Anda di halaman 1dari 16

Clinical Science Session

Penentuan Post Mortem Interval Dengan Pendekatan Analisis Larva Lalat


Pada Kasus Jenazah Busuk Lanjut

Oleh :
Diah Fitriani Rosyid 0810312035
Hidayatul Ilma 1210312032
M. Khairul Faraby 1310311091
Rizkha Amaliya 1310312031
Nadia Puspita Dewi 1310312057
Septriyan Dwi Malta 1310312076

Preseptor :
dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


PERIODE 7 AGUSTUS– 6 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT dan shalawat


beserta salam untuk Nabi Muhammad SAW, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah Clinical Science Session dengan judul “Penentuan Post Mortem
Interval Dengan Pendekatan Analisis Larva Lalat Pada Kasus Jenazah Busuk Lanjut”.
Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Di dalam
makalah ini dipaparkan informasi mengenai penentuan post mortem interval dengan analisis
larva lalat dan telaah kritis dari clinical science session tersebut.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada preseptor dr.
Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.F yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah
ini. Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada Bapak.
Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan
makalah clinical science session ini. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran dari
berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini.
Padang, 28 Agustus 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar.......................................................................................................

Daftar Isi ...............................................................................................................

Daftar Gambar.......................................................................................................

Abstrak .................................................................................................................

Bab 1 Pendahuluan............................................................................................

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1. Tanatologi................................................................................................
2.2. Proses Pembusukan.................................................................................
2.3. Post Mortem Interval..............................................................................
2.4. Larva Lalat..............................................................................................
2.5. Penentuan Post Mortem Interval Dengan Analisis Larva Lalat..............
Daftar Pustaka.......................................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 .......................................................................................................


Gambar 2.2 .......................................................................................................
Gambar 2.3 .......................................................................................................
Gambar 2.4 .......................................................................................................
Gambar 2.5 .......................................................................................................
ABSTRAK
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Lama waktu kematian dapat ditentukan dengan mengidentifikasi perubahan-

perubahan yang terjadi pada mayat, baik perubahan internal maupun eksternal. Dalam

penentuan waktu kematian, pemeriksaan yang sering dilakukan yaitu pemeriksaan tanda

pasti kematian berupa lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh, serta

pembusukan. Tetapi pada penemuan mayat yang sudah lama mengalami kematian dan

telah membusuk, tanda-tanda tersebut menjadi sulit diidentifikasi. Salah satu alternatif yang

dapat digunakan pada pemeriksaan mayat yang telah membusuk yaitu jika terdapat organisme

yang berkembang biak pada mayat tersebut.1

Entomologi forensik adalah suatu metode identifikasi mayat dengan menggunakan

serangga untuk memprediksi waktu kematian. Entomologi forensik penting untuk

menentukan cara kematian, sebab kematian, perpindahan mayat dari satu tempat ke tempat

lain, post mortem interval (PMI), tempat pembuangan mayat, apakah terdapat kekerasan dan

penelantaran, dan apakah terdapat masalah kesehatan masyarakat.2,3,4

Post mortem interval (PMI) adalah waktu sejak kematian terjadi pada seorang

manusia ataupun hewan sampai dilakukannya pemeriksaan. 5,6 Perkiraan yang akurat terhadap

PMI merupakan hal yang penting untuk membantu kesuksesan dalam investigasi kematian,

baik yang karena kriminal maupun non-kriminal. Pengetahuan tentang waktu kematian ini

sangat berguna untuk menyusutkan tersangka pembunuhan. Saat kematian dapat memiliki

implikasi yang penting bahkan pada kasus kematian yang normal. Dalam dunia forensik,

berbagai cara dapat dilakukan untuk menentukan saat kematian, antara lain dengan

menentukan umur larva lalatyang terdapat pada mayat.7,8


Siklus hidup lalat secara umum yaitu telur-larva-pupa-lalat. Periode antara lalat

bertelur dan membentuk stadium perkembangan tertentudapat digunakan untuk membantu

memperkirakan lama waktu kematian. Jenis lalat mempengaruhi periode tersebut, karena

jenis lalat mempengaruhi waktu peletakkan telur atau larva pada mayat. Terdapat dua

kelompok terbanyak dari serangga yang sering ditemukan pada mayat yang telah membusuk

yaitu kelompok Diptera (true flies) dan Coleoptera (beetles).1,3 Perkembangan larva lalat

dipengaruhi banyak hal, diantaranya makanan, musim, suhu lingkungan, panas yang

dihasilkan dari pergerakan larva, letak geografis, kontaminan (racun) dan kelembaban.8

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai tentang pembusukan pasca kematian, post mortem

interval (PMI), larva lalat dan hubungannya dengan penentuan PMI pada mayat yang telah

mengalami pembusukan.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang pembusukan pasca

kematian, post mortem interval (PMI), larva lalat dan hubungannya dengan penentuan PMI

pada mayat yang telah mengalami pembusukan.

1.4 Metode Penulisan


Metode referat ini adalah dengan tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai

literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanatologi
Tanatologi atau yang secara umum dikenal sebagai science of death merupakan ilmu

yang penting dikuasai oleh ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter yang bukan ahli

kedokteran kehakiman. Tanatologi mempelajari perubahan-perubahan setelah kematian yang

sangat bermanfaat dalam menentukan apakah seseorang sudah meninggal atau belum, dan

menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, serta membedakan perubahan post

mortal dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.9
Menentukan saat kematian adalah hal yang penting untuk dilakukan baik pada kasus

kriminal atau sipil. Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada

seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.

Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting khususnya

bila dikaitkan dengan proses penyidikan, dengan demikian penyidik dapat lebih terarah dan

selektif di dalam melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka pelaku tindak pidana.

Tanda-tanda kematian dibagi atas tanda kematian pasti dan tidak pasti. Tanda kematian tidak

pasti adalah penafasan berhenti, sirkulasi terhenti, kulit pucat, tonus otot menghilang dan

relaksasi, pembuluh darah retina mengalami segmentasi dan pengeringan kornea. Sedangkan

tanda pasti kematian adalah lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan

suhu tubuh (algor mortis), pembusukan, mumifikasi.10,11,12


Lingkungan merupakan penentu utama terjadinya pembusukan pada tubuh, dimana

tubuh tertimbun oleh tanah, terendam oleh air,dan tidak terkena sinar matahari. Pembusukan

berhubungan dengan berbagai macam bau. Bau ini berasal dari pembusukan tubuh yang tidak

bisa digambarkan. Tubuh yang bau pada tahap pembusukan diakibatkan karena menghasilkan

gas yang tinggi pada tubuh setelah beberapa jam kematian. Pada suhu ruangan, perut kanan

bagian bawah akan berubah warna hijau setelah 24 jam kematian dan seluruh tubuh setelah

36 jam kematian.13
2.2. Pembusukan Pasca Kematian
Pembusukan adalah suatu keadaan dimana tubuh mengalami dekomposisi yang terjadi

akibat autolisis dan aktivitas mikroorganisme. Dekomposisi mencakup dua proses, yaitu

autolisis dan putrefaksi. Autolisis adalah keadaan perlunakan dan pencairan sel dan organ

tubuh yang terjadi pada proses kimia yang steril dikarenakan oleh enzim-enzim intraseluler

yang dilepaskan oleh sel-sel yang sudah mati. Proses kedua yaitu putrefaksi, dimana lebih

dikenal dengan istilah pembusukan. Proses ini disebabkan oleh mikroorganisme, terbanyak

disebabkan oleh bakteri Clostridium Welchii, yang sering ditemukan pada sistem

pencernaan.14

Proses pembusukan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor luar dan faktor dalam.

Faktor luar diantaranya, mikroorganisme, suhu disekitar mayat, kelembapan udara dan

medium dimana mayat berada.14 Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat membusuk

dibandingkan dengan yang terdapat di dalam air dan di dalam tanah. Kecepatan pembusukan

menurut hukum Casper di udara : air : tanah yaitu 1 : 2 : 8. Artinya adalah mayat yang

dikubur akan membusuk 8 kali lebih lambat dari mayat di udara terbuka dan 4 kali lebih

lambat dari pada mayat dalam air.15 Sedangkan faktor dalam diantaranya umur, sebab

kematian dan keadaan mayat.14

Tanda awal dari pebusukan akan tampak diskolorasi pewarnaan hijau pada kuadran

bawah abdomen, dimana bagian kanan lebih sering daripada bagian kiri. Biasanya akan

terjadi pada 24-36 jam setelah kematian. Di daerah kuadran kanan bawah, terdapat sekum

dimana di daerah tersebut banyak mengandung cairan dan bakteri. Selain itu letak usus

tersebut memang dekat dengan dinding perut. Pewarnaan kehijauan tersebut juga akan terjadi

