UNIVERSITAS JAMBI
NIM N1A119112
Tanggal Pengumpulan
24 DESEMBER 2020
Terakhir
Keterangan:
ya susun adalah hasil kerja sendiri. Materi yang digunakan untuk pembuatan tugas ini dirangkum dari berbagai sumber dan
PENGARUH TINDAKAN ABORSI PADA KORBAN
PEMERKOSAAN TERHADAP PERSPEKTIF ETIKA PROFESI
KESEHATAN DALAM PELAKSAAN HUKUM KESEHATAN
DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH:
NIM : N1A119112
KELAS : 3D
UNIVERSITAS JAMBI
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pengaruh
Tindakan Aborsi Pada Korban Pemerkosaan Terhadap Perspektif Etika Profesi
Kesehatan Dalam Pelaksaan Hukum Kesehatan ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai pengaruh tindakan aborsi pada korban pemerkosaan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Penulis nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1.Kesimpulan........................................................................................................
2.Saran ..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1
masalah yang cukup pelik, karena menyangkut banyak aspek kehidupan manusia
yang berkaitan dengan etika, moral dan agama serta hukum.
Tidak semua kehamilan yang diharapkan kehadirannya oleh sebagian
perempuan yang sedang menjalani kehamilannya. Setiap tahunnya, dari 175 juta
kehamilan yang terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang
mengalami kehamilan tak diinginkan. Banyak hal yang menyebabkan seorang
perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena perkosaan,
kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam
kandungan menderita cacat berat, kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan
sebagainya. Ketika seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan
(KTD), diantara jalan keluar yang ditempuh adalah melakukan upaya aborsi,
baik yang dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Banyak
diantaranya yang memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya dengan mencari
pertolongan yang tidak aman sehingga mereka mengalami komplikasi serius
atau kematian karena ditangani oleh orang yang tidak kompeten atau dengan
peralatan yang tidak memenuhi standar.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan pengaturan tindak aborsi menurut UU Kesehatan dengan
KUHP.
2. Memaparkan apa saja kriteria tindakan aborsi menurut KUHP.
3. Mendeskripsilan bentuk hukuman terhadap pelaku tindakan aborsi dari segi
hukum kesehatan.
4. Menggambarkan perencanaan perlindungan hukum terhadap tindak pidanan
aborsi bagi korban perkosaan
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
A. Dari segi teoritis
1. Secara teoritis, penulisan makalah ini diharapkan untuk lebih
memperkaya ilmu pengetahuan penulis dalam bidang Etika Hukum
Kesehatan
2. Mengetahui lebih banyak mengenai tindakan aborsi dan hukuman yang
dapat diberikan kepada pelaku aborsi, sesuai dengan arahnya terhadap
perspektif hukum kesehatan.
B. Dari segi praktis
1. Untuk mengajak dan meningkatkan wawasan para pembaca terutama
penulis
2. Menerapkan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan dan
menghubungkannya dalam perencanaan di bidang hukum kesehatan.
BAB II
PEMBAHASA
A. Pasal 75.
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan,baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapatdiperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup
di luar kandungan;atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologisbagi korbanperkosaan.
3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan
diakhiridengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor
yangkompeten dan berwenang.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan,sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan PeraturanPemerintah.
B. Pasal 76.
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haidterakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
yangmemiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
olehMenteri.
C. Pasal 77.
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak
bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan
dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Sangat berbeda dengan KUHP yang sama sekali tidak memberikan ruang
sedikit pun terhadap pelaku penindakan aborsi, sementara disatu sisi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan masih
memberikan ruang terhadap pelaku terjadinya aborsi.
Jika dibandingakan dengan rumusan Pasal 75 Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tampaklah bahwa dengan jelas Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 melarang aborsi kecuali untuk jenis abortus
provocatus medicalis (aborsi yang dilakukan dengan sengaja untuk
menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya dengan berdasarkan
persetujuan dari pihak yang bersangkitan). Dalam dunia kedokteran aborsi
provocatus dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga
dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat
berat dan diindikasikan tidak dapat hidup di luar kandungan, misalnya janin
menderita kelainan Ectopia Kordalis (janin yang akan dilahirkan tanpa
dinding dada sehingga terlihat jantungnya), Rakiskisis (janin yang akan lahir
dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun Anensefalus
(janin akan dilahirkan tanpa otak besar).
