Anda di halaman 1dari 7

Tita Sulastri

Profesi Ners

EVIDENCE BASED PRACTICE RESUSITASI CAIRAN KEGAWATDARURATAN


PADA PASIEN LUKA BAKAR

(KEPERAWATAN GAWAT DARURAT / NERS)

Judul 1 : Analisis Korelasi Waktu Pemberian Resusitasi Cairan Terhadap Mortalitas Pasien
Luka Bakar Berat Fase Emergency (2016)

Judul 2 : Respon Adaptasi Fisiologis Dan Psikologis Pasien Luka Bakar Yang Diberikan
Kombinasi Alternative Moisture Balance Dressing Dan Seft Terapi Di Rsup Dr. Sardjito
Yogyakarta (2016)

Judul 3 : Fluid Resuscitation Management In Patients With Burns: Update (2016)

P (Problem)

Jurnal 1 : Luka bakar merupakan suatu jenis cedera traumatik yang paling berat dibandingkan
dengan jenis trauma lainnya dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Dunne &
Rawlins, 2014). Menurut data dari World Health Organization (2016), luka bakar merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia yang diiperkirakan setiap
tahunnya mencapai 265.000 kematian. Di RSUP Sanglah, didapatkan bahwa angka mortalitas
pasien luka bakar yang dirawat di Burn Unit selama periode tahun 2013 sampai tahun 2014
sebesar 10,07 %. Fase emergency dalam kasus luka bakar merupakan fase yang sangat penting
dan layak untuk mendapatkan perhatian khusus, karena merupakan masa kritis bagi pasien yang
mengalami luka bakar berat (Dunne & Rawlins, 2014).

Jurnal 2 : Luka bakar merupakan trauma yang berdampak paling berat terhadap fisik maupun
psikologis, dan mengakibatkan penderitaan sepanjang hidup seseorang, dengan angka mortalitas
dan morbiditas yang tinggi (Moenajat, 2003). Kegawatan psikologis tersebut dapat memicu suatu
keadaan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) (Brunner&Suddarth,
2010). Pada beberapa negara, luka bakar masih merupakan problem yang berat, perawatannya
masih sulit, memerlukan ketekunan dan membutuhkan biaya yang mahal serta waktu yang lama.
Perawatan yang lama pada luka bakar sering membuat pasien putus asa dan mengalami stress,
gangguan seperti ini sering menjadi penyulit terhadap kesembuhan optimal dari pasien luka
bakar. RSUP.Dr.Sardjito selama tahun 2012 terdapat 49 pasien dengan angka kematian 34%,
rata-rata setiap bulannya terdapat 4-5 pasien baru dengan luka bakar derajat II – III dan luas
antara 20 – 90 % yang dirawat di unit Luka Bakar membutuhkan lama dirawat /length of stay
(LOS) untuk penyembuhan lukanya rata-rata 1 bulan, untuk kasus-kasus ertentu bisa sampai
sekitar 6 bulan sampai 1 tahun (Register Unit Luka Bakar RSUP.Dr.Sardjito, 2012).

Jurnal 3 : sejak 1968, ketika Baxter dan Shires mengembangkan formula Parkland, hanya
sedikit kemajuan yang dicapai di bidang terapi cairan. untuk resusitasi luka bakar, meskipun ada
kemajuan dalam pemantauan hemodinamik, pembentukan konsep 'terapi yang diarahkan pada
tujuan', dan pengembangan larutan koloid dan kristaloid baru. Pasien luka bakar menerima lebih
banyak cairan dalam beberapa jam pertama dibandingkan pasien trauma lainnya. Resusitasi awal
didasarkan pada kristaloid karena permeabilitas kapiler yang meningkat terjadi selama 24 jam
pertama.

I (Intervensi)

Judul 1 : Dalam resusitasi cairan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah jenis cairan yang
diberikan, jumlah cairan, dan waktu pemberian resusitasi cairan pada fase emergency. Jumlah
dan jenis cairan resusitasi yang diberikan tergantung dari formula yang digunakan oleh suatu
rumah sakit yang biasanya berdasarkan pada luas luka bakar pasien (Marx, Hockberger, &
Walls, 2009). Sedangkan waktu pemberian resusitasi cairan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah waktu kedatangan pasien pasca terpaparnya luka bakar. Keterlambatan
kedatangan pasien ke IGD yang menjadi salah satu penyebab keterlambatan pemberian resusitasi
cairan sering sekali dikaitkan dengan mortalitas pasien (Williams, et al. 2009; Rice & Orgill,
2016).
- Resusitasi cairan didefiniskan sebagai terapi cairan yang dilakukan untuk mengganti
volume cairan intravaskular (perfusi) atau volume cairan interstitial (dehidrasi), atau
untuk memperbaiki abnormalitas elektrolit dengan pemberian cairan pengganti dapat
bersifat kristaloid ataupun koloid secara agresif (Stewart, 2003).

