Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mengalami hipoksia. Pembuluh darah koronaria mengalami
penyumbatan sehingga aliran darah yang menuju otot jantung terhenti, kecuali sejumlah
kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya (Muhammad, 2015). Infark
miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang
tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang (Smeltzer & Bare, 2001). Infark
miokard (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen
berkepanjangan. Hal ini adalah respons letal terakhir terhadap iskemia miokard yang tidak
teratasi (Corwin, 2009). Infark miokardium akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis
miokardium yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut
arteri koroner (Muttaqin, 2009). Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis
otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan
mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).

B. Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) tahun 2004 melaporkan bahwa infark miokard
akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia. Terhitung sebanyak 7,2 juta
(12,2%) kematian terjadi akibat IMA di seluruh dunia. Menurut data American Heart
Association (AHA) tahun 2015, angka kematian penyakit kardiovaskuler di Amerika
Serikat sebesar 31,3%. Di Indonesia, berdasarkan laporan Direktorat Jendral Pelayanan
Medik (Ditjen Yanmed) tahun 2005, penyakit sistem sirkulasi termasuk didalamnya
penyakit kardiovaskular dan stroke menjadi penyebab kematian utama. Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% (Riskesdas, 2013)

C. Klasifikasi
Klasifikasi infark miokard yaitu Infark Miokard dengan elevasi ST (STEMI), Infark
Miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), dan angina tak stabil. Klasifikasi ini berharga
karena pasien dengan ketidaknyamanan iskemik mempunyai/tidak mempunya elevasi
segmen ST pada elektrokardiogram. Yang tidak mempunyai elevasi ST dapat didiagnosis
dengan NSTEMI atau dengan angina tidak stabil berdasarkan ada tidaknya ezim jantung.

Perbedaan unstable angina, infark miokardial NSTEMI dan STEMI

Unstable Angina Myocardial Infarctrum


NSTEMI STEMI
Tipe gejala Cresendo, istirahat, Rasa tertekan yang lama dan nyeri
atau onset baru dada
Serum No Iya Iya
biomarker
EGC ST depresi atau ST depresi atau ST-elevasi
gelombang T invasi gelombang T (Gelombang Q
invasi later)

Jenis-jenis infark miokard yaitu:


1) Infark miokard subendokardial
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia
dan infark. Infark miokard subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial
yang relative menurun dalam waktu lama sebagai akibat perubahan derajat
penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi,
perdarahan, dan hipoksia.
2) Infark miokard transmural
Pada lebih dari 90% pasien miokard infark transmural berkaitan dengan thrombosis
koroner. Thrombosis sering terjadi di daerah yang mengalami penyempitan
arteriosklerotik.

Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara
lain:
1) Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak
aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan
nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2) Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan
aliran darah miokard.
3) Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal
sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4) a. Infark miokard tipe 4a: Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
b. Infark miokard tipe 4b: Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis.
5) Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark
miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

D. Etiologi
Menurut Corwin (2009), terlepasnya suatu plak aterosklerotik dari salah satu arteri
koroner dan kemudian tersangkut di bagian hilir yang menyumbat aliran darah ke seluruh
miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut, dapat menyebabkan infark
miokard. Infark miokard juga dapat terjadi apabila lesi trombotik yang melekat ke suatu
arteri yang rusak menjadi cukup besar untuk menyumbat secara total aliran ke bagian hilir,
atau apabila suatu ruang jantung mengalami hipertrofi berat sehingga kebutuhan
oksigennya tidak dapat terpenuhi.

