Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius, dengan korban yang berasal dari berbagai tingkat di
masyarakat. Meskipun kekerasan merupakan ancaman bagi semua orang,
perempuan dan anak-anak sangat rentan terhadap viktimisasi karena mereka
sering memiliki lebih sedikit hak atau kurangnya upaya perlindungan yang tepat.
Pada sebagian masyarakat, beberapa jenis kekerasan tertentu dianggap dapat
diterima secara sosial atau hukum, sehingga memberikan kontribusi lebih jauh
terhadap risiko pada wanita dan anak-anak.1
Estimasi global yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO)
tahun 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 wanita pernah mengalami kekerasan
fisik atau seksual oleh pasangan maupun bukan pasangannya.2 Menurut data
Komisi Nasional untuk Perempuan Indonesia, terjadi peningkatan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap perempuan setiap tahunnya. Pada tahun 2011
tercatat tercatat sebanyak 124.555 kasus, 216.156 pada tahun 2012, 279.760 pada
2013, 293.220 pada 2014, dan 321.752 pada tahun 2015.3 Pada tahun 2016
ditemukan 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
34% dari kasus tersebut adalah kasus kekerasan seksual. 4 Berdasarkan Survei
Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan di
Indonesia berusia 15-64 tahun atau 28 juta orang pernah mengalami kekerasan
fisik atau kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Dalam satu
tahun terakhir 8,2 perempuan atau 9,2% mengalami kekerasan fisik dan seksual.5
Kekerasan pada anak mencakup kekerasan fisik dan non-fisik,
pembunuhan bayi, kelalaian dan kekerasan seksual. Kekerasan non-fisik, yang
mencakup kekerasan emosional, dapat mencakup berbagai bentuk termasuk
penghinaan, pengabaian, isolasi, penolakan, ancaman, ketidakpedulian emosional
dan pelecehan. Hal ini lebih lazim daripada bentuk kekerasan lainnya dan juga
sering menyertai jenis kekerasan lainnya. Melalaikan anak termasuk kegagalan
dalam menjaga perkembangan anak seperti membiarkan anak sendiri tanpa
perawatan yang tepat, tidak memberikan makanan, pakaian, obat-obatan atau

1
perawatan kesehatan yang memadai kepada anak tersebut, atau kegagalan untuk
mengawasi atau melindungi anak-anak dari bahaya dengan baik.6
United Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia memiliki data
kekerasan terhadap anak yang tersebar di Indonesia, diantaranya 40% anak-anak
berusia 13-15 tahun melaporkan telah diserang secara fisik setidaknya sekali
dalam satu tahun, 26% anak-anak melaporkan telah menerima kekerasan fisik dari
orang tua atau pengasuh di rumah, dan 50% anak dilaporkan diintimidasi di
sekolah.7 Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat
1000 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2016, jumlah kasus ini
mengalami peningkatan sebesar 15% dibandingkan tahun 2015.8
Berbagai bentuk kekerasan, terutama kekerasan terhadap wanita dan anak
dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia,
kejahatan terhadap martabat manusia, dan sebagai bentuk diskriminasi. Selain itu,
perkembangan pada dewasa ini menunjukkan bahwa kekerasan itu nyata sehingga
kita memerlukan tindakan untuk mencegah dan menatalaksana kasus-kasus
kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak. Perlindungan terhadap anak
itu sendiri telah diatur oleh negara melalui Undang-Undang No. 35 tahun 2014
tentang perlindungan anak, sedangkan peraturan yang mengatur tentang
perlindungan terhadap kekerasan perempuan dalam rumah tangga tertuang dalam
Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Berdasarkan latar belakang diatas penulis
tertarik untuk membahas mengenai penatalaksanaan kekerasan terhadap
perempuan dan anak.

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas mengenai kekerasan pada perempuan dan anak,
jenis-jenisnya, pemeriksaan, dampak terhadap korban, serta penatalaksanaannya.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan
mengenai penatalaksanaan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta
memenuhi tugas kepaniteraan klinis senior Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
RSUP DR. M Djamil Padang.

1.4 Metode Penulisan

2
Metode yang digunakan dalam penulisan referat ini adalah tinjauan
kepustakaan dari berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan terhadap Anak


2.1.1 Definisi Kekerasan Terhadap Anak
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan definisi
ataupun pengertian atas istilah child abuse and neglect dalam bahasa Indonesia.
Beberapa istilah sempat diajukan namun belum pernah disepakati secara nasional
istilah mana yang disepakati sebagai istilah pengganti child abuse and neglect.
Beberapa istilah tersebut adalah penganiayaan dan penelantaran anak, kekerasan
terhadap anak, perlakuan salah terhadap anak atau penyalahgunaan anak.9
Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU No 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak. Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk
perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain. Hal ini mengakibatkan
cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan
hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Pelaku
kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya
merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak
tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah,
tukang kebun, dan seterusnya. Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau
tidak memiliki niat untuk menyakiti anaknya, atau cedera dapat pula merupakan
hasil dari hukuman disiplin yang berlebihan.9,10
Bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu:9,10
a. Kekerasan fisik terhadap anak adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera
fisik nyata ataupun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau
tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau
orang dalam posisi hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak
terluka, contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit,
membakar, menampar.

4
b. Kekerasan seksual terhadap anak adalah perlibatan anak dalam kegiatan
seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu
memberikan persetujuan, atau oleh karena perkembangannya belum siap atau
tidak dapat memberikan persetujuan, atau yang melanggar hukum, atau
pantangan masyarakat. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas
seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dimana aktivitas
tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.
Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau
pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan
kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual,
perabaan (molestation, fondling), memaksa anak untuk memegang kemaluan
orang lain, hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi.
c. Kekerasan emosional terhadap anak meliputi kegagalan penyediaan
lingkungan yang mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk
ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figur primer, sehingga anak dapat
berkembang secara stabil dan dengan pencapaian kemampuan sosial dan
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadinya dan dalam
konteks lingkungannya. Beberapa contoh kekerasan emosional adalah
pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan anak, memburukkan atau
mencemarkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan.
d. Penelantaran anak (neglect) adalah kegagalan dalam menyediakan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti: kesehatan,
pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung,
dan keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber daya yang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat
mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk kedalamnya adalah
kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau
gangguan. Kelalaian di bidang kesehatan terjadi apabila terjadi kegagalan
untuk memperoleh perawatan medis, mental dan gigi pada keadaan-keadaan,
yang bila tidak dilakukan akan dapat mengakibatkan penyakit atau gangguan
tumbuh-kembang. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembolehan

5
mangkir sekolah yang kronis, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang
wajib diikuti setiap anak.
e. Eksploitasi anak adalah penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain
untuk keuntungan orang lain.

2.1.2 Penyebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak


Banyak faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak
dalam rumah tangga. Keluarga dalam hal ini adalah unit yang terpenting dalam
menghindari atau menunjang terjadinya kekerasan pada anak. Anak yang
dilakhirkan selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik untuk tumbuh
kembangnya dan masa depannya. Anak tidak minta dilahirkan didunia, tetapi
ketika ia terlahir selayaknya orang tua merawat anak dengan sebaik-baiknya dan
keluargalah yang diharapkan oleh anak sebagai barrier terhadap tindak kekerasan
yang mungkin saja dapat dialaminya. Tetapi pada kenyataannya justru kekerasan
pada anak terjadi didalam keluarga dan ironisnya juga dilakukan oleh orang tua
atau saudara terdekat.8 Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS
Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi
diantaranya adalah:
-
Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang
melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi
menyebabkan tidak dapat dihindarinya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak
seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua.
-
Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan
peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
-
Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya
kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang
banyak terjadi.
-
Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap
bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola
asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.8

Faktor penyebab kekerasan pada anak menurut WHO (2006):


a. Faktor orang tua atau pengasuh:
- Pengalaman penganiayaan di masa kecil

6
- Pola asuh dan mendidik anak
- Nilai-nilai hidup yang dianut orang tua
- Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak
- Keterlibatan penggunaan narkotika dan zat adiktif, serta yang menderita
gangguan mental emosional.
b. Faktor situasi keluarga:
- Keterasingan dari masyarakat
- Kemiskinan
- Kepadatan dunia
- Krisis atau tekanan hidup akibat masalah sosial ekonomi
- Masalah interaksi dengan lingkungan
c. Faktor anak:
- Perilaku atau tabiat anak
- Penampilan fisik anak
- Kegagalan anak memenuhi harapan orang tua
- Anak yang tidak diinginkan.
d. Faktor budaya:
- Kepercayaan atau adat istiadat mengenai pola asuh anak
- Kepercayaan atau adat istiadat mengenai hak orang tua terhadap anak
- Pengaruh pergeseran budaya
- Pengaruh media massa.8

