Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

Gagal Jantung

Oleh:

SM Rezvi 1210312017

Pembimbing :

dr. Djunianto, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD LUBUK BASUNG

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................ 2


BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
1.1 Definisi................................................................................. 3
1.2 Epidemiologi ........................................................................ 3
1.3 Etiologi................................................................................. 4
1.4 Patogenesis dan patofisiologi............................................... 6
1.5 Manifestasi Klinis ................................................................ 7
1.6 Diagnosis ............................................................................. 9
1.7 Tatalaksana .......................................................................... 13
1.8 Prognosis .............................................................................. 19
1.9 Komplikasi ........................................................................... 20
BAB 2 ILUSTRASI KASUS................................................................... 21
BAB 3 DISKUSI ...................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 30

2
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai/ tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.1
Gagal jantung akut merupakan suatu keadaan dimana terjadi perubahan cepat
dari tanda dan gejala gagal jantung yang memerlukan pengobatan segera. 4 Gagal
jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut,
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung
kronik.2 Kelainan penyerta kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner,
hipertensi, kelainan katup jantung, aritmia dan kondisi non kardiak (disfungsi
ginjal, diabetes, anemia) sering menyertai atau berkontribusi pada patofisiologi
gagal jantung akut.4

1.2 Epidemiologi
Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sekaligus
penyebab signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan menghabiskan biaya
yang tinggi. Penyakit ini merupakan penyebab utama perawatan pada penyakit
kardiovaskuler di Eropa. Di Eropa dan Amerika Serikat angka kematian di rumah
sakit akibat penyakit ini berkisar antara 4-7 % . Sekitar 10 % dari pasien yang
bertahan hidup beresiko mengalami kematian dalam waktu 60 hari berikutnya.5
Pasien dengan gagal jantung akut kira-kira mencapai 20% dari seluruh kasus
gagal jantung. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan usia, 80 %
berumur lebih dari 65 tahun.5
Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Amerika
dan Eropa disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. Belum ada data
epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada Survei Kesehatan Nasional 2003
dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di
Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa

3
penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab
kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia.5 Kejadian gagal jantung akan
semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan
hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan
perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.6

1.3 Etiologi

Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan gagal


jantung akut. Contoh yang paling sering antara lain peninggian afterload pada
penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi pulmonal,
peningkatan preload dimana adanya peningkatan volume atau retensi cairan, atau
adanya kegagalan sirkulasi dengan peninggian output pada keadaan seperti infeksi,
anemia atau tirotoksikosis.7

Tabel 1. Penyebab dan faktor pencetus gagal jantung akut8


Penyakit Jantung Iskemik  Sindroma Koroner Akut
 Komplikasi mekanik pada miokard infark
akut
 Infark ventrikel kanan
Penyakit katup Jantung  Stenosis katup
 Regurgitasi katup
 Endokarditis
 Diseksi aorta
Miopati  Post-partum kardiomiopari
 Aritmia akut
Gagal sirkulasi  Septikemia
 Tirotoksikosis
 Anemia
 Shunts
 Tamponade
 Emboli paru

4
Dekompensasi pada awal  Ketidakpatuhan meminum obat
gagal jantung kronik  Kelebihan cairan masuk/volume overload
 Infeksi terutama pneumonia
 Operasi
 Disfungsi renal
 Asma/PPOK
 Penyalahgunaan obat
 Penyalahgunaan alkohol

Selain itu terdapat beberapa keadaan yang dapat menyebabkan gagal


jantung akut baik secara cepat dan tidak terlalu cepat.2
Tabel 2. Faktor Pencetus dan Penyebab Gagal Jantung Akut2
Keadaan yang menyebabkan gagal Keadaan yang menyebabkan gagal
jantung akut secara cepat jantung akut yang tidak terlalu cepat
 Gangguan takiaritmia atau  Infeksi (termasuk endokarditis
bradikardia yang berat infektif)
 Sindroma koroner akut  Eksaserbasi akut PPOK / asma
 Komplikasi mekanis pada  Anemia
sindroma koroner akut (rupture  Disfungsi ginjal
septum intravetrikuler, akut  Ketidakpatuhan berobat
regurgitasi mitral, gagal jantung  Penyebab iatrogenik (obat
kanan) kortikosteroid, NSAID)
 Emboli paru akut  Aritmia, bradikardia, dan gangguan
 Krisis hipertensi konduksi yang tidak menyebabkan
 Diseksi aorta perubahan mendadak laju nadi
 Tamponade jantung  Hipertensi tidak terkontrol
 Masalah perioperative dan bedah  Hipertiroidisme dan hipotiroidisme
 Kardiomiopati peripartum  Penggunaan obat terlarang dan
alkohol