pada daerah kepala, leher, dan bahu. Warna hijau tersebut disebabkan oleh karena

terbentuknya sulf-Hb, dimana H2S yang berasal dari pemecahan protein akan bereaksi

dengan Hb yang akan membentuk Hb-S dan Fe-S.14,16,17


Bakteri yang masuk dan berkembang biak pada pembuluh darah menyebabkan

hemolisis karena adanya reaksi hemoglobin dan hidrogen sulfida. Hasil reaksi ini akan

mewarnai dinding permbuluh darah dan jaringan sekitarnya menjadi hitam kehijauan

(marbling). Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang mengisi pembuluh darah

sehingga menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah vena superfisial. Hal ini

menyebabkan pembuluh darah dan cabang-cabangnya nampak lebih jelas seperti pohon

gundul (aborescent pattern atau aborescent mark).14,17

Pada minggu kedua kulit ari akan mudah terlepas bila tergeser atau tertekan karena

terbentuknya gelembung-gelembung pembusukan yang merupakan kelanjutan dari perubahan

tersebut. Gelembung-gelembung pembusukan berisi cairan merah kehitaman yang disertai

bau pembusukan yang bila dipecah akan tampak pada kulit pada dasar gelembung tersebut

licin dan berwarna merah jambu.16

Setelah tiga atau empat minggu rambut akan mudah dicabut, kuku-kuku akan terlepas,

wajah akan tampak menggembung dan pucat dengan pewarnaan kehijauan dan akan berubah

menjadi hitam kehijauan yang akhirnya akan bewarna hitam, mata akan tertutup erat oleh

karena penggembungan pada kedua kelopak mata serta bola mata akan menjadi lunak, bibir

akan menggembung dan mencucur, lidah akan menggembung dan terjulur keluar, dan cairan

dekomposisi dapat keluar dari hidung.14,16,17

Organ-organ dalam akan membusuk dan kemudian hancur. Organ dalam yang paling

cepat membusuk adalah otak, hati, lambung, usus halus, limpa, uterus pada wanita hamil atau

masa nifas. Sedangkan organ yang lambat membusuk adalah paru-paru, esophagus, jantung,

diafragma, ginjal dan kandung kemih. Organ yang paling lambat membusuk antara lain

kelenjar prostat pada laki-laki dan uterus wanita yang tidak sedang hamil ataupun nifas.14
Otak akan menjadi lunak sampai seperti bubur, paru-paru akan menjadi lembek, hati,

jantung, limpa dan ginjal akan mudah dikenali. Hati akan menjunjukkan gambaran honey-

comb, limpa lunak dan mudah hancur, otot jantung akan tampak keunguan dan manjadi

suram. Pada organ yang paling lama membusuk seperti prostat dan uterus dapat menjadi

pertanda untuk menentukan jenis kelamin dari mayat pada keadaan dimana pembusukan

sudah berlanjut atau berlangsung lama.14,16

2.3. Post Mortem Interval

2.4. Larva Lalat

2.5. PenentuanPost Mortem IntervalDenganAnalisis Larva Lalat

Pertumbuhan larva lalat atau belatung pada mayat merupakan aplikasi penentuan PMI

yang paling umum dari forensik entomologi saat ini. Tempat dimana larva lalat muncul pada

tubuh mayat dapat memberikan informasi penting terutama pada tubuh yang terluka. Di

daerah beriklim dingin berbagai spesies lalat menyimpan telurnya di daerah lembab, seperti

antara bibir atau kelopak mata, kantus pada kelopak mata, hidung, mulut, alat kelamin, anus,

dan tepi pada luka yang dalam beberapa menit dari kematian. Penting untuk diingat adalah

spesies lalat yang terlibat berbeda dari daerah ke daerah, habitat ke habitat, dan musim ke

musim. Sebagai contoh, di bagian utara dari Amerika Negara, bluebottles (Calliphora vicina)

adalah yang paling umum selama musim dingin, sedangkan greenbottles (Phaenicia sericata)

adalah yang paling umum selama musim panas.21,22

Munculnya larva lalat pada tubuh mayat ini dapat diambil sebagai perkiraan waktu terakhir dengan kematian yang pasti terjadi. Untuk menghitung