2.1.3 Klasifikasi kekerasan pada anak


Terdapat beberapa jenis kekerasan pada anak yaitu:11
- Kekerasan fisik (physical abuse) adalah perbuatan yang menghasilkan
luka/trauma yang tidak terjadi oleh karena kecelakaan. Kondisi ini dapat
terjadi sebagai akibat hukuman fisik. Penganiayaan fisik tersering dilakukan
oleh pengasuh atau keluarga dan dapat pula oleh orang asing bagi si anak.
Manifestasi yang biasanya ditemukan meliputi memar, luka bakar, patah
tulang, truma kepala, dan cedera pada perut.
- Kekerasan seksual (sexual abuse) adalah penganiayaan seksual adalah
terdapat hubungan ketergantungan pada kegiatan seksual antara pelaku
terhadap anak yang perkembangannya belum matang dan belum menyadari

7
betul sehingga anak tidak dapat menyetujui. Tindakan ini meliputi incest,
perkosaan, dan pedofilia, yang meliputi tindakan meraba-raba (fondling),
kontak oral genital, bersetubuh atau penetrasi, eksibisionisme, voyeurism,
eksploitasi atau prostitusi, dan produksi pornografi yang menggunakan anak.
- Kekerasan psikis atau emosi, yaitu perilaku yang menimbulkan trauma
psikologis pada anak (menghina, merendahkan, mengancam, dan sebagainya).
Sebagian besar kasus kekerasan psikis atau emosi menyertai kejadian tindak
kekerasan fisik atau kekerasan seksual pada anak.
Secara garis besar, tanda dan gejala kasus child abuse dapat diidentifikasi
melalui temuan-temuan tertentu yang dapat mencerminkan kecurigaan adanya
kasus child abuse, sesuai dengan tabel berikut:
Tabel 2.1. Tanda dan gejala kekerasan pada anak.12

2.1.4 Dampak Kekerasan pada anak


Kekerasan akan menimbulkan berbagai dampak negatif pada anak.
Dampak yang dapat ditimbulkan, yaitu:13
a. Dampak langsung terhadap kejadian child abuse 5% mengalami kematian,
25% mengalami komplikasi serius seperi patah tulang, luka bakar, cacat
menetap.
b. Terjadi kerusakan menetap pada susunan saraf yang dapat mengakibatkan
retardasi mental, masalah belajar/ kesulitan belajar, buta, tuli, masalah dalam
perkembangan motorik/ pergerakan kasar dan halus, kejadian kejang, ataksia,
ataupun hidrosefalus.

8
c. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya,
tetapi Oates dkk pada tahun 1984 mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna dalam tinggi badan dan berat dengan anak normal.
d. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan yaitu:
- Kecerdasan, berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik. Retardasi mental
dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
Anak juga kurang mendapat stimulasi adekuat karena gangguan emosi.
- Emosi, masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan
belajar/sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman,
kehilangan kepercayaan diri, fobia cemas, dan dapat juga terjadi
pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan
dengan orang dewasa, atau menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka
mengompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit
tidur, temper tantrum.
- Konsep diri, anak yang mendapat kejadian child abuse merasa dirinya jelek,
tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu
menyenangi aktifitas dan melakukan percobaan bunuh diri.
- Agresif, anak yang mendapat kejadian child abuse lebih agresif terhadap
teman sebaya.
- Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau
mengalihkan perasaan agaresif kepada teman sebayanya sebagai hasil
kurangnya konsep diri.
- Hubungan sosial, pada anak-anak tersebut kurang dapat bergaul dengan
teman sebaya atau dengan orang dewasa, misalnya melempari batu,
perbuatan kriminal lainnya.
- Akibat dari sexual abuse, tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti
nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan perdarahan anus; Tanda gangguan
emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis, anoreksia dan
perubahan tingkah laku, kurang percaya diri, sering menyakiti diri sendiri,
dan sering mencoba bunuh diri; Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak
yang tidak sesuai dengan umurnya.13

9
2.1.5 Diagnosis Kekerasan pada Anak
2.1.5.1 Diagnosis kekerasan fisik
Penegakan diagnosis kekerasan fisik pada anak dapat berupa:
a. Anamnesis
Bila dijumpai satu atau lebih indikator pada anamnesis, dapat dipikirkan
adanya kekerasan pada anak, adapun indikator tersebut adalah:13
-
Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma.
Misalnya distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan riwayat kejadian
yang diceritakan atau riwayat kejadian menyatakan trauma ringan tetapi
dijumpai trauma yang berat.
-
Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh (orang
tua) tidak tahu bagaimana terjadinya kecelakaan.
-
Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada petugas
kesehatan yang berlainan.
-
Orang tua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang saling
bertentangan
-
Riwayat yang tidak masuk akal, misalnya anak dikatakan terjatuh ketika
memanjat padahal dudukpun belum bisa.13

b. Pemeriksaan fisis
Sering kali tidak ada kesesuaian antara pemeriksaan fisik dengan anamnesis
tentang kejadian yang diungkapkan oleh orang tua atau pengantar.
Pemeriksaan fisis harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati terutama bila
ditemukan jelas pada bagian-bagian tubuh yang tidak lazim, seperti:13
-
Memar dan bilur: pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya seperti di
punggung, bokong, paha, betis; terdapat baik memar / bilur yang baru
maupun yang sudah menyembuh; corak memar / bilur menunjukkan benda
tertentu yang dipakai untuk kekerasan.
-
Luka lecet dan luka robek: di mulut, mata, bibir, kuping, lengan dan
tangan; di genitalia; luka akibat gigitan manusia; dan di bagian tubuh lain,
terdapat luka baru atau berulang.
-
Patah tulang: setiap patah tulang pada anak di bawah usia 3 tahun, patah
tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang ditemukan bersamaan,
patah tulang ganda, patah tulang spiral pada tulang-tulang panjang lengan
dan tungkai, dan patah tulang pada kepala, rahang dan hidung, serta patah
gigi.

10
-
Luka bakar: bekas sundutan rokok; luka bakar pada kaki, tangan, atau
bokong, akibat kontak bagian tubuh tersebut dengan benda panas; dan
bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai
untuk menimbulkan luka tersebut.14
-
Cedera pada kepala: perdarahan (hematoma) subkutan dan atau subdural
yang dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area kebotakan akibat
tertariknya rambut, dan terdapat baik yang baru atau berulang.
-
Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul
(kemungkinan akibat tarikan), atau tanda-tanda luka yang berulang.

c. Pemeriksaan penunjang
-
Pemeriksaan laboratorium: apabila terjadi perdarahan maka evaluasi
terhadap faktor perdarahan dan koagulasi harus dilakukan.
-
Uji toksikologi dapat dilakukan apabila terdapat gejala keracunan,
demikian pula pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan tergantung
indikasi.
-
Pencitraan memegang peran penting dalam menegakkan diagnosis
perlakuan salah fisis pada anak. Untuk anak yang berusia <2 tahun yang
dicurigai telah mengalami perlakuan salah, American Association of
Pediatrician (AAP) merekomendasikan dilakukannya survei tulang.
Survei tulang meliputi foto rontgen anteroposterior untuk humerus, lengan
bawah, tangan, pelvis, femur, tungkai bawah dan kaki, sedangkan foto
rontgen lateral untuk toraks dan kepala. Beberapa modalitas pencitraan
lainnya digunakan tergantung indikasi, seperti CT-scan yang merupakan
pilihan terbaik untuk mengetahui trauma abdomen dan MRI untuk menilai
cedera jaringan lunak kepala.13

2.1.5.2 Kekerasan Seksual pada Anak


a. Anamnesis
Sangat sulit untuk menggali cerita dari anak yang mengalami kekerasan
seksual walaupun terkadang dengan sendirinya mereka bercerita kepada orang tua
atau dokter pemeriksanya tentang apa yang telah terjadi dan siapa yang
melakukannya. Dalam usaha menggali cerita dapat digunakan alat bantu seperti
ilustrasi gambar, boneka, maupun alat bantu lainnya.
Pada anamnesis ditanyakan kembali identitas yang bersangkutan terutama
umur dan perkembangan seks, kegiatan seksualnya selama dua minggu terakhir

11
(hubungan seksual terakhir sebelum kejadian, siklus haid, haid terakhir dan
apakah masih haid saat kejadian, waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya
kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang terjadi,
termasuk ada tidaknya penetrasi, juga ditanyakan apa yang dilakukan korban
setelah kejadian kekerasan seksual tersebut).13,14
b. Pemeriksaan fisik
Indikator kemungkinan terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu:
adanya penyakit seksual, paling sering infeksi gonokokus; infeksi vaginal
rekuren/berulang pada anak di bawah 12 tahun; rasa nyeri atau perdarahan dan
atau keluarnya sekret dari vagina; gangguan dalam mengendalikan buang air besar
atau buang air kecil; kehamilan pada usia remaja; cedera pada buah dada, bokong,
dan perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur; pakaian dalam
robek dan atau ada bercak darah pada pakaian dalam; ditemukan cairan
mani/semen di sekitar mulut genital, anus, atau pakaian; rasa nyeri bila buang air
besar dan buang air kecil; dan promiskuitas yang terlalu dini (prekoks).13,14
c. Pemeriksaan penunjang,
Pengambilan sampel forensik harus dilakukan dalam waktu kurang dari 72
jam setelah kejadian. Sampel forensik yang diperiksa meliputi serpihan kulit,
rambut, semen, sperma, dan darah. Adanya informasi penggunaan kondom atau
cairan lubrikasi serta apakah korban telah makan, mandi/membersihkan diri,
berkemih maupun berdefekasi setelah kejadian, akan menjadi data tambahan yang
sangat berguna bagi bukti forensik. Pengambilan kultur dan pemeriksaan darah
serologis terhadap penyakit menular seksual tergantung pada kemungkinan telah
terjadinya penetrasi, gejala yang ada, dan angka kejadian penyakit menular
seksual setempat.13

2.1.5.3 Kekerasan Emosional pada Anak


a. Anamnesis
Anak yang mengalami kekerasan emosional dapat menyatakan dirinya telah
megalami kekerasan emosional, tetapi lebih sering anak
menyangkal/membalikkan cerita yang diungkapkan. Sering terdapat sikap
ketakutan yang berlebihan terhadap orang tua, serta ada rasa enggan mendapat
perlindungan dari orang tuanya.13
b. Pemeriksaan fisik

12
Pada waktu pemeriksaan fisis dilakukan, anak sering menghindari kontak
mata, memperlihatkan sikap agresif, atau menarik diri secara berlebihan.
Adanya perilaku ingin mencederai diri sendiri atau bunuh diri. Sangat
mungkin ditemukan perilaku seksual agresif dan gangguan tidur.14

2.1.6 Tatalaksana
Anak yang menjadi korban kekerasan tentu akan mengalami trauma baik
fisik maupun psikis. Anak yang mengalami kekerasan di masa lalunya akan
berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan ketika mereka dewasa. Oleh karena
itu anak yang menjadi korban kekerasan perlu mendapatkan perhatian khusus dan
penanganan secara khusus yang melibatkan orang tua, keluarga, pemerintah, dan
peran serta masyarakat. Sesuai yang tercantum pada pasal 20 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah: “Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.” Dari pasal diatas, terlihat mengenai bahwa
setiap warga Negara wajib ikut sera berperan dalam penyelenggaraan
perlindungan anak. Jadi ketika ada kasus kekerasan terhadap anak, maka sudah
menjadi perhatian dan tanggungjawab setiap warga negara.15
Penatalaksanaan kekerasan pada anak secara khusus ditujukan untuk
menyelamatkan anak dan secara umum untuk mencegah terulangnya kembali
perlakuan salah tersebut. Karena perlakuan yang salah ini sebagai akibat dari
sebab yang kompleks, maka perlu penanganan tim multidisiplin yang terdiri dari
dokter anak, psikiater, psikolog, pekerja sosial, ahli hukum, pendidik, dan lain-
lain.15
Penanganan dugaan kekerasan terhadap anak diawali dengan
mengidentifikasi korban untuk memastikan anak adalah korban kekerasan atau
bukan. Identifikasi ini dilakukan dengan melakukan interview terhadap korban
guna memastikan bantuan apa yang diperlukan oleh korban. Pelayanan yang
diberikan mengacu pada tiga aspek yaitu;
-
Aspek pelayanan hukum artinya memfasilitasi dengan lawyer bagi korban
yang bertujuan untuk membela kepentingan hukum bagi korban.

13
-
Aspek pelayanan psikologis bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami penyimpangan perilaku misalnya depresi, trauma, tidak mau
bergaul dengan teman sebaya.
-
Aspek medis bertujuan memberikan pelayanan kesehatan dan dilakukan visum
yang digunakan sebagai alat bukti oleh polisi dalam melakukan penyidikan.16
Peranan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan kekerasan terhadap
anak:
-
Memberi perlindungan sementara bersama dengan polisi
-
Memberikan pelayanan kesehatan
-
Merehabilitasi kesehatan korban
-
Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan, VeR atau surat keterangan medis
sebagai alat bukti
-
Sebagai saksi di pengadilan
-
Pelayanan terpadu dengan jejaring yang terkait.16
Adapun prinsip tatalaksana kekerasan pada anak:
-
Recognize: Kenali kemungkinan kekerasan
-
Ask & Listen: Tanyakan secara langsung dan dengarkan dengan empati
-
Discuss options: Bicarakan berbagai pilihannya
-
Assess danger: Nilailah kemungkinan bahaya
-
Refer to other groups that could provide assistance: Rujuk ke pihak terkait
yang dapat membantu.16

a. Tatalaksana Kekerasan Fisik, berupa:


- Life saving (A,B,C), pemeriksaan penunjang, observasi ketat  rujuk
sesuai indikasi
- Pertolongan awal (perawatan luka, fiksasi)  pemeriksaan penunjang
- Perawatan paripurna sesuai fasilitas
-
Pendampingan psikologis sesuai usia anak  rujuk psikolog atau psikiater
-
Intervensi keluarga
-
Anak diamankan, rujuk ke lembaga perlindungan anak (LPA)  proses
perlindungan hukum.16

b. Tatalaksana Kekerasan Seksual, berupa:

14
-
Life saving  stabilisasi KU  rujukan darurat
-
Pertolongan awal  pemeriksaan penunjang  rujukan elektif
-
Pengobatan paripurna  pemeriksaan penunjang (misalnya: evaluasi
kehamilan)
-
Pendampingan psikologis sesuai usia anak (rujukan ke psikolog/psikiater)
-
Intervensi keluarga
-
Anak diamankan, rujuk ke lembaga perlindungan anak (LPA)  proses
perlindungan hukum.16

c. Tatalaksana Kekerasan Emosional & Penelantaran, berupa:


-
Perawatan kondisi medik umum, perbaiki asupan gizi
-
Pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan adanya penyakit pada
korban
-
Dalam kasus kekerasan emosional seringkali anak belum perlu dipisahkan
dari keluarga, umumnya pendampingan psikologis terhadap anak dan
keluarga dilakukan simultan.
-
Pada kasus penelantaran anak dan anak terlantar diupayakan orang tua
pengganti.16
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
-
Identifikasi dini orang tua atau pengasuh yang berisiko tinggi untuk
melakukan abuse pada anak (Riwayat kekerasan pada anak sebelumnya,
pengguna obat-obatan terlarang, depresi, kurang dukungan keluarga lain,
masalah sosial ekonomi, retardasi mental, memiliki anak di usia terlalu muda).
-
Identifikasi & menghilangkan faktor risiko seperti mengurangi kemiskinan,
cegah penggunaan alkohol, narkoba, perkawinan dan kehamilan terencana.
-
Pendekatan pada keluarga dengan risiko tinggi  cara mendidik anak,
menerima / menyadari anak berbeda, disiplin.
-
Sedini mungkin dan sesering mungkin mengusahakan kontak antara ibu dan
bayi di kamar bersalin, rawat gabung setelah melahirkan.
-
Pendidikan anak tentang pengetahuan seks untuk mencegah seks abuse,
misalnya dengan memperkenalkan seluruh organ tubuh dan fungsinya, hindari
pakaian yang mini, berani bilang tidak, dan hati-hati15.

15
2.2 Kekerasan pada Perempuan
2.2.1 Definisi
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang terjadi
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mungkin berakibat penderitaan atau
kesengsaraan terhadap perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.9
Kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi di lingkungan rumah tangga.
Korbannya dapat merupakan istri, anak atau pembantu rumah tangga. Jenis
kekerasannya pun bervariasi dari kekerasan seksual, kekerasan fisik dan
psikologis. Kitab undang-undang hukum pidana merumuskan tindak pidana
kekerasan kedalam berbagai pasal, seperti pasal-pasal 351-356 (penganiayaan),
89-90 (kekerasan dan luka berat), 310-321 (penistaan), 285-301 (kejahatan susila),
338-340 (Pembunuhan), 324-337 (penghilangan kemerdekaan), dll. Tetapi pasal-
pasal diatas umumnya tidak membedakan antara korban laki-laki dengan
perempuan, kecuali pada kejahatan susila.9
2.2.2 Etiologi
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab tindakan kekerasan terhadap
perempuan yaitu:17
1. Faktor budaya dan adat istiadat
Budaya patriarki selalu memposisikan perempuan berada dibawahkekuasaan
dan kendali kaum laki-laki. Sebelum menikah oleh ayah atau saudara laki-laki,
setelah menikah oleh suami.
2. Rendahnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran terhadap kesetaraan
gender.
Kesetaraan gender banyak diartikan identik dengan emansipasi dalam arti
sempit/radikal, sehingga dalam persepsi masyarakat gender dianggap sebagai
budaya yang akan merusak budaya lokal dan kaidah agama.
3. Lemahnya penegakkan hukum di Indonesia.
Kelemahan dari aparat penegak hukum dan budaya masyarakat yang kurang
taat hukum.
4. Penafsiran/interpretasi yang kurang tepat terhadap ajaran agama.

2.2.3 Klasifikasi
Terdapat 4 kategori dalam kekerasan terhadap perempuan antara lain :18

16
a. Physical battering
Termasuk dalam kategori ini adalah penamparan, pemukulan, pembakaran,
penendangan, penembakan, penusukan, dan semua bentuk kekerasan fisik non
seksual.
b. Sexual battering
Semua kekerasan yang berkaitan dengan seksualitas seperti pemukulan di
payudara atau kelamin, perkosaan secara oral, anal, dan vaginal.
c. Psychological battering
Banyak perempuan yang mengalami kekerasan melaporkan bahwa
psychological battering merupakan kekerasan yang paling merusak keadaan
jiwa mereka.
d. The destruction pets and property
Kategori ini merupakan kategori tidak lazim dilakukan oleh pelaku kekerasan
dalam segi sandang, papan, maupun properti lain milik korban.
Secara umum terdapat dua jenis kekerasan yang paling sering dialami oleh
para perempuan yaitu :
a. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Masalah KDRT merupakan komplikasi dari faktor internal seperti kegagalan
hubungan interpersonal, personal psikopatologi dan faktor eksternal,
khususnya struktrur sosial budaya yang meminggirkan peran dan kedudukan
perempuan. KDRT adalah segala bentuk perilaku kekerasan yang terjadi
dalam lingkup kehidupan keluarga. Pelaku adalah sosok yang mempunyai
peran otoritas atau berstatus lebih kuat (suami atau orang tua), sedangkan
korban adalah anggota keluarga yang berstatus subordinat atau lebih lemah
(istri atau anak). Kekerasan dalam rumah tangga sering kali bersembunyi di
balik tatanan budaya paternalistik patriarki, yang menempatkan suami sebagai
kepala keluarga wajib dipatuhi. Istri sebagai ibu rumah tangga yang wajib
melayani. Selain itu, anak yang harus tunduk dan patuh kepada orang tua.18
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tindak kekerasan dibedakan kedalam 4
cara:18
- Kekerasan fisik

17
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
- Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
- Kekerasan seksual
Pemeriksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
- Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi
nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
b. Perkosaan
Perkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak
bersama, dipaksakan oleh satu pihak pada pihak yang lainnya. Korban dapat
berada di bawah ancaman fisik dan/atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan
tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur, atau mengalami
keterbelakangan mental sehingga tidak sungguh-sungguh mengerti, atau dapat
bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya.
Terdapat dua jenis perkosaan yakni stranger rapes dimana korban dan
pelaku tidak memiliki relasi dan acquaintance rapes ketika pemaksaan aktivitas
seksual dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban. Secara psikologis
biasanya akan dimulai dengan beberapa reaksi setelah kejadian perkosaan atau
serangan seksual yaitu:18
a. Fase akut (segera setelah serangan terjadi)
Pada fase ini individu mengalami shock dan rasa takut yang sangat kuat,
kebingungan, disorganisasi, serta rasa lelah dan lemah yang sering. Korban

18
tidak dapat menjelaskan secara rinci dan tepat apa yang sesungguhnya terjadi
pada dia, siapa penyerangnya, ciri–ciri penyerang secara detil dan seterusnya.
b. Fase kedua (adaptasi awal)
Individu menghayati emosi negatif seperti pemberontakan, rasa marah
ketakutan, terhina, dan rasa malu yang kemudian dapat ditanggapi melalui
pengingkaran (upaya untuk mencoba menutupi pengalaman menyakitkan,
menolak mengingat lagi atau minimalisasi, menganggap yang terjadi bukan
suatu hal yang sangat serius. Korban dapat menampilkan ekspresi emosi yang
sangat kuat (menangis, eksplosif) atau tampil tenang dan dingin.
c. Fase reorganisasi jangka panjang
Fase ini membutuhkan waktu bertahun–tahun hingga individu keluar dari
trauma yang dialami dan menerima apa yang terjadi sebagai suatu yang
faktual. Pada fase ini, individu tidak jarang masih menampilkan ciri–ciri
depresi, serta mengalami mimpi buruk atau kilas balik. Tidak jarang terjadi
gangguan dalam fungsi dan aktivitas seksual misalnya ketakutan pada seks,
hilangnya gairah seksual, ketidakmampuan menikmati hubungan seks,
dysparenia, dan vaginismus.

2.2.4 Dampak Kekerasan terhadap Perempuan


Konsekuensi kesehatan dari kekerasan seksual sangat bervariasi dan
mencakup efek fisik dan psikologis, baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang. Paling penting kekerasan seksual dapat menghancurkan efek
psikologis jangka panjang, mempengaruhi dan mengubah secara radikal
keseluruhan hidup seseorang.19
Dampak kekerasan terhadap perempuan, antara lain :
1. Dampak terhadap pola fikir. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi
cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena
selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan,
dan tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi.18
2. Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi,
penyalahgunaan/pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol),
kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya
kepercayaan diri.18

19
3. Dampak dari segi fisik dapat terjadi luka di alat kelamin dan sekitarnya, anus,
mulut, maupun bagian–bagian tubuh lain, perdarahan, infeksi, dan penularan
penyakit seksual, kehamilan, dan kematian.18
4. Dampak terhadap sosial dan ekonomi
Dampak lain dari tindakan kekerasan adalah persoalan ekonomi, menimpa
tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari
nafkah. Seperti terputusnya akses ekonomi secara mendadak, kehilangan
kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan,
pengobatan, dan biaya pengadilan.18 Perempuan menderita keterasingan dari
masyarakat, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan upah, kurangnya
partisipasi dalam kegiatan rutin, dan kemampuan terbatas untuk merawat diri
dan anak-anaknya.2
5. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi
Perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak
kekerasan menunjukkan masalah ginekologis yang lebih berat. Masalah
kesehatan reproduksinya pada saat tidak hamil mengalami gangguan
menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan
mengalami menopause lebih awal, penurunan libido, dan ketidakmampuan
mendapatkan orgasme akibat tindak kekerasan yang dialaminya.20
Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus, persalinan prematur, dan
bayi meninggal dalam rahim (IUGR). Pada saat bersalin, perempuan akan
mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan
lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan (sectio cesarea). Hasil dari
kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi
lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.20 Kekerasan seksual dapat menyebabkan
kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang diinduksi, masalah ginekologi,
dan infeksi menular seksual, termasuk HIV.2
Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan yaitu :18
- Battered women syndrome
Merupakan sindroma psikologik yang ditemukan pada perempuan
hidup dalam siklus KDRT yang berkepanjangan. Dicirikan dengan perilaku
tak berdaya, menyalahkan diri, ketakutan akan keselamatan diri dan anaknya,
serta ketidakberdayaan untuk menghindar dari pelaku kekerasan.
- Gangguan stres pascatrauma

20
Merupakan problem mental serius yang terjadi pada korban yang
mengalami penganiayaan luar biasa (perkosaan, penyiksaan, dan ancaman
pembunuhan). Ciri khas dari stres pascatrauma (PTSD) adalah penderita
tampak selalu tegang dan ketakutan, menghindari situasi tertentu, gelisah,
tidak bisa diam, takut tidur, takut sendirian, serta mimpi burukseperti
mengalami kembali peristiwa traumatisnya.
- Depresi
Merupakan masalah kejiwaan paling sering ditemukan korban KDRT.
Gejala khas adalah perasaan murung, kehilangan gairah hidup, putus asa,
perasaan bersalah dan berdosa, serta pikiran bunuh diri sampai usaha bunuh
diri. Gejala depresi sering dalam wujud keluhan fisik, seperti kelelahan kronis,
problem seksual, kehilangan nafsu makan, dan gangguan tidur.
- Gangguan panik
Merupakan gangguan cemas akut yang sering dijumpai korban KDRT.
Penderita mengalami serangan ketakutan katastrofik bahwa dirinya akan mati
atau menjadi gila (biasanya didahului keluhan subjektif, seperti sesak napas,
perasaan tercekik, dan berdebar–debar). Ganguan panik yang tidak ditangani
dengan benar akan berkembang menjadi agorafobia, yakni takut keramaian
dan cenderung menghindar dari kehidupan sosial.
- Keluhan psikosomatis
Perempuan korban KDRT sering kali datang ke fasilitas kesehatan
dengan keluhan fisik kronis, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, sesak
napas, dan jantung berdebar. Namun, pada pemeriksaan medis tidak
ditemukan penyakit fisik. Kondisi ini disebut sebagai gangguan psikosomatis.
Keluhan psikosomatis bukan gangguan buatan atau sekadar upaya mencari
perhatian. Namun, merupakan penderitaan yang sungguh dirasakan penderita,
yakni konversi dari problem psikis yang tak mampu diungkapkan.

2.2.5 Diagnosis
Dasar diagnosis kekerasan pada anak, yaitu:19
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara terarah, baik pada kekerasan rumah tangga
jenis fisik, psikis, seksual, atau penelantaran. Saat anamnesis ditanyakan
mengenai mekanisme kejadian secara rinci. Hal-hal yang perlu ditanyakan saat
anamnesis pada kekerasan seksual, diantaranya:

21
- Tanggal, waktu dan lokasi serangan, termasuk deskripsi permukaan dimana
penyerangan terjadi.
- Nama, identitas dan jumlah penyerang.
- Sifat kontak fisik dan catatan terperinci tentang kekerasan ditimbulkan.
- Penggunaan senjata dan pengekangan.
- Penggunaan obat-obatan / alkohol / zat-zat yang terhirup.
- Penetrasi vagina dan atau anus korban oleh penis, jari atau benda pelanggar.
- Penetrasi oral korban oleh penis pelaku atau benda lainnya.
- Kontak oral mulut pelaku dengan wajah korban, tubuh atau genito-anal.
- Kontak oral paksa mulut korban dengan wajah, tubuh atau genitoanal pelaku.
- Ejakulasi di vagina korban atau di tempat lain di tubuh korban atau di tempat
kejadian.
Penggunaan kondom dan pelumas harus diperhatikan. Setiap kegiatan
selanjutnya oleh pasien yang bisa mengubah bukti, misalnya mandi, cebok,
mengelap, penggunaan tampon dan perubahan pakaian, juga harus
didokumentasikan. Kemudian rincian dari setiap gejala yang telah berkembang
sejak serangan harus dicatat; ini mungkin termasuk: 19
- Perdarahan genital, discharge, gatal, luka atau nyeri;
- Gangguan berkemih;
- Nyeri anal atau pendarahan;
- Sakit perut.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dari kepala ke kaki (head to toe) dengan
langkah sebagai berikut, sesuai pada gambar berikut ini:19

Gambar 2.1 Pemeriksaan Top to Toe.

22
Langkah 1
Perhatikan penampilan umum pasien dan sikapnya. Mulailah dengan
tangan pasien; ini akan meyakinkan pasien. Periksa tanda vital, yaitu denyut nadi,
tekanan darah, respirasi dan suhu. Periksa kedua tangan untuk cedera. Amati
pergelangan tangan untuk tanda tanda trauma. Bukti jejak yang bisa terjadi perlu
dikumpulkan (beberapa yurisdiksi memerlukan kerokan kuku).
Langkah 2
Periksa lengan bawah untuk luka pertahanan. Ini adalah luka yang terjadi
saat subjek mengangkat anggota badan untuk menangkal kekerasan ke area tubuh
yang rentan. Cedera defensif meliputi memar, lecet, laserasi atau luka sayat. Pada
orang berkulit gelap memar sulit dilihat dengan demikian pembengkakan sangat
penting. Setiap situs tusukan intravena seharusnya dicatat.
Langkah 3
Permukaan bagian dalam lengan atas dan ketiak atau aksila perlu hati-hati
mengamati tanda-tanda memar. Korban yang telah ditahan oleh tangan sering
menampilkan memar seperti jejak ujung jari pada lengan atas.
Langkah 4
Periksa wajah. Bisa didapatkan tanda hematoma pada mata. Cari di hidung
untuk tanda-tanda pendarahan. Palpasi margin rahang dan margin orbital jika
didapatkan nyeri mengindikasikan terdapat memar. Mulut harus diperiksa dengan
hati-hati, periksa memar, lecet dan laserasi mukosa bukal. Pteki Langit-langit bisa
mengindikasikan penetrasi. Periksa robek frenulum dan gigi patah. Lakukan swab
mukosa mulut jika diindikasikan.
Langkah 5
Periksa telinga, jangan lupa daerah belakang telinga, untuk bayangan
memar; Bayangan memar berkembang saat telinga dipukul mencatut. Gunakan
otoskop untuk memeriksa gendang telinga.
Langkah 6
Palpasi kulit kepala untuk periksa nyeri dan pembengkakan, sugestif
hematoma. Kerontokan rambut akibat ditarik saat penyerangan bisa menyebabkan
rambut banyak yang tertinggal di sarung tangan pemeriksa.

23
Langkah 7
Memar di leher bisa menunjukkan serangan yang mengancam jiwa. Jejak
memar bisa dilihat dari kalung dan perhiasan di telinga dan di leher. Memar jejak
gigitan harus diperhatikan dan lakukan swab air liur sebelum disentuh.
Langkah 8
Payudara dan region pinggang harus diperiksa. Hal ini umumnya dimulai
dengan punggung. Memar multipel bisa dilihat di berbagai tempat di bagian
belakang. Payudara sering menjadi target serangan dan terjadi sering digigit
sehingga bisa mengungkapkan bukti adanya isapan memar atau trauma tumpul.
Jika Payudara tidak diperiksa, alasan untuk tidak melakukannya seharusnya
didokumentasikan
Langkah 9
Pasien kemudian bisa berbaring untuk pemeriksaan perut untuk memar,
lecet, laserasi dan bukti jejak. Palpasi perut harus dilakukan untuk menyingkirkan
trauma internal atau untuk mendeteksi kehamilan.
Langkah 10
Dengan pasien yang masih dalam posisi berbaring, kaki bisa diperiksa
secara bergantian, dimulai dengan bagian depan kaki. Paha bagian dalam
seringkali menjadi target dengan memar jejak ujung jari atau trauma tumpul
(disebabkan oleh lutut). Pola memar pada bagian dalam paha seringkali simetris.
Mungkin ada lecet pada lutut (sebagai konsekuensi dari pasien dipaksa ke tanah);
Demikian juga, kaki mungkin menunjukkan bukti lecet atau laserasi. Penting
untuk diperiksa pergelangan kaki (dan pergelangan tangan) sangat erat untuk
tanda-tanda pengekangan.
Langkah 11
Dianjurkan, jika memungkinkan, mintalah pasien untuk berdiri untuk
pemeriksaan belakang kaki Pemeriksaan bokong juga paling baik dilakukan
dengan posisi berdiri. Sebagai alternatif, pasien dapat diperiksa dalam posisi
terlentang dan diminta mengangkat masing-masing kaki pada gilirannya dan
kemudian berguling sedikit untuk memeriksa setiap bokong. Bukti biologis
apapun harus dikumpulkan dengan penyeka basah (untuk air mani, air liur, darah)
atau pinset (untuk rambut, serat, rumput, tanah).19

24
Sebagai aturan umum, kehadiran setiap tato harus didokumentasikan di
catatan pemeriksaan, bersama dengan deskripsi singkat tentang ukuran dan
bentuknya, karena ini bisa menjadi sarana untuk menilai keakuratan pengamatan
praktisi pemeriksaan di pengadilan. Begitu pula cacat fisik yang nyata harus
diperhatikan.
3. Pemeriksaan genital dan anal
Sebelum melakukan pemeriksaan terperinci terhadap area genito-anus,
penting untuk membuat pasien merasa nyaman dan serileks mungkin. Akan sangat
membantu pasien jika setiap langkah pemeriksaan dijelaskan kepada mereka;
misalnya, katakan, “Saya akan berhati-hati. Saya akan menyentuh Anda di sini.
Tolong beritahu saya jika apa pun terasa nyeri.” 19
Awalnya pasien harus diletakkan berbaring telentang dengan lutut ditarik,
tumit dan kaki dilipat perlahan, yaitu di posisi litotomi. Payudara pasien, perut,
daerah pelvis dan kaki bisa ditutupi sampai pemeriksaan benar-benar terjadi.
Pencahayaan harus diarahkan ke area vulva pasien. Cedera ke daerah genital atau
anus dapat menyebabkan rasa sakit saat daerah tersebut tersentuh. Dalam
beberapa kasus, hanya pemeriksaan terbatas yang mungkin diperlukan; Sebagai
alternatif, analgesia mungkin diperlukan. 19
Prosedur berikut membentuk dasar pemeriksaan genito-anal rutin: 19
Langkah 1
Area eksternal dari daerah genital dan anus harus diperiksa juga seperti
tanda pada paha dan bokong. Periksa mons pubis. Vagina Ruang depan harus
diperiksa dengan memperhatikan labia majora, labia minora, klitoris, selaput dara,
fourchette posterior dan perineum. Swab eksternal harus diambil sebelum benda
eksplorasi atau speculum dicoba. Peregangan pada fourchette posterior dapat
mengungkapkan lecet yang sulit untuk dilihat, terutama jika mereka tersembunyi
dalam udem atau di dalam lipatan jaringan mukosa. Menarik labia akan
memperbaiki visualisasi selaput dara.
Langkah 2
Jika ada perdarahan yang nyata, lakukan swab dengan lembut agar bisa
diketahui asalnya apakah vulva atau lebih tinggi di vagina.

Langkah 3
Pemeriksaan spekulum memungkinkan pemeriksa untuk memeriksa tanda
cedera dinding vagina, termasuk lecet, laserasi dan memar. Melacak bukti, seperti

25
benda asing dan rambut, dapat ditemukan dan disimpan sebagai specimen.
Kanalis endoserviks juga bisa divisualisasikan.
Langkah 4
Meski pemeriksaan anus bisa dilakukan saat pasien masih di dalam posisi
litotomi, biasanya lebih mudah dilakukan dengan posisi lateral. Jadi saat
selesainya pemeriksaan genital, tanyakan pada pasien untuk berguling ke sisinya,
dan menghadap ke dinding dengan kaki terangkat. Tekanan lembut pada ambang
dubur bisa mengungkap memar, laserasi dan lecet.
Langkah 5
Pemeriksaan rektal digital direkomendasikan jika ada alasan untuk
mencurigai bahwa benda asing telah dimasukkan ke dalam saluran anus, dan
seharusnya dilakukan sebelum melakukan proctoscopy atau anoscopy. Dalam
pemeriksaan rektal digital, jari pemeriksaan harus ditempatkan pada jaringan
perianal untuk memungkinkan relaksasi respon kontraksi alami sfingter. Begitu
relaksasi terasa maka penyisipan bisa terjadi.
Langkah 6
Proktoskopi hanya perlu digunakan pada kasus pendarahan dubur atau
nyeri anal parah pasca penyerangan, atau jika kehadiran benda asing di rektum
dicurigai.

4. Klasifikasi luka
Dokter dan ahli patologi sering diminta untuk menanggapi pertanyaan
tentang luka dari penyidik, pengacara atau pengadilan. Hal-hal semacam itu yang
ingin diketahui oleh tim investigasi adalah: 19
- usia cedera;
- bagaimana cedera itu dihasilkan;
- jumlah kekuatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan luka;
- keadaan di mana luka itu bertahan;
- konsekuensi dari cedera.
Namun, interpretasi cidera merupakan masalah yang kompleks dan
menantang. Membutuhkan pemahaman yang luas berbasis anatomi, fisiologis dan
prinsip patologis. Interpretasi cidera sepenuhnya tergantung pada keakuratan dan
kelengkapannya dari rekaman pengamatan luka. Tabel 2.2 mencantumkan fitur
luka yang perlu diperhatikan dan dideskripsikan secara hati-hati untuk
mendukung interpretasi cedera. Adopsi pendekatan sistematis untuk
mendeskripsikan dan merekam karakteristik fisik luka akan memastikan bahwa

26
tidak ada elemen dihilangkan. Idealnya, pengamatan semacam itu harus dicatat
secara contemporaneously dalam catatan konsultasi medis.

Tabel 2.2 Deskripsi Luka19

Luka umumnya diklasifikasikan sebagai lecet, memar, laserasi, sayatan,


luka tusukan atau luka tembak senjata. Fitur utama setiap luka kategori dirangkum
di bawah ini.
Abrasi
Abrasi didefinisikan sebagai luka dangkal pada kulit yang disebabkan oleh
penerapan gaya tumpul dan diproduksi oleh kombinasi tekanan dan gerakan
kontak diterapkan secara bersamaan ke kulit. Pemeriksaan abrasi yang cermat
memungkinkan identifikasi penyebab dan arah gaya yang diterapkan. Luka lecet
ini terbagi sebagai berikut:
- Goresan (misalnya dibuat dengan kuku jari atau duri);
- Jejak (dimana pola senjata bisa meninggalkan karakteristik abrasi pada kulit);
- Gesekan (misalnya grazes dari kontak dengan karpet atau beton).

Memar
Memar didefinisikan sebagai daerah perdarahan di bawah kulit. Memar
juga dikenal sebagai haematoma atau kontusi. Memar mengikuti trauma tumpul;
Perubahan warna disebabkan oleh darah yang bocor dari pecahnya pembuluh
darah. Memar juga bisa terjadi di dalam rongga tubuh atau dalam organ. Saat
mengomentari memar, kehati-hatian harus dilakukan alasan berikut:
- Pandangan konsensus saat ini adalah bahwa usia memar tidak dapat
ditentukan dengan tingkat akurasi apapun.

27
- Warna memar yang jelas dapat dipengaruhi oleh pigmentasi kulit (misalnya
memar mungkin tidak mudah terlihat pada kulit yang lebih gelap) dan berbeda
jenis pencahayaan.
- Situs memar belum tentu merupakan tempat trauma; contohnya:
a. memar dapat melampaui area dampak;
b. memar mungkin muncul di lokasi yang jauh dari dampak;
c. Pecah yang terlihat mungkin tidak ada meski ada kekuatan yang cukup
besar yang digunakan.
d. Bentuk memar tidak selalu mencerminkan bentuk senjatanya yang
digunakan (yaitu darah dapat menyusup ke jaringan sekitarnya).
e. Ukuran memar tidak harus sebanding dengan jumlah gaya.
f. Tanda gigitan. Ini adalah memar oval atau melingkar dengan area tengah
pucat mungkin juga ada beberapa abrasi.
g. Ujung jari memar. Ini disebabkan oleh penggunaan ujung jari yang kuat.
Ini biasanya muncul sebagai kelompok berbentuk oval 1-2 cm berbentuk
bulat atau tiga empat memar. Mungkin juga ada abrasi linier atau
melengkung dari kontak dengan kuku jari.

Laserasi
Laserasi didefinisikan sebagai luka dengan pinggir tidak rata atau pecah di
kulit, subkutan jaringan atau organ akibat trauma tumpul (misalnya trauma akibat
benturan). Karakteristik utama dari luka yang teroyak adalah:
- Margin yang compang-camping, tidak beraturan atau memar, yang mungkin
terbalik;
- Saraf utuh, tendon dan jaringan di dalam luka;
- Adanya benda asing atau rambut di luka.
Bentuk laserasi mungkin mencerminkan bentuk alat penyebab.

Luka iris
Luka iris didefinisikan sebagai luka yang dihasilkan oleh benda bermata
tajam yang panjang lebih besar dari kedalamannya. Luka ini bisa diproduksi
dengan pisau, pisau cukur, pisau bedah, pedang atau fragmen kaca. Penting untuk
membedakan antara luka iris dan luka tusuk karena hal ini dapat membantu dalam
mengidentifikasi jenis senjata penyebabnya. Lacerasi dan luka yang diiris
dibandingkan

Luka tusuk
Luka tusukan didefinisikan sebagai luka yang diiris yang kedalamannya
lebih besar dari panjangnya pada permukaan kulit. Kedalaman luka tersebut dan,

28
khususnya, derajatnya trauma pada struktur yang lebih dalam, akan menentukan
keseriusan cedera, apakah hasilnya berakibat fatal atau tidak. Poin penting yang
perlu diperhatikan sehubungan dengan luka tusukan meliputi:
- Dimensi luka mungkin bukan dimensi pisau.
- Kedalaman luka tusukan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti:
a. jumlah kekuatan yang disampaikan;
b. ketahanan pakaian pelindung;
c. Ketajaman ujung pisau,
d. resistensi jaringan dan setiap pergerakan korban.
- Dinamika penusukan (kecuali jika korban dinyatakan tidak bergerak).
Permintaan hati-hati saat menafsirkan posisi dan pergerakan relative
penyerang dan korban.
- Mungkin tidak ada hubungan antara dimensi luar luka dan trauma resultan
pada struktur internal.

Luka tembak
Petugas kesehatan harus memiliki pengetahuan tentang balistik dan
pengetahuan yang masuk akal luka tembak. Namun, sangat mungkin perlakuan
luka tembak akan menjadi tanggung jawab ahli bedah dan interpretasi mereka
mungkin memerlukan bantuan seorang ahli patologi forensik.
Klasifikasi luka, sesuai dengan karakteristik utamanya memungkinkan
kesimpulan tertentu ditarik tentang penyebabnya. Namun, seperti disebutkan
sebelumnya, ini adalah area yang harus didekati. Interpretasi pola cedera untuk
tujuan medis-medico seharusnya hanya dilakukan oleh praktisi dengan
pengalaman yang cukup di lapangan. Serangan menghasilkan sejumlah besar jenis
cedera; Memang, luka beragam seperti tindakan penyerangan yang menyebabkan
mereka. Keanekaragaman ini mempersulit tugas interpretasi cedera dan, lebih
sering daripada tidak, menghalangi kesimpulan definitif Meskipun demikian,
beberapa kesimpulan tentang sifat dan Keadaan serangan bisa dibuat dari pola
cedera di berbagai kasus; Tabel 2.3 mencantumkan pilihan tindakan kekerasan dan
kemungkinan penyebabnya.

29
Tabel 2.3. Tindakan kekerasan dan penyebabnya.19

30
5. Spesimen forensik19
Panduan tentang persyaratan khusus untuk penanganan dan penyimpanan
spesimen.
- Beri label secara akurat. Semua spesimen harus diberi label dengan jelas pada
pasien nama dan tanggal lahir, nama pekerja kesehatan, jenis spesimen, dan
tanggal dan waktu pengumpulan.
- Pastikan keamanan. Spesimen harus dikemas untuk memastikannya aman dan
tamper proof. Hanya orang yang berwenang yang harus dipercayakan
spesimen.
- Pertahankan kontinuitas. Setelah spesimen dikumpulkan, selanjutnya
penanganan harus dicatat. Rincian transfer spesimen antara individu juga
harus dicatat. Dianjurkan untuk mengecek dengan pihak berwenang mengenai
protokol untuk pencatatan informasi tersebut.
- Koleksi dokumen. Ini adalah praktik yang baik untuk menyusun daftar
terperinci di catatan medis pasien atau laporan dari semua spesimen yang
dikumpulkan dan rinciannya kapan, dan kepada siapa, mereka dipindahkan.
Tabel 2.4 mencantumkan kisaran spesimen forensik yang biasanya diambil dalam
kasus kekerasan seksual.
Tabel 2.4 Spesimen Forensik.

31
2.2.6 Penatalaksanaan Kekerasan terhadap Perempuan
Untuk penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, petugs
kesehatan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:21
1. Melindungi korban dari pelaku dan upaya bunuh diri
2. Melaporkan kejadian kekerasan kepada pihak yang berwenang dengan
persetujuan korban.
3. Menyediakan penanganan medis komprehensif
4. Merujuk ke jejaring untuk pendampingan paripurna dan penanganan aspek
non-medis
Terkhusus untuk kekerasan seksual, Pedoman Prinsip Pemeriksaan dan
Penatalaksanaan Korban (P3K) Kekerasan Seksual menjelaskan bahwa dokter
memiliki dua peran, yaitu attending doctor dan assessing doctor. Di mana kedua
peran tersebut berjalan bersamaan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang
lain:22
1. Attending doctor, di mana dokter berperan untuk memberikan diagnosis dan
pengobatan. Hanya saja dalam kasus ini pengobatan yang diberikan tidak

32
hanya pengobatan fisik, tetapi juga pengobatan secara psikis, dalam bentuk
dukungan moral maupun konseling, yang dapat direkomendasikan pada
ahlinya.
2. Assessing doctor, dimana dokter berperan membantu mencari bukti tindak
pidana lewat visum et repertum. Pembuatan visum et repertum ini harus
dilakukan dengan seksama dan memperhatikan regulasi yang ada. Pertama,
dokter harus mendapatkan informed consent yang mencakup penjelasan
mengenai tujuan dan pentingnya pengambilan bukti, prosedur dan teknik
pengambilan bukti, serta proses dokumentasi pengambilan bukti. Kemudian
penjelasan bahwa akan ada rahasia pasien yang diberitakan kepada pihak
kepolisian apabila dirasa diperlukan untuk pemeriksaan. Terakhir persetujuan
dari korban, apabila cukup umur secara hukum ataupun wali korban apabla
korban belum cukup umur secara hukum. Kedua, pengambilan bukti harus
meliputi setiap detail namun juga memperhatikan kenyamanan korban.

Langkah-langkah penanganan kekerasan terhadap perempuan


Langkah-langkah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
dikenal sebagai berikut:21
Recognize : kenali kemungkinan kekerasan
Ask &Listen : tanyakan secara langsung dan dengarkan dengan empati
Discuss Options : bicarakan berbagai pilihannya
Assess Danger: nilai kemungkinan adanya bahaya
Refer to the groups that could provide assistance: rujuk ke lembaga atau
kelompok yang membantu.
Penanganan korban kekerasan terhadap perempuan
Penanganan korban kekerasan juga meliputi pemeriksaan yang akan
dilakukan pada korban, yaitu:21
1. Anamnesis
 Jika wawancara dilakukan di ruangan periksa, tutupi peralatan medis
sampai saat diperlukan
 Sebelum menanyakan riwayat, periksa berkas atau suratsurat yang dibawa
korban ke RS
 Gunakan nada suara tenang dan Jaga kontak mata jika secara budaya
memungkinkan
 Biarkan korban bercerita dengan caranya sendiri
 Pertanyaan seharusnya dilakukan dengan lembut dan menyesuaikan irama
korban. Hindari pertanyaan yang menghakimi

33
 Dibutuhkan cukup waktu untuk mengumpulkan infonnasi yang dibutuhkan
tanpa terburu-buru
 Jangan beri pertanyaan yang sudah ditanyakan dan didokumentasikan oleh
pihak lain yang terlibat dalam kasus
 Hindari interupsi atau selingan selama anamnesis
 Jelaskan apa yang akan dilakukan pada setiap tahap pemeriksaan
 Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa, pengantar
korban, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta jati diri korban,
terutama umur dan perkembangan seksnya (menars dan ciri seks
sekunder), kegiatan seksual terakhir, siklus haid, haid terakhir dan apakah
masih saat kejadian. Nilai kemungkinan terjadinya kehamilan; tanyakan
detail penggunaan kontrasepsi
 Minta korban untuk menggambarkan tentang kejadian kekerasan, rincian
kejadian, waktunya, lokasinya, terjadi atau tidaknya penetrasi, dan apa
yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual tersebut. Yakinkan
kerahasiaan rekam medis dan jelaskan kepada korban pentingnya
menceritakan kejadian secara detail yang waiaupun mungkin merupakan
trauma bagi korban
 Informasi tentang kondisi kesehatan, alergi, penggunaan obat, vaksinasi
dan status HIV akan menolong dokter menentukan penanganan yang tepat,
konseling yang diperlukan dan tindak lanjut penanganan.

2. Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Sampel


Pada kasus pemerkosaan yang baru dapat digunakan "rape kit", yaitu suatu
kit yang berisi amplop-amplop petunjuk, untuk membantu pemeriksaan
mengumpulkan barang bukti sehingga tidak ada yang terlewatkan.
Dokumentasikan semua temuan dengan mencatatnya secara rinci di dalam rekam
medis, dan usahakan pula dokumentasi fotografi atas temuan yang penting.
Pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila peristiwa
kekerasan seksual terjadi kurang dari 72 jam sebelum pemeriksaan.
3. Pencatatan Kasus
 Catat anamnesis dan hasil pemeriksaan dengan jelas, lengkap, obyektif, tanpa
menyimpulkan. Bukan tanggung jawab dokter untuk menentukan apakah
korban telah diperkosa. Dalam rekam medis tidak dinyatakan kesimpulan

34
mengenai terjadinya perkosaan. Catatan bahwa apakah tanda-tanda tersebut
mirip/menyerupai tanda-tanda klinis dibanyak kasus perkosaan.
 Secara lengkap nilai dan catat kondisi fisik dan emosional korban.
 Catat semua perlukaan secara sistematis, menggunakan terminologi standar
dan jelaskan karakteristik luka.
 Catat semua pemeriksaan fisik dengan yang dikatakan korban, pernyataan
penting seperti laporan ancaman oleh pelaku. Jangan takut menuliskan nama
pelaku tapi gunakan pernyataan seperti "korban berkata .."atau "laporan
korban..”.
 Hindari penggunaan kata "dalih", karena akan diinterpretasikan berarti
korban melebih-lebihkan atau bohong.
 Buat catatan dari setiap sampel yang dikumpulkan sebagai bukti.
 Rujuk kepada ahli psikologi selalu dilakukan guna menilai keadaan
psikologinya dan memberikan konseling psikologis, namun tidak harus pada
hari itu juga. Demikian pula perujukkan kepada ahli lainnya, kecuali bila ada
indikasi untuk terapi
4. Rujukan
 Perujukan kepada polisi dilakukan apabla korban belum melapor ke Polisi
sebelumnya dan korban dikonseling untuk menempuh jalur hukum.
 Korban yang telah diantar oleh petugas polisi dan telah menyerahkan Surat
Permintaan Visum et repertumnya, maka dokter segera membuat Keterangan
Sementara Hasil Pemeriksaan dan diserahkan kepada polisi pengantar korban
dalam sampul tertutup.
 Bila tidak ada Surat Permintaan Visum (SPV), maka pembuatan Surat
Keterangan Medik perlu dilakukan sekiranya diperiukan di kemudian hari
(penyerahan keterangan medik ke pihak lain HARUS dengan ijin tertulis
korban).
5. Pemberian Terapi
Terapi dibedakan jika korban datang dalam waktu 72 jam dan lebih dari 72
jam. Korban laki-Iaki membutuhkan vaksinasi dan pengobatan yang sarna seperti
korban perempuan.
Pada korban datang dalam waktu 72 jam setelah kejadian :
a. Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) :
1. Korban perkosaan harus diberi terapi Infeksi Menular Seksual tanpa
dilakukan tes terlebih dahulu

35
2. Terapi Standar yang diberikan dalah terapi terhadap penyakit Gonorrhea,
Chlamydia, Syphilis, dan Trichomonas vaginalis.
3. Hati-hati pada wanita yang hamil tidak boleh minum obat antibiotik
tertentu dan sesuaikan terapi
4. Regimen pencegahan PMS dapat dimulai bersamaan dengan kontrasepsi
darurat dan Post Exposure Prophylaxis (PEP) untuk HIV, meskipun dosis
harus dibagi (dan diminum bersama makanan) untuk mengurangi efek
sarnping seperti mual.

Tabel 2.5 Terapi PMS untuk Dewasa22

36
b. Pencegahan penularan HIV
Pada kasus perkosaan/kekerasan seksual, pemberian Post Exposure
Prophylaxis (PEP) direkomendasikan terutama pada korban dengan risiko tinggi
(perkosaan grup, terdapat luka, dilakukannya hubungan anal/anal-genital, pelaku
HIV positif atau penggunaan obat injeksi). Korban bisa dirujuk untuk
mendapatkan Voluntary Counseling and Testing (VCT).