5
1.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Gagal jantung akut merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
melakukan tugasnya sebagai organ utama pemompa darah. Gagal jantung akut
sering dikaitkan dengan robekan katup jantung akibat endokarditis, infark miokard
yang luas, irama jantung yang abnormal, penyakit perikard, peninggian dari beban
after-load dan pre-load. Efek yang paling cepat muncul adalah penurunan sirkulasi
perifer secara tiba-tiba tanpa disertai oleh edema perifer.9
Secara garis besar gagal jantung dibagi menjadi 2 jenis, yaitu gagal jantung
sistolik (reduced EF) dan gagal jantung diastolik (preserved EF), hal ini berkaitan
pula dengan terminologi back-ward HF dan after-ward HF. GJ sistolik dimulai
dengan adanya beban after-load yang tinggi yang menyebabkan jantung
meningkatkan kemampuan pompa dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung
(miosit). Efek yang muncul dari peningkatan tenaga kontraktilitas adalah teregang
dan melebarnya otot-otot miosit sehingga memicu remodeling dari otot jantung.
Remodelling struktural ini diperberat oleh progresifitas underlying disease dan
menghasilkan sindrom klinis gagal jantung.1,10
Gagal jantung diastolik di mulai pada saat gagalnya pengisian ventrikel kiri
akibat penurunan volume sekuncup, yang diakibatkan oleh pengurangan volume
ruang ventrikel karena peningkatan massa otot serta gangguan regangan otot
jantung, peningkatan volume residu ventrikel (EDV), sehingga terjadi peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Gangguan ini akan menyebabkan
kegagalan dari fungsi diastol dan menyebabkan terjadinya Gagal Jantung diastol.11
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat
dilihat: 1) Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, 2) aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS), 3) hipertrofi ventrikel. Ketiga kompensasi ini akan
mempertahankan curah jantung pada batas normal pada awal perjalanan gagal
jantung. Penurunan EF atau penurunan volume sekuncup akan membangkitkan
respons simpatis kompensatorik, yang akan merangsang pengeluaran katekolamin
dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal, sehingga merangsang
peningkatan denyut jantung dan kontraksi jantung yang diakhiri dengan
peningkatan curah jantung. Proses aktivasi RAAS dimulai ketika ginjal dalam hal
ini jukstaglomerulus ginjal yang bekerja sebagai baroreseptor yang membaca
6
terdapat penurunan volume darah yang masuk ke dalam ginjal. Sehingga renin di
bentuk dan proses RAAS berlangsung.11

Gambar 1. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

Hipertrofi ventrikel adalah respon kompensatorik terakhir pada gagal


jantung.hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dapat bertambah secara paralel
dan serial bergantung pada jenis beban hemodinamik. Pada stenosis aorta maka
beban hemodinamik akan meningkatkan ketebalan dinding tanpa penambahan
ukuran ruang dalam ventrikel (hipertrofi konsentris). Sedangkan regurgitasi aorta
akan memunculkan beban volume sehingga akan ditandai dengan dilatasi ruang
ventrikel dan penebalan dinding ventrikel (hipertrofi eksentris).11

1.5 Manifestasi klinis


Menurut ESC 2008, manifestasi klinis pasien dengan gagal jantung akut dapat
dibagi kedalam 6 kategori8 :
1. Gagal Jantung Akut Dekompensasi / Acute Decompensated Heart Failure
Keadaan gagal jantung akut dekompensasi, dapat berupa keadaan
dekompensasi yang baru pertama kali (de novo ) dan dapat juga merupakan
perburukan dari gagal jantung yang kronis (acute on chronic). Kedua
keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok kardiogenik, edema
paru, atau krisis hipertensi.
2. Gagal Jantung Akut Hipertensif/ Hypertensive Acute Heart Failure

7
Gagal jantung akut hipertensif yaitu tanda dan gejala gagal jantung disertai
dengan tekanan darah yang tinggi dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang
relatif baik. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan tonus simpatik yaitu
didapatkan takikardi dan vasokontriksi. Keadaan pasien dapat
berupa euvolemik atau sedikit hipervolemik, dan seringkali disertai kongesti
paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik. Dengan respon yang cepat dan
terapi yang tepat, mortalitas selama perawatan akan menjadi lebih rendah.
3. Edema paru
Pasien dengan presentasi klinis sesak nafas yang hebat/ severe respiratory
distress, takipneu dan ortopnue dengan ronki basah di hampir semua
lapangan paru. Saturasi oksigen di arteri < 90% pada udara ruangan, sebelum
diberikan terapi oksigen.
4. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik yaitu ditemukan bukti adanya hipoperfusi jaringan akibat
gagal jantung walau sudah terdapat koreksi preload dan adanya aritmia
berat. Syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah
sistolik (SBP) <90 mmHg, atau penurunan Mean Arterial Pressure (MAP)
<30 mmHg, dan/atau urine output yang rendah atau tidak keluar (<0.5
mL/kg/jam). Gangguan irama sangat sering ditemukan. Berdasarkan
penelitian, hipoperfusi organ dan kongesti paru dapat terjadi dengan cepat.
5. Gagal jantung kanan terisolasi
Gagal jantung kanan ditandai dengan sindroma berkurangnya output tanpa
adanya kongesti paru dengan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP)
dengan atau tanpa pembesaran hati, dan disertai dengan rendahnya tekanan
pengisian ventrikel kiri (filling pressure) yang rendah.
6. Sindrom koroner akut dan Gagal Jantung
Banyak pasien dengan gagal jantung akut yang memiliki manifestasi klinis
dan laboratoris dari sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien sindroma
koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung Pada pasien SKA,
episode gagal jantung akut sering dicetuskan oleh aritmia (bradikardia, AF
atau VT).

