Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PRAKTIKUM

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


PERHITUNGAN CAIRAN UNTUK RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN
DENGAN PERDARAHAN DAN DEHIDRASI

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi cidera dapat terjadi terhadap siapapun dan dimanapun seseorang
berada. Kondisi cidera dapat mengakibatkan perdarahan luar maupun
perdarahan didalam tubuh. Kondisi perdarahan yang keluar dapat sedikit atau
banyak, hingga menimbulkan seseorang kekurangan cairan akibat perdarahan.
Seseorang akan mengalami syok akibat kekurangan cairan yang banyak
(Nurlaela & Mamluaty, 2020).
Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan
sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi
yang diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik
tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri,
berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya
curah jantung (Hardisman, 2013).
Perdarahan merupakan penyebab syok hipovolemik yang paling banyak.
Perdarahan yang ditandai dengan tekanan darah rendah, frekuensi nadi cepat,
peningkatan laju nafas, akral dingin, lemah, pucat, bahkan dapat memyebabkan
kehilangan kesadaran. Kehilangan darah dengan jumlah banyak dalam waktu
singkat mengakibatkan kematian, kerusakan pertukaran oksigen serta
pembekuan darah secara berlebihan, sehingga dari pengumpalan darah akan
menyumbat dan mengurangi aliran darah ke organ-organ tubuh. Jika
penanganan awal tidak diikuti dengan cepat dan tepat maka pendarahan yang
hebat akan menyebabkan syok hipovolemik (Hady et al., 2022).
Dehidrasi merupakan ketidakseimbangan cairan akibat kekurangan cairan
yang kemudian akan memiliki efek atau dampak fisiologi bagi tubuh. Dehidrasi
dapat disebabkan karena kehilangan cairan terlalu banyak, tidak mengkonsumsi
cukup cairan ataupun keduanya (Kurniawati et al., 2020).
BAB 2
PEMBAHASAN
1.1 Penatalaksanaan
Resusitasi hipotensif/resusitasi terbatas merupakan suatu tindakan
pemberian resusitasi cairan yang diberikan pada pasien trauma dengan syok
perdarahan yang bertujuan mengembalikan volume darah untuk mencukupi
perfusi organ-organ vital (jantung, otak), dan menghindari kehilangan darah
lebih lanjut. Sedangkan pada resusitasi agresif, dilakukan penggantian dengan
cairan kristaloid sebanyak 3 kali dari perkiraan volume kehilangannya (estimate
blood loss) yang bertujuan mengembalikan darah yang hilang menjadi
’normovolemik’ (Ario & Sumarki Budipramana, 2011).
Perhitungan Resusitasi Cairan Perdarahan:
EBV
Neonatus Premature: 95 ml x BB Dewasa: - Laki: 70 ml x BB
Bayi: 80 ml x BB - Perempuan: 60 ml x BB
Anak: 70 ml x BB

Rumus EBL : EBL = EBV x Kelas %

Ket: - EBL: Estimasi Blood Lose


- EBV: Estimasi Blood Volume (Perkiraan Volume Darah)

Penatalaksanaan diare menjadi hal penting untuk dilakukan demi


mengurangi terjadinya dehidrasi yang lebih parah. Menurut WHO (2017),
mengatakan bahwa penatalaksanaan atau intervensi dari diare dengan dehidrasi
adalah dengan menambah asupan air minum, termasuk air minum yang aman
(Adi Prabowo et al., 2020).

Rumus untuk mengetahui level dehidrasi: Level:


Level Derajat = (BB Sehat - BB Sakit : BB Sehat) x 100 3-5 mild (ringan)
Kebutuhan Cairan = Level Derajat x BB Sakit 6-9moderate(sedang)
>10 severe (berat)
BAB 3
HASIL YANG DI DAPAT (PENGALAMAN)

Hasil yang didapatkan untuk menentukan perhitungan resusitasi cairan


perdarahan, kita tentukan terlebih dahulu berapa banyak kehilangan darah
tersebut. Lalu kita masukkan menggunakan rumus untuk mendapatkan jumlah
cairan yang dibutuhkan.

Hasil yang didapatkan untuk menentukan perhitungan resusitasi cairan


dehidras, kita tentukan terlebih dahulu level derajat dehidrasinya, kemudian
kita masukkan menggunakan rumus untuk mendapatkan jumlah cairan yang
dibutuhkan.

BAB 4
KESIMPULAN

Resusitasi cairan adalah proses penggantian cairan tubuh saat pasien dalam
kondisi kritis dan kehilangan terlalu banyak cairan, baik dalam bentuk air
maupun darah. Resusitasi cairan diberikan bila ditemukan kondisi hipovolemia,
yaitu kurangnya volume darah atau cairan dalam pembuluh darah. Kondisi ini
dapat menimbulkan gejala berupa tekanan darah rendah, denyut nadi dan napas
menjadi cepat, serta suhu tubuh menurun. Kondisi yang dapat menyebabkan
hipovolemia meliputi pendarahan serta diare atau muntah yang dapat memicu
dehidrasi.
DAFTAR PUSTAKA

Adi Prabowo, P., Sulistyorini, L., & Perdani Juliningrum, P. (2020). Gambaran Balance
Cairan pada Anak Diare setelah Diberikan Pemenuhan. In Journal Pustaka
Kesehatan (Vol. 8, Issue 3).

Ario, D., & Sumarki Budipramana, V. (2011). Kebutuhan Optimal Cairan Ringer Laktat
untuk Resusitasi Terbatas (Permissive Hypotension) pada Syok Perdarahan Berat
yang Menimbulkan Kenaikan Laktat Darah Paling Minimal The Optimum Need of
Ringer Lactat Fluid for Limited Resusitation (Permissive Hypotension) in Heavy
Bleeding Shock wich Causes the Most Minimum Increase of Blood Lactate. In
Journal of Emergency (Vol. 1, Issue 1).

Hady, A. J., Dewi Astuti, E. L., Ekowatiningsih, D., & Mustafa, M. (2022). Studi
Literatur Tindakan Resusitasi Cairan Pada Pasien Perdarahan Dengan Syok
Hipovolemik. In Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis (Vol. 17).

Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:


Update dan Penyegar.

Kurniawati, F., Sitoayu, L., Melani, V., Nuzrina, R., & Wahyuni, Y. (2020). Hubungan
Pengetahuan, Konsumsi Cairan dan Status Gizi dengan Status Hidrasi pada Kurir
Ekspedisi Relationship between Knowledge, Fluid Intake and Nutritional Status
with Hydration Status of Expedition Couriers.