Judul 2 : Pada penelitian ini intervensi yang diberikan perawat adalah memberikan dukungan
kebutuhan emosional dan spiritual dengan berdoa menggunakan metode SEFT atau Spiritual
Emosional Freedom Technique dan perawatan luka dengan menggunakan alternative moisture
balance dressing sebagai mekanisme koping regulator dan aspek kognator yang akan diintervensi
adalah memberikan informasi pada pasien bahwa mood atau emosi akan berpengaruh terhadap
perkembangan penyembuhan luka. Intervensi yang akan diberikan perawat dapat menimbulkan
respon adaptif atau inefektif. Respon adaptif adalah respon yang diharapkan sebagai hasil akhir
dari intervensi yang diberikan. Pada penelitian ini respon adaptif psikologis fungsi konsep diri
(physical self) yang diharapkan adalah penerimaan diri (acceptance) yang merupakan strategi
koping terhadap kehilangan yang efektif sehingga dapat menciptakan ketenangan dan relaksasi
pada diri pasien. Kondisi ini kemudian akan merangsang sistem endokrin untuk menstimuli
penurunan hormon ACTH yang diikuti oleh penurunan glukokortikoid dan kortisol. Penurunan
kadar glukokortikoid dan kortisol akan merangsang peningkatan respon imun dan respon
inflamasi yang diperlukan pada penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka efektif dan
dapat berlangsung cepat pada proteksi fungsi fisiologis.

Judul 3 : Kristaloid : Selama beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian telah dipublikasikan
terapi cairan berbasis kristaloid pada berbagai jenis pasien. Ba-solusi bertombak telah terbukti
lebih unggul daripada tidak seimbang kristaloid (bukti level 1B). Berbagai efek samping telah
dijelaskan dengan pengguna larutan garam, dan beberapa penelitian telah melaporkan masalah
terkait dengan penggunaan RL pada pasien sakit kritis dan orang lain yang tidak luka bakar.
2006, Oda dan rekan-rekannya mempelajari kohort dari 36 pasien luka bakar. pasien dengan luka
bakar BSA> 40% dan tidak menghirup asap yang parah juri. Tujuan penulis adalah untuk
menganalisis perkembangan sindrom kompartemen perut dan hubungannya dengan pemberian
cairan awal. Berdasarkan fakta hipertonik itu serum mengurangi kebutuhan cairan, penulis
merancang studi membandingkan resusitasi awal dengan RL vs hipertonik lac-tated saline,
dengan output urin 0,5 ml kg −1 jam −1 . Pasien diberikan garam laktat menerima jumlah yang
jauh lebih kecil cairan dibandingkan yang diberikan RL. Selanjutnya puncak perut tekanan dan
tekanan inspirasi puncak pada 24 jam lebih rendah kelompok saline. Hanya 14% dari pasien
yang menerima saline laktat mengembangkan sindrom kompartemen perut sebagai lawan 50% di
grup RL.

- Koloid merupakan kontroversi dalam penanganan luka bakar, terlebih lagi setelah
peringatan baru-baru ini dikeluarkan oleh berbagai badan pengawas narkoba
kontraindikasi penggunaan HES pada pasien luka bakar. Koloid adalah cairan yang
mengandung makromolekul, dan mereka memiliki exefek ekspansi daripada kristaloid.
Mereka dapat memiliki alam (plasma dan albumin) atau komponen sintetis (HES dan
gelatin). Gelatin sekarang menjadi koloid sintetis yang digunakan pada luka bakar,
menjadi hanya opsi yang tersedia setelah peringatan HES, tetapi ekspansi mereka
kapasitasnya lebih rendah dari HES, dan efeknya berhenti 1 jam setelahnya administrasi.
Dua meta-analisis diterbitkan pada tahun 2012 mengakui bahwa gelatin tidak memiliki
keunggulan dibandingkan kristaloid dan hingga hari ini, keamanan mereka belum dapat
dikonfirmasi. Tidak ada studi memastikan keamanan mereka pada pasien luka bakar