8
Gambar 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Akut.8

1.6 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung cukup sulit, terutama pada tahap awal penyakit.
Keluhan yang disebabkan gagal jantung bersifat non spesifik dan tidak begitu
membantu dalam membedakan gagal jantung dengan penyakit lain. Banyak tanda
dari gagal jantung disebabkan oleh retensi air dan natrium, dan juga bersifat tidak
spesifik. Gejala dan tanda lebih susah ditemukan dan diinterpretasikan pada pasien
dengan obesitas, usia lanjut, dan pasien dengan PPOK.2
Diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan manifestasi klinis berupa tanda
dan gejala yang ada pada pasien. Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis
gagal jantung ditegakkan dengan adanya 2 tanda mayor atau satu tanda mayor dan
dua tanda minor.8

Tabel 3. Kriteria Framingham


Tanda Mayor Tanda Minor

Gejala

 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea  Batuk pada malam hari


(PND)  Dyspnea on exertion (DOE)
 Orthopnea (OP)

9
 Penurunan BB lebih kurang 4,5 kg
dalam 5 hari

Tanda

 Ronki  Udem tungkai bilateral


 Kardiomegali (X-Ray)  Hepatomegali
 Udem paru akut (X-Ray)  Efusi pleura (X-ray)
 Bunyi jantung S3 ventrikel  Penurunan nilai kapasitas vital
 Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O 1/3 dari normal
 Refluks hepatojugular  Takikardia (>120 denyut per
menit)
 Peningkatan corakan
bronkovaskuler (X-Ray)

Ketika kita sudah mendiagnosis pasien dengan gagal jantung, kita perlu
mengklasifikasikan derajat fungsional dari gagal jantung tersebut. Berdasarkan
American Heart Association (AHA), derajat gagal jantung dibagi menjadi empat
bagian.12
Tabel 4. Derajat gagal jantung menurut AHA12
A Resiko tinggi gagal jantung tanpa kelainan struktur
jantung dan gejala

B Kelainan struktur jantung tanpa tanda dan gejala gagal


jantung

C Kelainan struktur jantung dengan tanda dan gejala gagal


jantung

D Gagal jantung refrakter yang memerlukan intervensi


spesialis

10
Berdasarkan New York Heart Association, derajat fungsional gagal jantung
dapat dibagi dalam empat kelas.12
Tabel 5. Derajat fungsional gagal jantung menurut NYHA12
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik.

Aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan sesak, keletihan,


atau palpitasi.

Kelas II Sedikit pembatasan pada aktivitas fisik.

Tidak ada gejala saat istirahat, tetapi aktivitas fisik biasa


dapat menyebabkan sesak, keletihan, atau palpitasi.

Kelas III Pembatasan aktivitas fisik secara bermakna. Tidak ada


gejala saat istirahat, namun aktivitas fisik yang lebih ringan
dapat menyebabkan sesak, keletihan, atau palpitasi.

Kelas IV Rasa tidak nyaman selalu dirasakan saat beraktivitas.

Gejala saat istirahat mungkin ada. Apabila melakukan


aktivitas, gejala meningkat.

Klasifikasi Forrester digunakan untuk melihat status perfusi dan kongesti dari
pasien. Penilaian klasifikasi Forrester pada pasien dengan gagal jantung akut dapat
menjadi standar untuk pemilihan dan penilaian tatalaksana awal pada pasien.8

Gambar 3. Klasifikasi Forrester8

11
Pemeriksaan penunjang untuk gagal jantung dapat berupa:
a. EKG
Pemeriksaan EKG menunjukkan irama jantung dan gambaran aktivitas listrik
jantung. EKG dapat mengonfirmasi ada atau tidaknya gangguan sinoatrial,
blokade AV, ataupun gangguan irama lainnya yang dapat menyebabkan gagal
jantung. Temuan ini sangat berpengaruh terhadap rencana terapi kedepannya. EKG
juga dapat menunjukkan adanya pembesaran ventrikel kiri, gelombang Q. Sangat
sedikit (<2%) penderita gagal jantung akut yang menunjukkan gambaran EKG
normal.2
b. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi memberikan informasi volume ruang jantung,
fungsi sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan otot jantung, dan fungsi katup.
Informasi yang didapatkan dari pemeriksaan ekokardiografi sangat penting untuk
menentukan rencana terapi ke depan.2
Pemeriksaan EKG dan ekokardiografi memberikan cukup data untuk
menetapkan diagnosis kerja dan rencana pengobatan pada kebanyakan pasien.
Pemeriksaan penunjang lain dilakukan apabila diagnosis masih belum dapat
ditegakkan melalui EKG dan ekokardiografi, atau apabila diperlukan evaluasi lebih
lanjut terkait faktor yang mempengaruhi gangguan pada jantung pasien.2
c. Fototoraks
Pemeriksaan foto toraks harus segera dilakukan ketika pasien tiba di layanan
kesehatan untuk menilai derajat bendungan paru dan untuk mengevaluasi ada atau
tidaknya gangguan lain pada jantung atau paru (kardiomegali, efusi, atau infiltrat).
d. Analisa Gas Darah
Digunakan untuk melihat pO2, PCO2, dan pH. Pemeriksaan ini perlu dilakukan
pada pasien dengan gagal nafas berat. Asidosis yang disebabkan gangguan perfusi
atau peningkatan pCO2 karena hipoventilasi menandakan prognosis yang jelek.
Pemasangan pulse oxymmetry dapat menggantikan AGD, namun tidak
menyediakan informasi terkait pCO2 atau keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan labor lain seperti pemeriksaan hematologi dapat dilakukan untuk
menilai fungsi ginjal, fungsi hepar, dan keseimbangan elektrolit. Data ini dapat
digunakan sebagai faktor prognostic pada pasien dengan gagal jantung akut.