Nurlaela, E., & Mamluaty, A. N. (2020). Peningkatan Pengetahuan Mengenai


Pertolongan Pertama pada Perdarahan Akibat Luka Cidera pada Siswa Sekolah
Dasar Muhammadiyah Bligo Kabupaten Pekalongan.
PERHITUNGAN CAIRAN UNTUK RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN
DENGAN LUKA BAKAR

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Luka bakar adalah luka yang terjadi karena adanya kontak kulit dengan
sumber panas seperti api, uap panas, bahan kimia, dan radiasi. Menurut WHO,
luka bakar memyebabkan sekitar 180.000 kematian setiap tahunnya dan
sebagian besar terjadi di rumah dan di tempat kerja. menurut Depkes RI Luka
bakar di Indonesia pada rentang tahun 2014-2018, menyatakan bahwa di tahun
2014-2018 telah terjadi peningkatan kejadian luka bakar sebanyak 35%. Pada
tahun 2018 sebanyak 1.701 (20,19%), tahun 2017 sebanyak 1.570 (18,64%),
tahun 2016 sebanyak 1.432 (17,03%), tahun 2015 sebanyak 1.387 (16,46%),
dan tahun 2014 sebanyak 1.209 (14,35%). Tingkat luka bakar tertinggi di
Negara berkembang terjadi pada kalangan perempuan sedangkan di Negara
maju tertinggi pada laki-laki. Sebagian besar sekitar 80% cidera luka bakar
terjadi di rumah dan 20% terjadi di tempat kerja (Stella & Wahyuningsih, 2021).
Luka bakar adalah kerusakan jaringan yang terjadi pada permukaan kulit
sehingga peradangan yang pertama kali muncul selama proses penyembuhan
luka bakar. Semakin cepat derajat eritema menurun, semakin cepat proses
penyembuhan luka bakar (Aprilliani et al., 2021).
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh
dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api, bahan kimia, listrik,
maupun radiasi) atau zat-zat yang bersifat membakar baik berupa asam kuat dan
basa kuat (Safriani, 2016).
Penyebab luka bakar tersebut diantaranya kontak dengan api, air panas,
listrik, minyak goreng, kompor gas, terkena bahan kimia, bermain korek api,
dan bermain kembang api (Sarabahi, 2010). Luka bakar memberikan dampak
negatif bagi anak seperti menimbulkan dampak fisik yaiti bekas luka, keloid,
hospitalisasi, kontraktur, dan kecacatan sehingga anak mengalami keterbatasan
fisik (Murthy & Mathias, 2017).
Dampak psikologis juga dapat muncul yaitu kecemasan, depresi, harga diri
rendah, hingga mengalami posttraumatic stress disordert (PTSD) (Johnsa
Hopkins Medicine, 2018). Pertolongan pertama merupakan pertolongan dini
yang diberikan pada korban untuk menyelamatkan jiwa, mencegah kecacatan,
dan memberi rasa aman (American College of Emergency Physicians, 2014).
Resusitasi luka bakar mengacu pada penggantian cairan pada pasien luka
bakar untuk memerangi hipovolemia dan hipoperfusi yang dapat terjadi akibat
respons sistemik tubuh terhadap luka bakar. Resusitasi cairan pada kasus luka
bakar adalah tata laksana kegawatdaruratan yang penting dalam 24 jam pertama
untuk mencegah mortalitas akibat syok. Penerapan goal directed therapy pada
resusitasi luka bakar memerlukan pemahaman mengenai mekanisme syok,
prinsip resusitasi, serta monitoring resusitasi pada luka bakar. Cairan resusitasi
yang paling banyak digunakan hingga saat ini adalah cairan kristaloid ringer
laktat. Secara umum, penggunaan koloid harus dilakukan dengan sangat hati-
hati karena adanya potensi efek samping yang mungkin malah memperberat
kondisi klinis pasien.
Resusitasi cairan merupakan langkah penting untuk meningkatkan cardiac
output (CO) dan delivery oxygen (DO2) pada pasien syok.1-3 Agar resusitasi
cairan memberikan hasil yang optimal, diperlukan pengetahuan fisiologis
dinamika cairan tubuh, pencatatan kumulatif secara ketat, perhitungan rumatan
secara tepat dan pengetahuan terhadap perubahan perfusi cairan
makrohemodinamik dan mikrohemodinamik (Pasaribu, 2018).
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada perdarahan dilakukan dengan resusitasi cairan
agresif/ resusitasi standar untuk mengembalikan cairan yang hilang menjadi
normovolemik. Namun resusitasi agresif memiliki beberapa kerugian antara
lain terbentuknya perdarahan ulang akibat pecahnya bekuan-bekuan darah yang
terbentuk akibat efek delusi, cedera perfusi, hipotermia, serta koagulopati akibat
kebocoran endotel yang mengakibatkan pelepasan faktor pembekuan darah
(Ario & Budipramana, 2011).

Cara menghitung luas luka bakar:


Luas luka bakar dibuat dengan perhitungan persentase untuk perhitungan
luka bakar pada orang dewasa adalah “Rule of Nine”yang dibuat olek Polaski
dan Tennison yaitu :
• Kepala dan leher : 9%
• Dada : 9%
• Perut : 9%
• Punggung : 9%
• Lengan dan tangan kanan : 9%
• Lengan dan tangan kiri : 9%
• Paha kanan : 9%
• Paha kiri : 9%
• Betis-kaki kanan : 9%
• Betis-kaki kiri : 9%
• Perineum dan genetalia : 9%
Rumus kebutuhan cairan(resusitasi cairan) pada luka bakar :
2-4cc x Kg BB x Luas Luka Bakar(%).
BAB 3
HASIL YANG DIDAPATKAN (PENGALAMAN)

Hasil yang didapatkan untuk menentukan luka bakar kita tentukan terlebih
dahulu luas luka bakarnya berapa persen menggunakan rule of nine, lalu kita
masukan menggunakan rumus unuk mendapatkan jumlah cairan yang
dibutuhkan. Apabila hasil dari kebutuhan cairan yang akan diberikan sudah
didapatkan, lalu dilanjutkan dengan membagi kebutuhan cairan selama 8 jam
pertama dan 16 jam berikutnya. Volume cairan yang diberikan dapat dihitung
menggunakan berbagai formula perhitungan cairan resusitasi luka bakar.

BAB 4
KESIMPULAN

Resusitasi luka bakar merupakan bagian penting penatalaksanaan luka


bakar untuk mengatasi syok luka bakar. Perawatan untuk pasien luka bakar akut
sangat kompleks dan membutuhkan penilaian luka bakar yang cepat serta evaluasi
untuk cedera penyerta. Resusitasi luka bakar terus menjadi fase perawatan yang
kompleks dan menantang bagi pasien luka bakar. Menghitung luas luka bakar
menggunakan rumus dapat mempermudah dan cepat untuk mengetahui
kebutuhan cairan yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Aprilliani, A., Fhatonah, N., & Ashari, N. A. (2021). UJI EFEKTIVITAS


ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL 70% DAUN DEWA (Gynur
pseudochina (L.) DC.) PADA LUKA BAKAR TIKUS PUTIH JANTAN GALUR
WISTAR. Jurnal Farmagazine, 8(2), 52. https://doi.org/10.47653/farm.v8i2.564

Pasaribu, H. (2018). Mikrosirkulasi Pada Resusitasi Cairan.