C (Comparison)

Judul 1 : Berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara waktu
pemberian resusitasi cairan dengan mortalitaspasien luka bakar berat pada fase emergency di
RSUP Sanglah dengan nilai p (0.013) dan memiliki kekuatan korelasi yang lemah. Hasil tersebut
berbeda dengan hasil penelitian dari Wang, et al. (2010), yang dilakukan di Cina secara
retrospektif bahwa waktu pemberian resusitasi tidak berkorelasi secara signifikan terhadap
mortalitas pasien dalam periode follow-up pasca-hospitalisasi selama 2 bulan. Perbedaan hasil
tersebut dapat memberikan gambaran bahwa resusitasi cairan lebih berpengaruh terhadap
mortalitas pasien luka bakar pada fase emergency daripada fase rehabilitasi. Menurut Snell, et al.
(2013). mortalitas pasien akan meningkat apabila resusitasi dilakukan lebih dari 2 jam setelah
kejadian cedera. Akan tetapi dalam penelitian ini menghasilkan angka survival pasien luka bakar
berat yang cukup tinggi yaitu 87,18%. Hal ini disebabkan rata-rata rentang waktu pemberian
resusitasi cairan dari terapaparnya luka bakar pada penelitian 60.13 menit, yang berarti belum
berisiko meningkatkan mortalitas pasien. Dalam Landry, et al. (2013) disebutkan bahwa pada
luka bakar 15-20% dari total LPT, terjadi pergeseran cairan dalam jumlah yang besar sehingga
dapat menyebabkan pasien mengalami syok dalam 6-12 jam pertama setelah cedera. Oleh karena
itu resusitasi cairan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil klinis pasien. Hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Danilla, et al. (2007), yang mengidentifikasi bahwa resusitasi
cairan yang merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan luka bakar dalam fase emergency
menjadi faktor yang sangat mempengaruhi hasil klinis pasien.

Judul 2 Pengambilan data berlangsung dalam 2 tahap, pengambilan data respon adaptasi
fisiologis fungsi proteksi proses penyembuhan luka bakar dengan metode observasi dilakukan
selama kurang lebih 4 bulan, dari bulan Maret 2014 sampai dengan Juni 2014 dan data tentang
respon adaptasi psikologis fungsi konsep diri physical self dengan metode pengisian kuesioner
dan wawancara terstruktur dilakukan setelah responden mencapai proses penyembuhan dengan
jaringan epitelisasi atau granulasi >25% TBSA (Total Body Surface Area) yang berlangsung
dalam periode waktu tersebut. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

bedaan yang bermakna antara tingkat depresi, kecemasan, dan stres sebelum dan sesudah
intervensi SEFT antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol Menciptakan ketenangan dan
relaksasi pada diri responden. Pada penelitian ini respon adaptasi psikologis: penerimaan diri
yang adaptif, berupa terciptanya ketenangan, relaksasi dan harapan positif pada diri responden.
Kondisi ini merangsang sistem endokrin untuk menstimuli penurunan hormon ACTH yang
diikuti oleh penurunan glukokortikoid dan kortisol. Penurunan kadar glukokortikoid dan kortisol
akan merangsang peningkatan respon imun dan respon inflamasi yang diperlukan pada
penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka dapat berlangsung cepat.

Judul 3 : Pada tahun 2006, Cooper dan kolega melakukan multisenter uji klinis acak dengan 42
pasien luka bakar yang membandingkan cairan resusitasi dengan RL vs RL plus albumin. BSA
dan inhalasi cedera lebih parah pada kelompok albumin. Meskipun perbedaan perbedaan antara
lengan tidak signifikan dalam diri mereka sendiri, itu mortalitas yang diharapkan adalah 18,6%
pada kelompok albumin dan 9,4% pada kontrol ( P = 0,06), dan tidak ada penyesuaian yang
dibuat untuk keseimbangan.
O (Outcome)

Judul 1 : Mortalitas pasien akan meningkat apabila resusitasi dilakukan lebih dari 2 jam setelah
kejadian cedera. Akan tetapi dalam penelitian ini menghasilkan angka survival pasien luka bakar
berat yang cukup tinggi yaitu 87,18%. Hal ini disebabkan rata-rata rentang waktu pemberian
resusitasi cairan dari terapaparnya luka bakar pada penelitian 60.13 menit, yang berarti belum
berisiko meningkatkan mortalitas pasien. Dalam Landry, et al. (2013) disebutkan bahwa pada
luka bakar 15-20% dari total LPT, terjadi pergeseran cairan dalam jumlah yang besar sehingga
dapat menyebabkan pasien mengalami syok dalam 6-12 jam pertama setelah cedera. Oleh karena
itu resusitasi cairan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil klinis pasien. Hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Danilla, et al. (2007), yang mengidentifikasi bahwa resusitasi
cairan yang merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan luka bakar dalam fase emergency
menjadi faktor yang sangat mempengaruhi hasil klinis pasien.

Judul 2 : Pada siklus 3 ini didapatkan lama waktu penyembuhan berdasarkan derajat luka,
derajat II rata-rata 17,66 hari (tercepat 7 hari dan terlama 35 hari), lama waktu penyembuhan
derjat III rata-rata 28,6 hari, ( tercepat 17 hari dan terlama 40 hari). Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian Gravente (2010) menemukan lama waktu penyembuhan derajat II minimal 5
hari maksimal 12 hari sedangkan untuk derajat III minimal 21 hari, maksimal 29 hari. Hal ini
dimungkinkan karena dipengaruhi oleh faktor penyebab terjadinya luka bakar. Hasil penelitian
ini sesuai pendapat Demling & Way pada tahun 2001 dimana pada luka bakar derajat II dangkal
dapat sembuh dalam waktu 10 –14 hari. Pada luka bakar derajat II dalam yang mengenai seluruh
ketebalan dermis memerlukan waktu kesembuhan lebih lama sampai 25 – 35 hari. Pada luka
bakar derajat III sembuh lebih lama, lebih dari 35 hari. Derajat kedalaman luka pada luka bakar
juga merupakan faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan, semakin dalam derajat luka
akan mempengaruhi proses proliferasi pada pembentukan epitelisasi atau granulasi jaringan.
Berdasarkan dari hasil temuan dan teori diatas peneliti sependapat bahwa penyembuhan luka
pada luka bakar sangat dipengaruhi derajat kedalaman luka

Judul 3 : Fluid Resuscitation Management In Patients With Burns: Update (2016)


- Resusitasi cairan yang kurang optimal pada pasien luka bakar menyebabkan lebih besar
kedalaman luka bakar dan perpanjangan periode shock, yang biasanya berlangsung dalam
24-48 jam pertama. Menurut hasil tujuan studi terapi terarah, jumlah cairan yang
diberikan pertama 24 jam harus lebih tinggi. Cairan resusitasi awal harus berupa
kristaloid seimbang. Koloid tampaknya tidak sesuai selama jam-jam pertama karena
peningkatan permeabilitas kapiler pasien. Ringer asetat tampaknya melindungi
keseimbangan elektrolitik dalam penggantian besar, dan mungkin kristaloid pilihan untuk
resusitasi awal pada pasien luka bakar

Kesimpulan :
- Waktu pemberian resusitasi cairan berkorelasi terhadap mortalitas pasien luka bakar berat
pada fase emergency. Oleh karena itu sebagai upaya dalam menurunkan angka mortalitas
pasien luka bakar berat selama fase emergency, sebagai tenaga kesehatan sebaiknya
memberikan resusitasi cairan sedini mungkin berdasarkan pada formula resusitasi yang
telah terstandar di masing-masing rumah sakit.
- Resusitasi cairan yang kurang optimal pada pasien luka bakar menyebabkan lebih besar
kedalaman luka bakar dan perpanjangan periode shock, yang biasanya berlangsung dalam
24-48 jam pertama. Menurut hasil tujuan studi terapi terarah, jumlah cairan yang
diberikan pertama 24 jam harus lebih tinggi. Cairan resusitasi awal harus berupa
kristaloid seimbang. Koloid tampaknya tidak sesuai selama jam-jam pertama karena
peningkatan permeabilitas kapiler pasien. Ringer asetat tampaknya melindungi
keseimbangan elektrolitik dalam penggantian besar, dan mungkin kristaloid pilihan untuk
resusitasi awal pada pasien luka bakar. perbedaan antara resusitasi awal dengan Ringer
laktat atau Ringer's acetate, waktu yang tepat untuk memulai koloid, dan kinerja
komparatif dari alam yang berbeda dan koloid sintetis pada pasien luka bakar.

Anda mungkin juga menyukai