12
1.7 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung akut dibagi menjadi beberapa bagian, seperti
tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Tujuan tatalaksana pada gagal jantung akut8

Immediate (ED/ICU/CCU)

Memperbaiki gejala

Mengembalikan oksigenasi

Memperbaiki perfusi organ dan hemodinamik

Mengurangi kerusakan jantung atau ginjal

Memperpendek lama rawatan di ICU

Intermediate (di rumah sakit)

Stabilisasi dan optimalisasi terapi

Memulai terapi farmakologi yang sesuai

Pertimbangan penggunaan alat untuk terapi pada pasien-pasien tertentu

Memperpendek lama rawatan di rumah sakit

Long-term and pre-discharge

Perencanaan untuk follow up pasien

Edukasi gaya hidup

Profilaksis skunder yang adekuat

Cegah masuk RS berulang

Memperbaiki ketahanan dan kualitas hidup

13
Terapi pada gagal jantung akut, meliputi :
1. Oksigen
Oksigen diberikan pada pasien hipoksemia untuk memperoleh saturasi
oksigen arterial > 95% atau >90% ada pasien PPOK.
2. Ventilasi non invasif atau non invasive ventilation (NIV)
NIV digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengatasi gejala pasien
edema paru dan distress pernapasan yang berat atau gagal dengan terapi
farmakologi.
3. Morfin dan Analog Morfin
Morfin harus dipertimbangkan pada stadium awal gagal jantung akut,
terutama apabila pasien gelisah, sesak napas, ansietas atau nyeri dada. Morfin
sebagai venodilator, menurunkan preload dan rangsangan saraf simpatis. Morfin
diberikan bolus 2,5-5mg IU dan dapat diulang seperlunya. Hati-hati ada hipotensi ,
bradikardi AV block lanjut dan retensi CO2.
4. Loop diuretik
Pemberian diuretik intravena direkomendasikan pada gagal jantung akut
bila ada simptom akibat kongesti atau volume overload. Cara pemberian diuretik
pada gagal jantung akut adalah dosis awal yang dianjurkan 20-40mg iv furosemid
(0,5-1 mg bumetadin;10-20 mg torasemid) atau lebih dari dosis sehari-hari yang
didapat. Pemasangan kateter urin perlu untuk memonitor produksi urin dan
mengetahui respon pengobatan.
Pada pasien dengan bukti adanya volume overload, dosis furosemid iv dapa
ditingkatkan, sesuai dengan fungsi renal dan pemakaian oral diuretik yang lama
sebelumnya. Pada pasien ini, pemakaian furosemid iv secara iv drips dapat
dipertimbangkan sesudah pemberian initial. Dosis furosemid tidakboleh melebihi
100 mg untuk 6 jam pertama dan 240 mg pada 24 jam pertama.
5. Vasodilator
Vasodilator dapat berupa nitroglisen, isosorbit dinitrat, nitroprusside dan
nesitid. Vasodilator direkomendasikan pada tahap awal gagal jantung akut apabila
tidak ada tanda hipotensi yang simptomatis, tekanan sistolik <110 mmHg atau
penyakit valvular obstruktif yang serius.

14
6. Obat-obat inotropik
Obat inotropik hanya boleh dibeikan pada pasien dengan tekanan sistolik
rendah atau cardiac index rendah dengan tanda tanda hipoperfusi atau kongesti.
a. Dobutamin
Dobutamin adalah obat inotropik positif, bekerja melalui stimulasi reseptor
B1 untuk menginduksi efek inotropik positif dan konotropik. Dosis awal 2-
3mcg/kg/menit secara infus iv, tanpa didahului bolus atau loading dose.
b. dopamine
Dopamin juga menstimulasi reseptor B adrenergik, secara langsung atau
tidak langsung, dengan akibat meningkatkan kontraktilitas miokardium dan curah
jantung. Infus dopamine dosis rendah(<2-3 mcg/kgBB/menit) akan menstimulasi
reseptor dopaminergik. Dosis tinggi (>5mcg/kgBB/menit) memiliki efek inotropik
dan vasokontriksi dapat dipakai untuk mempertahankan tekanan darh sistolik, tetapi
dapat meningkatkan risiko takikardi, aritmia, dan stimulasi alfa adrenergik.
c. Milrinon dan Enoksimon
Obat ini mencegah pemecahan siklik AMP dan memiliki efek inotropik dan
vasodilator perifer dengan meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup,
bersamaan dengan penurunan tekanan arteri pulmonalis, tekanan baji paru,
resistensi sistemik dan sirkulasi paru.
d. Levosimendan
Levosimendan merupakan salah satu calsium sensitizer yang memperbaiki
kontraktilitas jantung secara berikatan dengan toponin C dalam kardiomiosit.
Pemberian levosimendan infus pada gagal jantung akut dekompensasi akan
meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup, mengurangi tekanan baji paru,
tekanan vaskular sistemik dan tahanan vaskular paru.Levasimendan dapat diberikan
bolus (3-12mg/kg) selama 10 menit, kemudian diikuti drip iv (0,05-0,2
mg/kg/menit untuk 24 jam).
7. Vasopressor
Norepinefrin tidak direkomendasikan sebagai terapi awal gagal jantung akut
dan hanya diberikan pada asien dengan syock kardiogenik apabila kombinasi obat
inotropik dan pengatuan cairan gagal menaikkan tekanan darah sistolik lebih dari
90 mmHg, dengan perfusi inadekuat.

15
8. Glikosida jantung
Pada gagal jantung aku hanya menaikkan sedikit cardiac output dan penurunan
darib tekanan pengian sehingga mmungkin bermanfaat unuk laju ventrikel pada
keadaan fibrilasi atrial cepat.2
Sesudah penilaian awal, semua pasien harus diberikan terapi oksigen dan
NIV. Terget terapi pre hospital atau ruang emergensi adalah segera memperbaiki
oksigenasi jsaringan dan mengoptimalkan hemodinamik dan meperbaiki gejala.
Strategi terapi spesifik harus berdasarkan ciri khas kondisi klinis yang terutama:
1. Pasien dengan edema/kongesti paru tanpa syok
a. Diuretika loop (IV) driekomendasikan untuk mengurangi sesak nafas, dan
kongesti. Gejala , urin, fungsi renal dan elektrolit harus diawasi secara
berkala selama penggunaan diuretika IV.
b. Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien dengan
saturasi perifer < 90% atau PaO2 < 60 mmHg, untukmemperbaiki
hipoksemia.
c. Profilaksis tromboemboli direkomendasikan pada pasien yang belum
mendapat antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap
antikoagulan, untuk menurunkan risiko deep vein thrombosis dan emboli
paru.
d. Pemberian ventilasi non invasif (CPAP, dll) harus dipertimbangkan bagi
pasien dengan edema paru dan pernafasan > 20x/ menit untuk mengurangi
sesak nafas, mengurangi hiperkapnia dan asidosis. Ventilasi non invasive
dapat menurunkan tekanan darah dan tidak dipergunakan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik < 85 mmHg.
e. Opium (IV) harus dipertimbangkan terutama bagi pasien yang gelisah,
cemas atau distress untuk menghilangkan gejala-gejala tersebut dan
mengurangi sesak nafas. Kesadaran dan usaha nafas harus diawasi secara
ketat, karena pemberian obat ini dapat menekan pernafasan.
f. Pemberian nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien edema/ kongesti
paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak memiliki
stenosis katup mitral dan atau aorta, untuk menurunkan tekanan baji kapiler
paru dan resistensi vascular sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan

16
dispnoe dan kongesti. Gejala dan tekanan darah harus dimonitor secara ketat
selama pemberian obat ini.
2. Pasien dengan hipotensi, hipoperfusi atau syok
a. Kardioversi elektrik direkomendasikan bila aritmia ventricular atau atrial
dianggap sebagai penyebab ketidakstabilan hemodinamik, untuk
mengembalikan irama sinus dan memperbaiki kondisi klinis pasien.
b. Pemberian inotropik (IV) harus dipertimbangkan pada paien dengan
hipotensi (tekanan darah sistolik < 85 mmHg) dan atau hipoperfusi untuk
meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan memperbaiki perfusi
perifer. EKG harus domonitor secara kontinu karena inotropic dapat
menyebabkan aritmia dan iskmia miokardial.
c. Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara perlu dipertimbangkan
(sebagai ‘jembatan’ untuk pemulihan) pada paien yang tetap dalam keadaan
hipoperfusi walaupun sudah mendapat terapi inotropic dengan penyebab
yang reversible, seperti miokarditis virus atau berpotensi untuk menjalani
tindakan intervensi, seperti ruptur septum intraventrikular.
d. Levosimendan (IV) atau penghambat fosfodiesterase dapat
dipertimbangakn untuk mengatasi efek penyekat beta bila dipikirkan bahwa
penyekat beta sebagai penyebab hipoperfusi. EKG harus dimonitor karena
obat ini bias menyebabkan aritmia dan atau iskemia miokardial dan juga
obat ini mempunyai efek vasodilator sehingga tkanan darah juga harus
dimonitor.
e. Vasopresor seperti dopamine atau norepinefrin dapat dipertimbangkan bagi
pasien yang mengalami syok kardiogenik, walaupun sudah mendapat
inotropik, untuk meningkatkan tekanan darah dan perfusi organ vital. EKG
harus dimonitor karena obat ini dapat menyebabkan aritmia dan atau
iskemia miokard. Pemasangan monitor tekanan darah intra-arterial juga
harus dipertimbangkan.
f. Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara juga harus dipertimbangkan
pada pasien yang mengalami perburukan kondisi dengan cepat sebelum
evalusi klinis dan diagnostik lengkap dapat dikerjakan

17
3. Pasien dengan Sindroma Koroner Akut
a. Tindakan Intervensi Koroner Perkutaneus Primer (IKPP) atau Bedah Pintas
Arteri Koroner (BPAK) direkomendasikan bila terdapat elevasi segmen ST
atau LBBB baru untuk mengurangi perluasan nekrosis miosit dan risiko
kematian mendadak.
b. Alternatif IKPP atau BPAK : trombilitik (IV) direkomendasikan bila IKPP/
BPAK tidak dapat dilakukan, pada elevasi segmen ST atau LBBB baru ,
untuk mengurangi perluasan nekrosis miosit dan risiko kematian mendadak.
c. IKPP dini (atau BPAK pada pasien tertetu) direkomendasikan pada
sindroma kaoroner akut non elevasi segmen ST untuk mengurangi risiko
sindroma koroner akut berulang. Tindakan revaskularisasi secepatnya
direkomendasikan bagi pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
d. Antagonis mineralokortikoid direkomendasikan untuk menurunkan risiko
kematian dan perawatan karena masalah cardiovascular pada pasein dengan
fraksi ejeksi <40%.
e. ACE inhibitor (atau ARB) direkomendasikan bagi pasien dengan fraksi
ejeksi <40%, setelah kondisi stabil, untuk mengurangi risiko kematian,
infark miokard berulang dan perawatan oleh karena gagal jantung.
f. Penyekat β direkomendasikan bagi pasien dengan fraksi ejeksi < 40 %,
setelah kondisi stabil, untuk mengurangi risiko kematian, infark miokard
berulang dan perawatan oleh karena gagal jantung.
g. Opiat (IV) harus dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri iskemik yang
hebat (dan memperbaiki sesak nafas). Kesadaran dan usaha nafas harus
dimonitor secara ketat karena opiate dapat menyebabkan depresi
pernafasan.
4. Pasien dengan Fibrilasi Atrial dan laju ventrikel yang cepat
a. Pasien harus mendapat antikoagulan, seperti heparin, selama tidak ada
kontraindikasi, segera setelah dideteksi irama fibrilasi atrial, untuk
mengurani risiko tromboemboli.
b. Kardioversi elektrik direkomendasikan pada pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil yang diharuskan untuk segera kembali ke irama sinus,
untuk memperbaiki kondisi klinis dengan cepat .

18
c. Kardioversi elektrik atau farmakologik dengan amiodaron harus
dipertimbangkan pada pasien yang diputuskan untuk kembali ke irama sinus
tetapi (strategi‘kontrol irama’). Stretegi ini hanya ditujukan bagi pasien
yang baru pertama kali mengalami fibrialsi atrial dengan durasi < 48 jam
(atau pada pasien tanpa thrombus di appendiks atrium kiri pada
ekokardiografi transesofagus).
d. Pemberian glikosida kardiak harus dipertimbangkan untuk mengontrol laju
ventrikel.
e. Antiaritmia kelas I, tidak direkomendasikan karena pertimbangkan
keamanannya (meningkatkan risiko kematian dini), terutama pada pasien
dengan disfungsi sistolik.
5. Pasien dengan brakikardia berat atau blok jantung
Pacu jantung direkomendasikan bagi pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil oleh karena bardikardia berat atau blok jantung, untuk memperbaiki
kondisi klinis pasien

Terapi Nonmedikamentosa13
1. Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan.
2. Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta
rehabilitasi.
3. Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol.
4. Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba.
5. Mengurangi berat badan pada pasien yang obesitas.
6. Hentikan kebiasaan merokok.
7. Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
memerlukan perhatian khusus.

1.8 Prognosis

Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk.
Dalam satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagak
jantung mengalami dekompensasi, mortaliras 60 hari adalah 9,65 dan apabila
19
dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%.
Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali,
15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama. Angka kematian lebih tinggi
lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam
12 bulan adalah 30%.13

1.9 Komplikasi
a. Tromboemboli
Resiko terjadinya bekuan vena trombosis vena dalam atau DVT (deep venous
thrombosis) dan emboli paru (EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada
CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.14
b. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut
jantung (dengan pemberian digoksin/β bloker) dan pemberian warfarin.14
c. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan
dosis yang ditinggikan. Transplantasi jantung merupakan pilihan pasien
tertentu.14
d. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian
jantung mendadak (25-50% kematian pada CHF). Pada pasien yang berhasil
diresusitasi, amiodaron, β bloker, dan defibrilator yang ditanam mungkin turut
mempunyai peranan.14

20
BAB 2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SE
Umur : 41 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Masuk RS : 1 Juni 2017

II. ANAMNESIS
Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 41 tahun sejak tanggal 1 Juni
2017 di Bangsal Wanita bagian Penyakit dalam RSUD Lubuk Basung dengan:
Keluhan utama : Sesak napas yang meningkat ± 6 jam sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat penyakit sekarang


 Sesak napas yang meningkat ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak
tidak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi cuaca dan makanan. Sesak napas
meningkat saat beraktivitas (+) saat pasien beraktivitas ringan seperti
mengganti baju, sesak bertambah apabila tidur berbaring (+), terbangun oleh
sesak napas mendadak saat malam hari (+), Pasien menyatakan sudah
merasakan sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, namun,
pasien masih bisa menahan sesaknya dan tidak pergi berobat.
 Sembab pada kedua tungkai (+) sejak ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
 Perut semakin membesar dan mendesaj ke dada
 Sembab pada wajah dan bagian tubuh yang lain tidak ada
 Keluhan nyeri dada (-)
 Dada terasa berdebar-debar (-), pusing (-), pingsan (-)
 Pasien menyatakan baru pertama kali merasakan keluhan seperti ini.
 Batuk-batuk sejak ±2 bulan sebelum masuk rumah sakit, berdahak (-).
Hilang timbul dan meningkat pada malam hari.
21
 Demam tidak ada
 Penurunan berat badan (-)
 BAB dan BAK dalam batas normal

Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat pernah mengalami keluhan yang sama (-)
 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat nyeri sendi (-)
 Riwayat sakit gondok atau hipertiroid (-)
 Riwayat kolesterol tinggi (-)
 Riwayat melahirkan anak ke-3 ± 4 bulan yang lalu

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal,
hipertensi, diabetes mellitus, dan keganasan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan:


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.
Riwayat merokok (-)
Riwayat mengonsumsi alkohol (-)

III. STATUS GENERALIS


Tanda vital
- keadaan umum : sakit sedang
- kesadaran : CMC
- frekuensi nadi : 64x/menit
- frekuensi nafas : 24x/menit
- tekanan darah :120/80 mmHg
- suhu : 36,20C
- keadaan gizi : Baik BMI: 27,5
- Berat badan : 75 kg
22
- tinggi badan : 165 cm
- Sianosis : tidak ada
- edema : ada
- anemis : subanemis
- ikterus : tidak ada

PemeriksaanFisik
Kulit
Warna cokelat gelap, teraba hangat, turgor kulit baik
Kepala
Normocephal, simetris
Rambut
Hitam, tidak mudah dicabut
Mata
Konjungtiva subanemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor ukuran 3mm/3 mm
Telinga
Tidak ditemukan kelainan
Hidung
Tidak ada tanda perdarahan, tidak ditemukan kelainan

