TINJAUAN PUSTAKA
1.
1.1 Konsep Gagal Napas
1.1.1 Definisi
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang
mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbondioksida dan
oksigenasi yang tidak adekuat. (Patricia, 2013).
Gagal Nafas adalah kondisi ketidakmampuan sistem respirasi untuk
memasukan oksigen yang cukup dan membuang karbondioksida, yang disebabkan
oleh kelainan sistem pernafasan dan sistem lainnya. (Jurnal.Kedokteran Syiah
Kuala, Volume 13 Nomor 3/Desember 2013)
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan
asidosis (shvoong, 2011).
1.1.2 Etiologi
Gagal napas akut dapat disebabkan oleh berbagai penyakit paru dan non
paru. Gagal napas dapat terjadi akibat malfungsi pusat pernapasan, system
neuromuscular pernapasan yang abnormal, penyakit dinding dada, obstruksi jalan
napas, atau gangguan parenkim paru.
1.1.3 Pathofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara
strukturan maupun fungsinya sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal
nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti
bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam. Pasien mengalami toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang mmburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas kronik struktur paru kembnali keasalnya. Pada gagal nafas kronik struktur
paru mengalami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah terjadi frekueni pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi pernapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari itu tindakan yang
dialkukan memberi batntuan ventilaor karena kerja pernapasan menjadi tinggi
sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10 –
20 ml/kg)
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obtruksi jalan nafas atas. Pusat pernapasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak.
Pada kasus pasien dengan anestesi, cedera kepala,stroke, tumor otal,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernapasan. Sehingga pernapasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernapasan tidak adekuat.
1.1.4 Patways
Ketidakefektifan Perfusi
Jaringan Perifer
1.1.5 Klasifikasi
Gagal napas akut diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia akut
(tipe I), gagal napas hiperkapnia akut (tipe II), atau gabungan gagal napas
hiperkapnia dan hipoksemia. Gagal napas tipe I adalah defek langsung pada
oksigenasi. Gagal napas tipe II adalah defek langsung pada ventilasi. Akan tetapi
pada banyak kasus, perbedaannya tidak jelas sehingga banyak pasien
menunjukkan tanda dan gejala gabungan gagal napas tipe I dan tipe II.
a. Gagal napas hipoksemia akut (tipe I)
Gagal napas akut tipe I adalah hasil transport oksigen abnormal sekunder
akibat penyakit parenkim paru, dengan peningkatan ventilasi alveolar yang
menyebabkan PaCO2 rendah. Masalah utama pada gagal napas akut tipe I
adalah ketidakmampuan mencapai oksigenasi yang adekuat, yang ditandai
dengan PaO2 50 mm Hg atau kurang dan PaCO2 40 mm Hg atau kurang.
Penyebab hipoksemia yang paling sering terjadi adalah ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi. Akan tetapi pirau kanan ke kiri dan hipoventilasi alveolar
adalah penyebab gagal nafas tipe I yang paling signifikan secara klinis.
b. Gagal napas hiperkapnia akut (tipe II)
Gagal napas akut tipe II atau gagal ventilasi adalah hasil ventilasi alveolar
yang tidak adekuat dan ditandai dengan peningkatan nyata karbon dioksida
dengan preservasi relative oksigenasi. Hipoksemia disebabkan oleh penurunan
tekanan oksigen alveolar (PaCO2) dan sebanding dengan hiperkapnia.
Kegagalan ini menunjukkan abnormalitas ogsigenasi darah dan
ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mengeliminasi karbondioksia, pada
tipe ini PaO2 pasien dapat rendah (60 mmHg) sedangkan PaCO 2 dpat naik (45
mmHg) dan dapat dibagi menjadi kegagalan pada sistem respirasi dapat terjadi
dengan atau tanpa gangguan eliminasi karbondioksida. Akibatnya gagal nafas
dibagi menjadi dua tipe utama yaitu kegagalan hipokksia dan kegagalan
hipoksemia hiperkapnea.
1.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis hipoksemia adalah dispnea walaupun ini mungkin benar-
benar tidak ada pada kegagalan ventilasi yang disebabkan depresi pusat
pernafasan. Gejala hipoksemia lainnya yang terjadi adalah sianosis, gelisah,
kebingungan, ansietas, delirium, takipnea, hipertensi, distritmia jantung, dan
tremor. Sianosis perifer pada kulit, bibir, atau bantalan kuku menunjukkan adanya
hipoksemia arteri yang berat, biasanya dengan Pao 2 kurang dari 50 mm Hg.
Gejala utama hiperkapnia adalah dispnea dan sakit kepala. Manisfestasi
kliinis hiperkapnia lainnya adalah hiperemia perifer dan konjungtiva, hipertensi,
takikardia, takipnea, ganguan kesadaran, papilledema, dan asteriksis. Narkosis
karbon dioksida yang tidak dikoreksi menyebabkan penurunan kewaspadaan,
diorientasi, peningkatan tekanan intracranial, dan pada akhirnya tidak sadar.
Temuan fisik lain pada pemeriksaan dapat mencakup penggunaan otot bantu
pernafasan, retraksi interkosta atau supraklavikula, dan gerakan abdomen
paradoksikal jika terjadi kelemihan diafragma atau keletihan. Lihat Tabel 26-15
untuk penjelasan lebih rinci mengenai temuan klinis.
1.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan suportif adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti berikut ini :
a) Atasi Hipoksemia
Terapi oksigen
Pada keadaaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas
dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa
dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh
hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnea.
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien
benar benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus
jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan
harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien dengan keadaan hipoksemia akaut. Oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan
cacat tetap dan kemtian. Pada kondisi ini oksigen haru diberikan dalam waktu
pednek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping.bila diperlukan oksigen dpat diberikan terus menerus.
b) Atasi hiperkapnia : perbaiki ventilasi
Jalan napas (airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi dan pemberian
obat obat pernapsan . pada semua pasien gangguan pernapasan harus
dipikirkan dan diperiksa adanya obtruksi jalan napas atas. Pertimbangan
untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotraceal tube (ETT) berdasarkan
manfaat dan resiko jalan napas artifisal dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas artificial adalah trauman insersi, keruskanan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar,
resiko infeksi, emningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan
jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obtruksi jalan napas atas, menjadi
tekanan positif dan PEEP, menfasilitasi penyedotan sekret, dan rute
bronkoskopi fibreopatik.
c) Terapi Suportif Lainnya
1. Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan
ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan.
Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan
pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien
melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada,
punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainagepostural. Kadang-
kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
2. Bronkodilator(Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara inhalasi lebih sedikit
sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergikyang dua hingga
empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan
dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi
pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian,
dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan
hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan
disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke
intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.
3. Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrinsik. Obat- obat ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan
bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan.
Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan
bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu
dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida
tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk
nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan
retensi urin.
4. Teofilin.
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta
adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada AMP siklik (CAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin,
stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek
samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih
parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.
5. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak
diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid
aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu
digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid
parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air,
miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning.
6. Ekspektoran dan nukleonik.
Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik
sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin
berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental.
Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki
pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan
langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit (3-
5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga
dapat diteteskan sebelum penyedotan (suction ing) dan bila berhasil akan
keluar sekret yang lebih banyak.
7. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab
gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
1.1.9 Komplikasi
1) Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi
organ.
2) Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian.
3) Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai.
Adanya edema paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan
menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.
SLKI
Pertukaran Gas L01003
Definisi
Oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-
kapiler dalam batas normal.
Ekspektasi Membaik
Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Tingkat 1 2 3 4 5
Kesadaran
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Dispnea 1 2 3 4 5
Bunyi napas 1 2 3 4 5
tambahan
Pusing 1 2 3 4 5
Penglihatan 1 2 3 4 5
kabur
Diaforesis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Napas cuping 1 2 3 4 5
hidung
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
PCO2 1 2 3 4 5
PO2 1 2 3 4 5
Takikardia 1 2 3 4 5
pH arteri 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Pola napas 1 2 3 4 5
Warna kulit 1 2 3 4 5
SIKI
Pemantauan Respirasi I.01014
Definisi
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan
napas dan keefektifan pertukaran gas.
Tindakan
Observasi
-Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
-Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi, kussmul,
Cheyne-Stokes, Biot, ataksisk)
-Monitor kemampuan batuk efektif
-Monitor adanya produksi sputum
-Monitor adanya sumbatan jalan napas
-Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
-Auskultasi bunyi napas
-Monitor nilai AGD
-Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
-Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
-Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
-Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola pemberian oksigen pemberian sokongan
napas buatan melalui alat yang diinsersikan dalam trakea
Tindakan
Observasi
- Periksa indikasi ventilator mekanik (mis. kelelahan otot napas, disfungsi
neurologis, asidosis respiratorik)
- Monitor efek ventilator terhadap status oksigen (mis. bunyi paru, X Ray
paru, AGD, SaO2, SvO2, ETCO2)
- Monitor perlunya penyapihan ventilator
- Monitor efek negatif ventilator (mis. devasi trakea, barotrauma,
volutrauma,penurunan curah jantung)
- Monitor gejala peningkatan pernafasan (mis. denyut jantung atau
pernafasan, peningkatan tekanan darah, diaforesis, perubahan status
mental
- Monitor kondisi yang meningkatkan konsumsi oksigen (mis. demam,
menggigil, kejang dan nyeri)
- Monitor gangguan mukosa oral, nasal, trakea dan laring
Terapeutik
- Atur posisi kepala 45-60° untuk mencegah aspirasi
- Reposisi pasien setiap 2 jam
- Lakukan perawatan mulut secara rutin
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir sesuai kebutuhan
- Dokumentasi respon terhadap ventilator
Kolaborasi
- Kolaborasi pemilihan metode ventilator (mis. kontrol volume, kontrol
tekanan atau gabungan
- Kolaborasi pemberian agen pelumpuh otot, sedatif, analgesik, sesuai
kebutuhan
- kolaborasi penggunaan PS atau PEEP untuk meminimalkan hipoventilasi
alveolus
SLKI
Toleransi aktivitas L.05047
Definisi
Respon fisiologis terhadap aktivitas yang membutuhkan tenaga
Ekspetasi meningkat
Kriteria hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
menurun meningka
t
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Saturasi oksigen 1 2 3 4 5
Kemudahan dalam 1 2 3 4 5
melakukan aktivitas
Kecepatan berjalan 1 2 3 4 5
Kekuatan tubuh 1 2 3 4 5
bagian atas
Kekuatan tubuh 1 2 3 4 5
bagian bawah
Toleransi dalam 1 2 3 4 5
menaiki tangga
meningkat Cukup sedang Cukup menurun
meningkat menurun
Keluhan lelah 1 2 3 4 5
Dispepsia saat 1 2 3 4 5
beraktivitas
Dipsnea saat 1 2 3 4 5
beraktivitas
Perasaan lemah 1 2 3 4 5
Artimia saaat 1 2 3 4 5
aktivtias
Artimia setelah 1 2 3 4 5
beraktivitas
sianosis 1 2 3 4 5
memburuk Cukup sedang Cukup membaik
memburuk membaik
Warna kulit 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Frekuensi mapas 1 2 3 4 5
EKG iskemia 1 2 3 4 5
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
SDKI
Bersihan jalan nafas (L.01001)
Defisini: kemampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahakan jalan nafas tetap paten
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menuru meningkat
n
Batuk efektife 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menuru meningkat
n
Produksi sputum 1 2 3 4 5
Mengi 1 2 3 4 5
Wheezing 1 2 3 4 5
Mekonium (pada 1 2 3 4 5
neunatus)
Dispnea 1 2 3 4 5
Ortopnea 1 2 3 4 5
Sulit bicara 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menuru meningkat
n
Frekuensi nafas 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
SLKI
Cukup
Menurun Cukup Sedang Meningkat
meningkat
Menurun
Tingkat kesadaran 1 2 3 4 5
Cukup
Menurun Cukup Sedang Meningkat
meningkat
Menurun
Dispnea 1 2 3 4 5
Bunyi nafas 1 2 3 4 5
tambahan
Pusing 1 2 3 4 5
Penglihatan kabur 1 2 3 4 5
Diaforesis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Nafas cuping 1 2 3 4 5
hidung
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menurun meningkat
PCO2 1 2 3 4 5
PO2 1 2 3 4 5
Takikardia 1 2 3 4 5
pH arteri 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
Warna kulit 1 2 3 4 5
SIKI
Asih, Niluh Gede Yasmin. (2010). Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: DPP PPNI