Tabel 2.6 Regimen Post Exposure Prophylaxis (PEP)

37
c. Pencegahan kehamilan
Pada kasus kekerasan seksual, tes kehamilan wajib dilakukan. Untuk
pencegahan dengan penggunaan pil Emergency Contraception (EC). Menurut
penelitian, pil EC yang dipakai dalam 120 jam/5 hari menurukan kemungkinan
hamil 56%-93%. Regimen terbaik adalah progesteron-only pill (dosis tunggal
levonorgestrel 1,5 mg). Bila tidak tersedia, maka dapat digunakan 2 buah pil yang
mengandung 50 μg ethinyl estradiol dan 250 μg levonorgestrel yang diminum
dengan jarak 12 jam.
Apabila korban mengalami tes kehamilan positif saat pemeriksaan, maka
kehamilan bukan karena perkosaan. Korban harus diberitahu. Apabila tes
kehamilan negatif maka korban harus tes kehamilan lagi 4 mingggu setelah
kejadian bila tidak menstruasi.
d. Perawatan luka
Prinsip perawatan luka adalah luka tersebutdilakukan pembersihan luka
terlebih dahulu. Apabila luka memerlukan penjahitan maka dilakukan penjahitan.
Bila diperlukan juga diberikan antibioik dan analgetik.

e. Pencegahan tetanus
Tetanus mungkin dapat terjadi selama kekerasan seksual terutama pada
korban yang mengalami luka terbuka dan belum mendapatkan vaksinasi dalam 10
tahun ini. Pada korban kekerasan seksual dapat diberikan suntikan booster
antitetanus toxoid 0.5 ml secara intramuskular.
f. Pencegahan hepatitis B
Pada korban kekerasan seksual juga perlu diberikan pencegahan hepatitis
B. HBV (Hepatitis B Virus) ada di semen dan cairan vagina. Penularannya dengan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Vaksinasi diberikan dalam 14 hari kejadian.
Namun sebelum pemeberian vaksin perlu diperiksan antibodi terhadap Hbs. Bilah

38
hasilnya adalah negatif, maka segera dilakukan vaksinasi pertama. Pemberian
selanjutnya adalah 1 bulan dan 6 bulan sesudah pemberian pertama.

g. Perawatan kesehatan jiwa


Pada setiapa korban harus diberikan dukungan psikosial terutama dalam
lingkup keluarga sebgai orang terdekat dan yang mengenal korban. Jika korban
memiliki gejala panik atau cemas (pusing, sesak nafas, berdebar-debar, perasaan
seperti tercekik), maka tenagkan lah korban terlebih dahulu. Pengobatan dapat
diberikan pada kasus distress akut berat yang ditandia dengan ketidakmampuan
berbicara dengan orang lain yang menetap minimal dalam waktu 24 jam.
Pengobatan yang diberikan adalah diazepam 5 mg atau 10 mg yang diberikan
pada malam hari dan maksimal 3 hari penggunaan.
Pada korban datang dalam waktu lebih dari 72 jam setelah kejadian :
a. Pencegahan Infeksi Menular Seksual
Pada pasien kekrasan seksual yang datang lebih dari masa darurat maka
dilakukan pemeriksaan IMS terlebih dahulu. Jika terbukti/hasilnya positif maka
gunakan protokol pengobatan yang telah dijelaskan diatas.
b. Pencegahan penularan HIV
Pada korban dapat dilakukan rekomendasi untuk melakukan VCT dalam
waktu 3-6 bulan. Pemberian PEP tidak dilakukan pada korban.
c. Pencegahan kehamilan
Pada korban dilakukan pemeriksaan kehamilan dan pastikan apakah
kehamilan terjadi saat kejadian kekerasan seksual. Jika kehamilan terjadi akibat
kekerasan seksual maka pada korban dilakukan konseling
Apabila korban tidak terbukti hamil, perlu diperhatikan waktu kedatangan
korban. Jika korban dtang dalam waktu 72-120 jam maka dapat diberikan pil EC.
Jika korban datang dalam waktu 5 hari setelah kejadian, dapat dipasang alat
kontrasepsi dalam rahim.
d. Perawatan luka
Penanganan luka dilakukan sesuai dengan derajat berat ringannya luka dan
menggunakan prinsip perawatan luka. Sebelum dilakukannya penanganan,
sebaiknya dilakukan pengambilan data berupa identifikasi luka.
e. Pencegahan tetanus

39
Pemberian tetanus dapat diberikan pada korban. Masa inkubasi tetanus
adalah 3-12 hari atau lebih. Bila pasien belum melakukan vaksinasi, segera
lakukan vaksinasi.
f. Pencegahan hepatitis B
Pemebrian pencegahan hepatitis B dapat diberikan karena masa inkubasi
hepatiti B adalah dalam kurun waktu 2-3 bulan.
g. Perawatan kesehatan jiwa

Penanganan kekerasan terhadap perempuan dari segi hukum tindak pidana


1. Kekerasan seksual23
Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal
291 dan pasal 294.
 Pengertian anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak pada Pasal 1 angka (1) memberikan rumusan bahwa anak adalah
seseorang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sedangkan jika dilihat dari KUHPerdata memberikan
batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah
mereka yang belum berumur 21 tahun, seperti yang dinyatakan dalam
Pasal 330 BW yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang

40
belum mencapai umur genap 21 ( dua puluh satu ) tahun, dan tidak lebih
dahulu kawin”. Dan jika dilihat dari KUHP ( kitab undang-undang
hukum pidana ) usia maksimal tentang anak adalah berbeda-beda, antara
lain:
a. Pasal 45 dan 72 KUHP adalah belum cukup 16 tahun.
b. Pasal 283 KUHP usia anak adalah belum cukup 17 tahun.
c. Pasal 287-293 KUHP, usia anak adalah belum cukup 15 tahun.
Pasal 288 KUHP
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seormig wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan
belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

2. Kekerasan dalam lingkup rumah tangga24


Pasal 44 UU No.23 tahun 2004
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

41
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 45 UU No.23 tahun 2004


(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46 UU No.23 tahun 2004
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 47 UU No.23 tahun 2004
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Pasal 48 UU No.23 tahun 2004
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

42
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel, DM. Preventing Violence Againts Woman and Children: Workshop


Summary. Washington DC: The National Academi Press, 2011, Pg 1-42.
2. World Health Organization. Violence Against Women. 2016. Diakses dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs239/en/ tanggal 27 Oktober 2017
3. Arief, H. Legal Protection Againts Women Vistims by the Indonesian
Domestic Violence Act 3, 2004. Sriwijaya Law Review. Vol 1 issue 1, January
2017, 88-97.
4. Komnas Perempuan. Siaran Pers Komnas Perempuan Catatan Tahunan
(CATAHU) 2017 Labirin Kekerasan Terhadap Perempuan: dari Gang Rape
hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat.
https://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-catatan-
tahunan-catahu-2017-labirin-kekerasan-terhadap-perempuan-dari-gang-rape-
hingga-femicide-alarm-bagi-negara-untuk-bertindak-tepat-jakarta-7-maret-
2017/ diakses tanggal 24 Oktober 2017.
5. Badan Pusat Statistik. Prevalensi Kekerasan Terhadap Perempuan di
Indonesia, Hasil SPHPN 2016. https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1375. 2017.
Diakses tanggal 4 Oktober 2017.
6. UNICEF. Analysis of Domestic Lawas related to Violence against Children:
Indonesia. June 2015. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2017.
7. UNICEF. Violence against Children: It’s time to Act.
https://www.unicef.org/indonesia/media_24980.html. 2015. Diakses pada
tanggal 24 Oktober 2017.
8. KPAI. http://www.kpai.go.id/berita/8194/. 2016. Diakses pada tanggal 25
Oktober 2017.
9. Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. Kekerasan terhadap perempuan Dalam :
Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta . 2008, hal: 195-203
10. WHO. 2006. Preventing child maltreatment: a guide to taking action and
generating evidence. Geneva.
11. Sekartini R, 2013. Kedaruratan dalam kasus child abuse. Dalam: Pardede SO,
Djer MM, Soesanti F, Ambarsari CG, Soebadi A. Tata laksana berbagai
keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM. Hal.86-94.

44
12. IGE O.K, Fawole OI. Evaluating the medical care of child sexual ause victims
in a general hospital in Ibadan, Nigeria.ghana Medical Hournal, 2012;46:22-6.
13. Widiastuti D, Sekartini R, 2005. Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak
Perlakuan Salah pada Anak.jurnal studi ilmu kesehatan anak FKUI Volume 7
No. 2, September 2005: 105 - 112
14. NSPCC, The Definition and Signs of Child Abuse, NSPCC Inform, USA,
2009
15. Hasanah U, Raharjo ST. (2016). Penanganan Kekerasan Anak Berbasis
Masyarakat. Social Work Journal, 6(1): 80-92.
16. IDI, Depkes RI, UNICEF. (2004). Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini &
Penatalaksanaan Korban Child Abuse And Neglect, Bagi Tenaga Profesional
Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan.
17. Toule, Elsa R.M. Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kajian dari Perspektif
yuridis Kriminologis. 2011
18. Gunawan N. Kekerasan Terhadap Perempuan.Universitas Indonesia. 2009.
19. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of
sexual violence. 2003.
20. Prasetiawan H. Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Berdampak
Terhadap Kesehatan Reproduksi. Universitas Ahmad Dahlan. 2010
21. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia. Pelayanan kesehatan Dalam: Prosedur standar operasional
pelaksanaan standar pelayanan minimal (spm) bidang pelayanan terpadu bagi
perempuan dan anak korban kekerasan. 2010
22. Meilia, PDI. Prinsip pemeriksaan dan penatalaksanaan Korban (P3K)
kekerasan seksual. CDK-196. 2012; 39(8): 579-580
23. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan Ulang
Kesepuluh. Poelita Bogor. 1998
24. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Undang-Undang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU RI No. 23 tahun 2004.

45

Anda mungkin juga menyukai