Di susun oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-
Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika dan Hukum Kesehatan tentang
Bidan Aborsi”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu hangat & menjadi perbincangan di
berbagai kalangan masyarakat, di banyak tempat & di berbagai negara, baik itu di dalam forum
resmi maupun forum-forum non-formal lainnya. Namun, terlepas dari kontorversi tersebut,
aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak
pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil
dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya aborsi juga
merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan
sepsis (Gunawan, 2000).
Sampai saat ini, banyak tanggapan yang berbeda-beda tentang aborsi. Para ahli agama, ahli
kesehatan, ahli hukum, & ahli sosial-ekonomi memberikan pernyataan yang masing-masing ada
yang bersifat menentang, abstain, bahkan mendukung. Para ahli agama memandang bahwa
apapun alasannya aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama karena bersifat
menghilangkan nyawa janin yang berarti melakukan pembunuhan, walaupun ada yang
berpendapat bahwa nyawa janin belum ada sebelum 90 hari. Ahli kesehatan secara mutlak belum
memberikan tanggapan yang pasti, secara samar-samar terlihat adanya kesepakatan bahwa aborsi
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan penyebab, masa depan anak serta alasan psikologis
keluarga terutama ibu, asal dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kondisi & syarat-syarat
tertentu. Begitu juga dengan ahli sosial kemasyarakatan yang mempunyai pandangan yang tidak
berbeda jauh dengan ahli kesehatan. Namun pada umumnya, para ahli-ahli tersebut menentang
dilakukannya aborsi buatan, meskipun jika berhadapan dengan masalah kesehatan (keselamatan
nyawa ibu) mereka dapat memahami dapat dilakukannya aborsi buatan. Dilihat dari adanya
undang-undang yang diberlakukan di banyak negara, setiap negara memiliki undang-undang
yang melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun pelarangannya tidak bersifat mutlak.
Di Indonesia sendiri Aborsi telah sesungguhnya telah diatur diantaranya dalam Undang-
Undang tentang Kesehatan Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi. Maka di dalam makalah ini, tim penyusun akan mengulas
mengenai Aborsi dilihat dari perspektif hukum di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan tentang aborsi di Indonesia?
2. Bagaimana ancaman pidana bagi pelaku aborsi dan yang membantu aborsi?
3. Bagaimana ancaman pidana bagi penjual obat aborsi?
4. Bagaimanakah reaksi masyarakat terhadap pelaku aborsi dan yang membantu aborsi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dimana saja aturan yang mengatur tentang Aborsi didalam hukum
Indonesia.
2. Untuk mengetahui apa saja ancaman pidana bagi pelaku aborsi dan yang membantu aborsi.
3. Untuk mengetahui apa saja ancaman pidana bagi penjual obat aborsi.
4. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan dan reaksi masyarakat di Indonesia terhadap pelaku
maupun yang turut membantu melakukan aborsi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aborsi
Kata aborsi diserap dari bahasa Inggris yaitu “abortion” yang berasal dari bahasa latin
yang berarti pengguguran kandungan atau keguguran. Menurut WHO, definisi aborsi adalah
penghentian kehamilan dengan alasan apapun sebelum buah kehamilan dapat bertahan hidup di
luar kandungan ibunya. Definisi menurut dunia kedokteran bahwa kelahiran janin di bawah 22
minggu dianggap sebagai aborsi. Hal ini dikarenakan janin yang memiliki berat di bawah 500
gram tidak mungkin hidup di luar kandungan.
1. Jenis-jenis Aborsi
Aborsi dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan alasannya :
1. Spontaneous Abortion
Proses ini dikenal dengan istilah keguguran yang merupakan proses keluarnya embrio
atau fetus akibat kecelakaan, ketidaksengajaan atau penyebab alami lainnya. Proses
terhentinya kehamilan ini terjadi tanpa campur tangan manusia. Aborsi spontan ini
sendiri terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan pengeluaran hasil konsepsi.
1. Abortus Incompletus
Kondisi di mana masih ada hasil konsepsi yang tertinggal di dalam rahim.
2. Abortus Completus
Pengeluaran keseluruhan hasil konsepsi dari rahim. Pada proses ini tidak ada yang
tertinggal di dalam rahim (complete).
3. Missed Abortion
Kondisi di mana hasil pembuahan mati di dalam rahim, tidak berkembang selama 8
minggu atau lebih.
2. Abortus Provocatus
Proses penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, yang
dilakukan dengan sengaja dengan tujuan tertentu. Abortus Provocartus sendiri dibagi
lagi menjadi :
1. Abortus Therapeuticus
Penghentian kehamilan pada saat di mana janin belum dapat hidup di luar
kandungan. Hal ini dilakukan demi kepentingan kesehatan si ibu, biasanya karena
ada gangguan kesehatan pada si ibu.
2. Eugenic Abortion
Proses penghentian kehamilan terhadap janin yang cacat. Sebelum melakukan proses
ini, dokter harus benar-benar melakukan pemeriksaan yang tepat mengenai keadaan
janin.
3. Abortus non-therapeticus
Proses penghentian kehamilan yang sengaja dilakukan tanpa indikasi medik. Proses
ini ilegal dan biasanya dilakukan karena ketidaksiapan menjadi orang tua.
2
2. Faktor Penyebab Aborsi
Faktor penyebab dari kejadian aborsi ini antara lain adalah:
a. Faktor ekonomi
Di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau menambah anak lagi
karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau dapat juga
karena kontrasepsi yang gagal.
b. Faktor penyakit herediter
Di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan
mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik.
c. Faktor psikologis
Di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus menanggung
akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah
(incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota
keluarga dalam lingkup rumah tangganya.
d. Faktor usia
Di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa &
matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus
membangun suatu keluarga yang prematur.
e. Faktor penyakit ibu
Di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus, seperti
penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu.
f. Faktor lainnya
Seperti para pekerja seks komersial, ‘perempuan simpanan’, pasangan yang belum
menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah
bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil.
3
Aborsi menurut konstruksi yuridis Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
adalah tindakan mengugurkan atau mematikan kandungan yang dilakukan dengan sengaja
oleh seorang wanita atau orang yang disuruh melakukan untuk itu. Wanita hamil dalam hal ini
adalah wanita yang hamil atas kehendaknya ingin mengugurkan kandungannya, sedangkan
tindakan yang menurut KUHP dapat disuruh untuk lakukan itu adalah tabib, bidan atau juru
obat. Pengguguran kandungan atau pembunuhan janin yang ada di dalam kandungan dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya: dengan obat yang diminum atau dengan
alat yang dimasukkan kedalam rahim wanita melalui lubang kemaluan wanita.
2. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Undang-Undang Kesehatan
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ditulis secara jelas bahwa aborsi
merupakan perbuatan yang dilarang kecuali dalam indikasi medis. Penjelasan Pasal 75 ayat
(2) huruf a dan b disebutkan “tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan
alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan.” Namun, hal ini dapat dikecualikan apabila ada indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa si
ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik beratdan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan atau
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagikorban
perkosaan. Pasal 76 butir b bahwa yang berwenag melakukan aborsi adalah tenaga kesehatan
yang memiliki keterampilan dan kewenagan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
Menteri. Undang-Undang Kesehatan tidak semua dokter boleh melakukan aborsi. Syarat
lainnya disebutkan dalam butir e, yakni penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Menteri. Bagaimana jika aborsi dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan pada Pasal 75 dan 76 undang-undang kesehatan tersebut? Ketentuan itu talah
diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan yakni: Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 75
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000.000.- (satu miliar).
3. Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan
Sebagai pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”). Ketentuan
legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan
(2) PP 61/2014 yang antara lain mengatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan
berdasarkan kehamilan akibat perkosaan dan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan
paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan [Pasal 34 ayat (2) PP
61/2014]:
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan. Adapun yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan Pasal 34
ayat (2) huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik,
dan pekerja sosial.
b. Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan
bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014. Ini berarti, pada
4
pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan aborsi berhak untuk mendapatkan
pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi tercermin
dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada intinya mengatakan bahwa tindakan aborsi
berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra
konseling dan pasca konseling. Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP
61/2014):
a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa
tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping
atau komplikasinya;
d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri
untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah
mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat (4) PP 61/2014):
1. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
2. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
3. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau
tindakan rujukan bila diperlukan; dan
4. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Dari tujuan-tujuan di atas sekiranya dapat kita peroleh hak-hak wanita korban
perkosaan yang ingin melakukan aborsi, antara lain yaitu hak untuk mendapatkan kejelasan
apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan, hak untuk mendapatkan kejelasan
tahapan tindakan aborsi dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk
memutuskan apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, hak untuk dievaluasi kondisinya setelah
melakukan aborsi, dan sebagainya.
Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan
aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk
dilakukan tindakan aborsi, korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor
selama masa kehamilan, demikian dikatakan dalam Pasal 38 ayat (1) PP 61/2014.
Di luar hal-hal yang berkaitan dengan aborsi, hak lain yang juga didapat oleh wanita
korban perkosaan yaitu mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah
kehamilan. Hal ini disebut dalam Pasal 24 ayat (1) PP 61/2014.
Untuk memperjelas tata laksana aborsi, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi
Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan telah dibentuk. Dalam Permenkes itu
disebutkan, pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab harus dilakukan
oleh dokter sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Dokter
tersebut telah mendapat pelatihan dan bersertifikat. Aborsi juga bisa dilakukan di puskesmas,
klinik pratama, klinik utama, atau yang setara, dan rumah sakit.
5
C. Ancaman pidana
1. Ancaman pidana bagi pelaku aborsi
Pasal 346 KUHP
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 194 UU Kesehatan
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam Bab 2 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam sistem
hukum di Indonesia telah ada aturan yang mengatur mengenai Aborsi. Yaitu :
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (sebagai
peraturan pelaksana dari UU Kesehatan)
4. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan
Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat
Perkosaan.
Dalam Pasal 75 UU Kesehatan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Pengecualian
terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam 2 kondisi berikut:
1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun hanya
dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/ atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Selain itu
aborsi hanya dapat dilakukan:
1. Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
4. Dengan izin suami, kecuali korbam perkosaan, dan
5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebut diatas merupakan aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan
B. Saran
Mengingat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan
dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat
Perkosaan telah memperjelas tata laksana aborsi di Indonesia.
Dalam Permenkes itu disebutkan, pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung
jawab harus dilakukan oleh dokter sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional. Dokter atau bidan tersebut telah mendapat pelatihan dan bersertifikat. Aborsi juga
bisa dilakukan di puskesmas, klinik pratama, klinik utama, atau yang setara, dan rumah sakit.
10
Sebagai warga negara yang baik kiranya kita tidak hanya melihat Permenkes itu hanya sebagai
wujud dari produk hukum semata melainkan atas dasar pertimbangan dan dari sudut pandang
bahwa pelayanan aborsi yang aman sangat penting guna untuk mengurangi angka kematian ibu.
Karena berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), terjadi 1,5 juta-2
juta kasus aborsi. Aborsi menyumbang 30 persen kasus kematian ibu. Penyebab kematian
kebanyakan terjadi karena melakukan aborsi yang tidak aman.
11
DAFTAR PUSTAKA
https://hukumkes.wordpress.com/2010/12/16/aborsi-menurut-hukum-di-indonesia/
https://carapedia.com/definisi_jenis_aborsi_keguguran_kehamilan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/51596/Chapter%20II.pdf;sequence=3
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt588ab88330a47/jerat-pidana-bagi-penjual-obat-aborsi
lifestyle.kompas.com/read/2016/02/26/161500423/Begini.Aturan.Aborsi.di.Indonesia
http://scdc.binus.ac.id/himslaw/2017/03/pengguguran-kandungan-menurut-hukum-di-indonesia/
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl1733/pasal-untuk-menjerat-ibu-yang-membunuh-bayinya-
karena-malu-
https://www.google.com/amp/m.tribunnews.com/amp/metropolitan/2016/02/24/lakukan-aborsi-
diancam-hukuman-penjara-10-tahun-dan-denda-rp-1-miliar
12