Tenggorok
Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, lidah tidak kotor
Mulut
Bibir tidak pucat, caries gigi tidak ada, gusi tidak berdarah
Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening, dan JVP 5+2 cmH20
Paru
I = normo chest, simetris pada kondisi statis dan dinamis, tidak ada
retraksi
P = fremitus kiri dan kanan sama
Pr = sonor kanan dan kiri

23
A = nafas vesicular, ronkhi basah halus tidak nyaring dibasal paru ada kiri
dan kanan, wheezing tidak ada
Jantung
I = iktus tidak terlihat
P = iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI, seluas ± 2 jari, kuat angkat
Pr = batas jantung atas di RIC II LMCS
Batas jantung kanan di LSD
Batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS RIC VI
Pinggang jantung diantara garis sternalis kiri dan parasternalis kiri
RIC II
A = irama jantung murni, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
I = perut tampak membuncit, tampak pembengkakan
P = hepar sulit dinilai, undulasi (+)
Pr = timpani hingga pekak, shifting dulness (+)
A = bising usus ada (normal)

Punggung
Tidak ditemukan kelainan
Alat kelamin
Tidak diperiksa
Anus dan Rectum
Tidak diperiksa
Eksterimitas
Akral hangat, edema (+), perfusi baik, capillary refilling time <2 dtk

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium darah lengkap
Hb : 10,5 g/dl
Leukosit : 8.900/mm3
Trombosit : 335.000/mm
Hitung jenis :

24
 Bas :0
 Nes :1
 N. Batang :1
 N. Segmen :82
 Limfosit : 11
 Monosit :5
EKG

Irama sinus, QRS rate 93 x/menit, axis normal, P wave normal, PR interval
0,20 detik, QRS duration 0,08 detik.

Foto Rontgen

25
CTR 66 %, Segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung
normal, apex melebar ke lateral bawah, Infiltrat (+)

Kesan: suspek pankardiomegali DD/efusi pericard


Suspek gambaran kongestif pulmonal disertai infiltrat perihiler

V. DIAGNOSIS KERJA
Acute heart failure
Cardiomiopaty post partum

VI. TERAPI
Farmakologi:
O2 3liter/jam
Furosemide 2x20 mg inj pump
Ramipril 1x2,5 mg p.o
Spironolakton 1x25 mg p.o
Bisoprolol 1 x 2,5 mg p.o.
Ceftazidin 2x1 gr IV
Levofloxasin 1x500 mg IV
Cetirizin 2x1 mg
Aspar K

26
Rencana:
Echocardiografi

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam

27
BAB 3
DISKUSI

Seorang wanita berusia 41 tahun dirawat di bangsal wanita bagian Penyakit


Dalam RSUD Lubuk Basung sejak tanggal 1 Juni 2017 dan saat ini merupakan hari
rawatan ke 5. Pasien mengaku diantar keluarga ke IGD RSUD Lubuk Basung
dengan keluhan utama sesak nafas meningkat sejak 6 jam sebelum masuk rumah
sakit. Pasien yang datang dengan keluhan sesak nafas harus dibedakan akibat
jantung atau paru. Sesak yang dialami pasien tidak berbunyi menciut, tidak
dipengaruhi makanan dan cuaca. Sesak nafas yang disebabkan oleh jantung
biasanya dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien menyatakan sering mengalami keluhan
sesak nafas dan cepat letih, apabila pasien beraktifitas. Pasien juga menyataan tidur
dengan minimal 2 bantal dan sesak apabila berbaring. Riwayat terbangun pada
malam hari oleh karena sesak nafas mendadak juga diakui oleh pasien. Pasien juga
menyatakan sembab pada kedua tungkai. Selanjutnya pasien menyatakan telah
mengalami keluhan sesak nafas sejak 1 minggu ini dan sembab di kedua tungkai
dan perut sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan pasien mengaku keluhan
muncul setelah pasien melahirkan anak ke-3 sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien juga
mengeluh batuk sejak 2 bulan ini, hilang timbul dan meningkat pada malam hari.
Keluhan nyeri dada serta dada terasa berdebar tidak ada. Berdasarkan anamnesis,
sesak pada pasien tersebut mungkin diakibatkan adanya gagal jantung akut.

Pasien menyatakan baru pertama dirawat di RS. Pasien tidak memiliki


riwayat merokok. Pasien juga menyatakan tidak memiliki riwayat penyakit gula
dan hipertensi. Berdasarkan anamnesa, pasien melahirkan anak ketiga sebelum
terjadi keluhan yang kemungkinan pasien ini mengalami cardiomiopaty post-
partum dan merupakan salah satu etiologi gagal jantung akut.

Pada pemeriksaan fisik umum, pasien tampak sakit sedang, kesadaran


CMC, TD 120/80 mmHg, nadi 64 x/menit, suhu afebris, nafas 24x/menit, TB 165
cm, BB 75 kg. Pada pemeriksaan fisik kepala, rambut hitam tidak mudah dicabut,
konjungtiva subanemis, sklera tidak ikterik, hidung dan telinga tidak ada kelainan,

28
dan gigi geligi tidak lengkap. Hasil pemeriksaan fisik leher didapatkan JVP 5+2
cmH2O, tidak ditemukan pembesaran KGB dan kelenjar tiroid.