PMI, kita membutuhkan sampel lalat baik itu dalam bentuk dewasa maupun dalam bentuk imatur dari luar tubuh mayat dan di dalam tubuh mayat. Larva harus

disimpan dalam cairan larva. Apabila tidak ada cairan larva, maka larva bisa disimpan dalam air panas (suhu 76,7OC) selama 2-3 menit lalu diawetkan dengan

alkohol 70%.20 Estimasi usia larva lalat bergantung pada pengetahuan rinci tentang siklus hidup lalat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Lalat memiliki

empat tahap kehidupan - telur, larva atau yang disebut dengan belatung, pupa, dan dewasa. Larva lalat melewati tiga tahap pertumbuhan sebelum menjadi tumbuh
sepenuhnya. Kerangka waktu untuk tahap pertumbuhan mereka membutuhkan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung pada spesies, kondisi

lingkungan, dan jumlah larva yang hadir.21

TahapKehidupan Waktu Gambaran Observasi


Telur 1 hari 1-2 mm Terletak terutama di sekitar
Larva — Instar 1 2 hari 2-5 mm
lubang alami tubuh, seperti
Larva — Instar 2 2.5 hari 10-11 mm
hidung, mata, telinga, anus,
Larva — Instar 3 4-5 hari 14-17 mm
penis, vagina, dan dalam luka.
Larva menjadi gelisah dan mulai

menjauh dari tubuh, organ

tanaman secara bertahap

Pre pupa 8-12 hari 11-12 mm dikosongkan darah, dan fitur

internal secara bertahap

dikaburkan oleh tubuh

diperbesar larva
Kehadiran puparia kosong
14-18 mm
merupakan indikasi bahwa
Pupa 14-18 hari Menggelap
orang tersebut telah meninggal
sesuai usia pupa
sekitar 20 hari.
Berubah dari

Lalat dewasa pupa setelah 4 Generasi baru Lalat dewasa kecil

sampai 7 hari
Tabel : Siklus Kehidupan Normal Lalat (Sumber :Kapil V & Reject P, 2013).

Ketika instar dan panjang dari larva lalat diketahui, maka kita dapat menilai seberapa lama larva tersebut membutuhkan waktu untuk mencapai fase

larva tersebut saat ditemukan yang disesuaikan dengan hasil penelitian yang telah diterbitkan. Periode waktu yang dibutuhkan larva lalat untuk berkembang pada

tubuh mayat seharusnya sama dengan tempat dimana tubuh mayat tersebut ditemukan. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan mengkonversikan

suhu dan waktu menjadi accumulated degree hours (ADH) atau accumulated degree days (ADD) dengan cara waktu dikalikan dengan suhu. Contohnya,

berdasarkan penelitian Greenberg dan Kunich (2002), pada suhu 25OC rerata durasi minimum dari fase perkembangan Calliphora vicina sebagai berikut.26
Fase telur 14,4 jam Instar 2 24 jam
Instar 1 9,6 jam Instar 3 158,4 jam
Untuk menghitung ADH, kalikan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fase

tertentu dengan temperatur yang dibutuhkan. Dalam mencari PMI mayat, maka diperlukan

informasi berupa rerata suhu harian pada beberapa hari atau beberapa pecan sebelum

ditemukannya mayat untuk mendapatkan hasil PMI yang akurat.26

Namun, dalam penentuan PMI ternyata terdapat juga beberapa faktor yang dapat

menyebabkan waktu kematian yang sebenarnya lebih lama dari PMI yang dinilai. Adapun

faktor-faktor tersebut adalah akses lalat untuk hinggap ke tubuh mayat karena lingkungan

sekitar terlalu dingin untuk lalat beraktivitas seperti disimpan di dalam freezer; penyemprotan

insektisida pada tubuh mayat; diapause larva/pupa lalat; dan larva lalat dibunuh oleh predator

lainnya sehingga proses pembusukan pun menjadi lebih lambat.26

Beberapa factor juga dapat menyebabkan waktu kematian yang sebenarnya lebih

pendek dari PMI yang dinilai, yaitu adanya myiasis; adanya larva dalam jumlah yang banyak

yang membentuk massa pemakan; dan berada pada suhu minimum untuk berkembang

sehingga larva lalat lebih cepat untuk berkembang.26

Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan post mortem interval mayat lebih

lama atau lebih cepat dari hasil perkiraan ahli forensik, yaitu dari segi obat-obat yang

terkandung di dalam tubuh mayat dan paparan cuaca mikro dari lingkungan tempat mayat

ditemukan. Obat-obatan dapat tidak memberikan efek sama sekali atau dapat mempercepat

atau memperlambat PMI, hal ini bergantung kepada jenis dari larva lalat yang ditemukan dan

jenis zat obat yang ditemukan di dalam tubuh mayat. Sebagai contoh, apabila larva lalat

