Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA
1.
1.1 Konsep Gagal Napas
1.1.1 Definisi
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang
mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbondioksida dan
oksigenasi yang tidak adekuat. (Patricia, 2013).
Gagal Nafas adalah kondisi ketidakmampuan sistem respirasi untuk
memasukan oksigen yang cukup dan membuang karbondioksida, yang disebabkan
oleh kelainan sistem pernafasan dan sistem lainnya. (Jurnal.Kedokteran Syiah
Kuala, Volume 13 Nomor 3/Desember 2013)
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan
asidosis (shvoong, 2011).

1.1.2 Etiologi
Gagal napas akut dapat disebabkan oleh berbagai penyakit paru dan non
paru. Gagal napas dapat terjadi akibat malfungsi pusat pernapasan, system
neuromuscular pernapasan yang abnormal, penyakit dinding dada, obstruksi jalan
napas, atau gangguan parenkim paru.

Penyebab Gagal Napas Akut


Penyakit Paru /Jalan Napas Intrinsik d. Deformitas dinding dada
Obstruksi Jalan Napas Besar e. Cedera traumatic pada dinding
a. Deformitas konginetal dada : flail chest
b. Laringitis akut, epiglottis f. Obesitas
c. Benda asing Gangguan Otot Pernapasan dan Taut
d. Tumor Intrinsik Neuromuskular
e. Tekanan ekstrinsik a. Miastenia gravis dan gangguan
f. Cedera traumatic mirip miastenia
g. Pembesaran tonsil dan adenoid b. Distrofi muscular
h. Apnea tidur obstruktif c. Polimiositis
Penyakit Bronkial d. Botulisme
a. Bronkitis kronis e. Obab paralisis otot
b. Asma f. Hipokalemia berat dan
c. Bronkiolitis akut hipofosfatemia
Penyakit Parenkim Ganggua Saraf Perifer dan Medula
a. Emfisema pulmonal Spinalis
b. Fibrosis pulmonal dan penyakit a. Poliomielitis
infiltrative difus kronis lainnya b. Sindrom Guillain-Barre
c. Pneumonia berat c. Trauma medulla spinalis
d. Cedera paru akut akibat (kuadriplegia)
berbagai penyebab (sindrom d. Sklerosis lateral amiotrofik
gawat napas akut) e. Tetanus
Penyakit Kardiovaskuler f. Sklerosis multiple
a. Edema jantung paru Gangguan Sistem Saraf Pusat
b. Embolisme paru massif atau a. Overdosis obat sedative dan
berulang narkotik
c. Vaskulitis pulmonal b. Trauma kepala
Gangguan Ekstrapulmonal c. Hipoksia serebral
Penyakit Pleura dan Dinding Dada d. Cedera serebrovaskular
a. Pneumotoraks e. Infeksi system saraf pusat
b. Efusi pleura f. Kejang epileptic
c. Fibrotoraks g. Gangguan metabolic dan
endokrin
h. Poliomielitis bulbar
i. Hipoventilasi alveolar primer
j. Sindrom apnea tidur

1.1.3 Pathofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara
strukturan maupun fungsinya sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal
nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti
bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam. Pasien mengalami toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang mmburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas kronik struktur paru kembnali keasalnya. Pada gagal nafas kronik struktur
paru mengalami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah terjadi frekueni pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi pernapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari itu tindakan yang
dialkukan memberi batntuan ventilaor karena kerja pernapasan menjadi tinggi
sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10 –
20 ml/kg)
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obtruksi jalan nafas atas. Pusat pernapasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak.
Pada kasus pasien dengan anestesi, cedera kepala,stroke, tumor otal,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernapasan. Sehingga pernapasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernapasan tidak adekuat.
1.1.4 Patways

Trauma Kelainan neurologis Penyakit Paru

Gangguan saraf pernafasan & otot pernafasan

Peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapirel

Gangguan epithelium alveolar Gangguan endhotelium Adanya usaha


kapiler peningkatan pernafasan

Penumpukan cairan alveoli


Cairan masuk ke Tampak adanya retraksi
interstitial dada, penggunaan otot
Oedema pulmo
bantu pernafasan
Peningkatan tekanan
Penurunan complain paru jalan nafas Ketidakefektifan Pola
Nafas
Cairan surfaktan menurun Kehilangan fungsi silia
saluran pernapasan
Gangguan penggembangan
paru (atelectasis) Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
Kolaps alveoli
Gangguan Pertukaran
Ventilasi dan perfusi tidak Gas
seimbang

