Anda di halaman 1dari 85

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN

KUALITAS TIDUR PADA PASIEN HEMODIALISIS

DI RUMAH SAKIT TK.II 03.05.01 DUSTIRA CIMAHI

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :

Wina Dian Ratnasari

213118095

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-1)

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2022
Lembar Pengesahan

Laporan Tugas Akhir / Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan pada

Seminar Proposal / Ujian pada tanggal

Nama : Wina Dian Ratnasari

NPM : 213118095

Program Studi : Ilmu Keperawatan (S-1)

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan

Universitas Jenderal Achmad Yani

Pembimbing 1 Pembimbing II

(Lina Safarina, S.Kp.,M.kep) (M. Budi Santoso, S.Kep., Ners.,M.Kep)


KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufik

Hidayah dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat Menyusun proposal skripsi

dengan judul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada

Pasien Hemodialisis Di Rumah Sakit TK.II 03.05.01 Dustira Cimahi”

Laporan proposal skripsi tersebut disusun dalam rangka memenuhi prasyarat

untuk menyelesaikan studi program Sarjana Ilmu Keperawatan (S-1) di Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kesehatan Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi.

Laporan proposal skripsi ini juga selesai karena adanya bimbingan dan bantuan

dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis sangat menghargai dan mengucapkan

terimakasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D selaku Rektor Universitas

Jenderal Achmad yani Cimahi

2. Gunawan Irianto, dr., M.Kes (MARS)., selaku Dekan Fakultas Ilmu dan

Teknologi Kesehatan Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi.

3. Achmad Setya Roswendi, S.Kp., M.P.H., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan (S-1) Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan Universitas

Jenderal Achmad Yani Cimahi.

4. Lina Safarina, S.Kp.,M.Kep selaku dosen pembimbing 1 yang telah

meluangkan waktu dan memberikan bimbingan sampai proposal penelitian

ini selesai dengan baik


5. M. Budi Santoso, S.Kep.,M.Kep selaku dosen pembimbing 2 yang telah

meluangkan waktu dan memberikan bimbingan sampai proposal penelitian

ini selesai dengan baik.

6. Kedua orang tua tercinta, Bapak, Mamah dan Adik serta seluruh keluarga

yang telah memberikan do’a, kasih sayang, motivasi, serta dukungan kepada

peneliti selama mengikuti Pendidikan.

7. Bayu Oktavian, yang telah memberikan motivasi, semangat dan menjadi

pendengar yang baik selama peneliti mengerjakan proposal penelitian.

8. Mela, Amel, Anglis, Sri, Salma, Anggia, Rianti, yang telah membantu

peneliti memberikan arahan dan dukungan.

9. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2018 Ilmu Keperawatan (S-1) yang

telah memberikan dukungan yang berarti selama mengikuti perkuliahan di

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan Universitas Jenderal Achmad Yani

Cimahi.

Atas bantuan baik materi maupun moral, penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar – besarnya. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan

proposal penelitian ini, penulis menerima kritik maupun saran dari semua

pihak yang sifatnya membangun. Akhir kata dari penulis, semoga proposal

penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Cimahi, 29 Mei 2022

Penulis
(Wina Dian Ratnasari)

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik (GGK) menjadi salah satu penyakit yang

banyak dialami serta jadi atensi di dunia dan di Indonesia. Gagal Ginjal

Kronik ialah penyakit kronik yang progresif mengganggu ginjal sehingga

menyebabkan keseimbangan cairan serta elektrolit tubuh yang berdampak

pada seluruh sistem tubuh (Bayhakki & Hasneli, 2017 dalam Damanik

2020). Penyakit gagal ginjal stadium akhir memerlukan pengganti ginjal

permanen dengan cara dilakukannya hemodialisis, peritoneal dialisis dan

transplantasi ginjal, namun metode paling banyak yang digunakan ialah

hemodialisis. Hemodialisis merupakan pengalihan darah pasien dari tubuh

melalui dialiser yang terjalin secara disfusi serta ultrafiltrasi, setelah itu

darah kembali lagi ke tubuh penderita (Damanik, 2020).

Informasi menurut WHO (World Health Organization) merilis

informasi perkembangan jumlah pengidap gagal ginjal kronik di dunia

pada tahun 2013 bertambah sebesar 50% dari tahun tadinya serta di

Amerika angka peristiwa gagal ginjal kronik bertambah sebesar 50% pada

tahun 2014 serta setiap tahunnya 200.000 orang Amerika menempuh

hemodialisis. Angka peristiwa gagal ginjal di dunia secara global lebih


dari 500 juta orang serta yang wajib melakukan hemodialisis yaitu 1, 5

juta orang (Damanik, 2020).

Data menurut Riskesdas 2018 menunjukan peningkatan prevalensi

jumlah pasien yang mengalami gagal ginjal kronik di Indonesia pada

kelompok usia lebih dari 15 tahun dari tahun 2013 sekitar 2,0% menjadi

3,8% ditahun 2018, provinsi dengan angka kejadian gagal ginjal kronik

terbanyak yaitu provinsi Kalimantan Utara 6,4% disusul oleh Maluku

Utara 6,1%, sedangkan provinsi dengan angka kejadian gagal ginjal kronik

terendah yaitu provinsi Sulawesi Barat 1,7% dan di provinsi Sumatra

Utara sebanyak 3,1%. Hal ini menyebabkan bahwa gagal ginjal kronik

memerlukan perhatian khusus (Riskesdas, 2018). Pada tahun 2015 di Kota

Cimahi sudah terjalin 374 permasalahan penyakit gagal ginjal.

Informasi Indonesia Renal Registry (IIR) pada tahun 2015 tersebut

bisa dikenal jika Prevalensi GGK diperkirakan menggapai 400 per 1 juta

penduduk serta sebanyak 15.424 orang penduduk Indonesia hadapi

ketergantungan pada hemodialisis (Prasetya, 2018). Pasien GGK yang

menjalani dialisis di Indonesia sebanyak 198.275 orang, meningkat dua

kali lipat di bandingkan tahun 2017 (Adref et al., 2019).

Pengobatan hemodialisis bertujuan untuk mensterilkan ginjal dan

menggantinya dengan mesin untuk mengontrol kadar plasma darah. Proses

tersebut wajib dicoba secara teratur serta berkala oleh penderita (berkisar

antara 1- 3 kali seminggu) yang cukup efisien untuk melindungi


homeostatis tubuh penderita. Hingga hemodialisis masih digunakan selaku

pengobatan utama dalam penindakan penyakit ginjal kronik stadium akhir

(Damanik, 2020).

Hemodialisis memberikan lebih banyak peluang hidup kepada

pasien, namun menimbulkan ketegangan atau kecemasan pada pasien

hemodialisis. Pasien hendak melaksanakan 2- 3 kali dialisis perminggu

dan dihubungkan ke mesin dialisis sebagian jam (3-4 jam per kali

pengobatan) sehingga membuat mereka senantiasa mengalami dampak

negatif baik dalam fisik ataupun mental. Kondisi ketergantungan pada

mesin dialisis seumur hidupnya dan penyesuaian diri terhadap keadaan

sakit dan menyebabkan terbentuknya perubahan dalam kehidupan pasien.

Perubahan dalam kehidupan, ialah salah satu faktor gangguan tidur pasien.

Penderita dengan hemodialisis mempunyai permasalahan gangguan tidur

yang berimbas terhadap kualitas hidup penderita hemodialisis.

Dampak dari gagal ginjal kronik yaitu diantaranya kelemahan fisik,

demam, nyeri kepala, dan nyeri seluruh badan, gangguan pada kulit serta

gangguan psikologis. Dampak dari gagal ginjal tersebut yang

mengakibatkan terjadinya gangguan tidur pada klien dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis. Gangguan tidur adalah gejala dimana

seseorang kesulitan untuk memulai serta mempertahankan tidur yang

adekuat baik kualitas maupun kuantitas yang dapat bersifat sementara atau

menetap (Frengki et al., 2018)


Gangguan tidur yang dialami oleh pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis . sekitar 50 – 80 % (Sinay & Lilipory, 2019).

Gangguan tidur yang umum terjadi pada pasien yang melakukan terapi

hemodialisa seperti Restless Leg Syndrome (RLS), Sleep Apnea,

Excessive Daytime Somenolence dan (Sinay & Lilipory, 2019). Insomnia

adalah gejala dimana seseorang kesulitan untuk memulai serta

mempertahankan tidur yang adekuat baik kualitas maupun kuantitas yang

dapat bersifat sementara atau menetap (Frengki et al., 2018). Prevalensi

gangguan tidur pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis berkisar

antara 43 – 90 %. Prevalensi insomnia dalam setiap penelitian bervariasi

karena adanya perbedaan pada definisi, diagnosis, karateristik populasi

dan metodelogi penelitian yang digunakan (Frengki et al., 2018)

Gangguan tidur pada pasien gagal ginjal kronik mempengaruhi

kualitas tidurnya dari segi tercapainya jumlah atau lamanya tidur yang

berdampak pada aktifitas keseharian individu (Amalia, 2019). Gangguan

tidur dialami setidaknya 50- 80% pasien yang menjalani hemodialisis.

Gangguan tidur yang umum dialami diantaranya adalah Restless Leg

Syndrom (RLS), Sleep Apne (SA), Excessive Daytime Sleepines (EDS),

narkolepsi, tidur berjalan dan mimpi buruk, serta insomnia yang memiliki

pravelensi yang paling tinggi pada populasi pasien dialisis (Damanik,

2020). Kualitas tidur tidak baik dapat disebabkan memiliki masalah dalam

tidur seperti susah tidur, mudah terbangun dimalam hari, sulit melanjutkan
tidur dan juga karena faktor usia, stress, kadar hemoglobin yang rendah

dan juga cemas (Sinay & Lilipory, 2019).

Kondisi ketergantungan pada mesin dialisis seumur hidupnya serta

penyesuaian diri terhadap keadaan sakit mengakibatkan terjadinya

perubahan dalam hidup pasien. Perubahan dalam kehidupan, merupakan

salah satu pemicu gangguan tidur. Pasien dengan hemodialisis memiliki

masalah gangguan tidur yang berefek terhadap kualitas hidup pasien

hemodialisis. Faktor penyakit dan nyeri yang diderita pasien gagal ginjal

kronik merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas tidur.

Dikarenakan setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan

fisik atau masalah suasana hati dapat menyebabkan masalah tidur seperti

kesulitan tidur atau kesulitan untuk tetap tidur (Nurhayati et al., 2021)

Gangguan tidur yang dialami oleh pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis memiliki beberapa faktor diantaranya yang di duga

mempunyai hubungan yang signifikan terhadap angka kejadian gangguan

tidur pada pasien hemodialisis diantaranya faktor demografi, faktor gaya

hidup, faktor psikologis, faktor dialisis (Frengki et al., 2018)

Beberapa faktor yang diduga memiliki hubungan yang signifikan

dengan terjadinya gangguan tidur pada pasien hemodialisis adalah faktor

biologis meliputi penyakit penyebab gagal ginjal kronik dan adekuasi

nutrisi, keseimbangan kalsium dan fosfat, faktor psikologis meliputi

kecemasan dan faktor dialisis yaitu lama waktu menjalani hemodialisis


(Damanik, 2020). Kebutuhan tidur setiap individu berbeda-beda, teori dari

Evans dan French dimana fungsi tidur berhubungan dengan penyembuhan.

Meningkatnya usia seseorang tentu saja akan memberikan dampak pada

penurunan fungsi-fungsi tubuh sehingga semakin rentan terhadap

penyakit.