Perkosaan merupakan suatu kejadian yang amat traumatis untuk seorang
perempuan yang menjadi korban. Banyak sekali korban perkosaan yang
membutuhkan waktu lama untuk mengatasi pengalaman traumatis ini, dan
mungkin ada juga yang tidak pernah lagi kembali ke keadaan normal seperti
sebelumnya. Jika perkosaan itu ternyata mengakibatkan kehamilan,
pengalaman traumatis itu bertambah besar lagi.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi menyatakan bahwa Negara pada prinsipnya melarang tindakan
aborsi, larangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Tindakan aborsi pada beberapa kondisi
medis merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan tenaga medis
untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan
kesehatan atau komplikasiyang serius pada saat kehamilan. Pada kondisi
beberapa akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban perkosaan
akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Dan kehamilan akibat
perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah
mengalami trauma berat peristiwa perkosaan tersebut.
Trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi
perkembangan janin yang dikandung korban. Sebagaian besar korban
perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan
menginginkan untuk melakukan aborsi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan
pidana yang ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan aborsi.
Negara harus melindungi warganya dalam ini perempuan yang melakukan
aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta
melindungi tenaga medis yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi
berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
Alasan sebagaimana diuraikan diatas menjadikan aborsi hanya dapat
dilakukan secara kasuistik dengan alasan sesuai Pasal 75 ayat (2) diatas,
tidak dapat suatu aborsi dilakukan dengan alasan malu, tabu, ekonomi,
kegagalan KB atau kontrasepsi dan sebagainya. Undangundang hanya
memberikan ruang bagi aborsi dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.
Berdasar Pasal 75 tersebut, tindakan aborsi tidak serta merta dapat
dilakukan walaupun alasan-alasannya telah terpenuhi. RumusanPasal 75 ayat
(3) menyatakan bahwa tindakan aborsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang. Rumusan pasal tersebut
menegaskan bahwa sebelumdilakukan aborsi harus dilakukan tindakan
konsultasi baik sebelum maupun setelah tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang berkompeten dan berwenang.
Penjelasan Pasal 75 ayat (3) menyebutkan bahwa yang dapat menjadi
konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap
orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu, yang
telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.
Penjelasanayat ini menerangkan betapa pentingnya seorang konselor yang
akan memberikan penasehatan sebelum ataupun sesudah dilakukan tindakan.
Hal ini penting mengingat aborsi adalah tindakan yang sangat berbahaya
yang jika tidak dilakukan dengan benar akan membawa dampak kematian
serta beban mental yang sangat berat bagi si wanita.
Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab,
demikian bunyi Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014. Praktik aborsi yang dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggung
jawab itu, menurut Peraturan Pemerintah ini, meliputi dilakukan oleh dokter
sesuai dengan standar; dilakukan di fasilitasi kesehatan yang memenuhi
syarat yang ditetapkan menteri kesehatan; atas permintaan atau persetujuan
perempuan hamil yang bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban
perkosaan; tidak diskriminatif; dan tidak mengutamakan imbalan materi.
Terjadinya aborsi bisa secara alami dan tidak disengaja, bisa juga karena
suatu kesengajaan. Pengguguran kandungan atau aborsi yang sengaja
dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dan cara-cara medis tertentu
atau dengan cara tradisional. Pengguguran atau aborsi kandungan pada
umumnya dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan yang tidak
berprikemanusiaan dan melanggar hukum.
Subjeknya yaitu seorang wanita yang sedang hamil atau yang sedang
mengandung. Tanpa mempersoalkan apakah seorang wanita itu mempunyai
suami yang sah atau tidak. Dari judul Bab XIX kejahatan terhadap jiwa,
berarti bahwa yang didalam kandungan itu adalah yang sudah mempunyai
jiwa atau lebih tepat adalah masih hidup. Wanita pelaku dari kejahatan ini
dapat berupa pelaku tunggal dan dapat juga sebagai pelaku dalam rangka
penyertaan sebagaiman ditafsirkan dari perumusan : atau menyuruh orang
lain dalam hal ini wanita tersebut dapat berupa penyuruh, pelaku-peserta,
pelaku-penggerak atau pelaku utama dimana yang lain berturut-turut berupa:
yang disuruh, pelaku peserta yang digerakkan atau pembantu. Apabila
terhadap wanita itu diterapkan Pasal 346, maka kepada yang disuruh itu
(kecuali jika sama sekali tiada kesalahan padanya) diterapkan Pasal 348.
Subjeknya di sini adalah barangsiapa, tetapi dalam hal ini tidak termasuk
wanita hamil itu sendiri. Karena jika ia sendiri yang melakukan, terhadapnya
diterapkan Pasal 346 yang maksimum ancaman pidananya lebih ringan. Jelas
terlihat dibedakan antara wanita hamil itu sendiri sebagai pelaku dan orang
lain sebagai pelaku kendati atas persetujuan wanita itu sendiri. Dalam rangka
penerapan Pasal 348 perlu diperhatikan, bahwa jika wanita itu memberikan
persetujuannya sama saja dengan bahwa wanita tersebut telah melakukan
Pasal 346, Pasal 349 KUHP.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan
Subjeknya adalah dokter, bidan atau tukang obat. Mereka ini adalah
subjek khusus, tindakan yang dilakukan adalah :
Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang terdapat
dalam Pasal-Pasal tersebut:
Pasal 75:
Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
Pasal 77:
Hukum pidana dengan jelas menyebut sanksi hukum bagi pelaku dan
orang yang turut serta melakukan aborsi. Pengecualian diberikan apabila ada
alasan-alasan pembenar yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 44, 48, 50 dan 51 serta alasan kedaruratan medis
(kesehatan) serta psikologis yang terdapat dalam Pasal 75 Undang-undang No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan adanya ketentuan dalam UU
Kesehatan yang baru, alasan psikologis dapat dijadikan sebagai legalisasi dari
perbuatan abortus.
Selain itu tindakan medis terhadap aborsi KTD akibat perkosaan hanya
dapat dilakukan apabila:
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengaturan Terkait tindakan Aborsi diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dimana Aborsi berdasarkan
indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan
dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
2. Tindakan hukum terhadap aborsi terdapat pengecualian yaitu: Indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan Kehamilan
akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan masih tetap
memberikan ruang terhadap terjadinya aborsi, sementara Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat bebrbeda dengan UU No. 36 Tahun
2009. Dimana KUHP tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap tindakan
aborsi. Artinya KUHP tidak melegalkan tindakan aborsi di Indonesia tanpa
terkecuali.
4. Tindakan aborsi harus berdasarkan persetujuan si calon ibu atau jika ada
suaminya maka harus meminta persetujuan dari suaminya juga dan aborsi
harus dilakukan di tempat-tempat layanan kesehatan yang resmi.
3.2 Saran
Untuk mengurangi tindakan aborsi maka ada beberapa hal yang harus kita
lakukan, terutama sebagai tenaga kesmas.
1. Memberikan edukasi seks di kalangan remaja.
2. Menanamkan kembali nilai-nilai moral sosial dan juga keagamaan akan
penting dan mulianya untuk menjaga kehormatan diri.
3. Menguatkan kembali kontrol sosial di masyarakat.
4. Para pelaku yang telah melakukan aborsi juga tak dapat dipandang sebelah
mata
DAFTAR PUSTAKA
1. Ida Bagus Made Putra Manohara. Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak
Pidana Aborsi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku
( Kitab Hukum Pidana Dan Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan). J Hukum Volk Geisth. 2018 Desember: 3(1): 1-14
2. Srykurnia Andalangi. Tindakan Aborsi Dengan Indikasi Medis Karena
Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan. J Lex Crimen. 2015 Oktober:
4(8): 94-102
3. Clifford Andika Onibala. Tindakan Aborsi Yang Dilakukan Oleh Dokter
Dengan Alasan Medis Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
J Lex et Societatis. 2015 Mei: 3(4): 81-88
4. Meliza Cecillia Ladur. Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Aborsi Menurut
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. J Lex Crimen: 2016 Juli: 5(5):
151-158
5. Indriana Alfiyah M. Pencegahan Aborsi dan Resiko Bahaya Kesehatan di
Kalangan Remaja. 2020 Feruari: 1-5
6. Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. Ketentuan Aborsi Bagi Korban
Pemerkosaan. Charles Situmorang, S.H. Rabu, 21 Pebruari 2018 diambil
dari: https://www.hukumonline.com
Lembar Paraphrase
Nomor Daftar Pustaka Tulisan Asli Hasil Paraphrase
4 Berbeda dengan KUHP yang tidak Sangat berbeda dengan KUHP
memberikan ruang sedikit pun yang sama sekali tidak
terhadap tindakan aborsi, Undang- memberikan ruang sedikit pun
Undang Nomor 36 Tahun 2009 terhadap pelaku penindakan aborsi,
tentang Kesehatan memberikan sementara disatu sisi Undang-
ruang terhadap terjadinya aborsi. Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan masih
memberikan ruang terhadap pelaku
terjadinya aborsi.