Hipoksemia, Hiperkapnea O2 , O2 Dyspnea

Sianosis Perifer, Akral


hangat, kulit pucat

Ketidakefektifan Perfusi
Jaringan Perifer
1.1.5 Klasifikasi
Gagal napas akut diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia akut
(tipe I), gagal napas hiperkapnia akut (tipe II), atau gabungan gagal napas
hiperkapnia dan hipoksemia. Gagal napas tipe I adalah defek langsung pada
oksigenasi. Gagal napas tipe II adalah defek langsung pada ventilasi. Akan tetapi
pada banyak kasus, perbedaannya tidak jelas sehingga banyak pasien
menunjukkan tanda dan gejala gabungan gagal napas tipe I dan tipe II.
a. Gagal napas hipoksemia akut (tipe I)
Gagal napas akut tipe I adalah hasil transport oksigen abnormal sekunder
akibat penyakit parenkim paru, dengan peningkatan ventilasi alveolar yang
menyebabkan PaCO2 rendah. Masalah utama pada gagal napas akut tipe I
adalah ketidakmampuan mencapai oksigenasi yang adekuat, yang ditandai
dengan PaO2 50 mm Hg atau kurang dan PaCO2 40 mm Hg atau kurang.
Penyebab hipoksemia yang paling sering terjadi adalah ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi. Akan tetapi pirau kanan ke kiri dan hipoventilasi alveolar
adalah penyebab gagal nafas tipe I yang paling signifikan secara klinis.
b. Gagal napas hiperkapnia akut (tipe II)
Gagal napas akut tipe II atau gagal ventilasi adalah hasil ventilasi alveolar
yang tidak adekuat dan ditandai dengan peningkatan nyata karbon dioksida
dengan preservasi relative oksigenasi. Hipoksemia disebabkan oleh penurunan
tekanan oksigen alveolar (PaCO2) dan sebanding dengan hiperkapnia.
Kegagalan ini menunjukkan abnormalitas ogsigenasi darah dan
ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mengeliminasi karbondioksia, pada
tipe ini PaO2 pasien dapat rendah (60 mmHg) sedangkan PaCO 2 dpat naik (45
mmHg) dan dapat dibagi menjadi kegagalan pada sistem respirasi dapat terjadi
dengan atau tanpa gangguan eliminasi karbondioksida. Akibatnya gagal nafas
dibagi menjadi dua tipe utama yaitu kegagalan hipokksia dan kegagalan
hipoksemia hiperkapnea.
1.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis hipoksemia adalah dispnea walaupun ini mungkin benar-
benar tidak ada pada kegagalan ventilasi yang disebabkan depresi pusat
pernafasan. Gejala hipoksemia lainnya yang terjadi adalah sianosis, gelisah,
kebingungan, ansietas, delirium, takipnea, hipertensi, distritmia jantung, dan
tremor. Sianosis perifer pada kulit, bibir, atau bantalan kuku menunjukkan adanya
hipoksemia arteri yang berat, biasanya dengan Pao 2 kurang dari 50 mm Hg.
Gejala utama hiperkapnia adalah dispnea dan sakit kepala. Manisfestasi
kliinis hiperkapnia lainnya adalah hiperemia perifer dan konjungtiva, hipertensi,
takikardia, takipnea, ganguan kesadaran, papilledema, dan asteriksis. Narkosis
karbon dioksida yang tidak dikoreksi menyebabkan penurunan kewaspadaan,
diorientasi, peningkatan tekanan intracranial, dan pada akhirnya tidak sadar.
Temuan fisik lain pada pemeriksaan dapat mencakup penggunaan otot bantu
pernafasan, retraksi interkosta atau supraklavikula, dan gerakan abdomen
paradoksikal jika terjadi kelemihan diafragma atau keletihan. Lihat Tabel 26-15
untuk penjelasan lebih rinci mengenai temuan klinis.