Stella, E., & Wahyuningsih, K. A. (2021). Perbandingan Perubahan Luas Luka dan
Angiogenesis pada Luka Bakar Derajat IIB Tikus Sprague Dawley yang Diberikan
Advanced Platelet-rich Fibrin dan Advanced Platelet-rich Fibrin Plus. In Jurnal
Kesehatan Andalas (Vol. 10, Issue 2). http://jurnal.fk.unand.ac.id
CARA MENGHENTIKAN PERDARAHAN (BALUT TEKAN DAN
HECTING)

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Cedera merupakan masalah yang timbul dalam diri seseorang setelah


melakukanaktivitas fisik ataupun olahraga baik dalam berlatih maupun
bertanding, kejadiannya dapat tiba-tiba dan sulit dihindari. Cedera olahraga
adalah cedera pada sistem integument, otot, dan rangka tubuh yang disebabkan
oleh kegiatan olahraga. Tubuh yang mengalami cedera ini akan terjadi respon
peradangan. Peradangan yang terjadi ini adalah salah satu cara sistem imunitas
tubuh dalam merespon terhadap segala tantangan yang dihadapi tubuh
misalnya, infeksi, ataupun adanya ketidakseimbangan dalam sistem tubuh.
Cedera pada jaringan tubuh yang mengakibatkan terjadinya peradangan ini
dapat diketahui secara patofisiologi dengan berbagai tanda-tanda peradangan,
Novita Intan Arofah (dalam Medikora,2015).

Wibowo (1994) Cedera olahraga adalah segala macam cedera yang timbul,
baik pada waktu latihan maupun pada waktu berolahraga ataupun sesudahnya.
Resiko cedera menjadi lebih besar terutama dalam olahraga yang
mengutamakan kontak fisik dengan lawannya saat bertanding, seperti dalam
olahraga futsal dimana cedera dapat timbul setiap saat. Cedera olahraga
seringkali direspon olehh tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas
rubor(merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri). Jika sudah cedera
yang berlarut mereka akan sulit meraih prestasi. Cedera ini harus di tangani
dengan cepat untuk menghindari cedera yang berlarut. Pada saat atlet
mengalami cedera tentu pihak-pihak terkait seperti pelatih, pembina,
bertanggung jawab atas kesembuhan atletnya sendiri, mereka harus cepat dan
tanggap untuk menangani cedera tersebut, agar cedera tidak menghambat
seorang atlet untuk tetap berlatih dan berprestasi, Compression Balut tekan,
tujuannya yaitu untuk mengurangi pembengkakan sebagai akibat perdarahan
serta mengurangi pergerakkan., Elevation. Mengangkat bagian yang cedera
lebih tinggi dari letak jantung. Tujuannya supaya perdarahan berhenti dan
pembengkakan dapat segera berkurang.

Balut tekan adalah suatu ikatan yang terbuat dari bahan elastis. Bahan
perbanya disebut elastis perban/ elastis bandage / tensiokrep atau benda-benda
sejenis. Bahaya balut tekan adalah jika ikatan itu terlalu kencang, maka
pembuluh dara arteri tidak bisa mengalirkan darah ke bagian distal ikatan. Hal
ini akan menyebabkan kematian dari jaringan-jaringan(Anton Komaini, 2020).

Hetching merupakan menghubungkan struktur anatomi yang terpotong,


mengikat atau ligase pembuluh darah anatara dua tepi luka dengan
menggunakan berupa benang (Mustofa et al., 2021).

Luka merupakan hilangnya sebagian substansi jaringan akibat dari rusaknya


komponen sel ataupun jaringan yang ditimbulkan oleh trauma fisik, mekanik
ataupun kimiawi yang berdampak pada ketidakseimbangan anatomi dan fungsi
fisiologis kulit normal. Fungsi utama kulit sebagai proteksi yang berperan
sebagai barrier terhadap lingkungan luar termasuk mikroorganisme. Saat barrier
rusak akibat beberapa hal seperti trauma, maka kulit tidak dapat melakukan
fungsinya dengan baik. Selain itu, kulit memiliki fungsi lain diantaranya
sebagai absorpsi, ekskresi, serta mengatur keseimbangan termoregulasi dan
elektrolit (Mustofa et al., 2021).

Luka post hecting atau luka jahitan merupakan luka yang sering terjadi
akibat suatu proses traumatik ataupun sayatan yang cukup dalam sehingga
dilakukannya penjahitan pada luka. Jahitan pada luka dapat membantu dalam
penyembuhan luka, akan tetapi jika luka jahitan atau post hecting ini dibiarkan
tanpa diberikan pengobatan secara cepat dan tepat akan menimbulkan infeksi
(Sinto, 2018). Penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah penerapan
standar operasional prosedur (Suprapto, 2021). Proses infeksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti waktu penjahitan yang lama sehingga dengan cepat
terjadinya kontaminasi, malnutrisi, dan diabetes kronis (Liddle, 2013; Malhotra
& Walia 2015).
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Penatalaksanaan
Berikut hal-hal atau langkah-langkah untuk memberi pertolongan pertama
pada perdarahan balut tekan :
1. cuci tangan: Pastikan tangan Anda bersih sebelum melakukan pertolongan
pertama pada perdarahan. Jika memungkinkan, gunakan sarung tangan
medis untuk menghindari penyebaran infeksi.
2. Tekan langsung pada luka: Gunakan kain bersih atau tisu steril untuk
menekan langsung pada luka yang berdarah. Tekan dengan kuat selama
beberapa menit untuk membantu membekukan pembuluh darah yang
terluka.
3. Tingkatkan luka di atas tingkat jantung: Jika memungkinkan, angkat bagian
tubuh yang terluka di atas tingkat jantung. Ini membantu mengurangi
tekanan darah pada luka dan membantu menghentikan perdarahan.
4. Balut tekan: Setelah perdarahan mulai berhenti, gunakan kain bersih, tisu
steril, atau perban untuk membalut luka dengan tekanan. Bungkus secara
rapat, tetapi pastikan tidak terlalu ketat yang dapat mempengaruhi aliran
darah ke anggota tubuh yang terluka.
5. Jaga balutan tetap di tempat: Pastikan balutan tetap pada tempatnya dan
tidak diganggu. Jika perban menjadi basah atau terlihat berdarah,
tambahkan lapisan baru di atasnya dan terus tekan pada luka.
6. Cari bantuan medis: Meskipun perdarahan terhenti, penting untuk mencari
bantuan medis profesional setelah melakukan pertolongan pertama. Dokter
atau tenaga medis dapat mengevaluasi luka lebih lanjut dan memberikan
perawatan yang diperlukan.

Langkah pertolongan pertama hetching :

Menghentikan perdarahan dari luka jahit atau goresan (hetching) bisa


dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Tekan langsung pada area yang berdarah: Gunakan kain bersih atau tisu
steril dan tekan langsung pada luka. Pastikan tekanan cukup kuat untuk
membantu membekukan pembuluh darah yang terluka.

2. Angkat luka di atas tingkat jantung: Jika memungkinkan, angkat bagian


tubuh yang terluka di atas tingkat jantung. Ini membantu mengurangi
tekanan darah pada luka dan meminimalkan perdarahan.

3. Jepit arteri: Jika perdarahan cukup parah dan tidak bisa dihentikan dengan
tekanan langsung, Anda dapat mencoba mengompresi arteri yang terdekat
dengan luka. Biasanya, Anda dapat merasakan denyutan arteri di area
tersebut. Tekan dengan kuat menggunakan jari atau ibu jari selama beberapa
menit sampai perdarahan berhenti.

4. Gunakan bantuan tambahan: Jika langkah-langkah di atas tidak berhasil,


cobalah menggunakan bantuan tambahan. Misalnya, Anda dapat melilitkan
kain bersih atau perban steril dengan kencang di sekitar luka untuk
memberikan tekanan lebih kuat. Pastikan untuk tidak mengikat terlalu ketat
sehingga menghambat aliran darah ke anggota tubuh yang terluka.

5. Cari pertolongan medis: Setelah berhasil menghentikan perdarahan secara


sementara, segeralah mencari pertolongan medis. Dokter atau tenaga medis
yang terlatih dapat mengevaluasi luka Anda dengan lebih baik dan
memberikan perawatan yang tepat.
BAB 3

HASIL YANG DIDAPATKAN (PENGALAMAN)

3.1 Setelah melakukan praktikum tentang kegawat daruratan cara menghentikan


perdarahan pada balut tekan dan hetching, kami mendapatkan hasil sebagai
berikut:

- Perdarahan terhenti: Dengan melakukan balut tekan yang tepat, Anda


diharapkan dapat menghentikan perdarahan dari luka jahit atau goresan.
Tekanan langsung pada luka membantu membekukan pembuluh darah yang
terluka dan mempromosikan pembentukan bekuan darah.
- Luka terlindungi: Balutan tekan yang Anda lakukan akan melindungi luka
dari kontaminasi dan infeksi. Dengan menggunakan kain bersih, tisu steril,
atau perban, Anda menciptakan penghalang antara luka dan lingkungan luar
yang berpotensi mengandung kuman.
- Rasa aman dan nyaman: Praktikum balut tekan dan hetching memberikan
pemahaman dan keterampilan yang penting dalam memberikan pertolongan
pertama pada perdarahan. Dengan mempraktikkan langkah-langkah yang
benar, Anda akan merasa lebih percaya diri dan siap dalam menghadapi
situasi darurat seperti perdarahan.
- Kesadaran pentingnya perawatan medis lanjutan: Praktikum ini juga
membantu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mencari perawatan
medis lanjutan setelah memberikan pertolongan pertama. Dalam kasus
perdarahan yang lebih serius atau luka yang membutuhkan penanganan
lebih lanjut, penting untuk segera mencari bantuan medis profesional.

BAB 4

KESIMPULAN

Praktikum perdarahan balut tekan dan hetching memberikan pemahaman dan


keterampilan dalam mengatasi perdarahan dan memberikan perlindungan awal
pada luka. Tetaplah mengedepankan keselamatan dan segera cari bantuan medis
jika perdarahan tidak berhenti atau luka membutuhkan perawatan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Anton Komaini. (2020). sport science jurnal ilmu olah raga dan jasmani.

Mustofa, M., Kurniawaty, E., Prabowo, A. Y., & Carolia, N. (2021). Perbedaan
Penyembuhan Hecting Wound Tikus Putih Jantan Sprague Dawley dengan
Wharton’s Jelly Dan D Gel. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(2),
676–682. https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.672

Oleh, D., Prodi, :, Keolahragaan, I., Rima, O., Sari, M., & Pulungan, W. N. (n.d.).
Sains Olahraga : Jurnal Ilmiah Ilmu Keolahragaan IDENTIFIKASI
PENANGANAN CEDERA PADA ATLET FUTSAL PUTRI FIK UNIMED.
http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/so
PENGKAJIAN THE NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH STROKE
SCALE (NIHSS) DAN mNIHSS

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) stroke merupakan gejala
yang didefinisikan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang
berlangsung 24 jam atau lebih. Stroke di Indonesia juga mengalami
peningkatan prevalensi. Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga
setelah jantung dan kanker. Pada tahun 2007, hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) menunjukkan data 8, 3 per 1000 penduduk menderita stroke.
Sedangkan pada tahun 2013, terjadi peningkatan yaitu sebesar 12,1%.
Stroke juga menjadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit
di Indonesia, yakni sebesar 14,5%. Jumlah penderita stroke di Indonesia
menurut diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) pada tahun 2013, diperkirakan
sebanyak 1.236.825 orang dari seluruh penderita stroke yang terdata,
sebanyak 80% merupakan jenis stroke iskemik (Husada & Permatasari,
2020).

Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya stroke non hemoragik, antara


lain: usia lanjut, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
hiperkolesterolemia, merokok dan kelainan pembuluh darah otak. Pada
tahun 2011 WHO memperkirakan sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia
menderita stroke, dari jumlah tersebut 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia.
Penyakit darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus
stroke di dunia (Husada & Permatasari, 2020).
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.Definisi NIHSS
Pengkajian National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)
merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan
mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui
berbagai permasalahan yang ada. Skala NIHSS merupakan instrument
untuk menilai gangguan neurologis,kecepatan penilaian ini yang merupakan
tindakan dasar menangani kasus stroke. Semakin tinggi nilai NIHSS pada
pasien stroke berarti semakin berat derajat keparahannya.(Saudin et al.,
2017).

NIHSS adalah alat untuk mengukur luaran stroke sevara kumulatif.


NIHSS dapat digunakan untuk menilai derajat defisit
neurologis,memfasilitasi komunikasi antara subjek dengan tenaga
medis,menegevaluasi,menentukan perawatan,memprediksi hasil dari
subjek stroke,menentukan prognosis awal dan komplikasi serta intervensi
yang diperlukan. NIHSS rutin diguakan untuk menilai tingkat keparahan
subjek yang mengalami stroke iskemik akut di berbagai pudat pelayanan
stroke.(Kamil et al., 2021).

2.2.Definisi mNIHSS

NIHSS yang dimodifikasi (mNIHSS) meminimalkan redundansi


dan menghilangkan item yang kurang andal. mNIHSS menunjukkan
keandalan yang lebih besar dalam berbagai pengaturan dan kohort,
termasuk skor yang diabstraksikan dari catatan, saat digunakan melalui
pengobatan jarak jauh, dan saat digunakan dalam uji klinis. Dalam validasi
mNIHSS terhadap NIHSS, jumlah unsur dengan persetujuan yang sangat
baik meningkat dari 54% menjadi 71%, sementara persetujuan yang buruk
menurun dari 12% menjadi 5%. Secara keseluruhan, 45% item NIHSS
memiliki keandalan yang kurang baik dibandingkan hanya 29% untuk
mNIHSS. mNIHSS bukanlah skala stroke yang ideal, tetapi ini merupakan
peningkatan yang signifikan dibandingkan NIHSS. mNIHSS telah
menunjukkan keandalan di samping tempat tidur, dengan catatan abstraksi,
dengan pengobatan jarak jauh, dan dalam uji klinis. Karena mNIHSS lebih
andal, ini memungkinkan komunikasi praktisi yang lebih baik, perawatan
medis yang lebih baik, dan penyempurnaan pendaftaran uji coba. mNIHSS
sekarang harus berfungsi sebagai skala defisit klinis stroke primer untuk
tujuan klinis dan penelitian. (Vaona et al., 2018).

3. Skala Penilaian

3.1. Skala Penilaian NIHSS

The National Institute of Health Stroke ScaleIdentitas


(NIHSS) TANGGAL PEMERIKSAAN
Stiker
PARAMETER
No. SKALA
YANG DINILAI
SKOR

0 = Sadar penuh
1 = Tidak sadar penuh; dapat dibangunkan
Tingkat dengan stimulasi minor (suara)
1a
Kesadaran 2 = Tidak sadar penuh; dapat berespon dengan
stimulasi berulang atau stimulasi nyeri
3 = Koma; tidak sadar dan tidak berespon
dengan stimulasi apapun
0 = Benar semua
Menjawab
1b 1 = 1 benar/ETT/disartria
pertanyaan
2 = Salah semua/afasia/stupor/koma

0 = Mampu melakukan 2 perintah


Mengikuti
1c 1 = Mampu melakukan 1 perintah
perintah
2 = Tidak mampu melakukan perintah

Gaze: Gerakan 0 = Normal


2 mata konyugat
horizontal
1 = Paresis gaze parsial pada 1 atau 2 mata,
terdapat abnormal gaze namun forced
deviation atau paresis gaze total tidak ada

2 = Forced deviation, atau paresis gaze total


tidak dapat diatasi dengan maneuver
okulosefalik

0 = Tidak ada gangguan

1 = Paralisis minor (sulcus nasolabial rata,


asimetri saat tersenyum)
Visual: Lapang
3 pandang pada tes 2 = Paralisis parsial (paralisis total atau near-
konfrontasi total dari wajah bagian bawah)

3 = Paralisis komplit dari satu atau kedua sisi


wajah (tidak ada gerakan pada sisi wajah
atas maupun bawah)

0 = Normal

1 = Paralisis minor (sulcus nasolabial rata,


asimetri saat tersenyum)

4 Paresis Wajah 2 = Paralisis parsial (paralisis total atau near-


total dari wajah bagian bawah)

3 = Paralisis komplit dari satu atau kedua sisi


wajah (tidak ada gerakan pada sisi wajah
atas maupun bawah)

0 = Tidak ada drift; lengan dapat diangkat 90


(45)°, selama minimal 10 detik penuh
Kanan:

1 = Drift; lengan dapat diangkat 90 (45)


namun turun sebelum 10 detik, tidak
mengenai tempat tidur

2 = Ada upaya melawan gravitasi; lengan


tidak dapat diangkat atau dipertahankan
5 Motorik Lengan dalam posisi 90 (45)°, jatuh mengenai
tempat tidur, nhamunada upaya melawan
gravitasi
Kiri:

3 = Tidak ada upaya melawan gravitasi, tidak


mampu mengangkat, hanya bergeser

4 = Tidak ada gerakan

UN = Amputasi atau fusi sendi, jelaskan…………


0 =Tidak ada drift; tungkai dapat
dipertahankan dalam posisi 30° minimal 5

Kanan:
detik

1 =Drift; tungkai jatuh persis 5 detik, namun


tidak mengenai tempat tidur

2 =Ada upaya melawan gravitasi; tungkai jatuh


6 Motorik Tungkai
mengenai tempat tidur dalam 5 detik,
namun ada upaya melawan gravitasi

Kiri:
3 =Tidak ada upaya melawan gravitasi

4 =Tidak ada gerakan

UN =amputasi atau fusi sendi, jelaskan………….

0 = Tidak ada ataksia

1 = Ataksia pada satu ekstremitas


Ataksia anggota
7
gerak
2 = Ataksia pada 2 atau lebih ekstremitas

UN = Amputasi atau fusi sendi, jelaskan…………

0 = Normal; tidak ada gangguan sensorik

1 = Gangguan sensorik ringan-sedang; sensasi


disentuh atau nyeri berkurang namun
8 Sensorik
masih terasa disentuh

2 = Gangguan sensorik berat; tidak merasakan


sentuhan di wajah, lengan, atau tungkai

0 = Normal; tidak ada afasia

1 = Afasia ringan-sedang; dapat


berkomunikasi namun terbatas. Masih
dapat mengenali benda namun kesulitan
bicara percakapan dan mengerti
percakapan
9 Bahasa Terbalik
2 = Afasia berat; seluruh komunikasi melalui
ekspresi yang terfragmentasi, dikira-kira
dan pemeriksa tidak dapat memahami
respons pasien

3 = Mutisme, afasia global; tidak ada kata-kata


yang keluar maupun pengertian akan kata-
kata

10 Disartria 0 = Normal
1 = Disartria ringan-sedang; pasien pelo
setidaknya pada beberapa kata namun
meski berat dapat dimengerti

2 = Disartria berat; bicara pasien sangat pelo


namun tidak afasia

UN = Intubasi atau hambatan fisik lain,


jelaskan…………………………………….

0 = Tidak ada neglect

1 = Tidak ada atensi pada salah satu modalitas


Pengabaian & berikut; visual, tactile, auditory, spatial, or
11
Inatensi (Neglect) personal inattention.

2 = Tidak ada atensi pada lebih dari satu


modalitas

TOTAL

Keterangan :

Skor < 5 : defisit neurologis ringan

Skor 6-14 : defisit neurologis sedang

Skor 15-24 : defisit neurologis berat

Skor ≥ 25 : defisit neurologis sangat berat

Anda tahu kenapa hujan Jatuh


ke bumi

Saya pulang dari kerja

Dekat meja di ruang Makan

Mereka mendengar dia siaran


di radio tadi malam
3.2. Skala Penilaian mNIHSS

Barang Nama barang Panduan Penilaian Skor

1b Pertanyaan LOC 0 = Menjawab keduanya dengan benar.


1 = Menjawab satu dengan benar.
2 = Tidak menjawab dengan benar.

0 = Melakukan kedua tugas dengan


1c Perintah LOC
benar.
1 = Melakukan satu tugas dengan benar.
2 = Tidak melakukan tugas apa pun.

2 Tatapan 0 = Biasa.
1 = Kelumpuhan tatapan sebagian.
2 = Kelumpuhan tatapan total.

3 Bidang Visual 0 = Tidak ada kehilangan penglihatan.


1 = Hemianopia parsial.
2 = Hemianopia lengkap.
3 = Hemianopia bilateral.

5a Motor Lengan Kiri 0 = Tidak ada penyimpangan


1 = Drift sebelum 10 detik
2 = Jatuh sebelum 10 detik
3 = Tidak ada usaha melawan gravitasi
4 = Tidak ada Gerakan
UN = Amputasi atau penyatuan sendi,
jelaskan:

Motor Tangan
5b 0 = Tidak ada penyimpangan
Kanan
1 = Drift sebelum 10 detik
2 = Jatuh sebelum 10 detik
Barang Nama barang Panduan Penilaian Skor

3 = Tidak ada usaha melawan gravitasi


4 = Tidak ada Gerakan
UN = Amputasi atau penyatuan sendi,
jelaskan:

6a Motor kaki kiri 0 = Tidak ada penyimpangan


1 = Drift sebelum 5 detik
2 = Jatuh sebelum 5 detik
3 = Tidak ada usaha melawan gravitasi
4 = Tidak ada Gerakan
UN = Amputasi atau penyatuan sendi,
jelaskan:

6b Motor Kaki Kanan 0 = Tidak ada penyimpangan


1 = Drift sebelum 5 detik
2 = Jatuh sebelum 5 detik
3 = Tidak ada usaha melawan gravitasi
4 = Tidak ada Gerakan
UN = Amputasi atau penyatuan sendi,
jelaskan:

8 Indrawi 0 = Biasa
1 = Tidak normal

9 Bahasa 0 = Biasa
1 = Afasia ringan
2 = Afasia berat
3 = Bisu atau afasia global

11 Menelantarkan 0 = Biasa
1 = Ringan
2 = Parah

Skor Total (dari 31):


BAB 3

HASIL YANG DI DAPATKAN (PENGALAMAN)

Dari hasil praktik kita bisa mengetahui cara pengkajian stroke


mengunakan NIHSS dan mNIHSS yaitu pengkajian saat pasien berada di
rumah sakit agar menegakan diagnose stroke.

BAB 4

KESIMPULAN

Dari kesimpulan di atas nihss adalah skala untuk pengakajian stroke dan
mnihss adalah skala untuk pengkajian stroke yang sudah dimodifet dan
adavyang dikurangi.biasanya dipakai disaat pengkajian di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Husada, S., & Permatasari, N. (2020). The Comparison of Non-Hemorrhagic


Stroke with Motor Disorders Patients Have Risk Factors for Diabetes
Mellitus and Hypertension. Juni, 11(1), 298–304.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.273

Kwah LK, Diong J. National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS).


Journal of Physioterapy. 2014; Vol 2(1) : p61.
Kasner SE, Chalela JA, Luciano JM, Cucchiara BL, Raps EC, McGarvey ML,
dkk. Keandalan dan Validitas Estimasi Skor Skala Stroke NIH dari Rekam
Medis. Stroke. 1999; 30 :1534–1537.

Kamil, H., Putri, R., Putra, A., Mayasari, P., & Yuswardi, Y. (2021). Berpikir
kritis perawat dalam pelaksanaan dokumentasi keperawatan di Rumah Sakit
Umum Daerah Pemerintah Aceh. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 21(3),
212–221. https://doi.org/10.24815/jks.v21i3.20578

Saudin, D., Rajin, M., Kesehatan, F. I., Pesantren, U., Darul, T., Jombang, U.,
Kesehatan, F. I., Pesantren, U., Darul, T., & Jombang, U. (2017). Metode
pengkajian neurologis menggunakan national institutes of health stroke scale
pada pasien stroke di rsud dr iskak tulungagung. Jurnal EDUNursing, 1(1),
1–6.

Vaona, A., Banzi, R., Kwag, K. H., Rigon, G., Cereda, D., Pecoraro, V.,
Tramacere, I., & Moja, L. (2018). E-learning for health professionals. The
Cochrane Database of Systematic Reviews, 1(1), 49.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD011736.PUB2
PENGKAJIAN ROSIER

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Stroke penyakit kegawat daruratan medis yang sangat tergantung waktu
dalam penanganannya. Assessment menentukan diagnosis stroke adalah kunci
pokok manajemen stroke. Stroke menjadi penyebab kematian terbanyak di
dunia. Menurut data WHO (2010) setiap tahun nya 15 juta orang menderita
stroke dengan angka kematian kira-kira 5 juta pertahun. Di AS stroke adalah
penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap 4 menit
didapati 1 orang meninggal karena stroke, dengan angka kematian kira-kira
130.000 orang setiap tahunnya. Selain itu sekitar 610.000 orang mendapatkan
serangan stroke pertama kalinya dan 185.000 orang mengalami serangan
berulang (CDC, 2015). Di negara berkembang stroke menyumbang 85,5% dari
total kematian di seluruh dunia dengan angka kematian 4,4 juta pertahun
(WHO, 2010). Sedangkan di Indonesia stroke merupakan penye bab utama
kematian dengan prevalensi kejadian stroke yang semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Berdasarkan Litbang Kemenkes RI (2013) preva lensi stroke
meningkat dari 8,3% per 1000 penduduk tahun 2007 menjadi 12,1% pada tahun
Darurat.(Rachmawati Jurusan Keperawatan et al., 2019a)

Stroke merupakan suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan


peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya infak atau kematian
jaringan otak (Betticaca, 2008; Keogh, 2013). Pe nyebab stroke adalah
pecahnya (rupture) pembuluh darah diotak atau terjadinya emboli dan
thrombosis. Menurut Betticaca (2008), Ginsberg, (2008) dan Keogh (2013)
stroke diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu stroke iskemik (88% dari semua
kasus stroke) yang terjadi karena terdapat obstruksi (sum batan) akibat adanya
emboli atau thrombus pada pembuluh darah, stroke hemorrhagic (perdarahan)
yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah diotak yang menyebabkan darah
keluar dari pembuluh sehingga mengenai jaringan otak dan Transient Ischemic
Attack (TIA)yaitu hilangnya fungsi sistem saraf pusat local secara cepat yang
berlangsung(Wardhani & Martini, n.d.2019).

Faktor resiko yang mempengaruhi kejadian stroke berdasarkan dari studi


literatur didapatkan 6 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusif yaitu : jenis
kelamin, usia tingkat pendidikan, riwayat hipertensi, kadar kolesterol darah
obesitas, penyakit jantung koroner, kebiasaan merokok, mengkonsumsi
makanan yang mengandung garam tinggi, dan kurang aktivitas fisik.
Berdasarkan analisis didapatkan bahwa faktor resiko yang mempengaruhi
kejadian stroke didapatkan: Penelitian Hardika et al., (2020) faktor risiko yang
secara mandiri berhubungan adalah kadar kolesterol darah total, riwayat
hipertensi, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan pemeriksaan
jantung.(Utama & Nainggolan, 2022).

Untuk mengetahui tingkat keparahan stroke dapat dilakukan beberapa


pengkajian. Skala penilaian stroke adalah alat yang digunakan dokter untuk
mendiagnosis dan mengevaluasi tingkat keparahan stroke, mengidentifikasi
defisit neurologis, dan mengukur efektivitas intervensi stroke. Mereka juga
dapat membantu memprediksi pandangan seseorang (Sulaiha et al., 2022).

Jackson et al (2008) juga menyatakan bahwa ROSIER score merupakan


instrumen yang sensitif untuk mengidentifikasi pasien stroke oleh dokter
emergency di IGD yang dibuktikan dengan >90% pasien yang dicurigai terkena
stroke terkonfirmasi menderita stroke. Diperkuat oleh penelitian Byrne et al
yang juga menyatakan bahwa dengan meng gunakan ROSIER maka perawat
mempunyai ke mampuan mendiagnosis pasien yang dicurigai stroke dengan
akurasi yang sama dokter dalam men diagnosis stroke dengan pemeriksaan
neurologis, sehingga mencegah terjadinya keterlambatan da lam memberikan
terapi trombolitik bagi pasien stroke yang memenuhi persyaratan diberikan
trombolitik. Selain itu juga ROSIER scale ini sangat cepat dan mudah
digunakan saat triage di IGD untuk mengidentifikasi pasien stroke. Dengan
semakin cepat mengenali dan mengidentifikasi pasien stroke maka tindakan
dapat segera diberikan untuk mening katkan outcome pasien dengan
menurunkan angka kematian dan kecacatan pasien stroke sehingga sangat
cocok dan memberikan manfaat apabila diaplikasikan di IGD (Rachmawati
Jurusan Keperawatan et al., 2019).
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Penatalaksanaan

No. PARAMETER YANG DINILAI SKALA

1. kehilangan kesadaran SCORE:

Kaji adanya penurunan kesadaran menggunakan respon


verbal/stimulus/nyeri
1
● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = -1

2. Aktivitas kejang SCORE:

perhatikan Gerakan motoric pasien identifikasi adanya kejang

2 ● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = -1

3. Kelumpuhan wajah SCORE:

Minta pasien menunjukkan gigi atau senyumnya.

3 ● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = +1

4. Fungsi motor lengan SCORE:

Minta pasien untuk memejamkan mata dan merentangkan


4 lengannya 90 derajat dan menahannya selama hitungan sepuluh
dengan telapak tangan ke atas. Sudut lengan mereka dapat
dimodifikasi hingga 45 derajat jika pasien terlentang.
● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = +1

5. Fungsi motorik kaki SCORE:

Minta pasien untuk mengangkat satu kaki pada satu waktu hingga
sudut 30 derajat dan tahan selama 5 detik.
5
● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = +1

6. Gangguan Bicara SCORE:

Minta pasien menjawab pertanyaan umur dan bulan pemeriksaan


deteksi kefasiahan bicara, kosa kata dan artikulasi
6
● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = +1

7. Defek lapang pandang SCORE:

Perhatikan jika kepala atau mata pasien menyimpang ke satu sisi.


Jika kepala atau mata pasien menghadap ke satu sisi, minta mereka
untuk melihat ke sisi yang lain.
7
● KRITERIA SKOR:

Tidak = 0

Ya = +1

TOTAL

Keterangan :

>0 maka kemungkinan mengalami stroke jika <0 kemungkinan bukan stroke.
BAB 3

HASIL YANG DI DAPAT (PENGALAMAN)

Hasil yang di dappatkan untuk menentukan skala stroke meggunakan


pengkajian ROSIER kita terlebih dahulu melakukan pengkajian, kehilangan
kesadaran, Aktivitas kejang, Kelumpuhan wajah, Kelumpuhan wajah, Fungsi
motorik kaki, Gangguan Bicara dan Defek lapang pandang.dari hasil pegkajian
tersebut di stiap pengkajian terdapat kreteria skor masing-masing yang berbeda satu
sama lain,skor tersebut sesuai dengan SPO. Setelah melakukan pengkajian dan
menentukan skor maka Langkah selanjutnya menjumlahkan nilai skor tersebut,jika
>0 maka kemungkinan mengalami stroke jika <0 kemungkinan bukan stroke.

BAB 4

KESIMPULAN

Skala penilaian stroke adalah alat yang digunakan menilaian dan mengenali
gejala stroke,skala ROSIER (Recognition of Stroke in the Emergency Room ),
merupakan salah satu cara pengkajian penilaian dan mgenali gejala stroke di ruang
emergency dan sudah divalidasi secara international. metode ini merupakan skala
asesmen yang digunakan untuk mendeteksi dan intervensi dengan segera pada
penderita stroke akut Tujuan penelitian ini adalah mengetahui analisis metode
ROSIER dalam penanganan stroke akut di IGD.
DAFTAR PUSTAKA

Rachmawati Jurusan Keperawatan, D., Kesehatan Kemenkes Malang, P., &


Kunci, K. (2019a). Peran Perawat dalam Assessment Pengenalan Dini untuk
Meningkatkan Outcome Pasien Stroke di Instalasi Gawat Darurat. Jurnal
Ners Dan Kebidanan, 6(2), 164–172.
https://doi.org/10.26699/jnk.v6i2.ART.p164-172

Rachmawati Jurusan Keperawatan, D., Kesehatan Kemenkes Malang, P., &


Kunci, K. (2019b). Peran Perawat dalam Assessment Pengenalan Dini untuk
Meningkatkan Outcome Pasien Stroke di Instalasi Gawat Darurat. Jurnal
Ners Dan Kebidanan, 6(2), 164–172.
https://doi.org/10.26699/jnk.v6i2.ART.p

Utama, Y. A., & Nainggolan, S. S. (2022). Faktor Resiko yang Mempengaruhi


Kejadian Stroke: Sebuah Tinjauan Sistematis. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi, 22(1), 549. https://doi.org/10.33087/jiubj.v22i1.1950

Wardhani, N. R., & Martini, S. (n.d.). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN PENGETAHUAN TENTANG STROKE PADA PEKERJA
INSTITUSI PENDIDIKAN TINGGI Related factor of Knowledge by Stroke
in Institute of Higher Education Employees.
PENGKAJIAN RACE

Dosen Pengampu : Mira, Ns., M.Kep

OLEH :

Nama : Finka Safitry

NPM : 2014201110067

Kelas : 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut World Health Organization (WHO) stroke merupakan
gejala yang didefinisikan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi
secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun
global yang berlangsung 24 jam atau lebih. Stroke di Indonesia juga
mengalami peningkatan prevalensi. Di Indonesia penyakit ini menduduki
posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Pada tahun 2007, hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan data 8, 3 per 1000 penduduk
menderita stroke. Sedangkan pada tahun 2013, terjadi peningkatan yaitu
sebesar 12,1%. Stroke juga menjadi penyebab kematian utama di hampir
semua rumah sakit di Indonesia, yakni sebesar 14,5%. Jumlah penderita
stroke di Indonesia menurut diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) pada
tahun 2013, diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang dari seluruh
penderita stroke yang terdata, sebanyak 80% merupakan jenis stroke
iskemik (Husada & Permatasari, 2020).

Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya stroke non hemoragik, antara


lain: usia lanjut, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
hiperkolesterolemia, merokok dan kelainan pembuluh darah otak. Pada
tahun 2011 WHO memperkirakan sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia
menderita stroke, dari jumlah tersebut 5,5 juta jiwa telah meninggal
dunia. Penyakit darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta
kasus stroke di dunia (Husada & Permatasari, 2020).

Untuk mengetahui tingkat keparahan stroke dapat dilakukan


beberapa pengkajian. Skala penilaian stroke adalah alat yang digunakan
dokter untuk mendiagnosis dan mengevaluasi tingkat keparahan stroke,
mengidentifikasi defisit neurologis, dan mengukur efektivitas intervensi
stroke. Mereka juga dapat membantu memprediksi pandangan seseorang
(Sulaiha et al., 2022).
Rapid Arterial oCClusion Evaluation (RACE) merupakan salah satu
cara pengkajian skala keparahan stroke yang dikembangkan dan
dirancang berdasarkan National Institutes of Health Stroke Scale
(NIHSS) untuk secara akurat menilai tingkat keparahan stroke dan
mengidentifikasi pasien dengan stroke akut dengan oklusi arteri besar
pada pengaturan pra-rumah sakit oleh medis. teknisi darurat yang
mungkin menjadi kandidat untuk dirawat dengan teknik endovaskular di
pusat stroke komprehensif. Skala RACE adalah penyederhanaan dari
skala NIHSS menggunakan item-item dengan kemampuan yang lebih
tinggi untuk memprediksi adanya oklusi pembuluh darah besar. Ini
mengevaluasi 5 item: Facial Palsy, Brachial Paresis, Crural Paresis,
Oculocephalic Deviation dan Aphasia/Agnosia, dengan skor total 0-9.
Berdasarkan Skala RACE kemungkinan Stroke dengan skor di atas 1 dan
Emergent Large Vessel Occlusion kemungkinan besar terjadi jika skor
kumulatif > 4 dengan sensitivitas 85% dan spesifisitas 69%
(Rafiemanesh et al., 2023).
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Penatalaksanaan
Rapid Arterial oCclusion Evaluation adalah Pemeriksaan
neurologic dalam penanganan kegawatdaruratan kasus stroke
menggunakan skala neurologis pra-rumah sakit yang sederhana dan
cepat.

Mendeteksi pasien stroke akut dengan kemungkinan tinggi


mengalami oklusi pembuluh darah besar, kandidat untuk dirawat dengan
teknik endovaskular di pusat stroke yang komprehensif.

Penatalaksanaan Rapid Arterial oCclusion Evaluation (RACE)


dengan menggunakan Standar Prosedur Operasional Pengkajian RACE
sebagai berikut:

No. PARAMETER YANG DINILAI SKALA

1. Kelumpuhan wajah SCORE:

Minta pasien menunjukkan gigi atau senyumnya.

● KRITERIA SKOR:
1a
NO DEFICIT = 0 (wajah simetris)

MILD = 1 (sedikit asimetris)

SEDANG SAMPAI PARAH = 2 (benar-benar asimetris)

2. Fungsi motor lengan SCORE:

Minta pasien untuk memejamkan mata dan merentangkan lengannya 90


derajat dan menahannya selama hitungan sepuluh dengan telapak tangan ke
atas. Sudut lengan mereka dapat dimodifikasi hingga 45 derajat jika pasien
terlentang.

● KRITERIA SKOR:
1b
NO DEFICIT = 0 (mampu mengangkat tangan dan menahan selama 10
detik)

MODERATE = 1 (mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu


menahan selama 10 detik)

SEVERE = 2 (tidak bisa mengangkat tangan)


3. Fungsi motorik kaki SCORE:

Minta pasien untuk mengangkat satu kaki pada satu waktu hingga sudut 30
derajat dan tahan selama 5 detik.

● KRITERIA SKOR:
1c
NO DEFICIT = 0 (mampu mengangkat kaki dan menahan selama 5 detik)

SEDANG = 1 (mampu mengangkat kaki, tetapi tidak mampu menahan


selama 5 detik)

SEVERE = 2 (tidak bisa mengangkat kaki)

4. Deviasi kepala & mata SCORE:

Perhatikan jika kepala atau mata pasien menyimpang ke satu sisi. Jika
kepala atau mata pasien menghadap ke satu sisi, minta mereka untuk
melihat ke sisi yang lain.
2
● KRITERIA SKOR:

NO DEFICIT = 0 (tidak ada deviasi kepala atau pandangan)

GAZE PRESENT = 1 (tidak dapat mengalihkan pandangan melewati garis


tengah)

Afasia (jika defisit sisi kanan teridentifikasi) SCORE:

Jika defisit sisi kanan diamati, periksa afasia. Afasia adalah hilangnya
kemampuan untuk memahami atau mengekspresikan ucapan. Jika
ditemukan defisit sisi kanan, minta pasien untuk melakukan hal berikut: 1-
Tutup mata Anda. 2-Buat tinju.
3
● KRITERIA SKOR:

NO DEFICIT = 0 (melakukan kedua tugas dengan benar)

SEDANG = 1 (melakukan satu tugas dengan benar)

SEVERE = 2 (tidak melakukan tugas apapun)

agnosia (jika defisit sisi kiri teridentifikasi) SCORE:

Jika defisit sisi kiri diamati, periksa agnosia. Agnosia adalah


ketidakmampuan untuk menafsirkan sensasi, atau "mengenali sesuatu,"
ketidakmampuan untuk memproses informasi sensorik. Jika ditemukan
defisit sisi kiri, tanyakan kepada pasien hal-hal berikut: 1- “Lengan siapa
ini”, sementara menunjukkan lengan kiri mereka. 2- "Bisakah kamu
4 menggerakkan lenganmu?"

● KRITERIA SKOR:

NO DEFICIT = 0 (mengenali lengan kiri dan mengakui kelemahan lengan


kiri)

SEDANG = 1 (tidak mengenali lengan kiri ATAU tidak mengakui


kelemahan lengan kiri)
SEVERE = 2 (tidak mengenali lengan kiri DAN tidak mengakui kelemahan
lengan kiri)

TOTAL

Keterangan :

0 yang berarti tidak ada defisit. Setiap skor lebih besar dari 0 berarti telah terjadi stroke.

BAB 3
HASIL YANG DI DAPAT (PENGALAMAN)
Hasil yang didapatkan untuk menentukan skala keparahan stroke dengan
menggunakan pengkajian RACE kita terlebih dahulu melakukan pengkajian pada
kelumpuhan wajah pasien, fungsi motorik lengan, fungsi motorik kaki, deviasi
kepala & mata, afasia (jika sisi kanan teridentifikasi), agnosia (jika sisi kiri
teridentifikasi). Dari semua pengkajian tersebut di setiap pengkajian terdapat
kriteria skor masing-masing dan berbeda satu sama lain, skor tersebut sesuai dengan
SPO. Setelah melakukan pengkajian dan menentukan skor maka Langkah
selanjutnya menjumlahkan nilai skor tersebut, jika =0 maka tidak ada defisit namun
jika >0 berarti telah terjadi stroke.
BAB 4
KESIMPULAN
Skala penilaian stroke adalah alat yang digunakan dokter untuk
mendiagnosis dan mengevaluasi tingkat keparahan stroke, mengidentifikasi defisit
neurologis, dan mengukur efektivitas intervensi stroke. Rapid Arterial oCClusion
Evaluation (RACE) merupakan salah satu cara pengkajian skala keparahan stroke
yang dikembangkan dan dirancang berdasarkan National Institutes of Health Stroke
Scale (NIHSS) untuk secara akurat menilai tingkat keparahan stroke dan
mengidentifikasi pasien dengan stroke akut dengan oklusi arteri besar pada
pengaturan pra-rumah sakit oleh medis. Mendeteksi pasien stroke akut dengan
kemungkinan tinggi mengalami oklusi pembuluh darah besar, kandidat untuk
dirawat dengan teknik endovaskular di pusat stroke yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Husada, S., & Permatasari, N. (2020). The Comparison of Non-Hemorrhagic
Stroke with Motor Disorders Patients Have Risk Factors for Diabetes
Mellitus and Hypertension. Juni, 11(1), 298–304.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.273

Rafiemanesh, H., Barikro, N., Karimi, S., Sotoodehnia, M., Jalali, A., &
Baratloo, A. (2023). The Rapid Arterial oCclusion Evaluation (RACE) scale
accuracy for diagnosis of acute ischemic stroke in emergency department –
A multicenter study. BMC Emergency Medicine, 23(1).
https://doi.org/10.1186/s12873-023-00825-7

Sulaiha, S., Faizah, I., & Soleha, U. (2022). INSTRUMEN PENGUKURAN


ACTIVITY DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN STROKE.
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai