Thalasemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan gen
sehingga terapi definitif dari thalassemia adalah transplantasi sumsum
tulang (Bone Marrow Transplantation / BMT) dan terapi gen (genetic
therapy). Pada transplantasi sumsum tulang harus diperhatikan bebapa
faktor risiko yang dapat mempengaruhi hasil terapi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi yakni usia (usia muda lebih baik), kecukupan kelasi besi,
ada atau tidak adanya fibrosis hati, serta ada atau tidak adanya
hepatomegali. Transplantasi sumsum tulang memungkinkan pasien tidak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


memerlukan transfusi rutin.20
Terapi definitif kedua adalah terapi gen. Terapi gen dilakukan untuk
mengubah susunan mutasi gen yang dikandung di dalam sel hematopoiesis.
Pendekatan terapi gen pada Talasemia adalah dengan melakukan harvesting
sumsum tulang dari pasien, kemudian sel-sel tersebut dilakukan kultur dan
pemeliharaan. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan insersi gen yang
normal ke kultur sel tersebut dengan menggunakan perantara virus
(umumnya adalah lentivirus). Hasil insersi gen normal tersebut kemudian
dilakukan transfusi kembali melalui jalur intra vena kepada pasien. Pada
pasien sebelum dilakukan transfusi kembali dilakukan terapi untuk
mengontrol efek immunologi yang dapat terjadi.20
D. Anemia Aplastik
Terapi definitif anemia aplastik adalah dengan transplantasi sumsum
tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok,
faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda
umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit
mengalamai Graft Versus Host Disease (GVHD). Pasien yang lebih tua dan
yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Berikut dapat dilihat beberapa tatalaksana yang dapat diberikan kepada
pasien anemia aplastik:13
1. Terapi Imunosupresif
Terapi imunosupresif berupa antithymocyte globulin (ATG) atau
antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). Berikut adalah
indikasi dari ATG atau ALG:13
- Anemia aplastik yang tidak termasuk kategori berat.
- Pasien yang tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok.
- Anemia aplastik berat yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi, pendarahan, atau dengan granulosit
lebih dari 200/mm3.
Dalam pengobatan ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


sehingga selalu diberikan bersamaan dengan kortikosteroid, yakni prednisone 1
mg/kgBB selama 2 minggu pertama. Siklosporin juga diberikan dan proses
kerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi precursor limfosit
sitotoksik. Dosis yang diberikan 3-10 mg/kgBB/hari per oral selama 4-6 bulan.13
2. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien
anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan
kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik
tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang
mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk
transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun
pasien yang berusia lebih dari 30-35 tahun lebih baik mendapatkan terapi
imunosupresif.13
Respon terapi dari transplantasi sumsum tulang menurut European
Bone Marrow Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut:13
- Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya
2000/mm3, dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah
2000/mm3, dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter: tidak ada perbaikan.
3. Terapi Suportif
Terapi suportif mencakup pencegahan dan penatalaksanaan infeksi,
menjaga nilai hemoglobin, serta mengatasi perdarahan jika muncul. Pada
pasien dengan keluhan dapat diberikan transfusi packed red cells (PRC)
sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.13
Transfusi trombosit jika terdapat pendarahan atau kadar trombosit
dibawah 20.000/mm3. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak, akan
tetapi transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi,
donor diganti dengan yang cocok HLA- nya (orang tua atau saudara
kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah
daripada manfaatnya.13
E. Anemia Hemolitik Non Imun Defiseinsi G6PD
Manifestasi klinis muncul apabila pasien terpajan faktor pemicu
seperti infeksi, zat oksidan, dan obat-obatan tertentu. Hindari faktor pemicu
merupakan langkah pencegahan yang tepat. Selain itu, transfusi dapat
diberikan pada kasus berat.17
Defek Jalur Embden Meyerhof
Pada hemolisis berat dapat diberikan asam folat 1 mg/hari.
Splenektomi dapat berguna pada kasus defisiensi piruvat kinase dan glukosa
fosfat isomerase.17
Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)
Penatalaksanaan pada TTP familial berupa pemberian fresh frozen
plasma (FFP) yang mengandung sedikit trombosit atau cryosupernatant.
Pada TTP idiopatik didapat diperlukan plasma exchange, yakni kombinasi
plasmaferesis dengan infus FFP atau cryosupernatant. Transfusi trombosit
tidak diperbolehkan kecuali ada ancaman perdarahan intrakranial.17
Sferositosis Herediter
Tatalaksana yang dapat dilakukan berupa splenektomi pada pasien
dengan anemia hemolitik sedang dan berat. Pada anemia hemolitik yang
berat dapat diberikan asam folat 1 mg/hari sebagai tindakan pencegahan.17
Infeksi Mikroorganisme
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh infeksi mikroorganisme
baik secara langsung dengan menyerang eritrosit maupun secara tidak
langsung dengan menggunakan toksin atau pembentukan autoantibodi
terhadap eritrosit. Tatalaksananya adalah dengan mengeradikasi parasit atau
mikroorganisme yang menyerang. Pada bartonellosis dapat diberikan
penisilin, streptomisin, kloramfenikol, atau tetrasiklin. Pada babesiosis
dapat diberikan klindamisin dan kuinin.17
F. Anemia Hemolitik Autoimun
Tipe Hangat
Pada tipe hangat, autoantibodi bereaksi optimal pada suhu 37 C.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat ditatalaksana dengan
cara sebagai berikut:16
- Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari.
- Splenektomi: jika dengan pemberian steroid tidak adekuat atau tidak
dapat dilakukan penurunan dosis selama 3 bulan.
- Rituximab dan alemtuzumab.
- Imunosupresi: azathioprine 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150
mg/hari.
- Terapi lain:
a) Danazol 600-800 mg/hari (bersama steroid).
b) Siklofosfamid dosis tinggi 50 mg/kgBB/hari selama 4 hari.
c) Imunoglobulin intravena 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
d) Mycophenolate mofetil 500-1000 mg/hari.
- Terapi transfusi: dapat diberikan pada kondisi mengancam jiwa (Hb ≤ 3
g/dl) seiring menunggu efek steroid dan imunoglobulin.
Tipe Dingin
Hemolisis timbul akibat adanya antibodi dingin, yakni aglutinin
dingin dan antibodi Donath-Landstainer dimana aglutinasi sering terjadi
pada suhu dingin. Berikut beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan:16
- Hindari udara dingin
- Chlorambucil 2-4 mg/hari
- Plasmaferesis (sukar dilakukan)
- Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu.
G. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12
atau asam folat dapat diberikan terapi pengganti berupa injeksi intra
muskular vitamin B12 sebesar 100-1000 mcg/bulan dan asam folat sebesar
1 mg/hari jika defisiensi asam folat. Pada ibu hamil dapat diberikan terapi
pencegahan dengan pemberian asam folat 0,4 mg/hari dan vitamin B12 50
mg/hari sejak awal kehamilan.14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


2.8 Prognosis
Pada anemia defisiensi besi, prognosis baik jika anemianya hanya
disebabkan oleh kekurangan besi saja dan kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi.21
Prognosis pada anemia aplastik berhubungan dengan jumlah absolut
neutrofil dan trombosit dimana jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik.
Jumlah netrofil kurang dari 0,5x109/liter dipertimbangkan sebagai anemia aplastik
berat dan jumlah netrofil kurang dari 0,2x109/liter dikaitkan dengan respon buruk
terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang
allogenik tidak tersedia.22
Pada anemia hemolitik imun tipe hangat, hanya sebagian kecil pasien yang
mengalami kesembuhan komplit dan selebihnya mengalami perjalanan penyakit
kronik. Sedangkan pada tipe dingin, sering pada anak dan biasanya terjadi post-
infectious dan bersifat self-resolving.16,23 Sedangkan pada anemia hemolitik non
imun, prognosis tergantung penyakit yang mendasarinya. Secara umum, angka
kematian pada anemia hemolitik tergolong rendah, akan tetapi angka ini akan
meningkat terutama pada pasien lanjut usia yang disertai dengan gangguan
kardiovaskular.24
Prognosis pada anemia megaloblastik adalah baik jika penyebabnya dapat
diidentifikasi dan pengobatan yang tepat telah diberikan. Defisiensi asam folat
selama kehamilan dapat menimbulkan spina bifida atau gangguan perkembangan
janin lainnya sehingga diperlukan pencegahan dengan asam folat dan vitamin
B12.14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


BAB 3
PENUTUP

Anemia merupakan suatu penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak


dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke
jaringan perifer. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan penurunan massa
eritrosit adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit. Anemia dapat
terjadi akibat adanya gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang,
kehilangan darah, serta akibat proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya atau dikenal dengan istilah hemolisis.
Secara epidemiologi, penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah
sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal di
daerah tropis. Dalam mendiagnosis anemia berdasarkan manifestasi yang timbul,
harus diperhatikan awitan penyakitnya, berat ringannya derajat anemia yang
timbul, serta gejala lain yang timbul yang dapat berasal dari penyakit dasarnya.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan
mencari kemungkinan etiolgi anemia yakni dapat dengan pemeriksaan
laboratorium berupa pemeriksaan hapusan darah tepi, indeks eritrosit, serta
pemeriksaan laboratorium rutin. Pentalaksanaan serta prognosis anemia
tergantung dari jenis dan etiologi anemianya. Tatalaksana hendaknya dilakukan
berdasarkan diagnosis defenitif yang telah ditegakkan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


DAFTAR PUSTAKA

1. Hoftbrandt AV, Moss PAH, Pettit JE, editor. Essential Haematology.


Sm ed. UK. Blackwell Publishing; 2006. Chapter 3, Hypochromic
anaemia and iron overload; h. 28-43 2. Brady PG. Iron deficiency
anemia: a call for. South. Med. J.2007. 100(10): 966-7.
2. World Health Organization. 2016. Global Health Observatory data
repository: prevalence of anaemia in women
http://apps.who.int/gho/data/ view.main.GSWCAH28REG.
3. Heeney M, Dover GJ. Sickle cell disease. In: Nathan DG, Orkin SH,
Oski FA, Ginsburg D. Look AT. Fisher DE. Lux SE, eds. Nathan and
Oski’s Hematology of infancy and childhood. 7th ed. Philadelphia: PA:
Saunders Elsevier; 2009. Hal 949-1014.
4. World Health Organization. 2016. Global Health Observatory data
repository: anaemia in children <5 years by region
http://apps.who.int/gho/data/view.main.ANEMIACHILDRENv?lang=e
n.
5. Camila M. Chaparro, Parminder S. Suchdev. Anemia epidemiology,
pathophysiology, and etiology in low- and middle-income countries.
Ann N Y Acad Sci. 2019 Aug; 1450(1): 15–31.
6. Bakta IM, Suega K, Dhamayuda TG. Anemia Defisiensi Besi. In: Aru
W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 6th ed. Jakarta.
Interna Publishing; 2017.p.2589-98.
7. Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. Analisis pola makan dan anemia
gizi besi pada remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas. 2015:10(1), 11-8.
8. Levi M, Rosselli M, Simonetti M, Brignoli O, Cancian M, Masotti A, et
al. Epidemiology of iron deficiency anaemia in four European countries:
a population-based study in primary care. Eur J Haematol. 2016 May 7.
9. Eltayeb MS, Elsaeed AE, Mohamedani AA, Assayed AA. Prevalence of
anaemia among Quranic school (Khalawi) students (Heiran)in Wad El
Magboul village, rural Rufaa, Gezira State, Central Sudan: a cross

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


sectional study. Pan Afr Med J. 2016;24:244.
10. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
11. Parvez Ahmed, Qamar un Nisa Chaudhry, Tariq Mahmood Satti, Syed
Kamran Mahmood, Tariq Ghafoor, Nighat Shahbaz, Mehreen Ali Khan,
Humayoon Shafique Satti, Zaineb Akram & Raheel Iftikhar
.Epidemiology of aplastic anemia: a study of 1324 cases,
Hematology.2020;25(1):48-54.
12. Liebman HA, Weitz IC. Autoimmune Hemolytic Anemia. Med Clin
North Am. 2017;101(2):351-9.
13. Widjanarko A, Aru WS, Hans S. Anemia Aplastik. In: Setiati S, Idrus
A, Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS, editors. Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2648-2658.
14. Effendy S. Anemia Megaloblastik. In: Setiati S, Idrus A, Aru WS,
Marcellus SK, Bambang S, Ari FS, editors. Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2602-8.
15. Supandiman I, Heri F. Anemia Pada Penyakit Kronis. In: Setiati S, Idrus
A, Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS, editors. Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2644-7.
16. Hariadi KWT, Elias P. Anemia Hemolitik Imun. In: Setiati S, Idrus A,
Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS, editors. Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2609-15.
17. Rinaldi I, Aru WS. Anemia Hemolitik Non Imun. In: Setiati S, Idrus A,
Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS, editors. Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2616-24.
18. Bekta IM. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. n: Setiati S, Idrus A,
Aru WS, Marcellus SK, Bambang S, Ari FS, editors. Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2575-82.
19. Ekayanti F, Ika H, Joko H, Mahesa P, Andi AZ, Daeng MF, et al.
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2017. p. 52-4.
20. Rujito L. Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman; 2019. p. 55-66.
21. Fitriany J, Amelia IS. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh Averrous. 2018; 4(2): 1-14.
22. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Ernest B, Thomas
JK, Uri S, Kenneth K, Josef TP editors. William Hematology. 7th ed.
New York: McGraw Hill Medical; 2007.
23. Niss O, Russell EW. Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemia.
New York City: Springer International Publishing; 2018. p. 103-23.
24. Calistania C, Nadia AM. Anemia Hemolitik. In: Tanto C, Frans L, Sonia
H, Eka AP editors. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014. p. 656-9.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29

Anda mungkin juga menyukai