Anda di halaman 1dari 20

HTA PADA ALAT KESEHATAN HD (HEMODIALISIS) DAN DP (DIALISIS

PERITONEAL) SEBAGAI TERAPI UTAMA PADA GAGAL GINJAL


TERMINAL

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Pembiayaan dan Penganggaran


Kesehatan

Dosen: dr.Yuli Prapanca Satar, MARS, P.hD

Disusun oleh:
Kelompok 5 - Kelas 4A
Nada Karisma Oktavia (11161010000002)
Hanifati Safira (11161010000010)
Larasati Fina Arisandi (11161010000015)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MEI/2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, dengan judul
“Penganggaran Kesehatan di Rumah Sakit dr. Sudiran Mangun Sumarso Kabupaten
Wonogiri”. Shalawat serta salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW yang menjadi
teladan terbaik bagi umat manusia. Terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada
Bapak Yuli Prapanca Satar, MARS, P.hD selaku dosen matakuliah “Pembiayaan dan
Penganggaran Kesehatan”. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kekurangan. Kami mengharapkan masukan dan saran dari pembaca. Harapan
kami makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penelitian berikutnya.

Ciputat, Mei 2018

Penyusun
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan telah terjadi perubahan pola penyakit di
Indonesia, antara lain dengan meningkatnya tren penyakit katastropik setiap tahun.
Penyakit katastropik merupakan penyakit berbiaya tinggi dan secara komplikasi
dapat membahayakan jiwa penderitanya antara lain, penyakit ginjal, penyakit
jantung, penyakit syaraf, kanker, diabetes mellitus, dan hemofilia (Depkes, 2016).
Gagal Ginjal merupakan penyakit katastropik nomor 2 yang paling
banyak menghabiskan biaya kesehatan setelah penyakit jantung. Data Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes tahun 2016 menunjukkan adanya
peningkatan beban biaya kesehatan untuk pelayanan penyakit Katastropik. Pada
tahun 2014 penyakit katastropik menghabiskan biaya kesehatan sebesar 8,2 triliun,
tahun 2015 meningkat menjadi 13,1 triliun kemudian tahun 2016 sebanyak 13,3
triliun (Depkes, 2018).
Gagal ginjal terminal dapat diartikan sebagai Fungsi ginjal sangat
menurun (LFG<15ml/mnt/1,73m2), sehingga terjadi uremia dan dibutuhkan terapi
ginjal pengganti untuk menambil alih fungsi ginjal dalam meneliminasi toksin
tubuh (IRR, 2014). Gagal ginjal terminal (GGT) merupakan penyakit yang secara
global menjadi beban mortalitas dan morbiditas, tetapi juga memberikan beban
ekonomi negara. Gagal Ginjal Terminal (GGT) adalah Peningkatan jumlah
penduduk usia lanjut dan peningkatan prevalens penyakit tidak menular dapat
berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi GGT. Transplantasi ginjal atau
dialisis merupakan terapi yang sangat esensial bagi pasien GGT. Tanpa dialisis,
prognosis pasien GGT bervariasi; mereka akan meninggal dalam enam bulan
hingga dua tahun. Di Asia, jumlah pasien GGT yang menerima terapi pengganti
ginjal diperkirakan akan meningkat dua kali lipat, dari 2,6 juta pada tahun 2010
menjadi 5,4 juta pada tahun 2030. Sementara di Indonesia, hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS, 2013) menunjukkan bahwa 0,2% penduduk Indonesia
berisiko untuk mengalami GGT (Kemenkes dan HTA, 2015).
Ada tiga pilihan terapi bagi pasien GGT, yakni hemodialisis (HD),
dialisis peritoneal (DP), dan transplantasi ginjal. Banyak studi menunjukkan bahwa
transplantasi ginjal merupakan terapi yang terbaik bagi pasien GGT, tetapi
kelangkaan organ hidup dan kurang diterimanya penggunaan donor kadaver
membatasi pilihan pasien hanya pada HD atau DP. Selain itu, mengingat insidens
GGT per tahun adalah 35.000 pasien dan prevalensi 120.000 pasien, maka
transplantasi ginjal bukan merupakan pilihan yang mampu dilaksanakan.
Indonesian Renal Registry (IRR) mencatat HD sebagai terapi yang paling dominan,
menempati 80% dari seluruh pasien GGT dan hanya 2% yang memilih DP
(Kemenkes dan HTA, 2015).