E. Faktor Resiko
Ada beberapa faktor resiko terjadinya IMA yaitu, abnormalitas kadar serum
lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan,
diet dan alkohol, dan aktivitas fisik (Ramrakha, 2006).
a. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila
proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang.
Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya
kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
b. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang
perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000
kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006).
Menurut Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan.
c. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25- 49% penyakit
jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa
tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan
IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti
peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
d. Faktor Psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas
yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena
aterosklerosis (Ramrakha, 2006).
e. Diet rendah serat
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang
rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi
alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya
infark miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per
hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).
F. Patofisiologi
Arteri koroner kiri memperdarahi sebagian terbesar ventrikel kiri, septum dan atrium kiri.
Arteri koroner kanan memperdarahi sisi diafragmatik ventrikel kiri, sedikit bagian
posterior septum, dan ventrikel serta atrium kanan. Nodus SA lebih sering diperdarahi
oleh arteri koroner kanan daripada kiri (cabang sirkumfleks). Nodus AV 90 % diperdarahi
oleh arteri kanan dan 10 % dari sisi kiri (cabang sirkumfleks). Kedua nodus SA dan AV
juga mendapat darah dari arteri Kugel. Jadi obstruksi arteri koroner kiri sering
menyebabkan infark anterior, dan obstruksi arteri koroner kanan menyebabkan infark
inferior. Tetapi bila obstruksi telah terjadi di banyak tempat dan kolateral – kolateral telah
terbentuk, lokasi infark mungkin tidak dapat dicerminkan oleh pembuluh asal mana yang
terkena. AMI sulit dikenali pada 24 – 48 jam pertama, setelah ini serat – serat miokard
membengkak dan nuklei menghilang. Di tepi infark dapat terlihat perdarahan dan
bendungan. Dalam beberapa hari pertama daerah infark akut sangat lemah. Secara
histologis penyembuhan tercapai sekurang – kurangnya setelah 4 minggu, namun pada
umumnya setelah 6 minggu.
Proses terbentuknya plaque (aterosklerosis) banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, terutama kebiasaan hidup yang tidak baik, antara lain merokok, makan berlebihan
(obesitas), latihan fisik yang kurang, pengaruh psikososial, pada diit rendah serat, asupan
natrium, alkohol. Dari hal – hal tersebut akan menimbulkan penumpukan lemak yang
berlebihan, sehingga akan terbentuk kolesterol. Bila aktivitas manusia rendah, kolesterol
ini akan menumpuk di dalam lumen arteri koronaria dan terbentuklah plaque
(aterosklerosis). Plaque ini semakin lama semakin menebal dan bisa sampai menutupi
pembuluh darah koroner, sehingga jantung tidak mendapatkan suplai O2 dan nutrisi, yang
kriteria hasilnya akan terjadi infark miokard akut, gejala yang paling sering muncul
adalah adanya nyeri dada yang Kriteria khas.

G. Tanda dan Gejala


Menurut Corwin (2009), manifestasi klinis infark miokardium antara lain:
1) Nyeri dengan awitan yang biasanya mendadak, sering digambarkan memiliki sifat
meremukkan dan parah. Nyeri dapat menyebar ke bagian atas tubuh mana saja, tetapi
sebagian besar menyebar ke lengan kiri, leher, atau rahang.
2) Terjadi mual dan muntah yang mungkin berkaitan dengan nyeri hebat.
3) Perasaan lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke otot rangka.
4) Kulit yang dingin, pucat akibat vasokonstriksi simpatis.
5) Pengeluaran urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta peningkatan
aldosteron dan ADH.
6) Takikardia akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung.
7) Keadaan mental berupa perasaan sangat cemas disertai perasaan mendekati kematian
sering terjadi, mungkin berhubungan dengan pelepasan hormone stress dan ADH
(vasopressin).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang umum dilakukan medis pada fase serangan akut untuk memberi
implikasi keperawatan pada klien IMA, antara lain:
1) Penanganan nyeri berupa terapi farmakologis: morfin sulfat, nitrat, dan beta bloker.
2) Membatasi ukuran infark miokardium dengan upaya meningkatkan suplai darah dan
oksigen ke miokardium dan untuk memelihara, mempertahankan, atau memulihkan
sirkulasi. Keempat golongan utama yaitu antikoagulan (mencegah pembentukan
bekuan darah yang menyumbat sirkulasi), trombolitik (penghancur bekuan darah,
menyerang, dan melarutkan bekuan darah), antilipidemik/ hipolipidemik/
antihiperlipidemik (menurunkan konsentrasi lipid dalam darah), dan vasodilator perifer
(meningkatkan dilatasi pembuuh darah yang menyempit karena vasospasme secara
farmakologis berupa pemberian antiplatelet, antikoagulan, dan trombolitik).
3) Pemberian oksigen. Terapi oksigen dimulai saat terjadi onset nyeri. Oksigen yang
dihirup akan langsung meningkatkan saturasi darah.
4) Pembatasan aktivitas fisik. Pengurangan atau penghentian seluruh aktivitas pada
umumnya akan mempercepat pembebasan rasa sakit.

I. Pemeriksaan Penunjang
1) Imaging: X- ray dada, ekokardiografi, technetium-99m sestamibi scan, thallium
scanning, elektrokardiografi. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) memberikan
informasi mengenai elektrofisiologi jantung. Melalui pembacaan dari waktu ke waktu,
mampu memantau perkembangan dan resolusi suatu infark miokardium. Lokasi dan
ukuran relative infark juga dapat ditentukan dengan EKG. Pada EKG terdapat
gambaran gelombang Q yang patologis serta perubahan segmen ST-T dimana terdapat
ST elevasi, ST depresi, dan T terbalik (Muttaqin, 2009).

Hubungan perubahan EKG spesifik pada arteri koronaria


Daerah dinding Hantaran EKG (Lead) Arteri koronaria yang
ventrikel biasanya terlibat
Inferior Lead II, III; dan aVF Koronaria kanan
Lateral Lead I dan aVL Sirkumfleksa kiri
Anterolateral Lead V4-V6, lead I, Desenden anterior kiri
dan aVL
Anterior luas (ekstensif) Lead V1-V6, lead I dan Desenden anterior kiri
aVL
Anteroseptal V1 sampai V4 Desenden anterior kiri
Anterior terbatas V3-V5 Desenden anterior kiri
Posterior murni Bayangan cermin dari Sirkumfleksa kiri
lead V1, V2, dan V3

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi
miokard yang terkena. Bagi pria us ia≥40 tahun, S TEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi
segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun
(Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung
hingga lebih dari 2 minggu (Antman, 2005).
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-
normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis
Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di
sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20
menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi
gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI
(Tedjasukmana, 2010).
Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG

Lokasi Perubahan gambaran EKG


Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan
aVL
Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi
gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL
Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-
V6 (kadang-kadang I dan aVL).
Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF
Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3
True Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-
posterior V3. Gelombang T tegak di V1-V2
RV infarction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya
ditemukan konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya
tampak dalam beberapa jam pertama infark

2) Pemeriksaan laboratorium
Analisis enzim jantung dalam plasma merupakan bagian dari profil diagnostic yang
meliputi: riwayat, gejala, dan elektrokardiogram untuk mendiagnosis infark
miokardium. Troponin T (cTnT) dan troponin I (cTnT) merupakan indicator yang
sensitive dan spesifik untuk infark miokardium. Adanya peningkatan enzim SGOT,
CPK, LDH. Troponin (ada), Creatine kinase-MB (meningkat), Myglobin (meningkat),
Hitung darah lengkap (ditemukan leukocytosis), C-reaktif protein (CRP) (meningkat),
Erythrocyte sedimentation rate (ESR) (meningkat), Serum laktat dehidrogenase (LDH)
(meningkat) (Muttaqin, 2009).

J. Komplikasi
Menurut Price dan Wilson (2005), komplikasi dari infark miokardium antara lain:
1) Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan
kongesti vena sistemik.
2) Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif,
biasanya timbul mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan
akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi
seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti
paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin
menekan fungsi miokardium.
3) Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial
maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat
lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes
keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar
vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak
mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan
cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat
masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
4) Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau rupture nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup
mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik.
Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam
atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan
kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
5) Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum
sehingga terjadi defek septum ventrikel.
6) Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark
selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding
nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong
pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang
terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung.
Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
7) Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan
teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
8) Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang
merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural

intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. Emboli sistemik dapat
berasal dari ventrikel kiri. Sumbatan vascular dapat menyebabkan stroke atau infark
ginjal, juga dapat mengganggu suplai darah ke ekstremitas.
9) Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan
reaksi peradangan.
10) Aritmia
Pada aritmia, semua kerja jantung berhenti, terjadi kedutan otot yang tidak seirama
(fibrilasi ventrikel), terjadi kehilangan kesadaran mendadak, tidak ada denyutan, dan
bunyi jantung tidak terdengar.
1. a. Pathways
K. Data yang Perlu Dikaji
1) Anamnesis
A. Identitas klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku,
pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian,
sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status, alamat,
no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
B. Keluhan utama
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
C. Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
1) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan
istirahat.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien,
sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
3) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas
pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta
ketidakmampuan bahu dan tangan.
4) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang 0- 5
dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan. Biasanya pada
saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
5) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama timbulnya
(durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark
miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah dan
berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium
meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.
D. Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan
hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada

masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi di masa
lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.
E. Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota
keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung
iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko
utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
2) Pengkajian Data Per Sistem
A. B1 (Breathing)
Terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal, dan keluhan napas seperti tercekik.
Sesak napas terjadi akibat pergerahan tenaga dan disebabkan oleh kenaikan tekanan
akhir diastolic dari ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal
ini terjadi karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah ventrikel kiri pada
waktu melakukan kegiatan fisik. Biasanya terdapat dispnea kardia, dapat muncul
pada saat beristirahat bila keadaan sudah parah.
B. B2 (Bleeding) Inspeksi:
adanya parut
Palpasi: denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa komplikasi biasanya
tidak didapatkan.
Auskultasi: tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup
pada IMA. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya tidak didapatkan
pada IMA tanpa komplikasi.
Perkusi: tidak ada pergeseran batas jantung.
C. B3 (Brain)
Kesadaran biasanya komposmentis, tidak didapatkan sianosis perifer. Pengkajian
objektif klien berupa adanya wajah meringis, perubahan postur tubuh, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat
D. B4 (Bladder)
Pengukuran volume keluaran urin berhubungan dengan asupan cairan. Perlu
memantau oliguria pada klien IMA karena merupakan tanda awal dari syok
kardiogenik.
E. B5 (Bowel)
Kaji pola makan klien apakah sebelumnya terdapat peningkatan konsumsi garam dan
lemak. Adanya nyeri menyebabkan respon mual dan muntah. Palpasi abdomen
didaptkan nyeri tekan pada keempat kuadran. Penurunan peristaltic usus merupakan
tanda kardial pada IMA.
F. B6 (Bone)
Aktivitas, gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, gerak statis, dan jadwal
olahraga tidak teratur.
Tanda: takikarid, dispnea pada saat istirahat/aktivitas, dan kesulitan melakukan
tugas perawatan diri.

3. Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan cedera sel seluler
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kemampuan tubuh
menyediakan energi
e. Kelebihan voleume cairan berhubungan dengan retensi Na dan air
5. Rencana Tindakan Keperawatan