Hasil pemeriksaan fisik paru ditemukan pada inspeksi bentuk paru normo
chest, palpasi, perkusi, dalam batas normal dan auskultasi ditemukan ronki +/+.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik jantung inspeksi dalam batas normal, dari
palpasi ditemukan iktus kordis teraba di 1 jari lateral LMCS RIC 6, kuat angkat
dengan luas ± 2 cm, dan dari perkusi didapatkan batas jantung kiri melebar 1 jari
lateral LMCS RIC 6, dan auskultasi dalam batas normal. Pada pemeriksaan jantung,
didapatkan kardiomegali, ini merupakan tanda mayor dari gagal jantung.2

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepar tidak teraba dan tidak terdapat
nyeri tekan. Pada pemeriksaan punggung tidak didapatkan kelainan. Alat kelamin
dan anus tidak diperiksa. Pada ekstremitas ditemukan adanya edem pada kedua kaki
dan akral hangat. Pada pasien ini ditemukan tanda gagal jantung lainnya berupa
edema.

Hasil laboratorium saat pasien masuk RS didapatkan hemoglobin: 10,5


gr/dl, leukosit: 8.900/mm3, trombosit 335.000/mm3.

Interpretasi hasil EKG saat pasien masuk RS yaitu Irama sinus, QRS rate
93 x/menit, axis normal, P wave normal, PR interval 0,20 detik, QRS duration 0,08
detik. Dari hasil pemeriksaan rontgen thorax Suspek pankardiomegali DD/efusi
pericard, Suspek gambaran kongestif pulmonal disertai infiltrat perihiler

Mekanisme timbulnya sesak nafas disebabkan adanya gagal jantung, hal ini
didasarkan pada ketidakmampuan jantung untuk mempompakan darah ke seluruh
tubuh sehingga kebutuhan metabolisme tubuh tidak terpenuhi. Ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah dapat disebabkan oleh gangguan kontraktilitas
ventrikel, peningkatan afterload, serta gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel.
Gangguan tersebut menyebabkan menurunnya cardiac output jantung. Kompensasi
jantung terhadap menurunnya cardiac output adalah dengan peningkatan volume
end-diastolic dan hipertrofi dari ventirkel kiri. Hal ini dapat meningkatkan tekanan
ventrikel kiri sehingga tekanan pada atrium kiri ikut meningkat. Darah yang ada di
vena pulmonalis tidak dapat dialirakan dengan sempurna ke dalam atrium kiri
29
akibat peningkatan tekanan sehingga terjadi penumpukan carian dan peninggian
tekanan di vena pulmonalis yang pada akhirnya terjadi penumpukan cairan di
alveolus. Penumpukan cairan di alveolus menyebabkan terganggunya difusi
oksigen kedalam darah sehingga timbulah sesak nafas sebagai kompensasi tubuh
untuk meningkatkan masukan oksigen.3

Gagal jantung merupakan kumpulan tanda dan gejala yang kompleks


dimana seseorang harus memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (seperti
sesak nafas yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas, cepat lelah, dan
edem tungkai), tanda retensi cairan (kongesti paru, rhonki, dan edema pergelangan
kaki) dan bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat
(kardiomegali, S3 gallop, murmur jantung, abnormalitas ekokardiografi, kenaikan
konsentrasi peptide neuretik).1 Manifestasi klinis utama dari gagal jantung ialah
sesak nafas, mudah capek yang mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang, serta
retensi air yang dapat memicu edema paru dan edema perifer. Namun demikian,
keluhan dan gejala bisa berbda pada setiap individu, ada sesak nafas, belum tentu
ada edema perifer dan sebagainya.10

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk memudahkan menegakkan


diagnosa gagal jantung. Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis gagal jantung
ditegakkan dengan adanya 2 tanda mayor atau 1 tanda mayor dan 2 tanda minor.1
Kriteria mayor pada pasien ini ialah riwayat PND dan kardiomegali serta terdapat
kriteria minor berupa DOE dan hepatomegali. Maka dari itu diagnosa gagal jantung
dapat ditegakkan pada pasien ini.

Pasien ini mengalami gagal jantung akut dengan subtipe Acute Heart
Failure. Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat atau adanya
perubahan mendadak gejala atau tanda gagal jantung.10

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman


tatalaksana gagal jantung. 2015.
2. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Böhm M, Dickstein
K, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012. European Heart Journal 2012; 33:1787–1847.
3. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease 5th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2011; 216-243.
4. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA Guideline for the management of heart failure: A Report of
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association task
force on practice guidelines. Circulation 2013; 128:e240-e327.
5. Manurung D. “Gagal jantung akut” d`alam “Buku ajar ilmu penyakit dalam,
Jilid II, Edisi V”. Jakarta: InternaPublishing, 2009.
6. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007.
7. Harbanu HM, Santoso A. Gagal jantung. J Peny Dalam 2007; 8(3):85-93.
8. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Poole
WPA, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008. European Heart Journal 2008; 29:2388-2442.
9. Marulam M, Panggabean. “Gagal jantung” dalam “Buku ajar ilmu penyakit
dalam, Jilid I, Edisi VI”. Jakarta: InternaPublishing, 2014; 1513-4.
10. Manurung D, Muhadi. “Gagal jantung akut” dalam “Buku ajar ilmu penyakit
dalam, Jilid I, Edisi VI”. Jakarta: InternaPublishing, 2014; 1136-47.
11. O’donnel MM, Carleton PF. “Disfungsi mekanis jantung dan bantuan sirkulasi,
Ed 6” dalam “Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, Volume 1”.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006; 631-51.
12. American Heart Association, 2015. Classes of heart failure. Diakses dari
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailu
re/Classes-of-HeartFailure_UCM_306328_Article.jsp#.VzdlTpGLTIV.
Diunduh Mei 2016.

31
13. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture notes kardiologi.
Edisi IV. Jakarta: Erlangga, 2002; 1-89.
14. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture kedokteran klinis, Edisi VI.
Jakarta: Erlangga, 2007; 312-4.

32

Anda mungkin juga menyukai