Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ANTROPOLOGI FORENSIK

TENTANG

PERSPEKTIF RANGKA DAN KAITANNYA DALAM FORENSIK

ARDYAN PRADANA PUTRA

NIM 091624653002

MAGISTER ILMU FORENSIK


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penyusunan Makalah dengan judul ”Perspektif rangka dan kaitannya
dalam forensik” dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Antropologi Forensik pada program studi Ilmu forensik di Sekolah
Pascasarjana Universitas Airlangga.
Dalam penyusunan Makalah ini, penyusun banyak mendapatkan
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun
menyampaikan terima kasih kepada Dosen pengajar mata kuliah Antroplogi atas
bimbingan maupun arahannya dalam penyusunan Makalah ini, kepada rekan-
rekan seperjuangan “Mahasiswa pascasarjana magister ilmu forensik” yang selalu
memberikan saran serta motivasi yang sangat tinggi dalam penyusunan Makalah
ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan Makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun, demi penyempurnaan Makalah ini. Semoga Makalah
ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu forensik.

Surabaya, 15 Maret 2017

( Penyusun )
DAFTAR ISI
Halaman

Kata Pengantar .......................................................................................... iii


Daftar Isi .................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................
1.3. Tujuan Penulisan Makalah.........................................................
1.4. Manfaat Penulisan Makalah.......................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Sitem Rangka Manusia ..............................................................
2.2.1 Pengertian Sistem Rangka ............................................
2.2.2 Klasifikasi Rangka Manusia ..........................................
2.2.3 Anatomi Tulang .............................................................
2.2.4 Fungsi Tulang ................................................................
2.2.5 Faktor pertumbuhan tulang............................................
2.2. Identifikasi..................................................................................
2.3. Antropologi Forensik .................................................................
2.3.1. Pengertian Antropologi forensik....................................

BAB III PEMBAHASAN


3.1. Peranan Antropologi forensik ....................................................
3.2. Identifikasi Rangka ....................................................................
3.2.1. Identifikasi Rangka Mnusia/hewan ...............................
3.2.2. Identifikasi jumlah individu dari rangka........................
3.2.3. Identifikasi Usia, jenis kelamin & ras............................

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan................................................................................
4.2. Saran...................................... ....................................................

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai
17.508 pulau dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa lebih. Wilayah Indonesia
terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Apabila perairan antar pulau tersebut digabungkan, maka luas Indonesia menjadi
1.9 juta mil persegi. Jumlah penduduk yang banyak dan luasnya kepulauan di
Indonesia tentunya akan menimbulkan mobilitas penduduk yang sangat tinggi
pada lima kepulauan utama yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan
Papua (BPS, 2013).
Mobilitas penduduk yang padat mengakibatkan tingginya tingkat kejadian
kecelakaan dan kriminalitas yang pada akhirnya menimbulkan korban,
diantaranya adalah korban kriminalitas dan korban kecelakaan lalu lintas.
Terkadang korban yang ditemukan tidak berada dalam kondisi yang utuh. Sebagai
contoh adalah korban lalu lintas yang mengakibatkan badan korban tercerai-berai
seperti pada kecelakaaan pesawat udara atau pada kecelakaaan di lautan, korban
sudah membusuk ketika ditemukan.
Salah satu tugas seorang ahli forensik adalah dapat mengidentifikasikan
korban kecelakaan. Namun ketika kondisi fisik korban sudah tidak utuh lagi,
timbul kesulitan dalam mengidentifikasi korban. Ini tidak hanya terjadi pada
kasus kecelakaan lalu lintas. Dalam kasus bencana alam dan juga pembunuhan,
sering juga ditemukan korban yang sudah hangus terbakar, terpotong- potong dan
bagian tubuhnya terpisah antara satu dengan yang lainnya.
Seorang ahli forensik melakukan pemeriksaan suatu potongan tubuh atau
sisa kerangka manusia meliputi beberapa tahap, antara lain adalah apakah
kerangka atau potongan tubuh yang ditemukan itu adalah kerangka atau potongan
tubuh manusia, apakah jenis kelaminnya, berapakah perkiraan umurnya, apakah
rasnya, berapakah perkiraan tinggi badannya, apa saja luka-luka yang ditemukan,
kapankah perkiraan waktu kematiannya, dan apabila mungkin, siapa identitas

1
2

korban. Dengan keadaan korban yang sudah tercerai-berai, hangus terbakar dan
membusuk, akan sulit bagi ahli antropologi forensik untuk mengidentifikasi
korban.
Hal yang paling penting dalam mengungkap identitas seorang korban
kecelakaan adalah penentuan jenis kelamin sang korban. Jenis kelamin sang
korban bisa ditentukan melalui penelitian terhadap anggota tubuh yang masih utuh
dan mengandung perbedaan yang jelas dan akurat antara laki-laki dengan
perempuan.
Namun ahli forensik yang menggeluti bidang antropologi ragawi sangat
terbatas jika dibandingkan dengan jumlah korban kecelakaan yang harus diperiksa
identitasnya, dalam hal ini khususnya pada korban yang sudah tidak utuh lagi
secara fisik. Selama ini proses identifikasi masih dilakukan dengan cara manual
yang sangat mengandalkan kemampuan dan keakuratan analisis seorang
antropolog, yang didasarkan pada pengalaman yang dimiliki. Namun seringkali
diperlukan suatu pembanding yang harusnya dimiliki oleh semua rumah sakit atau
pusat forensik.
Terkait berbagai masalah di atas, maka penulis menyusun sebuah makalah
ilmiah mengenai perspektif rangka dan kaitannya dengan persoalan forensik
melalui study literatur yang disusun secara sistematis.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini secara umum adalah “bagaimanakah
gambaran secara perspektif keterkaitan antara rangka dengan forensik dalam
proses identifikasi korban. Secara rinci, rumusan masalah dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perananan antropologi dalam proses identifikasi?
2. Bagaimanakah cara identifikasi jumlah individu dari temuan rangka?
3. Bagaimanakah cara identifikasi jenis kelamin, usia serta ras dari temuan
rangka?
4. Bagaimanakah cara identifikasi penyebab kematian dari temuan rangka?
3

1.3. Tujuan Penyusunan Makalah


Adapun tujuan disusunnya Makalah ini, yaitu:
1. Mampu memahami perananan antropologi dalam proses identifikasi
2. Mengetahui cara identifikasi jumlah individu dari temuan rangka
3. Mengetahui cara identifikasi jenis kelamin, usia serta ras dari temuan
rangka
4. Mengetahui cara identifikasi penyebab kematian dari temuan rangka.

1.4. Manfaat Penyusunan Makalah


Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu
1. Secara teoritis menambah wawasan mengenai peranan antropologi
forensik dalam proses identifikasi berbagi temuan rangka, serta
menambah wawasan dalam menganalisis temuan tulang-tulang maupun
rangka manusia.
2. Sebagai media maupun sumber informasi yang dapat digunakan dalam
proses belajar.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Rangka Manusia


2.2.1. Pengertian Sistem Rangka
Sistem rangka adalah sistem yang memiliki fungsi untuk menyimpan
bahan mineral, tempat pembentukan sel darah, tempat melekatnya otot rangka,
melindungi tubuh yang lunak dan menunjang tubuh. Tulang kerangka manusia
dewasa terdiri dari 206 segmen tulang yang sebagian besar berpasangan satu
dengan yang lain yaitu sisi kiri dan sisi kanan. Tulang kerangka pada bayi dan
anak-anak lebih dari 206 segmen tulang karena beberapa tulang dulunya belum
mengalami penyatuan, misalnya tulang sacrum dan coxae pada tulang vertebra
(Tortora dan Derrickson, 2011).
Kerangka aksial (kerangka sumbu tubuh) terdiri dari 80 segmen tulang,
beberapa diantaranya adalah tulang kepala (cranium), tulang leher (os hyoideum
dan vertebrae cervicales), dan tulang batang tubuh (costae, sternum, vertebrae
dan sacrum). Kerangka apendikular yaitu kerangka tambahan terdiri dari tulang-
tulang ekstremitas baik ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah dengan total
126 segmen tulang (Moore dan Agur, 2002).
Sebuah tulang terdiri atas beberapa jaringan berbeda yaitu jaringan osseus,
tulang rawan (cartilago), jaringan penghubung, jaringan adiposa, dan jaringan
saraf yang tersusun menjadi satu. Keseluruhan dari tulang beserta tulang rawan
bersama ligamen dan tendon membentuk sistem rangka (Tortora dan Derrickson,
2011).
Perbandingan antara tulang dan
tulang rawan dalam kerangka berubah
seiring dengan pertumbuhan tubuh.
Semakin muda usia seseorang, semakin
besar bagian kerangka yang berupa tulang
rawan (Moore dan Agur, 2002).

4
5

2.2.2. Klasifikasi Rangka Manusia


Secara garis besar, rangka (skeleton) manusia dibagi menjadi dua, yaitu
rangka aksial (sumbu tubuh) dan rangka apendikuler (anggota tubuh).
1. Rangka Aksial
Rangka aksial terdiri dari tulang belakang (vertebra), tulang tengkorak,
dan tulang rusuk.
a. Tengkorak.
Tengkorak berfungsi melindungi otak. Hubungan tulang yang terdapat
pada tempurung kepala bersifat suture, yaitu tidak dapat digerakkan.
b. Tulang Belakang.
Pada tulang belakang terjadi pelengkungan – pelengkungan yang
berfungsi untuk menyangga berat dan memungkinkan manusia
melakukan berbagai jenis posisi dan gerakar misalnya berdiri, duduk,
atau berlari.
c. Hioid.
Hioid merupakan tulang yang berbentuk huruf U, terdapat di antara
laring dan mandibula. Hioid berfungsi sebagai tempat pelekatan
beberapa otot mulut dan lidah.
d. Tulang dada dan tulang rusuk
Tulang dada dan tulang rusuk bersamaan membentuk perisai
pelindung bagi organ – organ penting yang terdapat di dada, yaitu
paru – paru dan jantung. Tulang rusuk juga berhubungan dengan
tulang belakang.
2. Rangka Apendikuler
Rangka apendikuler terdiri atas pinggul, bahu, telapak tangan, tulang-
tulang lengan, tungkai, dan telapak kaki. Secara umum rangka apendikuler
menyusun alat gerak, yaitu tangan dan kaki yang dibedakan atas rangka bagian
atas dan rangka bagian bawah. Tulang rangka apendikuler bagian atas terdiri
atas beberapa tulang sebagai berikut:
1) Tulang Selangka.
Tulang selangka atau tulang leher membentuk bagian depan bahu.
6

2) Tulang Belikat.
Tulang belikat terdapat di atas sendi bahu dan merupakan bagian pembentuk bahu.
3) Tulang Pangkal Lengan, Pengumpil, Hasta.
Tulang pangkal lengan bersama dengan tulang pengumpil dan tulang hasta
menyusun alat gerak, yaitu tangan.
4) Tangan.
Tulang tangan tersusun atas tulang-tulang pergelangan tangan, telapak tangan, dan
jari tangan. Tangan disusun oleh karpal skafoid, lunate, triquetrum, pisiform,
trapesium, trapesoid, kapitatum, hamate. Telapak tangan (metakarpal) terdiri dari
bagian dasar, batang, dan kepala. Jari tangan terdiri dari tiga ruas, kecuali ibu jari
yang mempunyai dua ruas.
5) Kaki
Tulang apendikuler bagian bawah terdiri atas beberapa tulang yang menyusun
kaki (alat gerak bagian bawah). Kaki terdiri atas tulang kaki dan telapak kaki.
Tulang kaki disusun oleh tulang paha , tempurung lutut, tulang kering dan tulang
betis. Pergelangan kaki disusun oleh tulang tumit, kalkaneus, talus, kuboid,
navikular, kuneiformis, dan jari – jari.
7

2.2.3. Fungsi Tulang


1. Menopang Tubuh
Sistem kerangka adalah sistem yang memberikan bentuk pada tubuh
juga menopang jaringan lunak dan sebagai titik perlekatan tendon dari
sebagian besar otot.
2. Proteksi
Sistem kerangka melindungi sebagian besar organ dalam tubuh yang
sangat penting untuk berlangsungnya kehidupan, seperti otak yang
dilindungi oleh tulang cranial, vertebrae yang melindungi sistem saraf dan
tulang costa yang melindungi jantung dan paru-paru.
3. Mendasari Gerakan
Sebagian besar dari otot melekat pada tulang, dan ketika otot
berkontraksi, maka otot akan menarik tulang untuk melakukan pergerakan.
4. Homeostasis Mineral (penyimpanan dan pelepasan)
Jaringan tulang menyimpan beberapa mineral khususnya kalsium dan
fosfat yang berkontribusi untuk menguatkan tulang. Jaringan tulang
menyimpan 99% dari kalsium dalam tubuh. Apabila diperlukan, kalsium
akan dilepaskan dari tulang ke dalam darah untuk menyeimbangkan krisis
keseimbangan mineral dan memenuhi kebutuhan bagian tubuh yang lain.
5. Memproduksi Sel Darah
Sumsum tulang merah adalah tempat dibentuknya sel darah merah,
beberapa limfosit, sel darah putih granulosit dan trombosit.
6. Penyimpanan Trigliserid
Sumsum tulang kuning sebagian besar terdiri dari sel adiposa yang
menyimpan trigliserid (Tortora dan Derrickson, 2011).
8

2.2. Antropologi Forensik


2.2.1. Pengertian Antropologi Forensik
Antropologi forensik adalah bagian dari bidang studi antropologi ragawi
yang mengkhususkan perhatian atau studi pada analisis sisa rangka manusia
berdasarkan aspek hukum. Dasar antropologi forensik adalah pengetahuan biologi
rangka (skeletal biology) dan ssubyek-subyek yang berkaitan dengan biologi
rangka.
Sebagai bagian dari forensic sciences, antropologi forensik memberikan
kontribusi berupa informasi atau data tentang individu (sekelompok individu)
berdasarkan sisa-sisa rangka manusia dan menjelaskan keadaan yang
berhubungan dengan kematian individu (sekelompok individu). Karena
antropologi forensik memanfaatkan prinsi-prinsip antropologi dalam menganalisis
sisa rangka manusia dari aspek hukum, maka jelas bahwa antropologi adalah
ilmu terapan yang mencakup antropologi dan forensik.
Bidang – bidang interdisipliner yang berhubungan dengan antropologi
forensik meliputi bioarkeologi, arkeologi, antropologi anatomi, paleopatologi,
tafonomi, geologi, kedokteran, kedokteran gigi dan berbagai disiplin ilmu lain
yang berkaitan dengan biologi manusia.
Antropologi forensik dapat didefenisikan sebagai identifikasi sisa hayat
manusia yang jaringan lunaknya telah hilang sebagian atau seluruhnya sehingga
tinggal kerangka, dalam kontek hukum. Lingkup dalam konteks hukum
memposisikan antropolog forensik untuk bekerja sebegai konsultan akademis
yang bekerja sama dengan penyidik di kepolisian, dokter forensik di kedokteran
kehakiman, maupun organisasi internasional yang mengidentifikasi korban perang
atau pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam kasus kriminal, kematian massal karena kecelakaan lalu lintas
darat/ udara/ laut maupun bencana alam, polisi penyidik biasanya meminta
pemeriksaan rangka kepada antropolog forensik. Di Amerika Serikat, pendidikan
antropologi mencakup pedekatan empat bidang yang dikenal sebagai four – field
approach, meliputi bidang bioantropologi, antropologi, etnologi, dan arkeologi.
Secara umum, antropologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
9

variasi biologi manusia dan produk budayanya dalam suatu rentang ruang dan
waktu. Rentang ruang menyebabkan antropologi mempelajari manusia dari
berbagai asal tempat, sedangkan rentang waktu mencakup masa lampau (fosil –
paleoantropologi, manusia prasejaraharkeologi) dan masa kini (manusia hidup).
Antropologi forensic bermanfaat untuk membantu penyidik dan penegak
hukum untuk mengidentifikasi temuan rangka tak dikenal. Temuan rangka
biasanya terdapat pada daerah terpencil, di atas permukaan tanah, di kubur pada
lubang yang dangkal karena pelaku kejahatan terburu – buru menguburkannya, di
sungai, di rawa atau di hutan. Korban yang tidak dikubur secara layak ini biasanya
menjadi salah satu indikasi adanya tindak pidana terhadap korban kejahatan. Pada
kasus forensik seperti ini, antropologi forensik berguna dalam menentukan
identifikasi temuaan.
(Indriarti, 2010) Dalam identifikasi pada antropologi forensik meliputi
sejumlah pertanyaaan seperti :
1. Apakah kerangka temuan adalah kerangka manusia atau hewan?
2. Apakah kerangka temuan adalah satu individu atau beberapa individu?
3. Kapan terjadinya kematian?
4. Berapa umur jenazah/rangka pada saat mati?
5. Apakah jenis kelamin temuan rangka?
6. Apakah ras/kelompok etnis/asal temuan rangka?
7. Berapa tinggi badan, berat badan dan bentuk fisik temuan rangka?
8. Apakah temuan rangka menunjukan anomali yang signifikan, tanda-tanda
penyakit yang lama atau luka, atau tanda-tanda lain yang signifikan yang
dapat memberi petunjuk positif dalam mengungkap identitas seseorang?
9. Apakah sebab kematiannya?
10. Bagaimana cara kematiannya?
11

BAB III
PEMBAHASAN

PERSPEKTIF RANGKA DAN KAITANNYA DALAM FORENSIK

3.1. Peranan Rangka dalam proses identifikasi


Secara konsep dijelaskan bahwa antropologi forensik merupakan aplikasi
dari antropologi ragawi yang berhubungan dengan hukum. Digunakan untuk
identifikasi tubuh, jenazah yang telah membusuk atau manusia yang tidak
teridentifikasi untuk kepentingan hukum dan kemanusiaan.
Dengan kata lain informasi tentang individu atau data tentang individu
(sekelompok individu) dapat diperoleh berdasarkan sisa rangka manusia selain itu
dapat menjelaskan keadaan-keadaan yang berhubungan dengan kematian individu
(sekelompok individu).
Dalam melakukan proses identifikasi, antropolog atau ahli forensik
memiliki protokol khusus yaitu mengidentifikasi apakah kerangka temuan
tersebut merupakan kerangka manusia atau bukan (hewan), jika benar kerangka
tersebut merupakan kerangka manusia, selanjutnya diidentifikasi apakah kerangka
temuan tersebut adalah satu individu atau beberapa individu (kelompok). Setelah
informasi mengenai jumlah individu dalam temuan kerangka tersebut, maka
selanjutnya dilakukan identifikasi kapan terjadinya kematian pada temuan rangka
tersebut dan berapa umur atau usia rangka saat ini.
Seorang antropolog maupun ahli forensik dapat menentukan rentang umur
biologis manusia berdasarkan jumlah tulang yang telah muncul, beberapa
indikator penentuan usia kerangka adalah seperti bersatunya ephifisi dengan
diaphisis pada tulang panjang, derajat penutupan sutura, maupun derajat
kalsifikasi dan erupsi gigi. Hal ini karena proses pertumbuhan sesuai
bertambahnya umur. Setelah diketahui usia dari kerangka yang ditemukan,
selanjutnya melakukan identifikasi jenis kelamin serta ras maupun kelompok
etnik dari temuan rangka tersebut. Setelah diperoleh data ras serta kelompok etnik
dari temuan rangka, selanjutnya dilakukan identifikasi tinggi badan dan berat

11
12

badan serta bentuk fisik dari temuan rangka tersebut. Tidak lupa pula dilakukan
identifikasi tanda-tanda penyakit, tanda trauma atau cidera sehingga dapat
diketahui pula penyebab kematian dari temuan rangka tersebut.

3.2. Identifikasi Temuan Rangka


Untuk memastikan material tersebut benar-benar tulang maka perlu dilakukan
pemeriksaan mikroskop untuk melihat morfologi sel dan analisis elemental pada
potongan material dugaan tersebut. Sehingga dapat dipastikan bahwa temuan
tersebut merupakan tulang.
3.2.1. Identifikasi Rangka Manusia / hewan
Bila ditemukan tulang tengkorak, maka tulang tengkorak hewan tersebut
dapat disingkirkan dengan mengenal anatomi tulang tengkorak manusia, biasanya
pada pemeriksaan volume otak/rongga tengkorak manusia pada umumnya
>1500cc sedangkan golongan primata lebih kecil, selain itu pada manusia os
frontalisnya lebih menonjo, Fragmen magnum lebih besar, tengkoraknya lebih
tipis dan cephalic index lebih besar.
Selian melalui bentuk tengkorak, untuk membedakan tengkorak manusia
dan hewan bisa dilihat melalui gigi, khususnya gigi taring pada hewan primata
lain lebih menonjol dan lebih panjang dibanding gigi taring manusia.
3.2.2. Identifikasi jumlah individu dari temuan rangka
Dalam menentukan jumlah manusia dari temuan rangka dilakukan dengan
mengamankan atau mengumpulkan semua sisa-sisa jaringan atau kerangka yang
ditemukan, kemudian dilakukan identifkasi, salah satu petunjuk yang paling
mudah untuk menentukan dua atau lebih kerangka adalah ditemukannya duplikasi
kerangka, contohnya ditemukan 2 tulang femur kanan, dari temuan ini bisa
disimpulkan terdapat dua individu dari kumpulan rangka tersebut. Selain itu, jika
kerangka yang ditemukan ada perbedaan ukuran atau perbedaan umur kerangka
tersebut maka dipastikan jumlah individunya bukan satu orang. Namun yang perlu
diperhatikan, pada beberapa kondisi seperti penyakit atau masalah perkembangan
dapat menyebabkan terjadinya perbedaan pada tulang yang satu dengan tulang sisi
yang lainnya.
13

3.2.3. Identifikasi Usia, jenis kelamin & ras dari temuan rangka
1. Identifikasi Usia
Identifikasi usia dapat dilihat dari panjang tulang, penyatuan tulang, serta
erupsi gigi (pada anak-anak). Seorang antropolog forensik cukup dapat
memperkirakan umur seseorang pada saat kematian dengan memeriksa
perubahan biologis yang terjadi selama kehidupan orang itu. Investigator
dapat memperkirakan lebih akurat ketika pada usia tersebut ada erupsi
gigi, pertumbuhan tulang dan penyatuan tulang. Penutupan sutura di
tengkorak juga merupakan indikator usia. Setelah 25 sampai 30 tahun,
estimasi umur menjadi sulit.
Penentuan Usia dari tulang:
(1) Usia 0-5: terbaik menggunakan gigi (odontologi forensik)
Fase gigi sulung, pola erupsi gigi dewasa dapat diketahui
(2) Usia 6-25: penyatuan epifisis
Fusi epifisis bervariasi dengan jenis kelamin dan biasanya selesai pada
usia 25 tahun
(3) Usia 25-40: Sangat keras
(4) Usia > 40: pada dasarnya terdapat keausan pada tulang, Penyakit
periodontal, arthritis, kerusakan panggul dan lain-lain
Penentuan perkiraan usia melalui Penyatuan Ephiphise:
(1) Garis-garis pada gambar 1 menunjukan garis atau lapisan tulang rawan
antara tulang dan epifisis. Garis-garis sangat jelas pada tulang ketika
seseorang baik pria atau wanita belum dewasa
(2) Dalam gambar 2, tidak terlihat garis. Orang ini keluar dari masa
pubertas. Epifisis telah sepenuhnya bergabung ketika seseorang
mencapai usia dewasa, menutup kemampuan untuk tumbuh lebih
tinggi atau dalam kasus lengan, tumbuh lebih panjang.
14

Penentuan umur dari


tulang: Tanda-tanda
adanya stres dan cedera
antemortem

2. Jenis kelamin
Dalam menentukan jenis kelamiin dapat dibedakan melalui pelvis,
cranium dan femur. Menentukan jenis kelamin sangat penting ketika
menganalisis sisa-sisa manusia tak dikenal. Os pubis, os sacrum dan os
ilium pelvis adalah tulang yang memiliki perbedaan paling jelas antara
laki-laki dan perempuan. Bentuk tengkorak, bentuk mandibula dan ukuran
protuberentia occipitalis.

Penentuan Jenis Kelamin melalui femur


Ciri-ciri Pria Wanita
Panjang Lebar panjang Lebih pendek
Tempat perlekatan otot Prominent Kurang prominent
Diameter caput femur Lebih lebar Lebih kecil
Diameter caput humerus Lebih lebar Lebih kecil
Condylus humerus Permukaan luas, lebar Lebih kecil

Keterangan : Caput humeri lebih besar dan Muscle Keterangan : Femur pada wanita (F), caput humerinya lebih
Markings lebih prominent pada pria (M), sedangkan pada kecil dan lebih halus dibandingkan pria (M). Juga pada Muscular
wanita (F) lebih kecil dan halus. Marking pria lebih prominent dan condylusnya juga lebih besar.
15

Biasanya, tulang panjang saja tidak digunakan sendiri untuk


memperkirakan jenis kelamin, namun jika tulang-tulang ini adalah satu-
satunya, ada karakteristik yang dapat digunakan untuk penentuan jenis
kelamin, misalnya panjang maksimal humerus pada wanita adalah 305,9
mm, sementara itu pada laki-laki 339,0 mm.

Penentuan Tinggi Badan


Perkiraan tinggi badan dapat dilakukan dengan mengukur tulang panjang
yang telah kering, seperti femur, tibia, humerus, radius, ulna, calcaneus dan talus.
Tulang-tulang ini lalu diukur dengan formula-formula yang telah dirumuskan,
seperti Formula Stevenson atau Formula Trotter dan Glesser untuk manusia ras
Mongoloid untuk selanjutnya disesuaikan dengan AMD (Idries, 2011).
Formula Stevenson
TB = 61,7207 + 2,4378 x F ± 2,1756
TB = 81,5115 + 2,8131 x H ± 2,8903
TB = 59,2256 + 3,0263 x T ± 1,8916
TB = 80,0276 + 3,7384 x R ± 2,6791

Formula Trotter dan Glesser


TB = 70,73 + 1,22 (F+T) ± 3,24
Keterangan :
TB = tinggi badan (cm)
F = Femur (tulang paha)
H = Humerus (tulang lengan atas)
T = Tibia (tulang kering)

R = Radius (tulang hasta) Semakin banyak tulang yang diukur, semakin besar
ketepatan tinggi badan yang didapat.
16

Penentuan Jenis Kelamin melalui Pelvis


Tulang manusia dewasa menunjukan dimorfisme seksual sehingga laki-
laki dan perempuan dapat dibedakan berdasarkan morfologinya.
Perbedaan ini paling besar dapat di amati pada tulang pelvis sehubungan
dengan fungsi reproduksi pada perempuan.

Karakter Tulang Laki-laki Perempuan


Lengkung Subpubic Bentuk V Lebih lebar, mendekati
bentuk U
Foramen Obturator Besar Kecil, cenderung segitiga
Inlet Superior Bentuk Jantung Lebih bundar & lebih besar
Ilium Tinggi, mengarah tegak Rendah, bagian atas lebih
ke atas mengarah ke lateral
Acetabulum Besar, lebih mengarah Kecil, lebih mengarah ke
kedepan lateral
Symphisis Tinggi, segitiga, biconvex Rendah segi empat, anterior
arah anteroposterior konvex, posterior datar
17

Penentuan Jenis Kelamin melalui tengkorak


- Crest dan ridge lebih jelas pada laki-laki (A,B,C)
- Dagu persegi lebih signifikan pada laki-laki (E)
- Proses mastoid luas dan kuat pada laki-laki
- Terdapat lereng ada dahi laki-laki (F)

Karakter tulang Laki-laki Perempuan


Kranium dari wajah Secara umum lebih besar Secara umum lebih kecil
Kapasitas kranium Cenderung >1450cc Cenderung <1300cc
Rigi supraorbital Lebih menonjol Lebih halus/datar
Dahi / frontal Mengarah ke belakang Halus, lebih tegak dan
membulat
Tulang zygomaticus Lebih besar, lebar dan Kecil, ramping & halus
kasar
Dagu Cenderung segiempat, Lebih runcing
berproyeksi kedepan
18

3. Penentuan Ras
Tiga kelompok ras utama yang dapat diamati berdasarkan fitur skeletal:
1. Kaukasoid: Eropa, timur tengah dan keturunan india timur
2. Negroid: Afrika, aborigin dan keturunan melanesia
3. Mongoloid: asia, penduduk asli keturunan amerika dan polinesia
Sangat sulit untuk menentukan ras sejati dari skeleton karena beberapa
alasan:
1. Antropologi forensik umumnya menggunakan model 3 ras untuk
mengkategorikan ciri kerangka: Caucasian (eropa), asia
(asia/amerindian), dan afrika (afrika dan india barat). Meskipun ada
pasti beberapa karakteristik fisik umum di antara kelompok-kelompok
ini, tidak semua individu memiliki ciri-ciri kerangka yang benar-benar
konsisten dengan asal geografisnya.
2. Orang-orang keturunan ras campuran yang umum, sering kali
kerangka menunjukan karaktteristik lebih dari satu kelompok ras dan
tidak cocok dengan model 3 ras. Sebagian besar indikator kerangka
yang digunakan untuk menentukan ras sifat non metrik yang dapat
sangat subjektif. Meskipun ada kelemahan ini, penentuan ras
dipandang sebagai bagian penting dari icentifikasi keseluruhan sisa-
sisa individu.

Ras
Kerangka Yang diperiksa
Caucasoid Mongoloid Negroid

Agak
Panjang dan Agak lebar
Tulang hidung lebar
sempit pendek
pendek
Bentuk rongga Diantara
Tinggi Rendah
Tengkorak hidung bawah keduanya
Tinggi tulang Diantara Agak
Agak tinggi
hidung keduanya rendah
Melengkung Diantara Lebar dan
Tulang pipi
lebih lebar keduanya datar
19

Tulang rongga Segi


Segi empat Bulat
mata empat

White, Asian, Africa

General shapes of the eye orbits


20

Nasal silling and guttering

Morfologi krania pada ras Negroid

Tulang zygomaticus tidak begitu menjorok ke depan relait terhadap tulang


fasial, apertura nasalis sengat lebar dan tepi bawah tulang nasalis tumpul,
tulang orbita cenderung persegi empat dan jarak inter orbital lebar, tulang
palatum cenderung sangat lebar dan agak persegi empat, sutura
zygomaticomaxilaris cenderung membentuk huruf S
21

Morfologi krania pada ras mongoloid

Kranium cenderung memiliki tulang zygomaticus yang menonjol, lebar


apertura nasalis dengan dan tepi bawah nasal agak runcing, tulang orbital
cenderung sirkular, tulang palatum lebarnya sedang, sutura
zygomaticomaxilaris cenderung lurus.
22

Penentuan penyebab kematian


Dapat dilakukan identifikasi tanda-tanda penyakit, tanda trauma atau
cidera sehingga diketahui pula penyebab kematian dari temuan rangka
tersebut seperti akibat trauma benda tajam, trauma benda tumpul, Bukti
trauma post morthem.
23

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Antropologi forensik adalah bagian dari antropologi ragawi yang
berkaitan dengan analisis sisa rangka manusia dari aspek medikolegal.
2. Antropologi forensik berkerja menurut protokol yang bermuatan
informasi dan definisi mengenai karakter yang akan di analisis.
3. Karakteristik demografis seperti umur, jenis kelamin, ras dan sebagainya
dapat ditentukan dari sisa rangka manusia.
4. Antropologi sering kali mencoba menentukan sebab kematian sisa rangka
manusia berdasarkan trauma atau sebab lain luar.
5. Identifikasi dalam bidang Forensik mengacu terhadap korelasi antara
tinggi badan dengan panjang tulang panjang keenam anggota tubuh
(humerus, radius, ulna, femur, tibia, dan fibula).
6. Identifikasi personal juga diperlukan pada berbagai kasus kekerasan yang
dapat masuk ke dalam kepentingan kasus pidana maupun perdata.
Keahlian khusus sangatlah diperlukan dalam penilaian terhadap
cara/teknik mengukur anggota tubuh tersebut dan menentukannya sebagai
perkiraan panjang badan/tinggi badan korban sewaktu masih hidup.

4.2. Saran
Dalam penyusunan Makalah ini, sangatlah jauh dari kata sempurna, maka
dari itu untuk penyempurnaan Makalah ini, saran dan masukan yang bersifat
membangun sangatlah diharapkan, baik saran dari pembimbing Mata kuliah
Antropologi forensik maupun dari rekan-rekan pembaca.

23
24

DAFTAR PUSTAKA

Burns KR. Forensic anthropology training manual. 3rd ed. Prentice Hall:
Pearson; 2012.
Fauci et al, 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York:
Mc Graw-Hill, 1553-1558.
Indriati E. Antropologi Forensik. Identifikasi manusia dalam konteks hukum.
2nd ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2009.
Idries AM. Identifikasi. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Bina Rupa Aksara.
1997; 32-52.
Moore KL., Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.

Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh


Sugarto L. Jakarta:EGC.

Schteingart, D. E.,2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit


Volume 2 Edisi6. Jakarta:EGC.

Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
Twelfth Edition. Asia: Wiley

Ubelaker DH. Human skeletal remains: exvacation, analysis, interpretation.


Washington: Taraxacum; 1999.

24

Anda mungkin juga menyukai