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan fungsi ventilasi
a) Frekuensi pernapasan per menit
b) Volum tidal
c) Ventilasi semenit
d) Kapasitas vilta paksa
e) Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
f) Daya isnpirasi maksimum
g) Rasio ruang mati / volume tidal
h) PaCO2 mmHg
2. Pemeriksaan status oksigen
3. Pemriksaan status asam basa
4. Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal
pada PaO2, PaCO2, dan pH dari pasien normal; atau PaO 2 kurang dari 50
mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg dan pH <7,35
5. Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2
6. Pemantauan CO2 tidal akhir menunjukkan peningkatan
7. Hitung darah lengkap,urinalisis, kultur (darah,sputum) untuk menentukan
penyebab utama dari kondisi pasien.
8. SinarX dada dapat menunjukan penyakit yang mendasari
9. EKG, mungkin memperlihatkan bukti – bukti adanya regangan jantung di
sisi kanan, distritmia
10. Pemeriksaan hasil analisa gas darah:
a. Hipoksemia ( penurunan PaO2) 2. Hipokapnia ( penurunan PCO2)
pada tahap awal karena hiperventilasi.
b. Hiperkapnia (peningkatan PCO2) menunjukkan gagal ventilasi.
c. Alkalosis respiratori ( pH . 7,45) pada tahap dini.
d. Asidosis respiratori / metabolic terjadi pada tahap lanjut.
11. Pemeriksaan rontgent dada
a. Tahap awal : sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
b. Tahap lanjut :interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di
alveoli
12. Tes fungsi paru :
a. Penurunan komplain paru dan volum paru
b. Pirau kanan dan kiri meningkat

1.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan suportif adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti berikut ini :
a) Atasi Hipoksemia
Terapi oksigen
Pada keadaaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas
dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa
dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh
hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnea.
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien
benar benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus
jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan
harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien dengan keadaan hipoksemia akaut. Oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan
cacat tetap dan kemtian. Pada kondisi ini oksigen haru diberikan dalam waktu
pednek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping.bila diperlukan oksigen dpat diberikan terus menerus.
b) Atasi hiperkapnia : perbaiki ventilasi
Jalan napas (airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi dan pemberian
obat obat pernapsan . pada semua pasien gangguan pernapasan harus
dipikirkan dan diperiksa adanya obtruksi jalan napas atas. Pertimbangan
untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotraceal tube (ETT) berdasarkan
manfaat dan resiko jalan napas artifisal dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas artificial adalah trauman insersi, keruskanan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar,
resiko infeksi, emningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan
jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obtruksi jalan napas atas, menjadi
tekanan positif dan PEEP, menfasilitasi penyedotan sekret, dan rute
bronkoskopi fibreopatik.
c) Terapi Suportif Lainnya
1. Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan
ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan.
Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan
pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien
melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada,
punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainagepostural. Kadang-
kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
2. Bronkodilator(Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara inhalasi lebih sedikit
sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergikyang dua hingga
empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan
dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi
pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian,
dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan
hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan
disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke
intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.
3. Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrinsik. Obat- obat ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan
bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan.
Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan
bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu
dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida
tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk
nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan
retensi urin.
4. Teofilin.
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta
adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada AMP siklik (CAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin,
stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek
samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih
parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.
5. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak
diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid
aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu
digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid
parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air,
miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning.
6. Ekspektoran dan nukleonik.
Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik
sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin
berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental.
Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki
pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan
langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit (3-
5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga
dapat diteteskan sebelum penyedotan (suction ing) dan bila berhasil akan
keluar sekret yang lebih banyak.
7. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab
gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.

1.1.9 Komplikasi
1) Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi
organ.
2) Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian.
3) Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai.
Adanya edema paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan
menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.

