Anda di halaman 1dari 4

BIDAN sebagai motor penggerak Desa Siaga

30-Maret-2007
Visi Departemen Kesehatan RI adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat
yang merupakan suatu kondisi dimana masyarakat Indonesia menyadari, mau dan mampu untuk
mengenali, mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi sehingga dapat
bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit,akibat bencana maupun
lingkungan dan prilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Desa siaga adalah desa yang
penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah
dan mengatasi masalah-masalah kesehatan secara mandiri dalam rangka mewujudkan Desa
Sehat. Ada 7 kriteria desa siaga yaitu: 1. Memiliki sarana pelayanan kesehatan dasar (pos
kesehatan desa atau pondok bersalin desa). 2. Memiliki berbagai bentuk UKBM (upaya
kesehatan berbasis masyarakat) seperti posyandu, posyandu lansia, pos obat desa, posbindu
penyakit tidak menular, kelompok pemakai air, bina keluarga remaja, dll) 3.
Memilikisistempengamatanpenyakit dan faktor risiko berbasis masyarakat seperti pemantuan
jentik berkala, pengamatan balita gizi buruk, pengamatan adanya penyakit menular, dll. 4.
Memiliki sistem kesiap-siagaan dan penanggulangan kegawat-daruratan dan bencana berbasis
masyarakat, seperti adanya ambulan desa, kelompok transfusi darah, dll. 5. Memiliki sistem
pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat seperti dana what, dana aural what, tabungan ibu
bersalin, jaminan ibu bersalin, dll. 6. Memiliki lingkungan yang what, tersedia sumber air bersih,
jamban, pembuangan air limbah, rumah yang sederhana tetapi what, dll 7. Masyarakatnya sadar
gizi dan berperilaku hidup bersih dan what, makan makanan bergizi seimbang, cuci tangan
sebelum makan, tidak merokok, teratur

Upaya Menyelamatkan Hidup Ibu


Atika Walujani Moedjiono

Angka kematian ibu atau AKI di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Tenggara. Data tahun 2005
menunjukkan, AKI Indonesia 262 per 100.000 kelahiran hidup, sementara Malaysia 39 per
100.000 kelahiran hidup dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup. Bahkan, AKI Vietnam
tahun 2002 hanya 95 per 100.000 kelahiran hidup.

Padahal, ibu merupakan pemelihara keluarga termasuk anak. Kematian ibu akan sangat
berpengaruh pada kualitas kesehatan anak yang merupakan generasi mendatang.

Di negara miskin, sekitar 25-50 persen kematian perempuan usia subur disebabkan oleh
masalah terkait kehamilan, persalinan, dan nifas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan, di seluruh dunia lebih dari 585.000 ibu meninggal tiap tahun saat hamil atau
bersalin. Artinya, setiap menit ada satu perempuan meninggal. Padahal, lebih dari 50 persen
kematian itu bisa dicegah dengan teknologi yang ada dengan biaya relatif rendah.

Menurut paket informasi Program Safe Motherhood di Indonesia yang dikeluarkan Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan (2002), penyebab tertinggi
kematian ibu adalah perdarahan, yaitu sebesar 45,2 persen (Survei Kesehatan Rumah Tangga
1995). Penyebab lain adalah eklamsia (kejang dan penurunan kesadaran pada perempuan
karena kehamilan), komplikasi abortus, infeksi, proses persalinan terlalu lama, serta penyebab
lain.

Hal itu umumnya terjadi pada persalinan yang ditolong bukan oleh tenaga kesehatan terlatih,
dalam hal ini dukun. Jika ada kesulitan dalam persalinan, ibu dan keluarga terlambat mengenal
tanda bahaya sehingga terlambat mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan
serta terlambat mendapat pertolongan medis.

Masalah kematian ibu mendapat banyak perhatian di tataran internasional. Sejumlah konferensi
digelar sejak tahun 1987 untuk membahas upaya peningkatan kesehatan dan menekan jumlah
kematian ibu.

Pertengahan tahun 1996, pemerintah lewat Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita
meluncurkan Gerakan Sayang Ibu (GSI), suatu upaya advokasi dan mobilisasi sosial untuk
mendukung upaya percepatan penurunan AKI. Kegiatan utama GSI adalah menghilangkan
hambatan akses terhadap pelayanan kesehatan ibu dan rujukannya. Antara lain kegiatan
penyediaan ambulans desa, donor darah masyarakat, dan tabungan ibu bersalin.

Tahun 1999 WHO meluncurkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) didukung badan-badan
internasional, seperti UNFPA, Unicef, dan Bank Dunia. MPS menekankan agar pemerintah dan
masyarakat di setiap negara memerhatikan penyediaan dan peningkatan akses masyarakat
terhadap pelayanan kebidanan esensial.

Hal ini disambut Pemerintah Indonesia dengan mencanangkan MPS pada tahun 2000 untuk
mencapai target penurunan AKI hingga 125 per 100.000 kelahiran hidup pada 2010. Ada tiga
kegiatan utama dalam MPS di Indonesia, yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
terlatih, setiap komplikasi mendapat pelayanan rujukan yang memadai, dan setiap perempuan
usia subur dapat mengakses upaya pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan serta
penanganan komplikasi aborsi.

Untuk dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap upaya penurunan AKI, menurut Direktur
Kesehatan Ibu Departemen Kesehatan Sri Hermiyanti, puskesmas sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan diarahkan untuk mampu memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetri
dan neonatal dasar. Sementara rumah sakit daerah diarahkan menjadi pusat rujukan medis
untuk memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif.

Tenaga kesehatan terlatih

Secara bertahap pertolongan persalinan diarahkan untuk ditolong bidan. Lewat kemitraan bidan-
dukun, dukun yang secara tradisional menolong persalinan diarahkan untuk membantu bidan
mengurus ibu dan bayi pascapersalinan normal. Dengan demikian, persalinan bisa memenuhi
persyaratan sterilitas dan aman.

Ada crash program untuk menempatkan bidan di desa. Menurut Sri Hermiyanti, mereka diberi
pembinaan teknis profesi kebidanan secara berkala berupa pelatihan asuhan persalinan normal,
keterampilan dalam kegawatdaruratan obstetri dan neonatal, penanganan kasus rujukan, dan
sebagainya.

Pelatihan dilakukan bersama Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi dengan
anggota antara lain Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia (POGI).

Bidan Estu Utami di Kabupaten Ngawi dan bidan Eros Rosita di Kabupaten Lebak menuturkan,
mereka telah mendapatkan pelatihan, antara lain mengenai asuhan persalinan normal,
pelayanan kegawatdaruratan neonatal, dan pemasangan alat kontrasepsi untuk keluarga
berencana.
Eros beruntung mendapatkan beasiswa dari Project Health Province (PHP) II untuk melanjutkan
pendidikan D-3 Kebidanan. Menurut Eti Suhaeti, Kepala Seksi Kesehatan Ibu Dinas Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial Lebak dan Ketua IBI Kabupaten Lebak, ada 40 dari 203 bidan di Lebak
serta 40 lulusan SMA mendapatkan beasiswa untuk jenjang pendidikan D-3 Kebidanan.
"Tujuannya, untuk meningkatkan kemampuan para bidan. Adapun bidan baru akan ditempatkan
di daerah terpencil sebagai bidan kontrak," ujar Eti.

Salah satunya akan bertugas memberikan pelayanan kesehatan di Desa Kanekes, tanah ulayat
warga Baduy, membantu bidan Eros Rosita yang terlebih dulu bertugas. Secara geografis,
kampung-kampung warga Baduy sulit dicapai.

Sebagian besar Desa Kanekes yang luasnya 5.100 hektar itu masih berupa hutan. Sementara
adat masyarakat setempat mengharamkan penggunaan kendaraan bermotor maupun hewan
berkaki empat.

Mau tak mau perjalanan untuk melakukan pelayanan kesehatan dilakukan dengan berjalan kaki
sambil mengangkut peralatan medis, obat, dan makanan tambahan bagi anak balita.

Menurut Eti, kesulitan yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan di komunitas Baduy adalah
tradisi yang sulit ditembus. Mereka tak akan minta pertolongan tenaga kesehatan kecuali untuk
kasus gawat darurat. Karena itu, paraji (dukun beranak) masih berperan penting dalam menolong
persalinan. Karena itu, paraji dibina untuk asuhan persalinan normal sederhana.

Eti menuturkan, kondisi itu sudah merupakan kemajuan dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Dulu
warga Baduy Dalam menolak untuk diimunisasi, apa lagi meminta obat atau susu.

Lewat pendekatan bertahap, mengenalkan konsep kesehatan dengan tetap menghormati tradisi,
masyarakat Baduy Dalam mulai terbuka dan memercayai petugas kesehatan.

Setelah PHP II yang dibiayai ADB berakhir, tahun ini ada District Team Problem Solving-Making
Pregnancy Safer (DTPS-MPS) dari Unicef.

Pada prinsipnya proyek ini bertujuan meningkatkan kemampuan manajemen kesehatan daerah
untuk melakukan analisis situasi, analisis masalah, merencanakan solusi termasuk pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi dan membuat proposal untuk pendanaan kegiatan MPS.

Bidan Estu di Ngawi tidak seberuntung Eros. Hal ini mungkin karena pelayanan kesehatan di
Kabupaten Ngawi dinilai sudah cukup maju dibandingkan dengan Kabupaten Lebak.

Menurut Estu, umumnya bidan di Ngawi melanjutkan pendidikan ke Akademi Kebidanan Ngawi
secara swadaya. Biaya pendidikan cukup terjangkau, yaitu uang masuk Rp 5 juta dan biaya
kuliah Rp 2,5 juta per semester. Kuliah dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu sehingga hari
biasa bisa tetap bekerja.

Kerja sama

Menurut Sri Hermiyanti, WHO memberikan banyak bantuan teknis, antara lain membantu
pengembangan modul pendidikan dan latihan, standar untuk pelayanan kebidanan, pencegahan
dan penanggulangan penyakit menular seksual di pelayanan kesehatan ibu dan anak, kesehatan
reproduksi remaja, dan sistem rujukan tingkat kabupaten/kota.
Unicef membantu program penurunan AKI dengan memberdayakan unit perencanaan daerah
(Bappeda) agar mampu mengalokasikan semua dana yang terkait dengan kesehatan ibu dan
anak pada intervensi yang paling efektif dan efisien.

Badan internasional lain seperti AusAID, USAID, GTZ, JICA, dan ADB juga mempunyai program
untuk percepatan penurunan AKI serta pengembangan kesehatan ibu dan anak.

Pada akhirnya, selain upaya pengembangan standar, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
dan fasilitas pelayanan kesehatan, peningkatan kesehatan ibu dan anak sangat tergantung pada
komitmen pemerintah daerah.

Perhatian untuk pelaksanaan kegiatan dan alokasi dana pendamping untuk kelancaran kegiatan
pelayanan kesehatan akan menentukan keberhasilan upaya menekan angka kematian ibu dan
bayi.

Hal ini dibuktikan oleh Kabupaten Ngawi yang secara konsisten memberikan perhatian termasuk
alokasi dana dari APBD. Hasilnya, tahun 2006 sebanyak 99 persen persalinan ditolong tenaga
kesehatan dan kematian ibu menurun secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai