BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Berbagai penyakit kulit biasanya manifestasi klinisnya ditandai
terutama oleh adanya vesikel dan bulla, antara lain contoh penyakitnya
yaitu dermatitis vesikobulosa kronik. Vesikel berisi cairan dan ukurannya
tidak lebih dari 1 cm, sedangkan bulla berisi cairan dan memiliki ukuran
lebih besar dari 1 cm. Yang termasuk dalam golongan penyakit dermatitis
vesikobulosa kronik ialah Buolus pemphigoid, pemhigus, eritema
multiforme, dermatitis herpetiformis, herpes gestationes (pemfigoid
gestationis), ada pula yang kongental yaitu epidermolisis bulosa.
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang diatas
kulit yang eritematosa, atau disebut juga dengan penyakit berlepuh
autoimun.
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik,
menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histologik ditandai
dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara
imunopatologik.
Eritema multiforme merupakan penyakit kulit akut dan dapat
sembuh dengan sendirinya yang dicirikan dengan papul merah simetris
yang timbul secara tiba-tiba, dan beberapa menjadi lesi target yang tipikal
kadang-kadang atipikal.
Dermatitis herpetiformis adalah gangguan autoimun terik dikaitkan
dengan enteropati gluten sensitif (GSE). Herpetiformis Dermatitis ditandai
dengan excoriations dikelompokkan; eritematosa, urtikaria plak, dan
papula dengan vesikel.
I.2
I.2.2 Manfaat
1. Menambah pengetahuan serta wawasan bagi penulis mengenai
Penyakit Bulosa.
2. Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang Penyakit Bulosa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Bulous Pemphigoid
II.1.1 Definisi
Pemfigoid bulosa (P.B) adalah penyakit autoimun kronik
yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang diatas kulit yang eritematosa, atau disebut juga
dengan penyakit berlepuh autoimun (Wiryadi, 2007; Daili dkk,
2005; Siregar, 1996).
II.1.2 Etiologi
Etiologinya ialah belum jelas, diduga autoimun. Produksi
autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum
diketahui (Wiryadi, 2007).
II.1.3 Patofisiologi
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa produksi
autoantibodi yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum
diketahui, namun pada pemeriksaan antibodi ditemukan deposit
autoantibodi IgG dan komplemen dengan pola linier pada
perbatasan dermis dan epidermis (Basal Membrane Zone). Deposit
antigen ini diperkirakan yang menyebabkan pelepasan berbagai
enzim proteolitik yang kemudian menyebabkan pembentukan bula
dan pemisahan epidermis-dermis (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001;
Kariosentono, 2000).
Antigen P.B merupakan protein yang terdapat pada
hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan
bagian B.M.Z (Basal Membrane Zone) epitel gepeng berlapis.
Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan
membrana
basalis, strukturnya
berbeda
dengan desmosom
(Wiryadi,2007).
Terdapat dua jenis antigen P.B berdasarkan ukuran berat
molekul yaitu PBAg1 atau PB230 (berat molekul 230 kD), dan
dapat
membantu
mengetahui
gangguan
yang
pasti
dilakukan
dengan
pemeriksaan
II.1.6 Tatalaksana
Pengobatan P.B adalah dengan kortikosteroid diberikan
sama seperti Pemfigus Vulgaris namun dengan dosis awal lebih
rendah. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 40-60mg/hari
kemudian pelan-pelan diturunkan (tappering off) sampai dosis
bertahan 10mg setiap hari (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001).
Kombinasi kortikosteroid dengan imunosupresan atau
sitostatik dapat mengurangi dosis kortikosteroid. Cara dan
pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan Pemfigus
(Wiryadi, 2007; Siregar, 1996).
Obat lain yang dapat digunakan adalah DDS atau
Klorokuin dengan dosis 200-300mg/hari memberikan respon yang
baik (Wiryadi, 2007; Siregar, 1996).
P.B merupakan penyakit autoimun oleh karena itu
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan
mengalami
efek
samping
kortikosteroid
sistemik
seperti
(3x500mg/hari)
dan
Niasinamid
II.2
Pemphigus
II.2.1 Definisi
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula
kronik, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara
histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses
akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap
junction.
Penemuan
ini
menyarankan
yang
dihancurkan
oleh
autoantibody,
hanya
vulgaris,
dan
sering
salah
didiagnosis
granulasi
verukosa
yang
berproliferasi
dari
bula
yang
terkelupas,
dan
mempunyai
II.2.4 Patofisiologi
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat yang khas, yakni,
Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis), adanya antibodi
IgG terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Lepuh pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap
antigen P.V antigen ini merupakan transmembran glikoprotein
dengan berat molekul 160 kD untuk pemfigus foliaeus dan berat
molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang terdapat pada
permukaan sel keratinosit.
Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah
desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah
desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaseus target
antigennya ialah desmoglein 1.
10
11
ialah
kortikosteroid
karena
bersifat
kortikosteroid
sistemik
dalam
bidang
dermato-
venereologi.
Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi
baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan
50%. Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap.
Biasanya setiap 5-7 hari kami turunkan 10-20 m ekuivalen
prednison tergantung pada respons masing-masing, jadi bersifat
individual. Cara yang terbaik ialah memantau titer antibodi karena
antibodi tersebut tersebut menunjukan keaktivan penyakit, tetapi
sayang di bagian kami belum dapat dikerjakan. Jika titernya stabil,
penurunan dosis lambat: bila titernya menurun, penurunan dosis
lebih cepat.
12
13
ulkus
peptikum,
dan
osteoporosis
yang
dapat
14
lihat
pengobatan
dermatitis
herpetiformis.
15
Erythema Multiform
II.3.1 Definisi
Eritema multiforme (EM) merupakan penyakit kulit akut
dan dapat sembuh dengan sendirinya yang dicirikan dengan papul
merah simetris yang timbul secara tiba-tiba, dan beberapa menjadi
lesi target yang tipikal kadang-kadang atipikal. EM merupakan
erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada
selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan
gambaran khas berbentuk iris (target lesion). Eritema menunjukkan
perubahan warna kulit yang disebabkan karena dilatasi pembuluh
darah, khususnya pada dermis pars retikularis dan pars papillaris.
Pada kasus yang berat disertai gejala konstitusi dan lesi viseral
(French, 2008).
II.3.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Faktor-faktor
penyebabnya selain alergi terhadap obat sistemik, ialah peradangan
oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar
matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti keadaan hamil atau
haid, dan penyakit keganasan. Pada anak-anak dan dewasa muda,
erupsi biasanya disertai dengan infeksi, sedangkan pada orang
dewasa disebabkan oleh obat-obat dan keganasan (Djuanda, 2007).
II.3.3 Patofisiologi
Pemahaman terbaru mengusulkan bahwa kebanyakan EM,
pada kebanyakan pasien, timbul sebagai manifestasi mukokutaneus
dari reaksi imun langsung yang nyata terhadap kulit yang terjadi
akibat adanya satu infeksi pada individu yang memiliki faktor
presipitasi. Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kompleks
16
Konsentrasi
acrosyringeal
pada
keratinosit
yang
17
anak dan dewasa muda pada musim semi, dengan durasi sekitar 24 minggu, dan sering terjadi rekurensi dalam beberapa tahun.
Disebabkan karena kesamaannya secara klinis, EM minor,
EM major, SSJ dan NET diputuskan sebagai bagian dari satu
spektrum penyakit tunggal. Akan tetapi, seperti yang telah
dibicarakan sebelumnya, saat ini sudah ditemukan bukti kuat yang
mendukung bahwa EM adalah penyakit yang berbeda dari SSJ dan
NET dalam banyak tingkatan gejala klinis, prognosis, dan etiologi.
Kriteria klinis memungkinkan untuk membedakan kedua bentuk
EM dari SSJ dan NET pada pasien dengan jumlah yang besar.
Kriteria klinis ini mencakup tipe lesi dasar kulit, distribusi lesi,
ada/tidaknya keterlibatan lesi pada mukosa yang jelas, dan
ada/tidaknya gejala-gejala sistemik.
1. Tipe lesi dasar kulit
Tipe lesi kulit yang khas pada EM berupa lesi target tipikal.
Lesi berdiameter <3cm, bentuk bulat dengan batas tegas, dan
terdiri dari tiga zona, dimana dua cincin konsentris dengan
perubahan warna di sekitar zona pusat lesi merupakan bukti
kerusakan epidermis dalam pembentukan bulla atau krusta.
Lesi target tipikal ini kadang-kadang ditemukan sebagai lesi
iris dikarenakan tampakannya yang seperti pelangi (rainbowlike appearance).
Lesi target yang muncul dini seringnya memiliki zona yang
gelap di tengah dan zona merah di bagian luarnya, tetapi dapat
berubah menjadi tiga zona dengan perubahan warna. Setiap
cincin konsentris pada lesi target kebanyakan menunjukkan
urutan kejadian dari proses patologis serupa yang sedang
terjadi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa hanya pada
beberapa pasien yang memiliki jumlah lesi yang berkembang
penuh, dimana lesi target tipikal belum tampak atau terbentuk
sepenuhnya, sementara pada pasien lain semua lesi memiliki
perkembangan yang sama, sehingga menunjukkan tampakan
klinis yang monomorfik. Tidak menutup kemungkinan bahwa
18
19
20
II.3.6 Tatalaksana
Untuk semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang
paling penting adalah penanganan simtomatik, yaitu antihistamin
oral, analgesik, perawatan kulit, dan soothing mouthwashes (yaitu
dengan membilas mulut dengan warm saline water atau dicampur
dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).
Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun
sedapat-dapatnya perlu dicari penyebabnya. Pada penyakit ini
biasanya dapat diberikan pengobatan kortikosteroid per oral,
misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari.
Manajemen eritema multiforme melibatkan penentuan
etiologi bila mungkin. Langkah pertama adalah untuk mengobati
kecurigaan penyakit menular atau untuk menghentikan obat kausal.
Penanganan terhadap infeksi seharusnya setelah kultur
dan/atau pemeriksaan serologis dilakukan. Pengobatan topikal
berupa antiseptik topikal untuk lesi kulit yang telah erosi dan
bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik lokal untuk lesi
mukosa. Penggunaan cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05%
saat mandi dapat mencegah superinfeksi. Pengobatan topikal,
termasuk yang melibatkan organ genitalia, harus dilakukan dengan
gauze dressing atau hidrokoloid. Pemberian preparat topikal mata
harus diberikan oleh ahli oftalmologi, seperti lubrikan untuk mata
kering, usapan pada forniks konjungtiva, dan pembersihan
perlengkatan yang masih baru.
Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan
untuk gejala relief. Antihistamin oral selama 3-4 hari dapat
mengurangi rasa perih dan terbakar pada kulit. Pada kasus-kasus
yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal dengan
kortikosteroid
sistemik
metilprednisolon
[1
(prednison
mg/kg/hr
[0.51
untuk
mg/kg/hr])
hari])
atau
haruslah
21
muda
menunjukkan
efektivitas
asiklovir
sebagai
Dermatitis Herpetiformis
II.4.1 Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah gangguan autoimun
terik dikaitkan dengan enteropati gluten sensitif (GSE). Penyakit
ini dijelaskan dan diberi nama pada 1884 oleh Louis Duhring Dr di
22
GFD
tidak
mengalami
peningkatan
mortalitas
(Habif,2004).
II.4.3 Patofisiologi
Pathogenesis DH berhubungan dengan Gluten Sensitive
Enteropathy(GSE). GSE adalah kelainan gastrointestinal yang
disebabkan oleh gluten. Gluten adalah suatu protein yang terdapat
pada gandum. Pada lebih dari 90% kasus DH didapati enteropati
sensitive terhadap gluten pada jejenum dan ileum. Kelainan yang
terjadi bervariasi dari atopi vili yang minimal hingga sel-sel epitel
mukosa usus halus yang mendatar. Sejumlah 1/3 kasus disertai
steatorea (wiryadi, 2011).
GSE kemungkinan berhubungan dengan deposit IgA pada
kulit penderita DH, meskipun mekanismanya belum diketahui
secara pasti apakah IgA terikat pada antigen yang ditemukan pada
gastrointestinal kemudian beredar dan tertimbun pada kulit atau
23
apakah IgA yang tebentuk khas untuk antigen kulit yang belum
diketahui (wiryadi, 2011).
Ditemukannya IgA dan komplemen diseluruh kulit
menimbulkan perkiraan bahwa diperlukan factor tambahan untuk
menerangkan permulaan lesi. Dengan factor tambahan ini, IgA
mengakifkan komplemen (mungkin melalui jalur alternative)
sehingga terjadi kemotaksis neutrophil yang melepaskan enzimnya
dan mengakibatkan lesi yang disebut dengan DH (wiryadi, 2011).
Selain gluten, yodium juga disebutkan dapat mempengaruhi
timbulnya remisi dan eksaserbasi penyakit (wiryadi, 2011).
II.4.4 Gambaran klinis
Awitan biasanya bertahap selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang eksplosif dalam beberapa
jam atau hari. Faktor pencetusnya yaitu penyakit virus, ingesti
gluten atau yodium dalam jumlah besar, dan disfungsi tiroid
(Wiryadi,2011).
Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul
dengan cepat dapat menjadi vesikel dengan ukuran 1-10 mm.
Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel atau bulla bila tidak pecah
menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan
simetris, tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin
hanya ditemukan krusta pigmentasi, dan skar berkelompok pada
tempat predileksi (Wiryadi,2011).
Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong,
bahu, dan area sakrum; banyak juga terkena pada area nuchal
posterior. Daerah lain yang sering terkena adalah wajah dan batas
rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi, begitu juga
dengan telapak tangan dan kaki (Wiryadi,2011).
Gejala bervariasi tergantung intensitas, kebanyakan pasien
mengeluhkan gatal yang hebat dan rasa terbakar. Diagnosis DH
dipikirkan jika adanya keluhan dengan rasa terbakar. Semakin
berat pruritus, maka biasanya timbul ekskoriasi. Erupsi biasanya
terjadi dengan dasar eritematous dan dapat berupa papula,
papulovesikuler, vesikobullosa, bulla, atau urtikaria. Lesi peteki
linear dapat timbul pada permukaan volar, jari, dan telapak tangan.
24
gambaran
histologi
yang
identik
dan
temuan
25
dan masih terlalu kecil untuk dilihat secara klinis. Dalam 1-2 hari
rete ridges ini akan terlepas dari dermis dan terbentuk vesikel
unilokuler yang akan tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin
masih terlihat mikroabses pada tepi vesikel. Karena itu biopsy pada
tepi vesikel sangat berguna (Miller,2013).
Pada pemeriksaan dengan mikroskopik electron terlihat
bula subepidermal di bawah lamina basalis. Pada daerah lesi,
lamina basalis rusak atau hilang dan pada kulit di dekat lesi, lamina
basalis menjadi tipis (Miller,2013).
Immunoflouresensi
Pada
pemeriksaan
immunoflouresensi
direk
pemeriksaan
immunoflurosensi
indirek,
tidak
II.4.6 Tatalaksana
Medikamentosa
a. Dapson
Dapson dan sulfapiridin merupakan obat yang efektif
untuk menghilangkan gejala dan menekan pembentukkan ruam
pada DH pada anak dan dewasa. Obat ini menyebabkan respon
yang dramatis dalam waktu 24 hingga 48 jam, sehingga
membantu dalam mendiagnosis DH
Dapson untuk anak-anak dapat diberikan mulai dengan
dosis 2mg/kgbb/hari, dosis dapat ditingkatkan tergantung
respons klinis dan efek samping dari terapi yang mungkin
timbul. Jika tidak terjadi efek samping dosis dapat ditingkatkan
26
dapat
diturunkan
setiap
minggu
hingga
dosis
27
Epidermolysis Bullosa
II.5.1 Definisi
Epidermolisis bulosa (EB) merupakan kelainan genetik
berupa gangguan/ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat
pada jaringan konektif di bawahnya dengan manifestasi tendensi
terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma atau
gesekan ringan (Djuanda, 2011).
II.5.2 Klasifikasi
Mula-mula klasifikasi dibuat berdasarkan jaringan parut
yang terbentuk kemudian, E.B. nondistrofik (bula terletak diatas
stratum basal) dan ditofilik (bula terletak dibawah stratum basal).
Dengan
perkembangan
imunologi
dan
pemeriksaan
28
simpleks (E.B.S.), E.B. distrofilik, dan E.B. juntional, massingmasing memiliki bentuk variasi (subtipe) (Djuanda, 2011).
1. Epidermolisis bulosa tipe Junctional
EB
pembentukan
tipe
junctional
bula
adalah
terjadi
di
tipe
lamina
E.B.
lusida
yang
di
taut
autosom. Imunoperoksidase
secara
memperlihatkan
bula
dengan
antibodi
monoklonal
lainya
serta
permukaannya
berbenjol-benjol
(coblestone
anami
ketahui.
rekalsitan.
Penyebab
Dengan pemeriksaan
kematian
mikroskop
biasa
tidak
di
tampak
29
leher,
inguinal,
dan
perianal
dan
meninggalkan
bekas
sikatrik,
disertai
30
bentuk
E.B.
distrofik
resesif
berat
terjadi
trauma,
misalnya
skapula, muka, oksiput, siku dan lutut. Bula steril besarbesear serta dapat hemoragik, erosi dan rasa nyeri, mirip
pada bentuk E.B. etal. Tanda Nikolski positif. Bayi mudah
mengalami infeksi sekunder dan sepsis. Penyembuhan bula
disertai sikatriks, hipopigmentasi dan atau hiperpigmentasi,
disertai milia. Sikatriks yang atrofi mirip kertas sigaret. Pada
bula berulang, lama kelamaan kulit menjadi sikatriks hiprsofi.
Bila jari-jari tangan yang luka jarang digerakan untuk waktu
yang lama, dapat terjadi perlekatan satu dengan yang lain
sehingga pada penyembuhan dapat mengalami fusi mirip
pseudosindaktili, atau mirip sarung tinju tangan. Posisi tangan
dan pergelangan berubah menjadi fleksi dan kontraktur. Kuku
mengalami kerusakan parah degenerasi atau hilang sama
sekali.
Mata
terkena
berupa
bleparitis,
simbleparon,
ukuran
besar,
apapun
yang
yang
panas,
memungkinkan
31
EB belum
32
E.B.
yang
diturunkan secara RA
c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL7A1), komponen
utama anchoring fibrils, sehingga fungsinya terganggu
(Djuanda, 2011).
II.5.4 Gambaran klinis
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan
lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu ditempat yang mudah
mengalami trauma, walaupun trauma yang ringan, misalnya trauma
di jalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang
hemoragik, pada penyembuhan perlu di perhatikan, apakah
meninggal kan bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa
ikut terkena, demikian pula kuku dapat distrofilik. Pada tipe
distrofilik resesif dapat disertai retardasi mental dan pertumbuhan,
kontraktur, dan perlekatan (fusi) jari-jari tangan (Djuanda, 2011).
II.5.5 Tatalaksana
1. Perawatan kulit
Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga, orang
tua pasien, atau perawat. Perawatan memerlukan kesabaran dan
ketelitian,
sedapat-dapatnya
menghindari
trauma
dan
33
34
dosis
awal
yang
tinggi
(140-160
mg
produksi
enzim
lain
yang
dapat
untuk
subssitusi
enzim
belum
in
vitro
retinoid,
tetrasiklin,
minosiklin
setiap
kelahiran.
Pemeriksaan
untuk
menentukan
setiap
kelahiran.
Pemeriksaan
untuk
menentukan
35
II.6.1
Definisi
Pemfigoid
gestationis
(herpes
gestationis)
adalah
Etiologi
Pemfigoid gestationis adalah penyakit autoimun terkait
dan
terutama
spesifik
untuk
protein
BPAG2
autoantibodi
masih
belum
Patofisiologi
Pemfigoid gestasionis adalah proses autoimun, yang
36
Diagnosis
37
status
dermatologikus,
ditemukan
erupsi
imunopatologi
menggunakan
ELISA
dapat
Pengobatan
topikal
sering
dikombinasikan
dengan
Penyakit derajat
38
Pengobatan
dengan
imunosupresan
dan
siklofosfamid,
dapson,
metotreksat,
IVIG
atau
BAB III
PENUTUP
39
III.1
Kesimpulan
Dermatitis vesikobulosa kronik ditandai terutama oleh adanya
vesikel dan bulla. Pemfigus vulgaris yang merupakan salah satu bentuk
dari pempigus merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua
kasus). Umumnya mengenai umur petengahan (dekade ke-4 atau ke-5),
tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak. Epidermolisis
bulosa merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetik
autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan.
Macam macam penyakit dermatitis vesikobulosa kronik adalah
Buolus
pemphigoid,
pemhigus,
eritema
multiforme,
dermatitis
Saran
Mengingat banyaknya berbagai macam Penyakit bulosa, segera
konsultasi kepada dokter jika anda mengalami kelainan pada kulit dan
mengganggu kesehatan anda. Agar dapat segera ditegaskan diagnosis
penyakitnya.
Daftar Pustaka
40
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Kligora CJ. 2006. Sauer's Manual of Skin Diseases. 9 ed. UK: Lippincott
Williams & Wilkins
Plaza, Jose A. 2013. Erythema Multiforme. (on-line). Medscape. Diakses 2 Juli
2013.
Miller, Jami L. 2013. Dermatitis Herpetiformis. (on-line). Mwdscape. Diakses 2
Juli 2013
Wiryadi B.E. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hurwitz S. Chronic. 1993. Clinical Pediatric Dermatology. 2nd edition.
Philadelphia. WB Saunders Company.
Anatoli, Freiman. 2012. Phemphigoid Gestationis. (on-line). Medscape. Diakses 3
Juli 2013
Jeff K Shomick. 2008. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies Inc
Heather Brannon. 2004. Pemphigoid Gestationis. (on-line). Dermatology. Diakses
2 Juli 2013
Marina Flangini Cobo. 2009. Pemphigoid Gestationis: Clinical and Laboratory
Evaluation. (on-line). Diakses 3 Juli 2013