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Sejarah HTA (Health Tecnology Assesment)


Secara logika mudah dapat dimengerti bahwa penilaian terhadap ilmu
pengetahuan yang diterapkan dalam pelayanan kepada pasien tentu sudah
dilakukan sejak ada orang yang berprofesi sebagai penolong orang sakit. Imhotep,
dokter Mesir yang melaksanakan pengobatan dengan menggunakan pengetahuan
yang ada pada saat itu untuk menolong pasien tentu selalu menilai apakah
pengobatan yang diberikan berhasil baik, dan apakah ada efek yang tidak baik dari
pemberian pengobatan tersebut. Analogi yang serupa dapat diterapkan pada tiap
generasi dokter sepanjang masa, meskipun semuanya melakukan penilaian dengan
melakukan observasi yang tidak sistematis, sebab metodologi penelitian, apa lagi
uji klinis pada masa tersebut belum dikenal. James Lind pada pertengahan abad ke-
18 melakukan enam jenis pengobatan yang berbeda terhadap scurvy, ia menilai
apakah pengobatan berhasil, apakah terjadi efek yang tidak diinginkan dengan
mempertimbangkan ketersediaan dan harga obat. Jadi dalam semua tahapan sejarah
kedokteran penilaian terhadap penerapan teknologi kesehatan sudah dilakukan,
sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran zaman itu.
Namun Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) dalam arti yang terstruktur,
sistematik, dan formal baru dimulai pada tahun 1960-an setelah makin dipahami
bahwa penggunaan teknologi kesehatan, selain dapat memberi efek positif kepada
pasien dapat pula menyebabkan efek negatif, serta perlunya sumber daya termasuk
pembiayaan. Istilah kajian teknologi (technology assessment) muncul pada tahun
1965 pada pembahasan di kongres Amerika Serikat. Hal tersebut kemudian
berkembang sehingga pada tahun 1973 terbentuk Office of Technology Assessment
(OTA) yang kemudian mulai menjalankan aktivitas dalam bidang kedokteran pada
tahun 1975. Pada awalnya PTK mempelajari keamanan, efektivitas, biaya, serta
hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan teknologi dalam bidang kesehatan.
OTA menerbitkan laporan bioekuivalens pada tahun 1974 dan program kesehatan
OTA menerbitkan laporan resminya pada tahun 1976. Sejak itu PTK juga
melibatkan aspek sosial, etika, hukum, dan politis. Termasuk yang dikaji adalah
kontrasepsi, transplantasi organ, organ buatan, alat bantu napas, genetika, sel
punca. Meskipun sejak awal sudah melibatkan banyak hal, namun ternyata hanya
sedikit saja yang melaporkan hasil PTK secara komprehensif; hanya aspek-aspek
tertentu saja yang dilaporkan. Dalam perkembangan institusi, tugas pokok dan
fungsi PTK berkembang melalui beberapa tahapan. Yang pertama adalah tahapan
The Old HTA mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk menjawab pertanyaan
apakah suatu obat atau cara pengobatan itu aman dan manjur bagi pengguna. Pada
tahun 1990 berkembang tahapan The New HTA, tugas pokok dan fungsinya adalah
menjawab pertanyaan “Apakah sebuah teknologi bersifat cost-effective dalam
memperbaiki kualitas hidup atau menurunkan angka kematian kelompok subyek
yang menerimanya?” Selanjutnya muncul tahap The Need Based HTA yang
memberi tugas pada HTA untuk menilai dampak teknologi terhadap masyarakat
yang membutuhkan (tidak hanya individu) yang mendapatkan intervensi
menggunakan teknologi. Akhirnya pada tahun 1999 setelah berkembang konsep
evidence based medicine muncul model pendekatan terbaru, yaitu the Evidence-
Based Health Technology Assessment yang merangkum semua tahap sebelumnya
dan melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan EBM.
Di Indonesia PTK dibentuk pertama kali sebagai bagian dari unit analisis
kebijakan Direktorat Jenderal Pelayanan Medis, Departemen Kesehatan tahun 2003
dengan nama Tim Teknis Penapisan Teknologi Kesehatan. Diskusi tentang PTK
sudah dimulai sejak tahun 2001 saat diselenggarakan seminar dalam rangka hari
ulang tahun RS Fatmawati ke-40 yang bertajuk Health Technology Assessment,
Evidence Based Medicine and Clinical Governance. Pada tahun 2002 atas
undangan Kepala Divisi HTA and Clinical Practice Guidelines, Ministry of Health
Malaysia, beberapa orang dokter Indonesia mengikuti pelatihan PTK yang
diselenggarakan di Johor Bahru. Setelah pelatihan tersebut, Tim Teknis Penapisan
Teknologi Kesehatan kemudian dibentuk oleh Departemen Kesehatan. Walaupun
tidak banyak dipublikasi, namun sampai tahun 2013 Tim Teknis Penapisan
Teknologi Kesehatan telah melakukan puluhan kajian teknologi kesehatan (namun
tanpa disertai analisis ekonomi kesehatan secara formal). Beberapa kajian di
antaranya sudah diadopsi sebagai kebijakan nasional misalnya pemberian vitamin
K pada bayi baru lahir. Diseminasi hasil kajian PTK pada saat tersebut merupakan
masalah antara lain oleh karena keterbatasan anggaran. Secara resmi PTK
Indonesia telah diterima menjadi anggota HTA-International, dan telah berperan
dalam pelbagai forum internasional (Kemenkes, 2017).

1.2 Definsi HTA


HTA (Health Technology Assessment) atau dalam Bahasa Indonesia di
kenal dengan Penilaian Teknologi Kesehatan merujuk pada evaluasi sistematik
terhadap karakteristik dan dampak distribusi serta penggunaan teknologi kesehatan.
Evaluasi sistematik tersebut bersifat multidisiplin yang mencakup aspek keamanan,
efikasi, efektivitas, sosial, ekonomi, organisasi, manajemen, etika, hukum, budaya,
dan agama (Kemenkes, 2017). Sedangkan menurut WHO, HTA dapat didefinisikan
sebagai “the systematic evaluation of properties, effects, and/or impacts of health-
care technology” (WHO, 2011).
1.3 Tujuan HTA
To inform technology-related policy-making in health care, and thus
improve the uptake of cost-effective new technologies and prevent the uptake of
technologies that are of doubtful value for the health system (WHO, 2011).

1.4 Klasifikasi dan Ruang Lingkup PTK/ HTA


Teknologi kesehatan dapat diklasifikasikan:
 Berdasarkan pada Jenis Teknologi yang Digunakan
 Obat, misalnya antibiotik, aspirin, statin
 Zat biologis, seperti vaksin, produk darah, terapi sel
 Alat, misal pacu jantung, kit uji diagnostik
 Tata laksana medis dan bedah, misal penutupan defek jantung bawaan,
apendektomi, minimally invasive surgery
 Sistem penunjang, misalnya sistem rekam medis elektronik, sistem
telemedicine, formularium obat, bank darah
 Sistem organisasi dan manajerial: misal sistem asuransi, diagnostic related
group (DRG)
 Berdasarkan pada Tujuan atau Manfaat Penggunaan Teknologi
 Promotif yakni semua kegiatan dalam bidang kesehatan yang
mengutamakan pengenalan aspek kesehatan, anjuran hidup sehat dan
sebagainya.
 Preventif, yakni kegiatan yang bertujuan untuk mencegah penyakit atau
mengurangi risiko, atau membatasi gejala sisa, misalnya program imunisasi,
program pengendalian infeksi di rumah sakit.
 Skrining adalah prosedur deteksi dini penyakit pada subyek tanpa keluhan,
misalnya: pap smear, mamografi, uji tuberkulin.
 Diagnostik yakni proses untuk menentukan penyakit atau kondisi kesehatan
pada subyek dengan gejala atau tanda klinis, misalnya EKG, MRI,
kateterisasi jantung.
 Kuratif yakni kegiatan untuk menyembuhkan, atau mengurangi penderitaan
akibat penyakit, mengendalikan penyakit atau cacat yang dapat terjadi akibat
penyakit.
 Rehabilitatif adalah kegiatan untuk mengembalikan, mempertahankan atau
meningkatkan kapasitas fisis atau mental pasien agar dapat berfungsi
kembali, misalnya program latihan untuk pasien pasca-stroke, olah raga
pasca-serangan jantung.
 Perawatan paliatif yang berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
dan keluarga akibat penyakit yang mengancam jiwa, melalui pengurangan
dan pencegahan penderitaan, dengan cara identifikasi dini dan kajian
paripurna serta penanganan nyeri dan masalah lain, secara fisis, psikis, dan
spiritual.
 Berdasarkan pada Perkembangan dan Pemanfaatannya
 Teknologi mendatang: masih dalam konsep, antisipasi, atau dalam
tahapan awal pengembangan.
 Teknologi dalam tahapan eksperimental: dalam pengujian pada binatang
atau model lain.
 Teknologi dalam tahap evaluasi pada penggunaannya terhadap manusia
untuk kondisi tertentu.
 Teknologi terbukti, telah digunakan oleh pemberi jasa dalam tata laksana
penyakit atau kondisi kesehatan tertentu.
 Teknologi kuno atau tertinggal – teknologi telah digantikan oleh teknologi
lain, atau teknologi yang terbukti tidak efektif atau bahkan berbahaya
(Kemenkes, 2017).

1.5 Alasan Diperlukannya HTA/PTK


 Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang amat cepat, termasuk
berkembangnya spesialisasi dan subspesialisasi yang memiliki karakteristik
khas dan masing-masing memerlukan teknologi tersendiri.
 Terbatasnya sumber daya ekonomi, baik di negara yang sedang berkembang
maupun negara maju. Penerapan teknologi selalu memiliki dimensi ekonomi;
makin canggih teknologi yang digunakan, cenderung makin mahal biaya yang
harus dikeluarkan.
 Terdapatnya banyak bukti bahwa teknologi kesehatan tertentu yang digunakan
selama ini ternyata tidak bermanfaat atau bahkan berbahaya, namun masih ada
yang menggunakannya
 Di lain sisi terdapat bukti bahwa banyak teknologi kesehatan yang bermanfaat
namun tidak digunakan atau dimanfaatkan sangat terlambat dalam pelayanan
kesehatan (Kemenkes, 2017).
1.6 Metode Penilaian Teknologi Kesehatan
Pelaksanaan penilaian teknologi kesehatan (PTK) dapat dilakukan
dengan cara mengumpulkan data primer, melakukan kajian integratif terhadap data
sekunder, atau gabungan kedua cara tersebut.
 Data Primer
Data primer adalah data yang diperlukan untuk PTK, yang
dikumpulkan oleh tim. Dalam aspek klinis pengumpulan data primer dapat
berupa peninjauan on the spot ke lokasi pelayanan kesehatan untuk memastikan
apakah alat berfungsi baik, apakah keamanan terjaga, dan seterusnya; namun
hal tersebut jarang dilakukan. Data primer dapat pula dikumpulkan dari
berbagai sumber, misalnya rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Data
primer dari rekam medis lebih sering digunakan sebagai latar belakang
mengapa perlu dilakukan PTK, atau PTK rumah sakit (hospital based HTA),
atau tataran regional. Data primer yang harus diperoleh secara lokal / nasional
adalah data untuk keperluan analisis ekonomi. Berapa harga obat, alat, biaya
operasi, honorarirum dokter dan lainnya harus diperoleh dari data lokal.
 Data Sekunder
Aspek klinis PTK di mana pun umumnya dilakukan dengan menggunakan data
sekunder yang dikenal dengan metode integratif atau sintesis, yakni
merangkum informasi atau data yang ada. Integrative literature terdiri atas
tinjauan pustaka, systematic review, serta meta-analisis.
BAB III

GAMBARAN UMUM DAN PEMBAHASAN

1.1 GAMBARAN UMUM


Di Asia, jumlah pasien GGT yang menerima terapi pengganti ginjal
diperkirakan akan meningkat dua kali lipat, dari 2,6 juta pada tahun 2010 menjadi
5,4 juta pada tahun 2030. Sementara di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS, 2013) menunjukkan bahwa 0,2% penduduk Indonesia berisiko
untuk mengalami GGT. Ada tiga pilihan terapi bagi pasien GGT, yakni
hemodialisis (HD), dialisis peritoneal (DP), dan transplantasi ginjal. Mengingat
insidens GGT per tahun adalah 35.000 pasien dan prevalens 120.000 pasien maka
transplantasi ginjal bukan merupakan pilihan yang mampu laksana dikarenakan
kelangkaan organ hidup dan kurang diterimanya penggunaan donor cadaver.
Indonesian Renal Registry (IRR) mencatat HD sebagai terapi yang paling dominan,
menempati 80% dari seluruh pasien GGT dan hanya 2% yang memilih DP.
Diperkirakan hanya 53% pasien yang memperoleh akses dialisis dan hampir
seluruhnya menjalani HD, meskipun DP lebih murah dibandingkan HD. Skema
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis premi yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diluncurkan pada awal tahun 2014.
JKN bertujuan untuk mencapai cakupan semesta, yang diperkirakan berjumlah 250
juta penduduk pada tahun 2019. Semua terapi dialisis ditanggung biayanya dalam
skema jaminan ini. Walaupun demikian, diperkirakan hanya 53% pasien yang
memperoleh akses dialisis dan hampir seluruhnya menjalani HD, meskipun DP
lebih murah dibandingkan HD. Dengan cakupan dialisis saat ini, BPJS telah
mengeluarkan biaya lebih dari 1,5 triliun rupiah pada tahun 2014, menempati
urutan kedua dalam biaya terbesar.Karena biaya dialisis sangat membebani sistem
kesehatan, berbagai evaluasi ekonomi telah dilakukan untuk menilai dampak
finansial terapi dialisis di berbagai tempat di dunia (HTA dan Kemenkes, 2015).
Dalam makalah ini yang di dukung oleh informasi yang di berikan pihak
HTA dan Kemenkes (2015) menyangkut tiga opsi kebijakan dalam melakukan
evaluasi ekonomi berbasis pemodelan dan analisis dampak anggaran pada
pemilihan modalitas dialisis sebagai terapi pertama, baik HD maupun DP, bagi
pasien GGT. Tiga opsi tersebut diantaranya adalah kebijakan HD sebagai terapi
pertama, yaitu menawarkan HD sebagai terapi awal diikuti dengan DP bila
diperlukan, kebijakan DP sebagai terapi pertama, yaitu menawarkan DP sebagai
terapi awal diikuti dengan HD bila diperlukan dan Opsi terapi suportif, yaitu
menyediakan terapi suportif terbaik tanpa dialisis atau transplantasi ginjal.
1.1 Definisi HD (Hemodialisis) dan PD (Peritoneal Dialisis)
 HD (Hemodialisis)
Hemodialisis merupakan suatu metode terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan dialiser atau selaput membran semi permeabel untuk
mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien GGT. Pembedahan minor
diperlukan untuk membuat akses pembuluh darah. Di Indonesia, HD
merupakan terapi medis paling umum bagi pasien GGT. HD dikerjakan di unit
dialisis, 2-3 kali seminggu dan setiap sesinya memerlukan waktu sekitar 4-5
jam (HTA dan Kemenkes, 2015).

Gambar 1.1 http://www.gomuslim.co.id/read/news/2017/07/17/4690/mesin-hemodialisis-canggih-


akan-lengkapi-fasilitas-di-rsud-haji-makassar.html
 DP (Dialisis Peritoneal)
Dialisis peritoneal melibatkan pemindahan cairan melewati membran
yang memisahkan dua kompartemen, yaitu darah di kapiler peritoneal yang
mengandung kelebihan urea, kreatinin, kalium dan hasil metabolisme tubuh
lainnya, serta cairan dialisis di rongga peritoneum yang mengandung natrium,
klorida, laktat atau bikarbonat. Dalam proses dialisis, difusi, ultrafiltrasi serta
absorpsi terjadi bersamaan. Tindakan ini tidak terikat pada mesin dan pasien
dapat melakukan aktivitas normal dengan cairan di dalam abdomen. DP
memerlukan beberapa kali penggantian cairan, biasanya 3-4 kali sehari.
Walaupun demikian, pasien perlu waspada akan kemungkinan peritonitis
sebagai salah satu komplikasi DP yang paling sering. Dialisis peritoneal dapat
dilakukan tanpa bantuan tenaga medis, pasien harus mandiri dan memiliki
kesadaran akan kebersihan pribadi. Hasil studi sebelumnya menyatakan bahwa
pasien DP memiliki ketahanan hidup yang sama atau bahkan lebih baik
daripada HD, terutama di tahun-tahun pertama. Selain itu, dalam hal kualitas
hidup, banyak hasil studi yang mengindikasikan pasien DP merasa lebih puas
dibandingkan HD (HTA dan Kemenkes, 2015).

Gambar 1.2 http://slideplayer.com/slide/10174454/


1.1 Pembiyaan
1.1.1 Parameter model
Di dalam model, parameter terdiri atas parameter efektivitas
klinis, biaya, dan kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan (utilitas).
Data dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder.
1.1.2 Biaya tiap opsi kebijakan
Dengan menggunakan perspektif sosietal, total biaya terapi
suportif adalah Rp 1.774.266,00 sementara DP sebagai terapi pertama
adalah Rp 696.644.562,00 dan HD sebagai terapi pertama sebesar Rp
735.464.540,00. Bila menggunakan perspektif penyedia layanan
kesehatan, total biaya terapi suportif adalah Rp 1.096.211,00, DP sebagai
terapi pertama sebesar Rp 647.041.474,00 dan HD sebagai terapi pertama
yaitu Rp 672.449.060,00. Dari kedua perspektif ini, HD sebagai terapi
pertama mengeluarkan biaya paling mahal dari ketiga pilihan ini serta
mengindikasikan beban besar yang ditanggung rumah sakit, sementara
terapi suportif mengeluarkan biaya paling minim, seperti yang ditunjukkan
pada tabel di bawah ini. Penerapan kebijakan DP sebagai terapi pertama
mengeluarkan biaya lebih rendah dibandingkan HD sebagai terapi pertama,
tetapi menghasilkan QALY (Quality Adjusted Life Year) lebih
dibandingkan opsi lainnya.
1.1.3 Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER)
Dengan membandingkan biaya dan QALY dari kebijakan DP dan
HD sebagai terapi pertama dengan terapi suportif pada pasien berusia 50
tahun menggunakan perspektif sosietal dan diskon 3%, biaya inkremental
DP sebagai terapi pertama lebih rendah dibandingkan HD sebagai terapi
pertama, sedangkan inkremental QALY lebih tinggi. ICER DP sebagai
terapi pertama adalah Rp 193.292.504,00 per QALY lebih rendah
dibandingkan HD sebagai terapi pertama dengan nilai ICER Rp
207.424.333,00 per QALY. BIla nilai threshold yang digunakan adalah Rp
43.000.000,00 maka baik DP maupun HD sebagai terapi pertama tidak
cost-effective.

1.1.4 Analisis Dampak Biaya (Budget Impact Analysis)


Analisis dampak biaya dilakukan untuk kurun waktu lima tahun
dengan menggunakan perspektif penyedia layanan kesehatan untuk
mengestimasi dukungan finansial terapi dialisis. Cakupan dialisis saat ini
diperkirakan 53% dengan jumlah total pasien dalam setahun 63.818 orang
dan jumlah pasien baru 17.913 orang di akhir tahun 2014. Dengan
memperkenalkan DP dan HD sebagai terapi pertama, anggaran yang
diperlukan berturut-turut mencapai 6,7 triliun rupiah dan 8 triliun rupiah di
tahun pertama, serta 39,4 triliun serta 87,7 triliun rupiah dalam lima tahun.
Bila terdapat peningkatan akses dialisis menjadi 100%, diperlukan biaya
sebesar 74,5 triliun rupiah dan 165,7 triliun rupiah dalam lima tahun untuk
menerapkan kebijakan DP dan HD sebagai terapi pertama.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
berdasarkan hasil analisis kami, yang memiliki cost effectiveness lebih tinggi
adalah DP (Dialisis Peritonela ) sesuai dg rincian biaya diatas. Pihak rumah
sakit memperhitungkan kembali pembiayaan secara rinci dan jelas , dengan
mempertimbangkan baik dalam segi ekonomi dan dampak pelayanan
kesehatan yang di terima pasien
Daftar Pustaka

http://ppjk.kemkes.go.id/download/efektivitas-klinis-dan-evaluasi-ekonomi-
hemodialisis-dan-continuous-ambulatory-peritoneal-dialysis-pada-pasien-gagal-
ginjal-terminal-di-indonesia/ disusun oleh HTA dan Kemenkes, 2015

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://www.depkes.go.id/arti
cle/print/18030700007/cegah-dan-kendalikan-penyakit-ginjal-dengan-cerdik-dan-
patuh.html

depkes tahun 2018.

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://www.depkes.go.id/arti
cle/print/16031000001/hari-ginjal-sedunia-2016-cegah-nefropati-sejak-dini.html

depkes 2016.

http://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN%20RENAL%20REGIS
TRY%202014.pdf

http://slideplayer.com/slide/10174454/

http://www.gomuslim.co.id/read/news/2017/07/17/4690/mesin-hemodialisis-canggih-
akan-lengkapi-fasilitas-di-rsud-haji-makassar.html

Anda mungkin juga menyukai