Tujuan dan Kriteria


No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil (NOC)
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama 3x24 1. Kaji karakteristik pasien secara 1. Membantu dalam menentukan status
dengan cedera jam nyeri berkurang atau PQRST nyeri pasien dan menjadi data dasar untuk
sel seluler hilang dengan kriteria 2. Lakukan manajemen nyeri sesuai intervensi dan monitoring keberhasilan
hasil: skala nyeri misalnya pengaturan intervensi
1. Mampu mengontrol posisi fisiologis 2. Meningkatkan rasa nyaman dengan
nyeri (tahu penyebab 3. Ajarkan teknik relaksasi seperti mengurangi sensasi tekan pada area yang
nyeri, mampu nafas dalam pada saat rasa nyeri sakit
menggunakan teknik datang 3. Hipoksemia lokal dapat menyebabkan
nonfarmakologi untuk 4. Ajarkan metode distraksi rasa nyeri dan peningkatan suplai oksigen
mengurangi nyeri) 5. Beri manajemen sentuhan berupa pada area nyeri dapat membantu
2. Melaporkan bahwa pemijatan ringat pada area sekitar menurunkan rasa nyeri
nyeri berkurang nyeri 4. Pengalihan rasa nyeri dengan cara
dengan menggunakan 6. Beri kompres hangat pada area distraksi dapat meningkatkan respon
manajemen nyeri nyeri pengeluaran endorphin untuk memutus
3. Mampu mengenali 7. Kolaborasi dengan pemberian reseptor rasa nyeri
nyeri (skala, analgesik secara periodik 5. Meningkatkan respon aliran darah pada
intensitas, frekuensi dan area nyeri dan merupakan salah satu
tanda nyeri) metode pengalihan perhatian
4. Menyatakan rasa 6. Meningkatkan respon aliran darah pada
nyaman setelah nyeri area nyeri
berkurang 7. Mempertahankan kadar obat dan
5. TTV dalam batas menghindari puncak periode nyeri
normal (TD: 120/80,
RR 16- 20x/mnt, Nadi
80- 100x/mnt, Suhu
36,5- 37,5oC)
2. Intoleransi Setelah dilakukan 1. Observasi adanya pembatasan 1. Memastikan aktivitas yang boleh
aktivitas tindakan keperawatan pasien dalam melakukan aktivitas dilakukan pasien sesuai dengan
berhubungan selama 3x24 jam pasien 2. Kaji adanya faktor kondisinya
dengan penurunan mengalami peningkatan yang menyebabkan 2. Meminimalkan terjadinya kelelahan
kemampuan tubuh aktivitas dengan kriteria 3. Sebagai sumber energi bagi pasien
kelelahan
menyediakan hasil: 4. Menjaga agar pasien tidak
3. Monitor nutrisi dan sumber
energi 1. Berpartisipasi dalam mengalami kelelahan secara
energi yang adekuat berlebihan
aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan 5. Sebagai acuan apakah pasien
boleh melanjutkan aktivitasnya
atau tidak
tekanan darah, nadi 4. Monitor pasien akan adanya 6. Memaksimalkan waktu istirahat dan
dan RR kelelahan fisik dan emosi tidur pasien sesuai kebutuhan
2. Mampu melakukan secara berlebihan 7. Membantu agar pasien dapat
aktivitas sehari hari 5. Monitor respon kardivaskuler berlatih beraktivitas secara
(ADLs) secara terhadap aktivitas (takikardi, bertahap
mandiri 8. Mendorong pasien agar mau
disritmia, sesak nafas,
berpartisipasi dalam aktivitasnya
3. Keseimbangan diaporesis, pucat, perubahan
9. Mencegah terjadinya cedera saat
aktivitas dan istirahat hemodinamik) beraktivitas 10.Memberikan reinforcement
4. Tanda-tanda vital 6. Monitor pola tidur dan positif ketika
dalam batas normal lamanya tidur/istirahat pasien telah mampu beraktivitas sesuai
(TD 120/80 mmHg, N: pasien latihan yang diberikan
60-100 x/mnt, RR: 16- 7. Kolaborasikan dengan Tenaga
20x/mnt, S: 36- 37,5o Rehabilitasi Medik dalam
C) merencanakan progran terapi
yang tepat
8. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
9. Bantu untuk mendapatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
10. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas

3. Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor vital sign 1. Sebagai salah satu cara untuk mengetahui
cairan keperawatan selama 3x24 2. Monitor berat badan peningkatan jumlah cairan yang dapat
berhubungan jam masalah kelebihan 3. Monitor elektrolit diketahui dengan meningkatkan beban
dengan retensi Na volume cairan dapat 4. Monitor tanda dan gejala edema kerja jantung yang dapat diketahui dari
dan air teratasi dengan kriteria 5. Kolaborasi pemberian diuretik meningkatnya tekanan darah
hasil: sesuai indikasi 2. Kelebihan BB dapat diketahui dari
1. Electrolit and acid base 6. Monitor input dan output cairan peningkatan BB yang ekstrim akibat
balance terjadinya penimbunan cairan ekstra
Terbebas dari edema, seluler
efusi, anasarka, terbebas 3. Untuk mengetahui jumlah elektrolit pasien
dari distensi vena 4. Untuk mengetahui keseimbangan cairan
jugularis, pasien
memelihara
tekanan vena
sentral,

tekanan kapiler paru, 5. Membantu memaksimalkan


output jantung dan vital pengeluaran cairan yang tertimbun di
sign dalam batas dalam tubuh pasien
normal. 6. Mengetahui keseimbangan cairan pada
2. Hydration pasien (Wilkinson, 2006)
Terbebas dari
kecemasan, kelelahan
atau bingung, tidak ada
dispneu atau orthopneu
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.


Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., Tiara, A. D.,
Hamsah, A., Patmini, E., Armilasari, E.,Yunihastuti, E., Madona, F., Wahyudi, I.,
Kartini, Harimurti, K., Nurbaiti, Suprohaita, Usyinara, & Azwani, W. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Riskesdas. (2013). Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan


RI. Riset Kesehatan Daerah. Jakarta: Riskesdas: 2013.

Anda mungkin juga menyukai