Boettcherisca peregrine memakan jaringan mayat yang mengandung morfin, maka larva

tersebut akan berkembang dan tumbuh lebih cepat dan menjadi pupa yang lebih lama untuk

berkembang sehingga menghasilkan kesalahan dalam perkiraan hingga 29 jam jika PMI
berdasarkan perkembangan larva.26 Selain morfin, obat-obatan seperti kokain heroin yang

memberikan dampak yang sama yaitu mempercepat pertumbuhan dan perkembangan larva

serta memperlambat perkembangan pupa. Cuaca lingkungan juga memberikan pengaruh

terhadap perkembangan dari larva bergantung dengan seberapa besar kenaikan atau

penurunan suhu saat perkembangan larva berlangsung.26,7


DAFTAR PUSTAKA
1. Dian Mayasari D, Prameng B. Hubungan panjang larva lalat dengan lama waktu
kematian tikus wistar yang didislokasi tulang leher di Semarang [Karya Tulis Ilmiah].
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 2008.
2. Laksmita AS, Watiniasih NL, Junitha IK. Identifikasi larva sarcophagidae (genus
sarcophaga) pada bangkai mencit (mus musculus) di hutan mangrove. Jurnal Biologi
2015; 19(2): 84-8.
3. Bardale R. Principles of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2011.
4. James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. Simpson’sForensic Medicine, 13th Edition.
London: Hodder & Stoughton Ltd. 2011.
5. Primahatmaja B, Sardjono TW, Lestari N. Perubahan kecepatan pertumbuhan larva lalat
chrysomya sp. Pada bangkai tikus yang mengandung berbagai kadar morfin. Majalah
Kesehatan FKUB 2014; 1(4): 190-9.
6. Földvári M. Forensic post-mortem interval (PMI) estimates: variation in fly
developmental times of individuals. http://dx.doi.org/10.1101/064782 - Diakses 26
Agustus 2017.
7. Verma K, Paul R. Assessment of post mortem interval (PMI) from forensic
entomotoxicological studies of larvae and flies. Entomol Ornithol Herpetol 2013; 2(1): 1-
4.
8. Faizal D , Djoko A, Sidharta B. Paparan morfin dosis letal pada bangkai tikus terhadap
pertumbuhan larva Sarcophaga Sp. Jurnal Kedokteran Brawijaya 2011; 26(4): 227-32.
9. Hariadi Apuranto, Mutahal. Tanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Edisi Ketujuh. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2010. page 115–26.
10. Jay Dix, Michael Graham, Time of Death, Decomposition and Identification: An
Atlas (Google eBook) CRC Press, Dec 7, 1999 - Law - 120 pages
11. Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta:FKUI; 1997.h. 25-36.
12. Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran Forensik
Fakulatas Kedokteran Universitas Andalas, Padang: FKUNAND; 2007.h.15-26
13. Howard C., Adelman.M. Establishing The Time of Death in : Forensic Medicine.
NewYork : Infobase Publishing : 2007. p.20-6.
14. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Universitas Semarang; 2000: 47-62.
15. Modul Forensik Tanatologi FK Unand.
16. Idries A. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997:67-72 4
17. Di Maio Dominick J. and Di Maio Vincent J.M; Time of Death; Forensic Pathology,CRC
Press,Inc;1993;2;21-4.
18.
19.
20.
21. Bardale R. Principles of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi : Jaypee Brothers
Medical Publishers; 2011. pp: 162-3.
22. Aly H. Rasmy, The humans lie but the spiders do not lie: An overview on forensic
acarology, Egyptian Journal of Forensic Sciences (2011) 1, 109–110.
23. On Maggots and Murders, Forensic Entomology, 2011.
24. Byrd, Jason H.; Castner, James L. , Forensic Entomology : Utility of Arthropods in Legal
Investigations, 2000
25. William A. Cox, Md, Early Postmorterm Changes and Tima Of Death Forensic
Pathologist, December 22, 2009
26. Kapil Verma, Reject Paul MP, Assessment of Post Mortem Interval, (PMI) from Forensic
Entomotoxicological Studies of Larvae and Flies Amity Institute of Forensic Sciences
(AIFS), Amity University, Noida-2013, Uttar Pradesh, India.
27. Gunn A. Essential Forensic Biology. Edisi Kedua. Chichester : John Wiley & Sons
Publication; 2009. pp :254 – 66

Anda mungkin juga menyukai