Kecemasan merupakan masalah umum pada penderita yang

menjalani hemodialisis. Kecemasan menyebabkan stres dari situasi yang

dialami, pasien juga mengatakan tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan,

mereka mengatakan stress karena biaya yang sangat mahal dan menekan

ekonomi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan

antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien yang menjalani

hemodialisis di Rumah Sakit Dustira. Terapi dialisis dalam waktu lama

sering menimbulkan hilangnya kebebebasan, ketergantungan pada

pernikahan, keluarga dan kehidupan sosial dan berkurangnya pendapatan

finansial. Berdasarkan hal tersebut maka aspek fisik, psikologis, sosial,

ekonomi, dan lingkungan menjadi terpengaruh sehingga menyebabkan

perubahan kualitas tidur yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada

pasien yang menjalani hemodialisis (Damanik, 2020)

Kecemasan pada pasien hemodialisis dapat terjadi akibat terapi

yang berlangsung seumur hidup dan pasien membutuhkan ketergantungan

pada mesin yang pelaksanaanya rumit dan membutuhkan waktu yang

lama serta memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk mengatasi

gangguan psikologis tersebut diperlukan dukungan sosial keluarga agar


dapat menurunkan efek psikologis yang ditimbulkan (Ranti & Theresia,

2022)

Faktor yang menyebabkan pasien merasakan kecemasan mengenai

kondisi fisik yang dialami diantaranya perubahan bentuk tubuh dimana

kulit kering, dan menghitam sering gatal-gatal dan juga merasa cemas

dikarenakan berimajinasi tentang kesehatan dan kondisi penyakit sendiri,

namun begitu sudah dapat menerima dan menyukai kondisi tubuhnya dan

berusaha untuk menjalani aktivitas sehari-hari dengan lapang dada (Sinay

& Lilipory, 2019)

Kecemasan menurut Harold, Sadock dan Grebb (2010) adalah

suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang

mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk

mengatasi ancaman. Kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisis

memperingatkan adanya ancaman eksternal dan internal; dan memiliki

kualitas menyelamatkan hidup. Dongoes (2010) mengemukakan

kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisis disebabkan oleh

krisis situasional, ancaman kematian, dan tidak mengetahui hasil akhir dari

terapi yang dilakukan tersebut. Hal ini menjadi stresor fisik yang

berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan karena adanya keluhan

kelemahan fisik.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada

bulan Mei 2022 di Ruang Unit Ginjal Terpadu Rumah Sakit TK.II
03.05.01 Dustira Cimahi didapatkan dari 10 orang pasien terdapat 8 orang

yang merasakan cemas karena proses hemodialisis yang berlangsung lama,

dan cemas karena penyakitnya. 8 orang pasien yang merasa cemas

memiliki kualitas yang buruk yaitu kurang dari 6 – 8 jam serta selalu

merasa terganggu dan gelisah saat tidur.

Sesuai dengan uraian pada latar belakang diatas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Tingkat

Kecemasan Dan Kualitas Tidur Pada Pasien Hemodialisis”

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah sesuai dengan yang diuraikan dibagian latar

belakang, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah

apakah ada hubungan tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien

hemodialisis di Rumah Sakit Dustira ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi hubungan tingkat kecemasan dan kualitas tidur

pada pasien hemodialisis

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien hemodialisis.

b. Mengidentifikasi kualitas tidur pasien pada pasien hemodialisi.

c. Menganalisis hubungan tingkat kecemasan dan kualitas tidur

pasien pada pasien hemodialisis.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi praktik keperawatan,

institusi pendidikan tertinggi, dan peneliti selanjutnya. Adapun secara rinci

manfaat penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan

dalam bidang keperawatan khususnya mengenai tingkat kecemasan

dan kualitas tidur pasien hemodialisa dan dapat digunakan sebagai

bahan tambahan (referensi), informasi, dan perbandingan untuk

penelitian selanjutnya agar bisa meneliti variabel lain yang

berhubungan dengan penyakit Gagal Ginjal Kronik.

2. Manfaat Praktik

a. Bagi Penderita

Memberi gambaran pada pasien hemodialisis mengenai cara

mengurangi tingkat kecemasan dan kualitas tidur.

b. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini dimaksud untuk menambah literatur atau

referensi yang berkaitan hubungan tingkat kecemasan dan kualitas

tidur pasien.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi acuan dan gambaran bagi peneliti lain

dalam melanjutkan penelitian terutama dalam keperawatan yang

berhubungan tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien

hemodialisis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pasien Hemodialisis

1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)

Chronic Kidney Disease merupakan salah satu masalah kesehatan

di seluruh dunia maupun di Indonesia. Dan juga gagal ginjal merupakan

penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi.


Keadaan tersebut ditandai penurunan fungsi ginjal yang progresif

mengakibatkan pada keterbatasan fisik, sosial dan emosional yang dapat

berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien (Ghalia Elmoghazy,

Salwa Abbas, Amany Sobhy, 2016 dalam Adref dkk 2019). Sumber data

dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES 2016)

menunjukan peningkatan insiden gagal ginjal kronis dimana 15% dari 30

juta orang menderita gagal ginjal dengan perbandingan 1 sampai 7 orang.

Penyakit gagal ginjal merupakan keadaan ginjal dan penurunan

fungsi ginjal untuk menjaga kesehatan tubuh (National Kidney

Foundation, 2020). Penyakit ginjal kronis biasanya didefinisikan sebagai

estimated glomerular filtration rate (eGFR) <15 ml/menit/1,73 m2

(National Kidney Disease Education Program, 2020 dalam Sulistyana dkk

2020).

Gangguan gagal ginjal didefinisikan menurut kriteria sebagai

berikut Kidney Disease : Improving Global Outcomes (2013 dalam

Sulistya dkk 2020) :

a. Hal ini dapat menyebabkan penurunan GFR dengan atau tanpa

kerusakan ginjal, struktur atau fungsi ginjal yang abnormal, dan

penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) selama lebih dari 3

bulan.

b. Glomerular filtration rate (GFR) <60 ml/menit/1,73 m2 dalam waktu 3

bulan atau lebih, dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal.


Stadium Cronic Kidney Disease :

Menurut Siregar (2020) gagal ginjal kronik dibedakan berdasarkan

jumlah nefron yang masih berfungsi dalam melakukan filtasi

glomerulus. Nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah menunjukan

stadium yang lebih tinggi terjadinya kerusakan ginjal. Gagal ginjal

kronik dibagi 5 stadium yaitu sebagai berikut :

1) Stadium 1

Pada stadium 1, terjadi penurunan cadangan ginjal, kadar kreatinin

serum berada pada nilai normal dengan kehilangan fungsi nefron

40 sampai 75%. Terjadi kerusakan struktur ginjal tetapi ginjal masih

memiliki fungsi secara normal (GFR >90 ml/menit).

2) Stadium 2

Keadaan terjadinya kerusakan ginjal dengan diikuti penurunan

fungsi ginjal yang ringan (GFR 60-89 ml/menit). Dan terjadi

insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah rusak,

Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum meningkat

akibatnya ginjal kehilangan kemampuannya untuk memekatkan

urine dan terjadi azotemia.

3) Stadium 3

Suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal dengan diikuti

penurunan fungsi ginjal dengan diikuti penurunan fungsi ginjal yang

sedang (GFR 30-59 ml/menit). Pada keadaan ini kreatinin serum

dan kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) akan meningkat dengan


menyolok sekali sebagai respon terhadap Glomerulus Filtration Rate

(GFR) yang mengalami penurunan sehingga terjadi

ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan elektrolit

sehingga pasien diindikasi untuk menjalani terapi dialisis atau

bahkan perlu dilakukan transplantasi ginjal.

4) Stadium 4

Suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal diikuti dengan

penurunan fungsi ginjal yang berat (GFR 15-29 ml/menit).

5) Stadium 5

Suatu kondisi ginjal yang disebut penyakit ginjal kronis, ginjal

hampir tidak berfungsi sehingga zat-zat sisa dan cairan yang

berlebih menumpuk didalam tubuh (GFR dibawah 15 ml/menit).

2. Patofisiologi

Diawali adanya menurunnya nefron dan kerusakan dengan

kehilangan fungsi ginjal yang progresif sehingga mempengaruhi perfusi

ginjal dan fungsi glomerulus dan / atau tubulus ginjal. Nefron tersisa yang

masih berfungsi mengalami hipertrofi jika menyaring zat terlarut yang

besar sehingga ginjal dapat kehilangan kemampuannya untuk

mengonsentrasi urin dengan adekuat. Untuk melanjutkan ekskresi zat

terlarut, volume haluaran urine meningkat sehingga rentan akan

mengalami kehilangan cairan yang cukup banyak. Tubulus ginjal secara

bertahap kehilangan kemampuannya untuk menyerap Kembali elektrolit.

Terkadang hasilnya ialah pembuangan garam sehingga urine terdapat


mengandung banyak natrium dan menyebabkan poliuria berat. Selain itu,

dapat menyebabkan pengendapan (urolitiasis) yang menghambat aliran

urin. Disfungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi ekskresi

ginjal terhadap asam urat, kreatinin, urea, vanadate (VnO4), dan

xenobiotic. Penurunan fungsi ekskresi ginjal juga dapat mempengaruhi

peran ginjal mengatur metabolisme elektrolit menyebabkan terganggunya

peran ginjal dalam tekanan darah jangka panjang sehingga akan terjadi

konsekuensi penurunan absorpsi Na+, fosfat, asam urat. HCo3-, Ca2+, urea ,

glukosa dan asam amino.

Akibat penurunan fungsi ginjal, produk akhir metabolisme yang

biasanya diekskresikan melalui urin akan menumpuk dalam darah, dan

uremia akan mempengaruhi sistem tubuh. Kerusakan dan penurunan

nefron akibat hilangnya fungsi ginjal menyebabkan glomerular filtration

rate (GFR) dan klirens kreatinin menurun, sehingga kadar BUN dan

kreatinin serum meningkat. Bila GFR menurun hingga 5-10% dari kondisi

normal hingga mendekati nol, maka terjadi sindrom uremik. Pada uremia

tahap lanjut, sebagian fungsi organ dari semua sistem organ tubuh menjadi

abnormal. Jika penyakit ini tidak dilakukan dengan dialisis atau

transplantasi, hasil akhir dari penyakit gagal ginjal stadium akhir ialah

uremia dan kematian (Sulistyana dkk, 2020).

3. Tanda Dan Gejala Chronic Kidney Disease

Tanda dan gejala yang muncul pada pasien chronic kidney disease

atau gagal ginjal kronik, antara lain merasakan lemas, nafsu makan
berkurang, tidak bertenaga, mual, muntah, bengkak, volume urine

berkurang, gatal, sesak nafas, dan wajah tampak pucat. Selain itu, urine

penderita gagal ginjal kronik mengandung protein, eritrosit, dan leukosit.

Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium penderita gagal ginjal kronik

meliputi meningkatnya kreatinin dara, Hb mengalami penurunan, dan

protein dalam urin selalu positif (Muhammad, 2012).

Menurut Suyono manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada

pasien CKD (2001, dalam Merdawati & Malini 2019) :

a. Gangguan Kardiovaskular

Nyeri dada, hipertensi, dan sesak nafas akibat pericarditis, gagal

jantung dan effuse perikarditis akibat menumpuknya cairan, gangguan

irama jantung dan edema.

b. Gangguan Pulmoner

Kussmaul, nafas dangkal, batuk dan sputum kental dan riak suara

krekels.

c. Gangguan Gastrointestinal

Nausea, anoreksia, dan vomitus berhubungan dengan metabolisme

protein dan usus, perdarahan disaluran gastrointestinal, ulserasi dan

perdarahan mulut, bau mulut amonia.

d. Gangguan Muskuloskeletal
Resilles leg sindrom (pegal pada kakinya selalu digerakan),

burningfeet syndrom (ras kesemutan dan terbakar, terutama di telapak

kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot

ekstremitas).

e. Gangguan Integumen

Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuningan akibat

penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

f. Gangguan Endokrin

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan

menstruasi dan aminore. Gangguan metabolisme glukosa, gangguan

metabolik lemak dan vitamin D.

g. Gangguan Cairan Elektrolit Dan Keseimbangan Asam Basa

Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium

dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesia, hipokalsemia.

h. Sistem Hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoesis,

sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang,

hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana

uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan

trombositopenia.

4. Etiologi Chronic Kidney Disease


Kondisi klinis yang memungkinkan dapat menyebabkan gagal

ginjal kronik bisa disebabkan dari luar ginjal atau dari ginjal sendiri

sebagai berikut :

a. Penyakit dari luar ginjal

1) Penyakit sistemik : diabetes melitus, hipertensi, hyperlipidemia,

dyslipidemia

2) SLE (systemic lupus erythematosus)

3) Infeksi : TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis

4) Preeklamsia

5) Obat-obatan

6) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)

Menurut Pernefri (2018) penyebab pasien gagal ginjal sebagai berikut :

a) Penyakit ginjal hipertensi 36%

b) Nefropati diabetika 28%

c) Tidak diketahui 12%

d) Glumerulopati primer (GNC) 10%

e) Lain-lain 5%

f) Nefropati obstruksi 3%

g) Pielonefritis kronik (PNC) 3%

h) Nefropati asam urat 1%

i) Ginjal polikistik 1%

b. Penyakit dari ginjal


1) Penyakit infeksi tubulo interstitial : pielonefritis kronik atau refluks

nefropati

2) Infeksi pada glomerulus : glomerulonefritis mengakibatkan

inflamasi dan kerusakan di glomerulo yang berfungsi sebagai

filtrasi.

3) Penyakit vaskuler hipertensif : nefrosklerosis benigna,

nefroskerosis maligna, stenosis arteria renalis.

4) Gangguan kongenital dan herediter : pada penyakit ginjal polikistik

mengakibatkan pembesaran dan kerusakan sel pada ginjal, asidosis

tubulus ginjal.

5) Nefropati obstruktif

a) Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, pembesaran

kelenjar prostat laki-laki, fibrosis retroperitoneal.

b) Traktus urinarius bagian bawah : hipertropi prostat, striktur

uretra, malformasi sistem perkemihan sehingga mengakibatkan

aliran urine refluk ke ginjal, anomaly kongenital leher vesika

urinaria dan urethra.

5. Komplikasi
Menurut Baughman, 2000 dalam (Prabowo & Pranata, 2014)

Komplikasi yang timbul dari penyakit gagal ginjal kronik yaitu sebagai

berikut :

a. Penyakit tulang

Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan

menyebabkan dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang menjadi

rapuh atau osteoporosis dan jika berlangsung lama akan, akan terjadi

fraktur pathologis.

b. Penyakit Kardiovaskular

Ginjal sebagai control sirkulasi sistemik akan berdampak secara

sistemik berupa hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan

kelainan hemodinamik atau sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri.

c. Anemia selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam

rangkaian hormonal atau endokrin. Sekresi eritropoetin yang

mengalami defisiensi di ginjal akan menyebabkan penurunan

hemoglobin (Hb)

d. Disfungsi seksual

Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami

penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada Wanita akan terjadi

hiperprolaktinemia.

e. Insomnia (Kualitas Tidur)


6. Dampak Chronic Kidney Disease

Dampak dari gagal ginjal kronik yaitu diantaranya kelemahan fisik,

demam, nyeri kepala, dan nyeri seluruh badan, gangguan pada kulit serta

gangguan psikologis. Dampak dari gagal ginjal tersebut yang

mengakibatkan terjadinya gangguan tidur pada klien dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis. Gangguan tidur adalah gejala dimana

seseorang kesulitan untuk memulai serta mempertahankan tidur yang

adekuat baik kualitas maupun kuantitas yang dapat bersifat sementara atau

menetap (Stuart & Hall, 2017).

7. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Siregar (2020), pemeriksaan lanjutan dilakukan untuk

mengetahui kelainan ginjal. Pemeriksaan yang dilakukan berupa

pemeriksaan pencitraan radiologis dan biopsi ginjal. Pemeriksaan ini

dilakukan atas indikasi tertentu dan sesuai saran dokter. Hasil pemeriksaan

radiologis dapat memperlihatkan gambaran mengenai ukuran ginjal. Jenis

pemeriksaan ini diantaranya foto polos abdomen, rontgen, USG, CT scan

dan lain-lain. Prosedur biopsi ginjal dilakukan dengan mengambil contoh

jaringan ginjal untuk diperiksa dengan mikroskop. Tindakan ini dilakukan

untuk memperkuat diagnosis dan untuk menilai hasil pengobatan.

a. Foto polos abdomen (ginjal, ureter, kandung kemih)

b. Pemindaian ultrasound memberikan informasi non-invasif yang paling

cepat (melihat bentuk dan struktur ginjal, untuk mengetahui terjadi

penyumbatan pada saluran kemih.


c. Pielogram intravena (prosedur radiologi mengetahui terjadinya

kelainan system kemih).

d. Biopsi ginjal : mengambil sampel kecil jaringan ginjal dengan tujuan

untuk mendiagnosis radang ginjal.

e. Skan radionuklida menggunakan dua senyawa radioaktif dapat

diberikan secara intravena dan mampu memancarkan radiasi dengan

intensitas tertentu.

f. Angiografi dan venografi ginjal menggunakan bahan kontras radiopak

yodinasi disuntik langsung ke dalam pembuluh ginjal kemudian

dilakukan serangkaian pemotretan radiograf.

8. Pengobatan Atau Terapi Pengganti Ginjal

Kerusakan yang terjadi pada ginjal tidak dapat disembuhkan

dengan menggunakan obat, pasien yang mengalami penurunan fungsi

ginjal harus menjalani terapi ginjal yaitu transplantasi ginjal atau dialisis

(hemodialisis atau dialisa peritonel). Terapi pengganti ginjal dilakukan

sebagai upaya pengobatan atau perawatan untuk menggantikan fungsi

ginjal yang sudah rusak. Terapi pengganti ginjal terdiri dari atas dua

macam yaitu terapi farmakologi dan terapi non farmakologi :

a. Terapi Farmakologi

1) Hemodialisis

Hemodialisis (HD) yaitu tindakan yang dilakukan dengan cara

mengalirkan darah dari dalam tubuh untuk dialirkan kedalam

mesin hemodialisis dan dilakukan proses penyaringan sisa


metabolisme di dalam dializer dengan menggunakan cara kerja

ultrafiltrasi. Frekuensi tindakan HD berbeda-beda untuk setiap

pasien tergantung fungsi ginjal yang tersisa. Pasien rata-rata

menjalani hemodialisis sebanyak tiga kali dalam seminggu, lama

waktu pelaksanaan paling sedikit tiga sampai empat jam setiap

terapi (Brunner & Suddarth, 2008 dalam Siregar, 2020).

Hemodialisa merupakan terapi yang dapat digunakan pasien dalam

jangka pendek atau jangka panjang. Terapi hemodialisis jangka

pendek sering dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien akut

seperti keracunan, penyakit jantung overload cairan tanpa diikuti

dengan penurunan fungsi ginjal.

Terapi jangka pendek ini dilakukan dalam jangka waktu beberapa

hari hingga beberapa minggu. Terapi hemodialisis jangka panjang

dilakukan pada pasien yang mengalami penyakit ginjal stadium

akhir atau end stage renal disease (ESRD).

Cara kerja hemodialisis yaitu mengalirkan dari dalam tubuh ke

dalam dializer (tabung ginjal buatan) yang terdiri dari 2

kompartemen yang terpisah yaitu kompartemen darah dan

kompartemen dialisat yang dipisahkan membran semi permeable

untuk sisa metabolisme (Siregar & Ariga, 2021)

a) Tujuan Terapi Hemodialisis

Terapi hemodialisis bertujuan untuk menggantikan fungsi

ekskresi ginjal yaitu membuang bahan-bahan sisa metabolisme


tubuh, mengeluarkan cairan yang berlebihan dan menstabilkan

keseimbangan hemostatik tubuh sehingga pasien hemosdialisis

meningkat kualitas hidupnya (Siregar & Ariga, 2021).

b) Dampak Hemodialisis

Hemodialisis memiliki dampak bagi pasien yang menjalani

seperti kelelahan, depresi, kecemasan, gangguan tidur,

keterbatasan makanan dan waktu, keterbatasan interaksi sosial,

dan beban biaya yang besar yang tentu saja semua itu akan

berpengaruh pada kualitas hidup pasien tersebut. Pasien gagal

ginjal kronik memiliki keluhan utama yaitu kelelahan dan

gangguan tidur. Angka keluhan pasien yang mengalami

kelelahan sebanyak 60-97% dengan kelelahan yang dirasakan

meliputi mental dan fisik dalam jangka waktu lama yang tidak

bisa hilang meski beristirahat. Kelelahan yang terjadi pasien

mengakibatkan dampak negatif yaitu gangguan psikologis,

fisik dan sosial. Dampak negatif tidak hanya berpengaruh pada

pasien juga berpengaruh pada orang-orang disekeliling pasien.

Kelelahan dapat mengakibatkan masalah kardiovaskular,

keinginan bunuh diri, peningkatan angka kesakitan dan

peningkatan rawat inap (Siregar & Ariga, 2021).

c) Komplikasi

Terapi hemodialisis dapat menyebabkan beberapa komplikasi

seperti hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan


keseimbangan dialisis dan pruritus. Komplikasi hipotensi,

emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan

pruritus dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal

pasien. Hipotensi dapat terjadi selama proses hemodialisis,

dimana saat cairan dikeluarkan dari dalam tubuh. Terjadinya

hipotensi juga dapat disebabkan oleh pemakaian dialisat asetat,

rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik,

neuropatik otonomik, dan kelebihan cairan yang terlalu banyak.

Komplikasi emboli udara saat HD terjadi saat udara memasuki

sistem vaskuler pasien. Nyeri dada dapat ditimbulkan pada saat

tekanan PCO2 menurun diikuti dengan pengeluaran darah

sirkulasi tubuh, sedangkan keseimbangan dialisis terganggu

terjadi akibat perpindahan cairan serebral dapat mengakibatkan

serangan kejang. Komplikasi semakin berat terjadi bila diikuti

dengan kondisi gejala uremia yang berat, gangguan kulit

seperti pruritus terjadi ketika produk akhir metabolisme

meninggalkan kulit selama proses HD (Siregar & Ariga, 2021).

d) Indikasi dan kontra indikasi hemodialisis

Pasien yang memerlukan terapi hemodialisis yaitu pasien gagal

ginjal kronik dan gagal ginjal akut untuk sementara sampai

fungsi ginjalnya pulih (GFR<5 ml), pasien yang dinyatakan

memerlukan terapi hemodialisis dengan indikasi (Wijaya &

Putri 2013) : hiperkalemia (K+ darah >6meql), asidosis,


kegagalan terapi konservatif, ureum darah >200 mg%,

kreastinin serum > 6 meql, kelebihan cairan, keseimbangan

cairan dan elektrolit, mual dan muntah, intoleransi obat dan zat

kimia.

Kontraindikasi hemodialisis menurut (Wijaya, 2013) antara

lain:

Hipertensi berat (tekanan darah >200/100 mmHg), hipotensi

(tekanan darah <100 mmHg), adanya perdarahan hebat, demam

tinggi.

e) Perawatan pada pasien hemodialisis

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perawatan

pasien yang menjalani hemodialisis diantaranya :

(1) Selalu gunakan sarung tangan

(2) Periksa vibrasi atau getaran pirau setiap 2 sampai 4 jam

yang dapat didengar dengan menggunakan stetoskop dan

memberitahu dokter segera jika terjadi ada perubahan bunyi

dari pirau. Memeriksa pirau untuk mengetahui aliran darah

ketubuh lancar atau tidak.

(3) Letakan klem pada balutan diatas kanula esternal sepanjang

terapi dilakukan

(4) Jangan mengambil darah, mengukur tekanan darah

didaerah pemasangan kanula atau fistula untuk

pemeriksaan.
(5) Jika terjadi perdarahan didaerah fistura maka akan

dilakukan pemfiksasian agar perdarahannya berhenti.

2) Dialisa Peritoneal

Dialisa peritoneal yaitu terapi dialisis yang dilakukan dengan cara

penukaran cairan yang dimasukkan kedalam rongga peritoneum

sebanyak 3-4 kali setiap hari (Siregar & Ariga, 2021).

3) Transplantasi Ginjal

Metode pengobatan yang lebih disukai pasien penyakit ginjal

stadium akhir. Tingkat kebutuhan ginjal untuk transplantasi ginjal

jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada, ginjal yang

memiliki kecocokan dengan pasien dapat diperoleh dari hubungan

kekeluargaan dengan pasien. Keterbatasan pendonor dan

kesesuaian antara pendonor dengan penerima donor

mengakibatkan rendahnya tindakan transplantasi ginjal sebagai

pengobatan yang dipilih oleh pasien.

b. Terapi Non Farmakologi

Penanganan konservatif pada pasien penyakit gagal ginjal kronik

bertujuan untuk menghambat semakin beratnya perkembangan

penyakit ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati

komplikasi yang terjadi selam proses terapi. Tindakan konservatif


bertujuan untuk mempertahankan kehidupan pasien dengan penurunan

fungsi ginjal stadium akhir.

Terapi konservatif dilakukan untuk meminimalkan semakin

buruknya fungsi ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan

akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki dan mengoptimalkan

metabolisme dan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.

Ada beberapa tindakan konservatif yang dilakukan sebagai berikut :

1) Diet Protein

Pasien penyakit ginjal harus dilakukan pembatasan asupan protein.

Pembatasan asupan protein telah terbukti dapat menormalkan

Kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan

protein berlebihan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik

ginjal berupa peningkatan alirah darah dan tekanan intraglomerulus

yang akan meningkatkan progresifitas perburukan ginjal .

2) Diet Kalium

Pembatasan kalium juga harus dilakukan pada pasien gagal ginjal

kronik dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi

obat-obatan yang mengandung kalium tinggi. Pemberian kalium

berlebih menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi tubuh.

3) Diet Kalori

Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus adekuat

dengan tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif

nitrogen memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.


4) Kebutuhan Cairan

Asupan yang terlalu bebas menyebabkan kelebihan beban sirkulasi,

edem dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang menyebabkan

dehidrasi, hipotensi dan memperburuk fungsi ginjal.

B. Kualitas Tidur Pada Pasien Hemodialisis

1. Definisi

Kualitas tidur yaitu fenomena yang sangat kompleks yang

melibatkan berbagai domain, antara lain yaitu penilaian terhadap lama

waktu tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang

hari, efisiensi tidur, kualitas tidur, penggunaan obat tidur. Jadi apabila

salah satu dari ketujuh domain tersebut terganggu maka akan

mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tidur (Maharani, 2015).

Penilaian terhadap lama waktu tidur yang dinilai adalah waktu dari

tidur yang sebenarnya yang dialami seseorang pada malam hari. Penilaian

ini dibedakan dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur. Penilaian

terhadap gangguan tidur dinilai apakah seseorang terbangun tidur pada

tengah malam atau bangun pagi terlalu cepat, bangun untuk pergi ke

kamar mandi, sulit bernafas secara nyaman, batuk atau mendengkur keras,

merasa kedinginan, merasa kepanasan, mengalami mimpi buruk, merasa

sakit, dan alasan lain yang dapat mengganggu tidur (Maharani, 2015).

Setiap individu memiliki kebutuhan tidur yang berbeda-beda

tergantung usia setiap individu tersebut dan setiap individu harus

memenuhi kebutuhan tidurnya agar dapat menjalankan aktivitas yang baik.


Menurut (Ariani et al, 2012) bahwa setiap orang mempunyai hutang

terhadap waktu tidur, agar tetap merasa terjaga sepanjang hari, individu

perlu menyimpan cukup tidur di sela-sela aktivitas yang dijalankan.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

a. Penyakit

Setiap penyakit yang mengakibatkan nyeri dan ketidaknyamanan

fisik dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan masalah

pernafasan dapat mengganggu tidurnya, nafas yang pendek membuat

orang sulit tidur dan orang yang memiliki kongesti di hidung dan

adanya drainase sinus mungkin mengalami gangguan untuk bernafas

dan sulit untuk tidur. Penderita DM sering mengalami nokturia atau

berkemih di malam hari, yang membuat mereka harus terbangun di

tengah malam untuk pergi ke toilet, hal ini dapat mengganggu siklus

tidur. Seseorang yang memiliki penyakit maag, tidurnya akan

terganggu karena nyeri yang dirasakan (Maharani, 2015).

b. Lingkungan

Seseorang lebih nyaman tidur sendiri atau bersama orang lain,

teman tidur dapat mengganggu tidur jika ia mendengkur. Rumah sakit

adalah tempat yang kurang familiar bagi kebanyakan pasien, suara

bising, cahaya lampu, tempat tidur dan suhu yang kurang nyaman,

kurang privasi dan kontrol, kecemasan, kekhawatiran serta deprivasi


tidur dapat menimbulkan masalah tidur pada pasien di rumah sakit

(Maharani, 2015).

c. Latihan Fisik Dan Kelelahan

Seseorang yang melakukan olahraga pada siang hari akan mudah

tidur di malam harinya, akan tetapi kelelahan yang berlebihan akibat

kerja yang meletihkan atau penuh stress akan membuat kesulitan tidur

(Maharani, 2015).

d. Stress Emosional

Kecemasan dan depresi yang terjadi secara terus menerus dapat

terganggu tidur. Cemas dapat meningkatkan kadar darah norepinefrin

melalui stimulasi sistem saraf simpatik (Maharani, 2015)

3. Alat Ukur Kualitas Tidur

a. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Dikembangkan pada tahun 1988 Buysse yang bertujuan untuk

menyediakan indeks terstandard dan mudah digunakan klinisi maupun

pasien untuk mengukur kualitas tidur. Kuisioner PSQI mengukur

kualitas tidur dalam interval 1 bulan dan terdiri 19 pertanyaan yang

mengukur 7 komponen penilaian yakni, kualitas tidur subjektif, latensi

tidur, durasi tidur, lama tidur efektif di ranjang, gangguan tidur,

penggunaan obat tidur, dan konsentrasi di waktu siang (Made et al.,

2019).

C. Kecemasan

1. Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah memiliki perasaan takut atau ketakutan yang

tidak dapat dijelaskan dan juga merupakan respons terhadap stimulus

internal dan eksternal dengan tanda dan gejala perilaku, afektif, kognitif,

dan fisik (Berman dan Snyder, 2016). Kecemasan merupakan reaksi

emosional sebagai antisipasi terhadap bahaya (Amalia, 2019). Dapat

disimpulkan bahwa kecemasan yaitu reaksi tubuh terhadap peristiwa yang

terjadi, dimana respons tubuh terhadap peristiwa yang terjadi, dimana

respons tubuh tersebut lebih bersifat negatif sehingga menimbulkan

ketidaknyamanan bagi klien.

Respons individu terhadap kecemasan bervariasi antara adaptif

hingga maladaptif. Respons adaptif identik dengan respons konstruktif,

sedangkan respons maladaptif identik dengan respons yang bersifat

destruktif. Respons yang bersifat konstruktif menunjukan sikap optimis

dan mencoba memahami terhadap perubahan yang terjadi baik perubahan

fisik maupun emosional. Respons dekstruktif menunjukan sikap pesimis

dan sering diikuti dengan perilaku maladaptif (Amalia, 2019). Rentang

respons kecemasan diawali dengan respons antisipasi, kecemasan ringan,

kecemasan sedang, kecemasan berat hingga panik.

2. Faktor Predisposisi Dan Presipitasi

Faktor predisposisi dan presipitasi kecemasan pada pasien terdiri

dari faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial.

a. Faktor Biologis
Faktor genetik dan neurokimia berperan dalam menimbulkan

ansietas pada klien (Kraus et al, 2009). Keluarga yang mempunyai

riwayat kecemasan cenderung mempunyai anggota keluarga yang akan

mengalami kecemasan. Klien dengan penyakit fisik yang kronis

berisiko mengalami masalah kesehatan jiwa, seperti kecemasan (Ketis.

Zalika dkk, 2009 dalam Zaini, 2019). Klien dengan masalah kesehatan

fisik juga berisiko empat kali mengalami kecemasan dibandingkan

dengan yang tidak mengalami masalah kesehatan fisik.

Teori biologis menekankan pada hubungan antara kecemasan dan

faktor yang mempengaruhi yaitu katekolamin, kadar neuroendokrin,

neurotransmitter seperti serotonin, dan kolesistokinin dan reaktivitasi

autonom. Gambaran tentang fungsi saraf diperlukan dalam melihat

keterkaitan faktor biologis dengan kecemasan (Edwards, Burnard,

2003). Kadar serotonin yang berlebihan pada beberapa area penting

dari otak yaitu hipotalamus, thalamus, basal ganglia dan sistem limbik

berhubungan dengan terjadinya kecemasan.

Teori biologis juga menjelaskan bahwa rangsangan pusat

vasomotor di medula oblongata akan dihantarkan dalam bentuk impuls

melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Neuron preganglion ke

pembuluh darah dan melepaskan norepinefrin dan meningkatkan

serotonin. Pelepasan norepinefrin dan serotonin mengakibatkan sistem

limbik bereaksi dengan menciptakan perasaan tidak nyaman, khawatir,


sedih, penurunan minat serta penurunan nafsu makan (Zalika dkk,

2009 dalam Zaini, 2019).

b. Faktor Psikologis

Dasar dari faktor psikologis adalah teori psikoanalisa dan perilaku

yang menyebabkan kecemasan. Teori psikoanalisa yang dikembangkan

oleh Sigmund Freud menjelaskan bahwa kecemasan adalah hasil dari

ketidakmampuan menyelesaikan masalah, konflik yang tidak disadari

(Kumar et al., 2003 dalam Zaini 2019). Sebagai contoh pengalaman

yang tidak menyenangkan dan tidak disadari pada saat masa kanak-

kanak menimbulkan perasaan tidak nyaman atau kecemasan pada masa

kanak-kanak, remaja sampai dengan usia dewasa.

Model adaptasi stress juga menjelaskan bahwa adanya

penggabungan faktor biologi dan peristiwa yang tidak menyenangkan

dalam hidup berkontribusi terhadap terjadinya kecemasan. Stressor

psikososial juga menyebabkan perubahan dalam kimia otak sehingga

klien cenderung mengalami masalah kesehatan jiwa seperti

kecemasan. Kecemasan yang disebabkan oleh kondisi psikososial

termasuk pengalaman masa lalu, saat ini dan masa akan dating.

Pengalaman tersebut membentuk persepsi sehingga akan

mempengaruhi individu dalam memaknai peristiwa yang terjadi di

masa lampau atau yang akan dating.

Faktor psikologis berupa ancaman terhadap konsep diri pada klien

dan juga menjadi faktor pencetus terjadinya kecemasan. Ancaman


terhadap konsep diri diindikasikan mengancam identitas diri, harga

diri, dan fungsi integritas sosial (Lolak S, 2008 dalam Zaini 2019).

Ancaman terhadap konsep diri juga terdiri atas 2 sumber yaitu

eksternal dan internal. Sumber eksternal terdiri atas kehilangan orang

yang sangat dicintai karena kematian, perceraian, perubahan status

pekerjaan, tekanan sosial atau budaya. Sumber internal meliputi

kesulitan hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja.

Ancaman terhadap integritas fisik dapat juga menjadi ancaman

terhadap konsep diri karena mental dan fisik saling berhubungan.

Pembedaan kategori tersebut tergantung pada respons seseorang

terhadap adanya stressor. Tidak ada kejadian yang terjadi pada klien

yang sama menimbulkan respons yang sama, karena seluruh kejadian

bersifat individual bagi setiap klien.

c. Sosial Budaya

Faktor lainnya yang menjadi latar belakang klien mengalami

kecemasan merupakan status sosial ekonomi yang rendah, kurangnya

partisipasi di masyarakat dan perpisahan dengan orang yang disayangi

serta kurang menjalankan ajaran agama akan lebih berisiko mengalami

kecemasan (Towmsend, 2009 dalam Zaini 2019). Tingkat pendidikan

yang rendah, tidak bekerja atau PHK diyakini menjadi faktor

predisposisi pada klien dengan masalah kesehatan jiwa seperti

kecemasan. Faktor predisposisi sosial budaya juga dianalisa melalui

beberapa teori yaitu interpersonal dan sosial budaya. Teori


interpersonal melihat bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan

penolakan interpersonal (Stuart, 2009 dalam Zaini 2019). Teori sosial

budaya meyakini faktor sosial dan budaya sebagai faktor penyebab

kecemasan. Pengalaman seseorang sulit beradaptasi terhadap

permintaan sosial budaya dikarenakan konsep diri yang rendah dan

mekanisme koping.

3. Tanda Dan Gejala

Perubahan yang terjadi pada klien kecemasan seperti perubahan

kognitif penurunan konsentrasi, berfokus pada hal yang sakit, menyadari

adanya gejala fisiologis seperti pusing. Perubahan afektif seperti perasaan

khawatir, sedih, tidak percaya diri dan merasa bingung. Perubahan

fisiologis seperti penurunan nafsu makan, ketegangan otot, peningkatan

tanda-tanda vital, kesulitan tidur, dan nyeri. Perubahan perilaku yang

muncul pada klien kecemasan seperti penurunan produktifitas,

kewaspadaan meningkat dan tidak bisa tenang. Perubahan sosial seperti

kurangnya inisiatif, sulit menikmati kegiatan sehari-hari dan menghindari

kontak sosial (Towmsend, 2009).

Instrument yang digunakan sebagai acuan untuk mengetahui tanda

dan gejala yang terjadi pada klien kecemasan yaitu salah satunya adalah

instrument tanda dan gejala menurut HARS (Hamilton Anxiety Rating

Scale). Pengembangan instrument yang digunakan disesuaikan dengan

instrument HARS yang didasarkan pada munculnya symptom pada

individu yang mengalami kecemasan. Beberapa penelitian sebelumnya


tentang kecemasan, menunjukan bahwa instrument HARS mempunyai

validitas dan rehabilitas cukup tinggi dibandingkan dengan instrument

kecemasan lainnya, sehingga kombinasi instrument yang digunakan dapat

memudahkan dalam melakukan pengkajian (Kumar et al., 2013 dalam

Zaini 2019). Beberapa penenlitian terkait kecemasan menunjukan bahwa

gejala yang tampak pada klien kecemasan ialah penurunan penampilan

klien dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah psikososial

sebelumnya yang dialami klien dengan masalah fisik seperti hipertensi

juga menambah kecemasan yang dialami.

a. Respons Kognitif

Merupakan suatu media bagi interaksi antara klien dan

lingkungannya. Klien dalam menilai suatu stressor dipengaruhi oleh

beberapa hal, diantaranya pandangan pemahaman klien terhadap

stressor seperti sikap terbuka terhadap adanya perubahan, keterlibatan

secara aktif dalam suatu kegiatan serta kemampuan klien mengontrol

diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Respons

kognitif klien juga dipengaruhi oleh kemampuan koping seseorang

yang berkaitan dengan pengalaman klien dalam menghadapi stresor

serta efektifitas koping yang digunakan untuk mengontrol stressor.

Respons kognitif yang muncul pada klien kecemasan meliputi

respons kognitif secara subjektif dan objektif. Respons kognitif secara

subjektif diantaranya mudah lupa, mengatakan sulit mengambil

keputusan, sering mimpi buruk, mengatakan takut kehilangan control,


bingung, pikiran bloking, mengungkapkan atau menyadari adanya

gejala fisiologis serta ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak

spesifik (Stuart, 2009 dalam Zaini 2019). Respons kognitif secara

objektif diantaranya kesulitan konsentrasi atau tidak bisa konsentrasi,

penurunan kemampuan untuk belajar, penurunan lapang persepsi,

berfokus pada apa yang menjadi perhatian, penurunan kemampuan

untuk memecahkan masalah dan tidak mampu menerima rangsangan

dari luar.

b. Respons Afektif

Yang muncul pada klien berkaitan dengan pengalaman dalam

berinteraksi dengan orang lain, respons emosi dalam menghadapi

stressor serta intensitas dari stressor yang diterima oleh klien

(Towmsend, 2009 dalam Zaini 2019). Maka rentang respons afektif

pada klien kecemasan mengacu pada beberapa hal diantaranya

pengalaman klien serta intensitas dari stressor.

Respons afektif yang muncul pada klien kecemasan meliputi

respons afektif secara subjektif dan objektif. Respons afektif secara

subjektif diantaranya merasa cemas, merasa menyesal, perasaan tidak

aman, perasaan senang atau sedih yang berlebihan, gelisah dan merasa

ketakutan, kesedihan yang mendalam, perasan tidak adekuat dan

perasaan tidak berdaya. Respons afektif secara objektif diantaranya

berfokus pada diri sendiri, ragu dan tidak percaya diri, tidak sabaran,
marah yang berlebihan, cenderung menyalahkan orang lain,

kewaspadaan meningkat dan gugup.

c. Respons Fisiologis

Respons fisiologis yang muncul pada klien kecemasan meliputi

respons fisiologis secara subjektif dan objektif. Respons fisiologis

secara subjektif diantaranya anoreksia, diare, nyeri abdomen sering

berkemih, peningkatan ketegangan otot, mulut kering, jantung

berdebar-debar, peningkatan reflek, kedutan pada otot serta kesemutan

pada ekstremitas. Respons fisiologis secara objektif diantaranya wajah

tegang dan merah, nadi dan tekanan darah meningkat, sering nafas

pendek, tremor tangan, peningkatan keringat, suara bergetar, gangguan

pola tidur serta peningkatan frekuensi pernafasan.

d. Respons Perilaku

Yang muncul pada pasien kecemasan meliputi respons perilaku

secara subjektif dan objektif. Respons perilaku secara subjektif yaitu

penurunan produktifitas (Stuart, 2009). Respons perilaku secara

objektif diantaranya melamun, tidak bisa tenang, misalnya gerakan

kaki dan gerakan tangan, gerakan yang irrelevan, gelisah serta tampak

kurang koordinasi dalam gerakan.

e. Respons Sosial

Yang muncul pada klien kecemasan meliputi respons sosial secara

subjektif dan objektif . Respons sosial secara subjektif yaitu sulit

menikmati kegiatan sehari-hari. Respons sosial secara objektif


diantaranya bicara berlebihan dan cepat, menarik diri dari hubungan

interpersonal, kurang inisiatif, menghindari kontak sosial dengan orang

lain dan terkadang menunjukan sikap bermusuhan.

4. Tingkat Kecemasan

Berbagai reaksi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial

terhadap pasien cemas teridentifikasi sebagai rangkaian respons mulai dari

tingkat kecemasan ringan sampai dengan panik. Berikut penjelasan tingkat

kecemasan ringan sampai dengan panik :

a. Kecemasan Ringan

Berkaitan dengan ketegangan dikehidupan sehari-hari dan

menyebabkan pasien menjadi waspada dan meningkatkan lapang

persepsi (Zaini, 2019). Respons yang ditimbulkan dari kognitif, afektif,

fisiologi, perilaku dan sosial ini masih dalam batas normal. Dampak

dari kecemasan ringan yaitu meningkatnya kewaspadaan dan

kemampuan dalam belajar.

b. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan untuk memusatkan pada hal

yang penting dan mengesampingkan hal lain sehingga klien

mengalami perhatian yang selektif, namun masih dapat melakukan

aktivitas dengan terarah (Zaini, 2019). Efek yang ditimbulkan pada

kecemasan skala sedang yaitu kemampuan berfokus pada pada

masalah utama, tetap mampu melakukan perhatian dan mampu belajar.

Respons fisiologis dalam kondisi normal atau mulai terjadi pengkatan.


Respons kognitif juga menunjukan penyempitan lapang persepsi,

sedangkan respons emosi dan perilaku ditunjukan dengan sikap

waspada dan bertentangan.

c. Kecemasan Berat

Skala kecemasan berat memungkinkan klien mengalami penurunan

lapang persepsi klien. Perilaku yang ditunjukan oleh klien mengarah

pada perilaku untuk mengurangi ketegangan serta membutuhkan

banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran. Dampak yang

ditimbulkan pada skala kecemasan berat yaitu ketidakmampuan

berfokus atau tidak mampu menyelesaikan masalah serta terjadinya

aktivitas sistem saraf simpatis (Zaini, 2019). Respons yang ditunjukan

pada skala kecemasan berat yaitu terjadi gangguan fungsi adaptif dan

mempengaruhi interksi sosial dengan orang lain.

d. Kecemasan Panik

Cemas panik digambarkan dengan keadaan terperangah dan

ketakutan. Klien panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

dengan pengarahan. Kondisi panik menyebabkan peningkatan aktivitas

motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain,

persepsi menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.

Dampak dari kondisi panik diantaranya ketidakmampuan untuk

memfokuskan pikiran, klien membutuhkan bantuan orang lain dalam

aktivitas dan terjadi gangguan kondisi yang adaptif. Respons kognitif

berupa fokus perhatian terpecah, tidak mampu berpikir, disorientasi


waktu, tempat dan orang. Respons afektif yang ditemukan berupa

putus asa, tidak mampu menguasai diri serta sudah lepas kendali.

Respons fisiologis yang ditemukan terjadi penurunan tanda vital

kecuali pernafasan menjadi dangkal dan cepat, wajah menyeringai,

mulut ternganga, mual dan muntah, insomnia, gangguan pola

eliminasi, keringat berlebih dan kulit terasa panas kemudian dingin

(Zaini, 2019). Respons perilaku ditunjukan dengan peningkatan

aktivitas motorik kasar, komunikasi inkoheren dan tidak produktif.

Respons sosial ditunjukkan dengan menarik diri dari lingkungan

sekitar.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan antara lain sebagai

berikut (Safarina, 2022) :

a. Faktor Predisposisi

1) Usia atau tingkat perkembangan, semakin bertambahnya usia maka

semakin tinggi juga tingkat kecemasan dan daya konstruktifnya

untuk menghadapi masalah yang akan dipecahkan.

2) Berdasarkan jenis kelamin, kecemasan laki-laki lebih tinggi

dibandingkan wanita. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil tes

asam lemak bebas yang menunjukkan nilai lebih tinggi dari laki-

laki dibandingkan dengan wanita.


3) Pengalaman individu mempengaruhi respons terhadap kecemasan

karena pengalaman tersebut dapat digunakan sebagai pembelajaran

cara menghadapi stressor atau masalah.

b. Faktor Presipitasi

Menurut (Safarina, 2022) mengatakan bahwa faktor presipitasi atau

pencetus dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi

ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2. Ancaman terhadap rasa aman terhadap rasa aman yang dapat

menyebabkan terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap

sistem diri seseorang yang dapat membahayakan identitas, harga

diri dan fungsi sosial seseorang.

6. Rentang Respon

Rentang respon individu dan maladaptif. Rentang respon yang

paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk

beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang

paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi

berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami gangguan

fisik, perilaku maupun kognitif Stuart & Sundeens, (2017 dalam Safarina,

2022).

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

7. Alat Ukur

a. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan

pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan.

Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959 yang

diperkenalkan oleh Max Hamilton. Terdapat 14 kategori gejala,

dimana setiap item mendapat skor antara 0 dan 4 (total 0-56).

Kecemasan ringan <17, kecemasan menengah 18-24, kecemasan parah

memiliki poin 25. Total skor 7 atau dibawah 7 menunjukkan

kecemasan minimal atau tidak ada kecemasan (Ranti & Theresia,

2022).

b. Visual Analogue Scale (VAS-A)

Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh

Aitken dkk, untuk dapat mengukur keadaan psikologis dan menilai

rasa sakit. Konsep ini sekarang diterima secara universal tidak hanya

sebagai ukuran intensitas nyeri, tetapi juga telah digunakan untuk

menilai pengalaman subjektif lainnya. Validitas dan reabilitas

instrument ini juga sudah diuji berkali-kali pada berbagai kelompok

populasi dengan hasil yang sangat memuaskan. Jika dibandingkan

dengan kuesioner kecemasan yang standard, yaitu Spielberger Trait

Anxiety Inventory (STAI) dan Beck Depression Inventory (BDI),

instrumen VAS-A terbukti menunjukkan angka korelasi yang


signifikan. VAS-A memiliki korelasi yang signifikan dengan STAI

dengan nilai p<0.0001 dan koefisien korelasi berkisar 0.50 (Facco,

2013).

c. Zung Self-Rating Anxiety Scale (ZSAS)

Kuesioner kecemasan yang dirancang oleh Wiliam WK Zung,

dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic and

Statistical Manual Of Mental Disorders (DSM-II) (Nursalam, 2013).

Zung self-Rating Anxiety Scale memiliki 20 pertanyaan yang terdiri

dari 15 pertanyaan Unfavourable dan 5 pertanyaan Favourable.

d. State Anxiety-Trait Anxiety Inventory (STAI)

State-Trait Anxiety Inventory (STAI) dikembangkan oleh

Speilberger 1983. STAI terdiri dari 40 item yang terbagi kedalam 2

dimensi kecemasan yaitu, state anxiety dan trait anxiety yang setiap

dimensinya memiliki 20 item. State anxiety merupakan reaksi emosi

sementara yang timbul pada situasi dan waktu tertentu, yang dirasakan

sebagai suatu ancaman, keadaan ini ditentukan oleh perasaan

ketegangan yang subjektif. State anxiety ini berubah-ubah

intensitasnya dan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Trait anxiety

merupakan ciri karakteristik seseorang yang cukup stabil yang

mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan

sebagai ancaman (Spielberger, 1966 dalam Aziz 2016).

D. Kecemasan Dan Kualitas Tidur


Hasil dari penelitian Damanik (2018) di RS Rasyida Medan dari 16

responden (21,3%) yang mengalami cemas berat terdapat 4 responden (5,3%)

yang kualitas tidurnya buruk dan 12 responden (16,0%) yang kualitas tidurnya

baik. Dari 21 (33,3%) responden yang mengalami cemas sedang terdapat 13

responden (17,3%) yang kualitas tidurnya buruk dan 12 responden (16,0%)

yang kualitas tidurnya baik. Dari 17 responden (22,7%) yang mengalami

cemas ringan terdapat 9 responden (12,0%) yang kualitas tidurnya buruk dan 8

responden (10,0%) yang kualitas tidurnya baik. Sedangkan dari 17 responden

(22,7%) yang tidak ada cemas 13 responden (17,3%) yang kualitas tidurnya

buruk dan 4 responden (5,3%) yang kualitas tidurnya baik.

Hasil penelitian dari Johana dan Sinay pada (2019) di RSUD dr. M

Haulussy Ambon dari 43 responden dengan kategori kualitas tidur tidak baik

sebanyak 17 responden (85,0%). Sedangkan responden yang menjalani

hemodialisis >6 bulan dengan kategori kualitas tidur baik sebanyak 15

responden (65,2%) dan responden yang menjalani hemodialisis >6 bulan

dengan kategori kualitas tidur tidak baik sebanyak 8 responden (34,8%).


D. Kerangka Teori

Chronic Kidney
Disease (CKD)

Dampak Gagal Ginjal Terapi Gagal Ginjal


Kronik : Kronik :
1. Hemodialisis
1. Kelemahan fisik 2. Dialisa Peritonial
2. Demam 3. Transplantasi
3. Nyeri kepala Ginjal
4. Gangguan pada
kulit
5. Gangguan
psikologis

kecemasan
Kualitas Tidur

Bagan 2.1
(Stuart & Hall (2017), Siregar (2020)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan pandangan yang mendasar dari

suatu penelitian yang mencakup teori, asumsi dan konsep universal yang

menjadi acuan dalam menjawab berbagai permasalahan yang terdapat

pada penelitian. Paradigma penelitian adalah suatu pola pikir yang

memperlihatkan adanya hubungan antara variabel yang akan diteliti yang

sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu

dijawab dalam penelitian (Sugiyono, 2019).


Gagal ginjal Kronik merupakan salah satu masalah kesehatan di

seluruh dunia maupun di Indonesia. Dan juga gagal ginjal merupakan

penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi.

Keadaan tersebut ditandai penurunan fungsi ginjal yang progresif

mengakibatkan pada keterbatasan fisik, sosial dan emosional yang dapat

berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien (Adref et al., 2019).

Hemodialisis (HD) yaitu tindakan yang dilakukan dengan cara

mengalirkan darah dari dalam tubuh untuk dialirkan kedalam mesin

hemodialisis dan dilakukan proses penyaringan sisa metabolisme di dalam

dializer dengan menggunakan cara kerja ultrafiltrasi. Hemodialisis

memiliki dampak bagi pasien yang menjalani seperti kelelahan, depresi,

kecemasan, gangguan tidur, keterbatasan makanan dan waktu,

keterbatasan interaksi sosial, dan beban biaya yang besar yang tentu saja

semua itu akan berpengaruh pada kualitas hidup pasien tersebut.

Kualitas tidur yaitu fenomena yang sangat kompleks yang

melibatkan berbagai domain, antara lain yaitu penilaian terhadap lama

waktu tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang

hari, efisiensi tidur, kualitas tidur, penggunaan obat tidur. Jadi apabila

salah satu dari ketujuh domain tersebut terganggu maka akan

mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tidur (Sinay & Lilipory,

2019). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur yaitu penyakit,

lingkungan, latihan fisik dan kelelahan, stress emosional.


Kecemasan adalah memiliki perasaan takut atau ketakutan yang

tidak dapat dijelaskan dan juga merupakan respons terhadap stimulus

internal dan eksternal dengan tanda dan gejala perilaku, afektif, kognitif,

dan fisik (Berman, Snyder, 2016). Kecemasan merupakan reaksi

emosional sebagai antisipasi terhadap bahaya (Maharani, 2015). Dapat

disimpulkan bahwa kecemasan yaitu reaksi tubuh terhadap peristiwa yang

terjadi, dimana respons tubuh terhadap peristiwa yang terjadi, dimana

respons tubuh tersebut lebih bersifat negatif sehingga menimbulkan

ketidaknyamanan bagi klien. Faktor-faktor yang mempengaruhi

kecemasan yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.

Berdasarkan dari data diatas bagan penelitian sebagai berikut :

Terapi Gagal Ginjal


Gagal Ginjal Kronik
Kronik
1. Hemodialisis
2. Dialisa
Peritoneal
3. Transplantasi
Dampak Gagal Ginjal
ginjal
Kronik :
6. Kelemahan fisik
7. Demam
Kualitas Tidur
8. Nyeri kepala
- Baik
9. Gangguan pada
kulit - Kurang baik
10. Gangguan
psikologis
Kecemasan
- Cemas
- Tidak cemas

Variabel diteliti

Variabel ga di teliti

Bagan 3.1

(Adref et al (2019), Buysee (1989 dalam Ikhsan, 2017), Zaini (2019))

2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan rancangan

penelitian cross-sectional. Penelitian cross-sectional adalah jenis penelitian

yang mempelajari hubungan antara faktor resiko dengan faktor efek atau

yang dikenal dengan faktor independen dan dependen, dimana observasi

dan pengukuran dilakukan sekligus pada waktu yang sama artinya setiap

responden hanya diobservasi satu kali dan pengukuran variabel responden

dilakukan pada saat pemeriksaan terebut dan peneliti tidak melaksanakan

tindakan lebih lanjut (Riyanto, 2018).

3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan sebuah pernyataan berisi dugaan sementara

yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui suatu penelitian.

Menguji hipotesis penelitian berarti menguji jawaban yang sementara

tersebut apakah betul terjadi pada sampel yang diteliti atau tidak. Jenis

hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah hipotesis

asosiatif yang merupakan dugaan terhadap hubungan antara dua atau lebih

(Riyanto, 2018).

a. Hipotesis Nol (Ho) : tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan

dengan kualitas tidur pada pasien hemodialisis.

b. Hipotesis Alternatif (Ha) : terdapat hubungan antara tingkat kecemasan

dengan kualitas tidur pada pasien hemodialisis

4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan faktor-faktor yang ikut serta terlibat

dalam fenomena atau gejala yang akan di teliti. Variabel penelitian

ditentukan oleh landasan teoritisnya serta kejelasannya ditegaskan oleh

hipotesis penelitian (Acmadi & Narbuko, 2015).

a. Variabel Independen

Variabel independent adalah sering disebut juga dengan variabel

bebas yang artinya variabel independen dapat mempengaruhi variabel

lain, ini dapat diartikan bahwa apabila variabel independen mengalami


perubahan maka akan berdampak juga pada variabel lain akan

mengalami perubahan. Variabel independen dalam penelitian ini

adalah tingkat kecemasan.

b. Variabel Dependen

Variabel dependen sering juga disebut dengan variabel terikat yang

artinya variabel dependen dapat dipengaruhi oleh variabel lain dengan

kata lain variabel dependen berubah akibat adanya perubahan pada

variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel dependen ialah kualitas

tidur.

5. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan sebuah uraian mengenai variabel

yang dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel bersangkutan.

Definisi operasional penting untuk diketahui dan dilakukan untuk supaya

pengukuran variabel atau pengumpulan data variabel dapat konsisten

antara sumber data yaitu responden yang satu dengan respon yang lain

(Notoatmodjo, 2018),

No Variabel Definisi Definisi Alat ukur Hasil ukur skala

konseptual Operasional

1. Independen Kecemasan adalah Tingkat Kuisioner Cemas jika Nomin


Kecemasan perasaan takut kecemasan pada (HARS) >14
al
yang tidak dapat responden yang Tidak
dijelaskan dan juga menjalankan cemas jika
merupakan respons terapi <14
terhadap stimulus hemodialisis
internal dan
eksternal (Berman,
Synder, 2016)
2. Dependen Kualitas tidur yaitu Gambaran kualitas Kuisioner Baik jika Nomin
Kualitas Tidur fenomena yang tidur responden yang (PSQI) ≤5
al
sangat kompleks menjalankan terapi Kurang
yang melibatkan hemodialisis baik jika ≥5
berbagai domain,
antara lain yaitu
penilaian terhadap
lama waktu tidur,
gangguan tidur,
masa laten tidur,
disfungsi tidur
pada siang hari,
efisiensi tidur,
kualitas tidur,
penggunaan obat
tidur. (Buysee,
1989 dalam Ikhsan
2017)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi

karakteristik yang telah ditentukan oleh peneliti. Populasi dibagi menjadi

dua macam yaitu populasi tidak terjangkau (target) dan populasi

terjangkau (sumber). Populasi target adalah populasi yang bersifat umum


dan luas. Sedangkan populasi sumber yaitu populasi target yang dapat

dijangkau oleh peneliti, populasi sumber merupakan bagian dari populasi

target yang dibatasi oleh tempat dan waktu yang lebih sempit (Riyanto,

2018). Populasi dalam penelitian ini yang aktif melakukan terapi

hemodialisis sebanyak 135 orang di ruang Unit Ginjal Terpadu Rumah

Sakit Dustira Cimahi.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diharapkan dapat

mewakili populasi. Sampel harus memenuhi kriteria yang sudah diatur

atau ditetapkan (Riyanto, 2018). Menurut Arikunto (2013), syarat yang

harus dipenuhi dalam menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu

adalah sebagai berikut :

a. Pengambilan sampel harus didasari dengan ciri-ciri, sifat-sifat atau

karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.

b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar menggunakan subjek

yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi.

c. Menentukan karakteristik populasi ditentukan dengan cermat di studi

pendahuluan.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Teknik nonprobability sampling dengan metode purposive sampling yaitu

adalah sebuah Teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan

tertentu yang telah dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri serta sifat populasi

yang sudah diketahui sebelumnya (Riyanto, 2018). Untuk dapat


mengetahui ukuran sampel yang didapatkan berdasarkan rumus sederhana

adalah sebagai berikut (Riyanto, 2018).

N
𝑛 = 1+ N (d )²

Keterangan :

n = perkiraan besar sampel

N = perkiraan besar populasi

d = tingkat signifikan (d = 0,05)

Berdasarkan rumus diatas, maka dapat dihitung jumlah sampel dari

populasi pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak

N
𝑛= 2
1+ N ( d )

135
𝑛=
1+ 135 ( 0,05 )2

135
𝑛= 1+ 135 ( 0,0025 )

135
𝑛= 1+ 0,3375

135
𝑛 = 1,3375

𝑛= 100,9 dibulatkan menjadi 101 orang

Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya maka

sebelum dilakukan pengambilan sampel peneliti menentukan kriteria


inklusi untuk sampel yang akan diteliti. Kriteria inklusi merupakan

karakteristik umum subjek penelitian yang harus dipenuhi setiap anggota

populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Riyanto, 2018). Adapun

kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisis

2) Pasien bersedia menjadi responden

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Ibu hamil

C. Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan

peneliti dalam mengumpulkan data penelitian. Metode pengumpulan data

menurut Riyanto (2018) dibagi menjadi 3 yaitu dengan observasi,

interview dan angket dalam bentuk kuisioner. Teknik pengumpulan data

pada penelitian ini yaitu dengan menyebarkan kuisioner yang berisi

pertanyaan kepada responden dengan prosedur sebagai berikut :


a. Sebelum melakukan penelitian, peneliti akan mengajukan surat

permohonan izin penelitian kepada Diklat RS Dustira yang ditujukan

kepada Direktur RS Dustira Cimahi

b. Setelah mendapatkan surat izin penelitian, selanjutnya peneliti akan

datang ke Rumah Sakit Dustira meminta izin kepada kepala ruangan

Unit Ginjal Terpadu RS Dustira Cimahi dan meminta izin untuk

melakukan penelitian di ruangan tersebut.

c. Penelitian akan dibantu 1 sampai 2 orang asisten peneliti, enumerator

dalam penelitian ini yaitu teman sejawat jurusan ilmu keperawatan

(S-1) dan peneliti akan menyamakan persepsi sebelum memulai

penelitian

d. Peneliti akan melakukan pemilihan responden yang sesuai dengan

kriteria inklusi

e. Setelah mendapatkan responden yang sesuai dengan kriteria inklusi

peneliti akan memberikan penjelasan awal kepada responden tentang

maksud dan tujuan dilakukannya penelitian.

f. Setelah selesai menandatangani informed consent peneliti akan

memberikan waktu kepada responden untuk hal yang kurang

dimengerti dalam pengisian kuisioner, dan akan dilanjutkan untuk

pengisian kuisioner oleh responden.

g. Peneliti akan memberitahukan tata cara untuk pengisian kuisioner

pada responden yaitu dengan memberika tanda () pada lembar yang
tersedia dalam kuisioner sesuai apa yang diketahui dan dirasakan

oleh responden, selama pengambilan data berlangsung.

h. Peneliti akan mendampingi responden untuk mengisi lembar

kuisioner agar dapat memberikan penjelasan yang kurang dimengerti

oleh responden selama kurang lebih 15-20 menit.

i. Peneliti kemudian akan memeriksa jawaban yang telah diisi oleh

responden.

j. Peneliti akan mengucapkan terimakasih kepada masing-masing

responden karena telah membantu selama proses penelitian

berlangsung.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa

angket yaitu alat ukur berupa angket yaitu alat ukur berupa kuisioner dengan

beberapa pertanyaan (Notoatmodjo, 2018). Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini diantaranya :

a. Instrumen Tingkat Kecemasan

Data tingkat kecemasan diperoleh dengan mewawancarai

responden dan menggunakan kuisioner Hamilton Rating Scale For

Anxiety (HARS) yang terdiri dari perasaan ansietas, ketegangan,

ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala

somatik (otot), gejala somatik (sensorik), gejala kardiovaskuler, gejala


respiratori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala otonom,

tingkah laku pada wawancara.

b. Instrumen Kualitas Tidur

Data kualitas tidur diperoleh dengan mewawancarai responden dan

menggunakan kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang

terdiri dari kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, lama tidur

efektif di ranjang, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, disfungsi siang

hari.

3. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian

Uji validitas yaitu ketetapan atau kecermatan pengukuran, valid artinya

instrumen penelitian dapat mengukur apa yang ingin diukur. Untuk

mengetahui validitas suatu instrumen dilakukan dengan cara melakukan

korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu

variabel dinyatakan valid jika skor variabel tersebut berkolerasi secara

signifikan dengan skor totalnya (Riyanto, 2018).

Reliabilitas merupakan derajat konsistensi suatu instrumen. Instrumen

dinyatakan reliabel apabila instrumen tersebut digunakan untuk mengukur

objek/subjek yang sama oleh orang yang berbeda atau sama dalam waktu yang

berbeda, akan menghasilkan data yang relative sama (Sugiyono, 2019).

a. Uji Validitas

Metode uji validitas ini bertujuan untuk mengukur kemampuan setiap item

pertanyaan kuisioner dalam mengukur variabel yang akan diukur. Untuk

melihat apakah kuisioner yang disusun mampu mengukur apa yang


hendak diukur maka diperlukan pengukuran dengan uji korelasi antara

skor setiap item pertanyaan dengan nilai total kuisioner tersebut. Teknik

korelasi yang digunakan dalam uji validitas ini ialah teknik korelasi item

total person product momen.

b. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan sejauh mana hasil

pengukuran tetap sama bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih pada

gejala yang sama (Riyanto, 2018). Suatu variabel dikatakan reliabel

apabila hasil pengukuran tetap dan tidak berpengaruh pada waktu serta

tempat. Pada penelitian ini, perhitungan uji reliabelitas akan “Alpha

Cronch Bach”.

D. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Mencari Masalah Atau Fenomena

Peneliti berdiskusi dengan pembimbing mengenai masalah yang

menjadi sebuah penelitian dan menentukan tempat untuk melakukan

penelitian sesuai dengan data yang ada dan masalah yang ditemukan.

b. Menentukan Judul Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti telah menetapkan bahwa peneliti akan

melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat Kecemasan

Dengan Kualitas Tidur Pada Hemodialisis Di Rumah Sakit Dustira”

c. Melakukan Studi Pendahuluan


Peneliti akan melakukan studi pendahuluan ke Rumah Sakit Dustira

dan mewawancarai pasien yang melakukan hemodialisis.

d. Melakukan Studi Kepustakaan

Peneliti akan mencari sumber-sumber buku untuk penelitian yang

berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

e. Menyusun Prosal

Peneliti akan menyusun proposal penelitian berdasarkan buku sumber

serta jurnal yang telah ada.

f. Peneliti nantinya akan melakukan seminar beserta perbaikan hasil

seminar proposal.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Mengajukan surat izin penelitian kepada kepala ruangan Unit Ginjal

Terpadu

b. Peneliti akan memberikan lembar kuisioner kecemasan serta kualitas

tiudr secara bergantian untuk di isi oleh responden.

c. Pengisisn kuisioner kecemasan beserta kualitas tidur akan berlangsung

kurang lebi 10 sampai dengan 20 menit.

d. Setelah pengisian kuisioner telah selesai maka peneliti akan mengecek

kembali hasil kuisioner yang telah diisi untuk mengetahui ada

tidaknya responden yang keliru mengisi.

e. Setelah data terkumpul, penelita akan melakukan pengolahan data dari

data yang diperoleh dan di analisa dengan progrm statistik komputer.

3. Tahap Akhir
a. Penyusunan serta pembuatan laporan penelitian, pada tahap ini peneliti

akan menyusun hasil akhir dari penelitian dalam bentuk proposal dan

melaporkan hasil penelitian di siding skripsi.

b. Peneliti akan melakukan penyajian atau presentasi hasil penelitian

dilakukan dengan cara memaparkan hasil penelitian yang telah

dilakukan.

c. Perbaikan Laporan Penelitian

Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam proses penelitian, diamana

peneliti akan melakukan perbaikan isi konten proposal dan

memperbaikinya berdasarkan dari arahan serta masukan dari penguji

sidang skripsi. Kemudian penelitian akan dikumpulkan.

E. Pengolahan Dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan Data merupakan suatu langkah yang penting karena

data yang diperoleh dari kuisioner masih merupakan bentuk data mentah

dan belum siap untuk disajikan. Untuk memperoleh penyajian data yang

baik, diperlukan adanya pengolahan data (Notoatmodjo, 2018).

a. Editing

Editing merupakan kegiatan pengecekan, perbaikan, isian formulir

atau kuisioner, dan pemeriksaan terhadap kelengkapan instrumen dan

penyesuaian data yang diperoleh dengan kebutuhan peneliti (Riyanto,

2018). Peneliti akan melakukan pengecekan data hasil pertanyaan dari


kuisioner tingkat kecemasan dan kualitas tidur yang telah terkumpul

sudah diisi dengan jelas, lengkap dan tidak ada kolom yang kosong.

b. Coding

Coding adalah sebuah cara mengubah data yang berbentuk kalimat

menjadi data berbentuk angka atau bilangan (Riyanto, 2018). Setelah

semua kuisioner diedit selanjutnya dilakukan pengkodean atau coding

yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruk menjadi angka atau

bilangan. Dalam penelitian ini variabel tingkat kecemasan baik diberi

kode 1, kualitas tidur diberi kode 2.

c. Entry data / memasukan data

Entry data merupakan mekanisme untuk memasukan data jawaban dari

responden yang dalam bentuk kode agar mudah untuk dianalisa yang

kemudian data tingkat kecemasan dengan kualitas tidur dimasukan

kedalam program pengolahan data yaitu SPSS.

d. Cleaning

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di

entry apakah terdapat kesalahan saat memasukan data atau tidak

(Riyanto, 2018). Peneliti akan melakukan pengecekan kembali data

yang sudah di entry apakah terdapat kesalahan atau tidak. Kemudian

dilakukan pembenahan atau koreksi sehingga data yang dimasukkan

dapat bermakna atau dapat dengan jelas diinterpretasikan.


e. Tabulating

Tabulasi adalah usaha penyajian data dengan bentuk tabel. Data yang

telah diberikan kode kemudian dimasukan kedalam tabel. Data

dimasukan kedalam program komputer dan dianalisis secara statistik.

Proses pembuatan tabel data disesuaikan dengan tujuan peneliti atau

yang diinginkan oleh peneliti. Pada tahap ini peneliti menyajikan hasil

dari penelitian.

2. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul dan telah mengalami tahap pengolahan data

dengan aturan yang sesuai dengan pendekatan masing-masing sehingga

dapat diperoleh suatu kesimpulan yang dinamakan Analisa data.

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran

distribusi dan frekuensi dari variabel dependen dan independen. Data

disajikan dalam bentuk tabel dan diinterpretasikan (Riyanto, 2011).

Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan uji decriptive

statistic frequency pada masaing – masing variabel penelitian, yaitu

tingkat kecemasan, dan kualitas tidur pada pada pasien yang menjalani

hemodialisis, kemudian dilakukan analisis secara deskriptif dan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Untuk menjelaskan masing – masing variabel yang diteliti

berdasarkan angka atau nilai jumlah dari presentasi masing – masing

kelompok dengan rumus sebagai berikut :


a
P = X 100%
b

Keterangan :

P = Persentase

a = Frekuensi

b = Jumlah sampel

b. Analisis Bivariat

Apabila telah dilakukan analisa univariat dan akan mendapatkan

hasil dari karakteristik atau distribusi setiap variabel dan dapat

dilanjutkan melakukan analisis bivariat. Analisis bivariat yang

dilakukan tehadap dua variabel yang diduga berhubungan atau diduga

terdapat kolerasi (Notoatmodjo, 2018). Analisa ini bertujuan

mengetahui hubungan Tingkat Kecemasan Dan Kualitas Tidur Pada

Pasien Hemodialisa Di Rumah Sakit Dustira.

Uji bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik Chi

Square (kai kuadrat) . Berikut rumus uji Chi Squre :

( f o−fe ) 2
χ 2=
fe

Keterangan :

X2 =
Nilai Chi Square

Fe = Frekuensi yang diobservasi (empiris)

Fo = Frekuensi yang diharapkan (teoritis)

F. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap

kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti,

serta masyarakat yang akan memperoleh dampak dari penelitian yang telah

dilakukan oleh seorang peneliti (Notoatmodjo, 2018). Secara garis besar ada

empat prinsip yang harus dipegang untuk dapat menjalankan penelitian

diantaranya sebagai berikut :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Dalam menghormati harkat dan martabat manusia, peneliti harus

memberikan kebebasan terhadap responden untuk memberikan informasi

ataupun tidak meberikan informasi berupa partisipasi dalam penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti akan memberikan lembar persetujuan (inform

concent) yang didalamnya berisi penjelasan mengenai penelitian mulai

dari manfaat, penjelasan resiko yang akan ditimbulkan, persetujuan

responden untuk berpartisipsi dalam penelitian, persetujuan mengenai

responden dapat mengundurkan diri kapan saja, serta hak kerahasiaan

terhadap responden penelitian. Saat penelitian tidak berkenan meneliti

yang tidak setuju untuk diteliti.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan (respect for privacy and

cofidentiality)

Setiap indvidu berkewenangan memiliki kebebasan dalam memberikan

informasi serta memiliki hak yang mendasar yakni salahsatunya adalah

privasi. Begitu juga dengan hak individu yang dapat tidak memberikn

informasi, dengan demikian pada penelitian ini peneliti tidak


mencantumkan nama responden yang terlibat dalam penelitian tetapi

hanya menggunakan inisial nama dan tidak akan menyebarkan data yang

didapatkan dari responden.

3. Keadilan dan keterbukaan (respect for justice an inclusiveness)

Prinsip yang perlu dijaga oleh peneliti yaitu kejujuran, keterbukaan,

dan kehati – hatian dalam melakukan penelitian dan dan peneliti

diaruskan memperlakukan responden secara adil pada semua responden

yang terlibat meliputi peneliti memberikan pertanyaan yang sama dan di

berikan waktu yang sama dalam pengambilan data terhadap responden.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugiaan yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits)

Penelitian harus memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi

masyarakat atau subjek penelitian. Manfaat bagi responden dapat berupa

pengetahuan yang di berikan peneliti mengenai tugas kesehatan keluarga

yang perlu diperhatikan serta bagaimana diet yang baik dengan

mempehatikan jumlah, jenis, serta jadwal makan. Dalam penelitian ini

peneliti berupaya sebaik mungkin agar dapat meminimalisir terjadinya hal

yang merugikan pada responden.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di ruang perawatan Unit Ginjal Terpadu

Rumah Sakit Tingkat II Dustira Cimahi


2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juni – Juli tahun 2022


DAFTAR PUSTAKA

Acmadi, A., & Narbuko, C. (2015). Metodologi Penelitian. Bumi Aksara.

Adref, F., Syahrul, S., & Saleh, A. (2019). Jurnal Keperawatan Muhammadiyah
Intervensi untuk Meningkatan Status Nutrisi Pasien Hemodialisa: Systematic
Review. In Jurnal Keperawatan Muhammadiyah (Vol. 4, Issue 2).

Amalia, W. (2019). Tingkat Kecemasan Pada Pasien GGK Di Ruang Hemodialisa


RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2019. Jurnal Keperawatan, 3(1).

Damanik, V. (2020). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada


Pasien Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Priority, 3(1).

Frengki, Budiharto, I., & Fauzan, S. (2018). Gambaran Insomnia Pada Pasien
Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soedarso Pontianak.

Made, N., Sukmawati, H., Gede, I., & Putra, S. W. (2019). Reliabilitas Kusioner
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) Versi Bahasa Indonesia Dalam
Mengukur Kualitas Tidur Lansia. Jurnal Lingkungan Dan Pembangunan,
3(2), 30–38. https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

Maharani, E. (2015). Pola Tidur Tepat dan Cerdas. EGC.

Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta.

Nurhayati, I., Hamzah, A., Erlina, L., & Rumahorbo, H. (2021). Gambaran
Kualitas Tidur Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi
Hemodialisa : Literature Review. 1(1).

Ranti, G., & Theresia, L. (2022). Kecemasan Mahasiswa Terhadap Pandemi


Covid 19 (Studi Kasus Mahasiswa Institut Teknologi Indonesia)
Students’anxiety Against Covid Pandemic 19 (Case Study Of Indonesian
Institute Of Technology).

Riyanto, A. (2018). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Nuha Medika.

Safarina, L. (2022). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. CV Elmarkazi Karya


Raya.

Sinay, J., & Lilipory, M. (2019). Kecemasan Dan Kualitas Tidur Berhubungan
Dengan Lama Menjalani Hemodialisa Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.
1(1).

Siregar, C., & Ariga, R. (2021). Buku Ajar Manajamen Komplikasi Pasien
Hemodialisa. CV Budi Utama.

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian dan Pengembangan Research and


Development. Alfabeta.

Zaini, M. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial. Deepublish


Publisher.
Lampiran 1. Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS)

HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY

(HARS)

Nomor Responden :

Nama Responden :

Tanggal Pemeriksaan :

Skor : 0 = tidak ada

1 = ringan

2 = sedang

3 = berat

4 = berat sekali

Total Skor : kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

14 – 20 = kecemasan ringan

21 – 27 = kecemasan sedang

28 – 41 = kecemasan berat

42 – 56 = kecemasan berat sekali


No Pertanyaan 0 1 2 3 4
1 Perasaan Ansietas
- Cemas
- Firasat Buruk
- Takut Akan Pikiran Sendiri
- Mudah Tersinggung
2 Ketegangan
- Merasa Tegang
- Lesu
- Tak Bisa Istirahat Tenang
- Mudah Terkejut
- Mudah Menangis
- Gemetar
- Gelisah
3 Ketakutan
- Pada Gelap
- Pada Orang Asing
- Ditinggal Sendiri
- Pada Binatang Besar
- Pada Keramaian Lalu Lintas
- Pada Kerumunan Orang Banyak
4 Gangguan Tidur
- Sukar Masuk Tidur
- Terbangun Malam Hari
- Tidak Nyenyak
- Bangun dengan Lesu
- Banyak Mimpi-Mimpi
- Mimpi Buruk
- Mimpi Menakutkan
5 Gangguan Kecerdasan
- Sukar Konsentrasi
- Daya Ingat Buruk
6 Perasaan Depresi
- Hilangnya Minat
- Berkurangnya Kesenangan Pada Hobi
- Sedih
- Bangun Dini Hari
- Perasaan Berubah-Ubah Sepanjang Hari
7 Gejala Somatik (Otot)
- Sakit dan Nyeri di Otot-Otot
- Kaku
- Kedutan Otot
- Gigi Gemerutuk
- Suara Tidak Stabil

8 Gejala Somatik (Sensorik)


- Tinitus
- Penglihatan Kabur
- Muka Merah atau Pucat
- Merasa Lemah
- Perasaan ditusuk-Tusuk
9 Gejala Kardiovaskuler
- Takhikardia
- Berdebar
- Nyeri di Dada
- Denyut Nadi Mengeras
- Perasaan Lesu/Lemas Seperti Mau Pingsan
- Detak Jantung Menghilang (Berhenti
Sekejap)
10 Gejala Respiratori
- Rasa Tertekan atau Sempit Di Dada
- Perasaan Tercekik
- Sering Menarik Napas
- Napas Pendek/Sesak
11 Gejala Gastrointestinal
- Sulit Menelan
- Perut Melilit
- Gangguan Pencernaan
- Nyeri Sebelum dan Sesudah Makan
- Perasaan Terbakar di Perut
- Rasa Penuh atau Kembung
- Mual
- Muntah
- Buang Air Besar Lembek
- Kehilangan Berat Badan
- Sukar Buang Air Besar (Konstipasi)
12 Gejala Urogenital
- Sering Buang Air Kecil
- Tidak Dapat Menahan Air Seni
- Amenorrhoe
- Menorrhagia
- Menjadi Dingin (Frigid)
- Ejakulasi Praecocks
- Ereksi Hilang
- Impotensi
13 Gejala Otonom
- Mulut Kering
- Muka Merah
- Mudah Berkeringat
- Pusing, Sakit Kepala
- Bulu-Bulu Berdiri
14 Tingkah Laku Pada Wawancara
- Gelisah
- Tidak Tenang
- Jari Gemetar
- Kerut Kening
- Muka Tegang
- Tonus Otot Meningkat
- Napas Pendek dan Cepat
- Muka Merah

Skor Total :

Lampiran 2 Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Nama :
Umur :
Kelas :
J. Kelamin :

Pertanyaan:
1. Pukul berapa biasanya anda mulai tidur malam?
2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?
3. Pukul berapa anda biasanya bangun pagi?
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari?

5 Seberapa sering Tidak 1x 2x ≥ 3x


masalah- pernah Seminggu Seminggu Seminggu
masalah anda dalam (1) (2)
dibawah ini sebulan
mengganggu terakhir
tidur anda? (0)

a. Tidak mampu
tertidur selama
30 menit sejak
berbaring
b. Terbangun
ditengah malam
atau dini hari
c. Terbangun untuk
ke kamar mandi
d. Sulit bernafas
dengan baik
e. Batuk atau
mengorok
f. Kedinginan
dimalam hari
g. Kepanasan
dimalam hari
h. Mimpi buruk
i. Terasa nyeri
j. Alasan lain...
6 Selama sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda
menggunakan
obat tidur
7 Selama sebulan
terakhir,
seberapa sering
anda mengantuk
ketika
melakukan
aktivitas di siang
hari
Tidak Kecil Sedang Besar
Antuasias (1) (2) (3)
(0)
8 Selama satu
bulan terakhir,
berapa banyak
masalah yang
anda dapatkan
dan seberapa
antusias anda
selesaikan
permasalahan
anda?
Sangat Cukup Cukup Sangat
Baik Baik Buruk Buruk
(0) (1) (2) (3)
9 Selama bulan
terakhir,
bagaimana anda
menilai
kepuasan tidur
anda?

Kisi – kisi kuisioner PSQI

No Komponen No Item Sistem Penilaian


Jawaban Nilai Sekor
1 Kualitas tidur 9 Sangat baik 0
subyektif Baik 1
Kurang 2
Sangat 3
kurang
2 Latensi tidur 2 ≤15 menit 0
16-30 1
31-60 2
≥60 3
5a Tidak pernah 0
1x Seminggu 1
2x Seminggu 2
≥3x 3
Seminggu
Skor latensi tidur 2+5a 0 0
1-2 1
3-4 2
5-6 3
3 Durasi tidur 4 ≥ 7 jam 0
6-7 jam 1
5-6 jam 2
≤ 5 jam 3
4 Efisiensi tidur ≥ 85% 0
Rumus= 75-84% 1
Durasi tidur= lama di 65-74% 2
tempat tidur X 100% ≤65% 3
1,3,4

*durasi tidur (no.4)


*lama tidur (kalkulasi
respon no. 1 dan 3 )
5 Gangguan tidur 5b, 5c, 0 0
5d, 5e, 1-9 1
5f, 5g, 10-18 2
5h, 5i 19-27 3
5i, 5j
6 Penggunaan obat 6 Tidak pernah 0
1x seminggu 1
2x seminggu 2
≥3x 3
seminggu
7 7 Tidak pernah 0
1x seminggu 1
2x seminggu 2
≥3x 3
seminggu
8 Tidak 0
antusias 1
Kecil 2
Sedang 3
Besar
7+8 0 0
1-2 1
3-4 2
5-6 3

Keterangan Kolom Nilai Skor:


0 = Sangat Baik
1 = Cukup Baik
2 = Agak Buruk
3 = Sangat Buruk

Untuk menentukan skor akhir yang menyimpulkan kualitas Tidur


keseluruhan Jumlahkan semua hasil skor mulai dari komponen 1 sampai 1
Baik :≤5
Buruk :≥5
Sumber : (Nurhayati Ismi, 2020)

Anda mungkin juga menyukai