1.2 Konsep Teori Asuhan Keperawatan


1.2.1 Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
a. Airway
1. yakinkan kepatenan jalan napas
2. berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau
nasopharyngeal)
3. jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli
anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU
b. Breathing
1. kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan
gejala yang signifikan
2. kaji saturasi oksigen
3. periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan
kemungkinan asidosis
4. berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask
5. auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada
6. periksa foto thorak
c. Circulation
1. kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda
signifikan
2. monitoring tekanan darah, tekanan darah <>
3. periksa waktu pengisian kapiler
4. pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar
5. berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel
6. pasang kateter
7. lakukan pemeriksaan darah lengkap
8. siapkan untuk pemeriksaan kultur
9. catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau
temperature kurang dari 36oC
10. siapkan pemeriksaan urin dan sputum
11. berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.
d. Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien
sepsis padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji
tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
e. Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka
dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.
2) Pengkajian Sekunder
B1 (Breathing)
a)      Inspeksi bnetuk dada
Untuk melihat seberapa berat gangguan sistem kardiovaskuler.
Bentuk dada yang biasa ditemukan adalah :
1. Bentuk dada thoraks phfisis (panjang dan gepeng)
2. Bentuk dada thoraks en bateau (thoraks dada burung)
3. Bentuk dada thoraks emsisematous (dada berbentuk seperti
tong)
4. Bentuk dada thoraks pektus ekskavatus (dada cekung ke
dalam)
Gerakan pernapasan : kaji kesimetrisan gerakan pernapasan klien
b)      Palpasi rongga dada
Tujuannya :
1. Melihat adanya kelainan pada dinding thoraks
2. Menyatakan adanya tanda penyakit paru dengan pemeriksaan
sebagai berikut :
a. Gerakan dinding thoraks saat inspirasi dan ekspirasi
b. Getaran suara : getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa
yang diletakkan pada dada klien saat klien mengucapkan
kata –kata.
c)       Perkusi
Teknik yang dilakukan adalah pemeriksa meletakkan falang
terakhir dan sebagaian falang kedua jari tengah pada tempat yang
hendak diperkusi. Ketukan ujung jari tengah tangan kanan pada jari
kiri tersebut dan lakukan gerakan bersumbu pada pergelangan
tangan. Posisi klien duduk atau berdiri.
d)      Auskultasi
Suara napas normal
1. Trakeobronkhial, suara normal yang terdengar pada trakhea
seperti meniup pipa besi, suara napas lebih keras dan pendek
saat inspirasi.
2. Bronkovesikuler, suara normal di daerah bronkhi, yaitu di
sternum atas (torakal 3 – 4)
3. Vesikuler, suara normal di jaringan paru, suara napas saat
inspirasi dan ekspirasi sama.
B2 (Blood)
a) Inspeksi
1. Inspeksi adanya parut pascapembedahan jantung. Posisi parut
dapat memberikan petunujuk mengenai lesi katup yang telah
dioperasi
2. Denyut apeks : posisinya yang normal adalah pada interkostal
kiri ke – 5 berjarak 1 cm medial dari garis midklavikula.
b) Palpasi
Tujuannya adalah mendeteksi kelainan yang tampak saat inspeksi.
Teknik yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Palpasi dilakukan dengan menggunakan telapak tangan,
kemudian dilanjutkan dengan tekanan yang sedikit keras.
2. Pemeriksa berdiri di kanan klien, minta klien duduk kemudian
berbaring telentang. Pemeriksa meletakkan tangan di
prekordium, samping sternum dan lakukan palpasi denyut
apeks.
3. Berikan tekanan yang lebih keras pada telapak tangan.
Kemudian tangan ditekan lebih keras untuk menilai kekuatan
denyut apeks.
4. Lanjutkan dengan melakukan palpasi denyut apeks
menggunakan ujung jari telunjuk dan tengah. Palpasi daerah
prekordial di samping sternum.
5. Kaji denyut nadi arteri, tarikan dan getaran denyutan.
Palpasi denyut apeks :
1. Normal pada interkosta ke – 5 (2 – 3 cm medial garis
midklavikula). Dapat tidak teraba bila klien gemuk, dinding
toraks tebal, emfisema dan lain – lain.
2. Meningkat bila curah jantung besar misalnya pada insufisiensi
aorta/mitral.
3. Impuls Parasternal dapat teraba bila pangkal telapak tangan
diletakkan tepat pada bagian kiri dari sternum dengan jari – jari
agak terangkat sedikit dari dada.
c) Perkusi
Pemeriksaan perkusi pada jantung biasanya jarang dilakukan jika
pemeriksaan foto rontgen toraks telah dilakukan. Tetapi
pemeriksaan perkusi ini tetap bermanfaat untuk menentukan adanya
kardiomegali, efusi perikardium, dan aneurisma aorta. Foto rontgen
toraks akan menunjukkan daerah redup sebagai petunjuk bahwa
jantung melebar. Daerah redup jantung akan mengecil pada
emfisema.
d) Auskultasi
1. Katup Pulmonal
Terdengar lebih jelas pada interkosta ke – 2 dan ke – 3 kiri
sternum
2. Katup aorta
Terdengar lebih jelas pada sternum, lebih rendah dan lebih
medial daripada katup pulmonal
3. Katup mitral
Terdengar lebih jelas pada sternum, dekat batas atas sendi antara
interkosta ke – 4 dan sternum
4. Katup trikuspidalis
Terdengar lebih jelas pada sternum, sesuai garis penghubung
proyeksi katup mitral dengan sendi antara sternum dengan
interkosta ke – 5 kanan.
5. Auskultasi jantung
B3 (Brain)
a. Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan kepala sebagai bagian pengkajian kardiovaskuler
difokuskan untuk mengkaji bibir dan cuping telinga untuk mengetahui
adanya sianosis perifer.
b. Pemeriksaan raut muka
1. Bentuk muka : bulat, lonjong dan sebagainya
2. Ekspresi wajah tampak sesak, gelisah, kesakitan
3. Tes saraf dengan menyeringai, mengerutkan dahi untuk
memeriksa fungsi saraf VII
c. Pemeriksaan bibir
1. Biru (sianosis) pada penyakit jantung bawaan dan lainnya
2. Pucat (anemia)
d. Pemeriksaan mata
1. Konjungtiva
Pucat (anemia)
Ptekie (perdarahan di bawah kulit atau selaput lendir) pada
endokarditis bakterial
2. Sklera
Kuning (ikterus) pada gagal jantung kanan, penyakit hati dan
lainnya
3. Kornea
Arkus senilis (garis melingkar putih atau abu – abu di tepi
kornea) berhubungan dengan peningkatan kolesterol atau
penyakit jantung koroner.
4. Funduskopi
Yaitu pemeriksaan fundus mata menggunakan opthalmoskop
untuk menilai kondisi pembuluh darah retina khususnya pada
klien hipertensi.
e. Pemeriksaan neurosensori
Ditujukan terhadap adanya keluhan pusing, berdenyut selama tidur,
bangun, duduk atau istirahat dan nyeri dada yang timbulnya
mendadak. Pengkajian meliputi wajah meringis, perubahan postur
tubuh, menangis, merintih, meregang, menggeliat, menarik diri dan
kehilangan kontak mata.
B4 (Bladder)
Output urine merupakan indiktor fungsi jantung yang penting.
Penurunan haluaran urine merupakan temuan signifikan yang harus dikaji
lebih lanjut untuk menentukan apakah penurunan tersebut merupakan
penurunan produksi urine (yang terjadi bila perfusi ginjal menurun) atau
karena ketidakmampuan klien untuk buang air kecil. Daerah suprapubik harus
diperiksa terhadap adanya massa oval dan diperkusi terhadap adanya pekak
yang menunjukkan kandungkemih yang penuh (distensi kandung kemih).
B5 (Bowel)
Pengkajian harus meliputi perubahan nutrisi sebelum atau pada masuk
rumah sakit dan yang terpenting adalah perubahan pola makan setelah sakit.
Kaji penurunan turgor kulit, kulit kering atau berkeringat, muntah dan
perubahan berat badan
Refluks hepatojuguler. Pembengkakan hepar terjadi akibat
penurunan aliran balik vena yang disebabkan karena gagal ventrikel kanan.
Hepar menjadi besar, keras, tidak nyeri tekan dan halus. Ini daapt diperiksa
dengan menekan hepar secara kuat selama 30 – 60 detik dan akan terlihat
peninggian vena jugularis sebesar 1 c
B6 (Bone)
Pengkajian yang mungkin dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Keluhan lemah, cepat lelah, pusing, dada rasa berdenyut dan berdebar
2. Keluhan sulit tidur (karena adanya ortopnea, dispnea nokturnal
paroksimal, nokturia dan keringat pada malam hari)
3. Istirahat tidur : kaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa jam klien
tisur dalam 24 jam dan apakah klien mengalami sulit tidur dan
bagaimana perubahannya setelah klien mengalami gangguan pada sistem
kardiovaskuler. Perlu diketahui, klien dengan IMA sering terbangun dan
susah tidur karena nyeri dada dan sesak napas
4. Aktivitas : kaji aktivitas klien di rumah atau di rumah sakit. Apakah ada
kesenjangan yang berarti misalnya pembatasan aktivitas. Aktivitas klien
biasanya berubah karena klien merasa sesak napas saat beraktivitas.

1.2.2 Diagnoosa Keperawatan


1. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan
3. Risiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
1.2.3 Intervensi
1. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
SDKI
Gangguan Pertukaran Gas D.0003
Kategori: Fisiologis
Subkategori: Respirasi
Definisi
Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eleminasi karbondioksida
pada membran alveolus -kapiler.
Penyebab
1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
2. Perubahan membran alveolus-kapiler

Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif Objejktif
1. Dispnea 1.
2.
3.
4.
5.

Gejala dan Tanda Minor


Subjektif Objektif
1. Pusing 1.
2. Penglihatan kabur 2.
3.
4.
5.
(cepat/lambat, regular/ireguler,
dangkal,dalam)
6.
Pucat, kebiruan)
7.

Kondisi Klinik Terkait


1. Penyakit paru obstruksi (PPOK)
2. Gagal jantung kongestif
3. Asma
4. Pneumonia
5. Tuberkolosis paru
6. Penyakit membran hialin
7. Asfiksia
8. Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
9. Prematuritas
10. Infeksi saluran napas

SLKI
Pertukaran Gas L01003
Definisi
Oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-
kapiler dalam batas normal.
Ekspektasi Membaik
Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Tingkat 1 2 3 4 5
Kesadaran
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Dispnea 1 2 3 4 5
Bunyi napas 1 2 3 4 5
tambahan
Pusing 1 2 3 4 5
Penglihatan 1 2 3 4 5
kabur
Diaforesis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Napas cuping 1 2 3 4 5
hidung
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
PCO2 1 2 3 4 5
PO2 1 2 3 4 5
Takikardia 1 2 3 4 5
pH arteri 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Pola napas 1 2 3 4 5
Warna kulit 1 2 3 4 5

SIKI
Pemantauan Respirasi I.01014

Definisi
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan kepatenan jalan
napas dan keefektifan pertukaran gas.

Tindakan
Observasi
-Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
-Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi, kussmul,
Cheyne-Stokes, Biot, ataksisk)
-Monitor kemampuan batuk efektif
-Monitor adanya produksi sputum
-Monitor adanya sumbatan jalan napas
-Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
-Auskultasi bunyi napas
-Monitor nilai AGD
-Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
-Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
-Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
-Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Manajemen Ventilasi Mekanik


I.01026

Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola pemberian oksigen pemberian sokongan
napas buatan melalui alat yang diinsersikan dalam trakea

Tindakan
Observasi
- Periksa indikasi ventilator mekanik (mis. kelelahan otot napas, disfungsi
neurologis, asidosis respiratorik)
- Monitor efek ventilator terhadap status oksigen (mis. bunyi paru, X Ray
paru, AGD, SaO2, SvO2, ETCO2)
- Monitor perlunya penyapihan ventilator
- Monitor efek negatif ventilator (mis. devasi trakea, barotrauma,
volutrauma,penurunan curah jantung)
- Monitor gejala peningkatan pernafasan (mis. denyut jantung atau
pernafasan, peningkatan tekanan darah, diaforesis, perubahan status
mental
- Monitor kondisi yang meningkatkan konsumsi oksigen (mis. demam,
menggigil, kejang dan nyeri)
- Monitor gangguan mukosa oral, nasal, trakea dan laring
Terapeutik
- Atur posisi kepala 45-60° untuk mencegah aspirasi
- Reposisi pasien setiap 2 jam
- Lakukan perawatan mulut secara rutin
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir sesuai kebutuhan
- Dokumentasi respon terhadap ventilator
Kolaborasi
- Kolaborasi pemilihan metode ventilator (mis. kontrol volume, kontrol
tekanan atau gabungan
- Kolaborasi pemberian agen pelumpuh otot, sedatif, analgesik, sesuai
kebutuhan
- kolaborasi penggunaan PS atau PEEP untuk meminimalkan hipoventilasi
alveolus

SLKI
Toleransi aktivitas L.05047

Definisi
Respon fisiologis terhadap aktivitas yang membutuhkan tenaga
Ekspetasi meningkat

Kriteria hasil
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
menurun meningka
t
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Saturasi oksigen 1 2 3 4 5
Kemudahan dalam 1 2 3 4 5
melakukan aktivitas
Kecepatan berjalan 1 2 3 4 5
Kekuatan tubuh 1 2 3 4 5
bagian atas
Kekuatan tubuh 1 2 3 4 5
bagian bawah
Toleransi dalam 1 2 3 4 5
menaiki tangga
meningkat Cukup sedang Cukup menurun
meningkat menurun
Keluhan lelah 1 2 3 4 5
Dispepsia saat 1 2 3 4 5
beraktivitas
Dipsnea saat 1 2 3 4 5
beraktivitas
Perasaan lemah 1 2 3 4 5
Artimia saaat 1 2 3 4 5
aktivtias
Artimia setelah 1 2 3 4 5
beraktivitas
sianosis 1 2 3 4 5
memburuk Cukup sedang Cukup membaik
memburuk membaik
Warna kulit 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Frekuensi mapas 1 2 3 4 5
EKG iskemia 1 2 3 4 5

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
SDKI
Bersihan jalan nafas (L.01001)
Defisini: kemampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahakan jalan nafas tetap paten
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menuru meningkat
n
Batuk efektife 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menuru meningkat
n
Produksi sputum 1 2 3 4 5
Mengi 1 2 3 4 5
Wheezing 1 2 3 4 5
Mekonium (pada 1 2 3 4 5
neunatus)
Dispnea 1 2 3 4 5
Ortopnea 1 2 3 4 5
Sulit bicara 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menuru meningkat
n
Frekuensi nafas 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5

SLKI

Pertukaran gas (L.01003)


Defisini: oksigenasi dan/atau eliminasi korbondioksida pada membran alveolus
kapiler dalam batas normal

Cukup
Menurun Cukup Sedang Meningkat
meningkat
Menurun

Tingkat kesadaran 1 2 3 4 5
Cukup
Menurun Cukup Sedang Meningkat
meningkat
Menurun
Dispnea 1 2 3 4 5
Bunyi nafas 1 2 3 4 5
tambahan
Pusing 1 2 3 4 5
Penglihatan kabur 1 2 3 4 5
Diaforesis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Nafas cuping 1 2 3 4 5
hidung
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
Menurun meningkat
PCO2 1 2 3 4 5
PO2 1 2 3 4 5
Takikardia 1 2 3 4 5
pH arteri 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
Warna kulit 1 2 3 4 5

SIKI

Penghisapan jalan nafas (1.01011)


Definisi: Membersihkan sekret dengan memasukkan kateter suction bertekanan
negatif kedalam mulut, nasofaring, trakea dan endotracheal tube (ETT
1. Observasi
 Identifikasi kebutuhan dilakukan penghisapan
 Auskultasi suara napas sebelum dan setelah dilakukan penghisapan
 Monitor status oksigenasi (SaO2 dan SvO2) status neurologis (status
mental, tekanan intrakranial, tekanan perfusi serebral) dan status
hemodinamik (MAP dan irama jantung) sebelum, selama dan setelah
tindakan
2. Terapeutik
 Gunakan teknik aseptik
 Gunakan prosedural steril dan disposible
 Gunakan teknik penghisapan tertutup
 Pilih ukuran kateter suction yang menutupi tidak lebih dari setengah
diameter ETT lakukan penghisapan mulut, nasofaring,trakea dan ETT
 Berikan oksigenasi dengan konsentrasi tinggi (100%) paling sedikit 30
detik sebelum dan setelah tindakan
 Lakukan penghisapan lebih dari 15 detik
 Lakukan penghisapan ETT dengan tekanan rendah (80-120 mmHg)
 Lakukan penghisapan hanya disepanjang ETT untuk meminimalkan
invasif
 Hentikan penghisapan dan berikan terapi oksigen jika mengalami kondisi
brakikardi, penurunan saturasi
 Lakukan kultur dan uji sensitifitas sekret
3. Edukasi
 Anjurkan melakukan teknin nafas dalam, sebelum melakukan penghisapan
di nasothacheal
 Anjurkan bernafas dalam dan pelan selama insersi kateter suction

Manajemen jalan nafas (1.01011)


Definisi: mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan nafas
1. Observasi
 Monitor pola nafas ( frekuensi, kedalaman , usaha nafas)
 Monitor bunyi nafas tambahan (mis, gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust, jika curiga trauma serviksal
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisakan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisakan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
 Ajarkan batuk efektif
4. kalaborasi
kalaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitin, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin. (2010). Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi


Kronis Eksasebrasi Akut B Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik. Edisi 3. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai