Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

SINDROM GUILLAIN BARRE DAN NEUROPATI

Disususn Oleh :

Malisa Binti Razali

112019173

Dokter Pembimbing :

Dr. Maria Inggrid Tjahjadi, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RUMAH SAKIT HUSADA

PERIODE 15 MARET – 17 APRIL 2021

1
Sindrom Guillain Barre

Pendahuluan

Sindrom Guillain Barre merupakan polineuropati akut yang disebabkan oleh reaksi autoimun
terhadap saraf perifer. SGB ditandai dengan gejala dan tanda paralisis lower motor neuron
(LMN) akut disertai disosiasi sitoalbmuin pada cairan serebrospinal (CSS). Kecuali pada varian
tertentu, perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. Pada perjalanan penyakit SGB,
perburukan klinis hingga mencapat titik nadir biasanya tidak lebih dari 28 hari. SGB merupakan
penyebab kelumpuhan LMN akut utama di dunia setelah eradikasi polio.

Patofisiologi

SGB dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi bakteri atau infeksi virus
antesenden, yang paling sering yaitu infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran
pencernaan. Campylobacter jejuni sebagai bakteri yang paling berasosiasi dengan GBS,
ditemukan pada 25 – 50% pasien dewasa dengan frekuensi tinggi di negara-negara Asia.

Klasifikasi di atas berdasarkan studi elektrofisiologis dan patologi serta biomarker antibodi untuk
acute motor axonal neuropathy yang ditujukan langsung pada membran gangliosid neuronal.
Gangliosid adalah target dari antibodi. Ikatan antibodi akan mengaktivasi kerusakan mielin.
Mielin diserang karena diduga memiliki lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid.
Pada infeksi bakteri Campylobacter jejuni, bakteri ini mengandung protein membran yang
merupakan duplikat dari GM1 (prototipe gangliosid). Kerusakan akan terjadi pada membran
aksonal. Perubahan pada akson menyebabkan reaksi silang antibodi ke bentuk GM1 sehingga
akan muncul sinyal infeksi. Sistem imun humoral terinisiasi, sel T merespon dengan infiltrasi sel
limfosit ke spinal dan sistem saraf perifer. Makrofag akan terbentuk di daerah yang rusak dan
menyebabkan demielinisasi serta hambatan dalam sistem konduksi impuls saraf.

2
Gejala dan Tanda Klinis

Pola perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. Waktu antara infeksi anteseden dan
munculnya defisit neurologis bervariasi antara 4 minggu sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini
akan mengalmi perburukan hingga meencapai titik nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari.
Antibody antiganglioside dapat dideteksi dalam serum pasien selama proses ini dan kadarnya
akan menurun seiring dengan berjalannya waktu. Terdapat beberapa variasi gambaran klinis
SGB berdasarkan penelitian dan laporan kasus yang ada, yaitu :

1. SGB hiperrefleks

SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau arefleksia, namun pada 10% kasus dapat
ditemukan rekfleks tendon dalam yang normal atau bahkan meningkat dengan tonus otot yang
normal. Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan
adanya antibody antiGM1 dan antiGD1a, dengan gambaran neurofisiologi sesuai dengan SGB
tipe aksonal.

2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness

Penegakan diagnosis SGB tipe ini didapat dengan ditemukannya kelemahan pada otot orofaring,
leher dan ekstremitas atas akut yang disertai arefleksia. Kelemahan motoric pada ekstremitas
bawah dapat juga ditemukan tapi lebih ringan.

3. SGB paraparesis

Kelemahan motoric dengan hiporefleksia atau arefleksia akut hanya terjadi pada ekstremitas
bawah saja, sementara ekstremitas atas normal. Berbeda dengan lesi medulla spinalis, pada SGB
paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas yang tidak tegas dan fungsi berkemih masih
normal. Analisis pungsi lumbal serta pemeriksaan MRI menunjukkan kesesuaian dengan SGB,
sedangkan gambaran neurofisiologi sesuai dengan SGBS tipe degenerasi aksonal.

4. Kelemahan bifasial dengan parestesia

Gejala dan tanda klinis SGB tipe ini berupa kelemahan nervus fasialis bilateral akut tanpa
disertai oftalmoplegia dan kelemahan ekstremitas. Pada tipe ini juga dapat ditemukan parestesia
dari ujung-ujung jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih lanjut dapat sesuai dengan gambaran lesi
demielinisasi.

3
5. Oftalmoplegia / ptosis / midriasis akut

Variasi klinis sindrom SGB ini merupakan bentuk manifestasi SMF inkomplet berupa
oftalmoplegia, ptosis atau midriasis akut tanpa adanya ataksia. Pemeriksaan imunohistokimia
pada serum pasien ini menunjukkan adanya antibody terhadap ganglioside GQ1b.

6. Neuropati ataksia akut

Bentuk SMF inkkomplet lainnya adalah ataksia akut tanpa oftalmoplegia. Terdapat dua bentuk
manifestasi klinis tipe ini, yaitu ataksia dengan atau tanpa tanda Romberg positif. Pada ataksia
tanpa tanda Romberg ditemukan antibody anti-GQ1b serum sedangkan pada ataksia dengan
tanda Romberg ditemukan antibody antiGD1b serum. Manifestasi klinis ataksia ini diduga akibat
antibody yang terbntuk menyerang struktur muscle spindle.

Diagnosis

Diagnosis SGB ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda kelemahan akut progresif pada
ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiporefleksia.

Tanda minimun untuk penegakan diagnosis :

a. Kelemahan progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat dimmulai dari ekstremitas
bawah)
b. Hiporefleksia atau arefleksia

Tanda yang memperkuat diagnosis

a. Perburukan gejala yang mencapai titik nadir < 28 hari


b. Pola distribusi defisit neurologis simetris
c. Gangguan sensorik minimal
d. Gangguan nervus kranialis, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
e. Disfungsi saraf otonom
f. Nyeri
g. Peningkatan protein pada CSS
h. Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB

4
Tanda yang meragukan diagnosis

a. Disfungsi pernafasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal
onset
b. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal onset
c. Gangguan BAK dan BAB pada awal onset
d. Demam pada awal onset
e. Defisit sensorik berbatas tegas
f. Progresivitas lambat dengan gangguan motoric minimal tanpa keterlibatan sistem
pernafasan
g. Kelemahan asimetris persisten
h. Gangguan BAK dan BAB persisten
i. Peningkatan jumlah sel mononuclear pada cairan serebrospinal
j. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS

Disfungsi saraf otonom sering ditemukan dengan manifestasi klinis berupa aritmia, fluktuasi
tekanan darah, respons hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan serta ganggun miksi,
defekasi dan berkeringat. Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis adalah seperti
berikut :

1. Kecepatan Hantar Saraf

Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secaara luas ialah kriteria dari Ho dkk dan Hadden dkk.
Pemeriksaan KHS dilakukan pada minggu pertama onset sering menunjukkan hasil yang normal
atau tidak memenuhi kriteria SGB. Oleh karena itu, temuan KHS minggu pertama tidak dapat
dijadikan landasan untuk menunda pemberian imunoterapi jika sudah terdapat gambaran klinis
yang khas SGB. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan klasifikasi SGB, maka
pemeriksaan KHS harus dilakukan secara serial minimal 2 kali pada 3 saraf motoric dan 3 saraf
sensorik dalam 4 hingga 6 minggu pertama.

5
Tabel 1. Klasifikasi GBS Berdasarkan Gejala Klinis dan Patofisiologi

2. Pungsi Lumbal

Tindakan pungsi lumba rutin dilakukan pada pasien yang diduga SGB dan bukan merupakan
kriteria utama penegakan diagnosis SGB. Pada analisis CSS ditemukan disosiasi sitoalbumin,
yaitu terdapatnya peningkatan kadar protein CSS tanpa peningkatan jumlah sel. Peningkatan
jumlah sel dan protein CSS dapat ditemukan pascaerapi immunoglobulin/IVIG yang diduga
akibat mekanisme transudasi atau meningits aseptic. Apabila ditemukan peningkatan jumlah sel
CSS pada minggu pertama onset gejala, maka kemungkinan diagnosis banding lain harus
dipertimbangkan seperti infeksi, neuropati akibat HIV, limfoma dan keganasan.

3. Radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan jika ditemukan tanda dan gejala klinis SGB yang meragukan.
Hal ini untuk menyingkirkan lesi structural sebagai penyebab defisit neurologis yang ada. Hasil
pemeriksaan MRI pada kasus SGB adalah murni normal baik pada otak atau medulla spinalis,
walau dapat dijumpai penyengatan pda radiks proksimal.

6
Diagnosis Banding

10% kasus SGB dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal bahkan meningkat. Oleh
karena itu, pada keadaan tersebut adanya lesi SSP harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat
menyerupai gejala lesi medulla spinalis akut seperti myelitis transversus, namun pada lesi
medulla spinalis gangguan berkemih muncul lebih awal dan deficit neurologis yang ada
mempunyai batas tegas. Jika pada pasien tidak ditemukan adanya defisit sensorik, maka
pertimbangkan diagnosis banding yang mungkin ialah miastenia gravis, periodic palalisis
hipokalemia, botulisme, poliomyelitis dan mielopati akut. Diagnosis banding SMF dan
kelemahan faring-servikal-brakialis adalah stroke batang otak, miastenia gravis dan botulisme.

Tatalaksana

Prinsip tatalaksana GBS adalah diagnosis dini dan tatalaksana multidisiplin yang tepat. Guillain
Barre syndrome Disability Score (GBS Disability score) atau Hughes score adalah sistem
penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan penyakit.
Imunoterapi dapat diberikan sejak onset gejala neuropati muncul. Manfaat terbaik muncul pada
pemberian imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset pada pasien GBS Disability Score >3.
Baik plasmafaresis dan immunoglobulin intravena (IV) memiliki efektivitas yang sama dalam
perbaikan kekuatan motoric pasien, peingkatan GBS Disability Score, dan penurunan kebutuhan
penggunaan ventilator pada pasien dengan gagal nafas.

Plasmafaresis dilakukan lima kali dalam waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum pertukaran
plasma sebanyak lima kali dari volume plasma (200-250 mL/kgBB). Dosis total immunoglobulin
IV adalah 2g/kgBB diberikan dalam 5 hari. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala
ringan tetap dapat memberikan manfaat namu perlu menghitungkan efisiensi pengobatan.
Penelitian menunjukkan pemberian plasmaferesis diikuti dengan pemberian immunoglobulin IV
memberikan hasil yang sama dengan pemberian terapi plasmaferesis saja atau immunoglobulin
saja. Oleh karena itu, tidak dianjurkan untuk melakukan keuda terapi namun dipilih satu
modalitas saja (plasmafaresis atau IVIG).

7
Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan setiap 1 – 4 jam untuk meminimalkan risiko ggal nafas
berupa elevasi frekuensi serta kedalaman nafas, kapasitas vitas paru-paru, dan kemampuan
refleks batuk. Pemasangan monitor kardiovaskular diperlakukan dalam identifikasi dan antisipasi
disfungsi autonomy. Disfungsi autonomy dapat berupa bradiaritmia berat atau terdapat variasi
tekanan sistolik lebih dari 85 mmHg. Pada pasien tersebut dapat dipasang alat pacu jantung
sementara atau diberikan atropine. Gangguan miksi ditatalaksana dengan pemasangan kateter,
sementara gangguan defekasi dapat diatasi dengan pemberian laksatif.

Nyeri merupakan manifestasi klinis yang banyak ditemui pada pasien sejak awal onset sampai
masa pemulihan. Lokasi nyeri yaitu punggung dan ekstremitas sesuai dengan distribusi
kelemahan otot motoriknya. Nyeri menunjukkan adanya keterlibatan saraf berdiameter kecil dan
saraf otonom sedangkan disestesia melibatkan serabut saraf berdiameter lebar. Tatalaksana nyeri
yang dapat diberikan adalah gabapentin atau karbamazepin.

8
Neuropati

Pendahuluan

Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf kranial (kecuali N. olfaktorius dan optikus), saraf-
saraf yang berasal dari medulla spinalis (radiks, rami, trunkus, pleksus maupun saraf perifer itu
sendiri, seperti saraf medianus dan tibialis) dan komponen-komponen dari sistem saraf otonom
di perifer.

Patofisiologi

Patofisiologi neuropati tergantung dari etiologi (genetic, metabolik, dimediasi imunitas, infeksi,
toksik, traumatic dll). Neuropati dapat terjadi karena lesi di badan sel saraf (neuronopati)
maupun pada akson di serabut saraf perifer (neuropati perifer). Neuronopati dapat terjadi karena
kerusakan pada badan sel saraf di kornu anterior atau sering dikenal motor neuron disease.
Neuronopati juga dapat terjadi karena kerusakan pada ganglion radiks dorsalis tempat badan sel
saraf sensorik ordo I (neuronopati sensorik atau ganglionopati). Adapun neuropati perifer terjadi
karena kerusakan pada akson atau mielin di serabut saraf perifer. Oleh karena itu, neuropati
dapat diklasifikasikan kepada dua yaitu mielinopati dan aksonopati.

Apabila terjadi kerusakan akson. Secara teori akan jadi hambatan hantaran impuls saraf baik
eferen maupun aferen. Kerusakan pada selubung mielin juga dapat menyebabkan hambatan
impuls saraf. Impuls saraf yang dihantarkan akson bermielin akan dikonduksikan lebih cepat
dengan cara konduksi lompatan. Hal ini terjadi karena selubung mielin akson bertindak sebagai
isolator, sehingga konduksi listrik melompat dari satu nodus Ranvier ke nodus berikutnya.
Apabila terjadinya kerusakan selubung mielin saraf, maka kecepatan konduksi impuls saraf akan
jauh menurun atau terhenti. Patofisiologi kerusakan ini dapat dinilai secara klinis dengan bantuan
pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS).

9
Lesi di badan sel saraf dan akson diikuti oleh proses degenerasi serabut akson yang berada di
distal dari lesi, disebut sebagai degenerasi Wallerian.

Neuropati juga dapat dibagi berdasarkan diameter akson yang mengalami kerusakan yaitu :

a. Akson berdiameter besar-bermielin


b. Akson berdiameter kecil-bermielin
c. Akson berdiameter krcil tidak bermielin.

Gejala dan Tanda Klinis

Gejala neuropati cukup meragam mulai dari motoric, sensorik dan otonom. Gejala dapat sama
walaupun akibat etiologi berbeda. Untuk mempermudah menegakkan diagnosis, gejala klinis
dapat dibagi menjadi gejala positif dan gejala negative, baik motorik maupun sensorik. Gejala
positif motoric dapat berupa aktivitas abnormal yang berlebihan dari neuron, diantaranya
kekakuan, twitching dan miokimia. Gejala positif sensorik diantaranya rasa terbakar, tersayat,
alodinia dan hyperalgesia dan parastesia. Adapun gejala negatif motoric menceerminkan
penurunan aktivitas neuron, misalnya berkurangnya kekuatan motoric, kelelahan dan atrofi otot.
Gejala negatif sensorik biasanya hipestesia serta gangguan input informasi dari luar tubuh
lainnya, seperti gangguan input posisi tubuh, sehingga terjadi ataksia dan gangguan
keseimbangan.

Gejala otonom dapat berupa konstipasi, diare, impotensi, inkontinensia urin, gangguan
bekeringat karena gangguan vasomotor, dan pusing yang berkaitan dengan perubahan posisi
(ortostasis). Pasien yang mengalami gangguan vasomotor sering mengeluhkan telapak tangan
atau kaki dingin disertai perubahan warna kulit. Gangguan vasomotor ini disebabkan oleh
pembuluh darah di kulit mengalami gangguan refleks untuk vasokonstriksi dan vasodilatasi yang
diatur oleh saraf otonom dalam menghadapi perubahan suhu tubuh.

Anamnesis aktivitas sehari-hari seperti perubahan tulisan tangan, kesulitan mengancingkan baju,
kesulitan memakai sandal jepit karena sering terlepas sangat berguna dalam menegakkan

10
diagnosis. Pertanyaan terperinci tentang onset, durasi dan progresifitas deficit neurologis yang
ada juga sangat penting untuk membedakan jenis neuropati. Ditanyakan juga seasimetrisan dan
distribusi gejala klinis saat onset, keterlibatan batang tubuh atau nervus kranial, dan laju
progresifitas secara spesifik (monofasik, berfluktuasi, berjenjang).

Pemeriksaan fisik sensorik dapat dibagi dua berdasarkan jenis serabut saraf sensorik yang dinilai.
Pemeriksaan untuk serabut saraf besar adalah tes vibrasi, posisi sendi )proprioseptif) dan raba
halus, termasuk tes Romberg, sedangkan untuk serabut saraf kecil dilakukan pemeriksaan tes
cukit kulit dan suhu. Pemeriksaan fungsi serabut saraf kecil yang menghantarkan rasa nyeri dapat
dilaukan dengan menyentuhkan benda berujung tajam seperti tusuk gigi tanpa tekanan yang
signifikan.

Saat melakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik, harus sudah dipikirkan pola
parestesia/anestesi berdasarkan sebaran anatomi. Pemeriksaan motoric dimulai dari inspeksi ada
tidaknya atrofi maupun fasikulasi. Palpasi dilakukan untuk menilai tonus dan rigiditas otot untuk
menyingkirkan diagnosis banding gangguan SSP. Pemeriksaan kekuatan motoric pada neuropati
perlu dilakukan secara spesifik, terperinci sesuai dengan otot dan saraf perifer yang terganggu.

Pemeriksaan saraf otonom harus dilakukan karena akan memberi informasi lebih banyak
mengenai diagnosis banding, etiologi, maupun sindrom pada pasien. Gangguan ortostatik dapat
memberi petunjuk bahwa sudah terjadi gangguan otonom karena gangguan saraf otonom dapat
menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi pada pembuluh darah. pemeriksaan otonom dapat
juga dilakukan dengan memeriksa kulit dan membrane mukosa karena gangguan saraf otonom
dapat menyebabkan gangguan vasomotor pada kulit.

Diagnosis Klinis dan Diagnosis Banding

Neuropati secara klinis dapat dibagi menjadi polineuropati, neuropati fokal dan multifocal.
Polineuropati disebabkan oleh agen-agen yang bekerja secara difus terhadap sistem saraf perifer
seperti bahan beracun, defisiensi zat-zat yang diperlukan dalam metabolism saraf perifer,
gangguan metabolik dan reaksi imun. Adapun lesi fokal (mononeuropati) dan lesi multifocal
yang terisiolasi (multiple mononeuropati atau mononeuropati multipleks) disebabkan oleh
kerusakan local di antaranya penjepitan saraf seperti carpal tunnel syndrome (CTS), cedera

11
mekanik, suhu ekstrim, elektrik, radiasi, lesi vaksular, granulomatosa, keganasan atau proses
infiltrative lainnya.

Di Indonesia, salah satu penyebab tersering mononeuropati multipleks adalah kusta. Gejala yang
sering muncul pada neuropati kusta adalah gangguan sensorik berupa anestesi atau gangguan
peraba terutama distail jari-jari dan ibu jari dan gangguan vibrasi yang paling banyak terjadi di
telapak kaki. Neuropati kusta juga dapat terjadi pada ekstremitas dan wajah. Di ekstremitas, saraf
yang sering mengalami gangguan adalah N. Peroneus Superfisialis, N. Suralis dan N. medialis,
sedangkan pada wajah adalah N. trigeminal dan N. fasialis.

Neuropati juga dapat dibagi berdasarkan distribusinya yaitu polineuropati simetrik distal,
polineuropati simterik proksimal, polineuropati dengan predominasi ekstremitas atas, distribusi
kompleks, keterlibatan saraf kranial serta neuropati fokal dan multi fokal.

a. Polineuropati Simetrik Distal

Polineuropati yang sering dijumpai. Gejala motor ditandai dengan kelemahan dan atrofi yang
dimulai dari ekstremitas bagian distal kemudian menyebar ke proksimal. Gejala sensorik ditandai
dengan adanya pola distribusi ”stocking and glove” yaitu merasa perabaan berkurang pada
daerah tersebut. Pola distribusi ini disebabkan karena saraf yang paling panjang akan mengalami
gangguan terlebih dahulu. Pada ekstremitas bawah N. Tibialis Anterior dan M Peroneus biasanya
akan terganggu terlebih dahulu diabndingkan bagian posterior betis karena panjang saraf yang
mensarafi bagian anterior betis lebih panjang dibandingkan bagian posterior. Pola distribusi
seperti ini dapat ditemukan pada Charcot-Marie-tooth.

b. Polineuropati simetris proksimal

Contoh polineuropati tipe ini adalah Sindrom Guillain Barre (GBS) dan chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy (CIDP). Diagnosis yang lain yang perlu dipikirkan adalah
porfiria, spina muscular, atrofi dan penyakit Tangier.

c. Polineuropati dengan predominasi ekstremitas atas

Polineuropati tipe ini dengan gejala sensorik banyak terjadi karena defisiensi vitamin B12.
Distribusi ini dengan gejala motoric kadang juga terjadi pada beberapa GBS, porfiria dan
HMSN.

12
d. Neuropati dengan keterlibatan saraf kranial

Tipe ini dapat disebabkan oleh sarcoidosis, diabetes melitus dan yang paling sering adalah
neuropati pada saraf fasialis yang dikenal Bell palsy. Bell’s palsy dapat disebabkan oleh berbagai
faktor antaranya imunologi, infeksi, vaskular dan paling banyak adalah idiopatik.

Tatalaksana

Tatalaksana neuropati sesuai dengan etiologinya. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan sebelum


memulai terapi definitif.

1. Pemeriksaan Elektrodiagnostik

Pemeriksaan ini terdiri dari KHS dan elektromiografi (EMG) yang standar untuk pemerikaan
neuropati dengan miopati, neuronopati, pleksopati ataupun poliradikulopati. Sebagai
kepanjangan pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrodiagnostik meningkatkan ketajaman
distribusi disfungsi saraf, membedakan keterlibatan motor dan sensorik, tingkat keparahan.
Pemeriksaan ini juga dapat menilai gangguan saraf berdasarkan aksonopati maupun mielonopati
dan dilakukan berulang untuk tujuan evaluasi progresifitas penyakit.

2. Biopsi Saraf dan Biopsi Kulit

Biopsi saraf dilakukan untuk mencari etiologi, lokasi patologi, dan tingkat kerusakan saraf.
Namun, biopsi saraf sudah jarang dilakukan karena berkembangnya elektrodiagnostik,
laboratorium dan tes genetik. Namun, biopsi kulit merupakan baku emas untuk menilai inervasi
serabut saraf kecil intraepidemal tidak bermielin yang menghantarkan sensasi nyeri dan suhu dari
kulit serta peran dalam regulasi fungsi otonom.

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Genetik

Pemeriksaan standar yang dianjurkan oleh American of Neurology (AAN) adalah gula darah
puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hepar, darah lengkap, hitung jenis, kadar
vitamin B12, laju endap darah, fungsi tiroid dan jika memungkingkan immunofixation
electrophoresis (IFE). Pemeriksaan toleransi gula 2 jam pascapuasa lebih sensitive berbadning
HbA1c dan gula darah puasa. Oleh karena itu, pemeriksaan ini perlu dipikirkan jika pemerikaan

13
awal normal. Pemeriksaan vitamin B12 jarang dilakukan karena harganya yang mahal. Jika
dicurigai suatu neuropati dimielinisasi, pertimbangkan untuk memeriksa anti-myelin-associated
glycoprotein (anti-MAG). Jika dicurigai suatu multifokal motor neuropathy (MMN)
pertimbangkan pemeriksaan anti-GM1. Pada varian SGB diperiksakan antiGQ1b, antiGM1 dan
antiGD-1a. pemeriksaan genetic merupakan pemeriksaan lanjutan jika dicurigai neuropati
herediter secara klinis ditunjang dengan klasifikasi menurut elektrodiagnosis.

Contoh Neuropati

1. Charcot-Marie-Tooth

Salah satu etiologi neuropati perifer adalah mutase geneetik yang diturunkan dari orang tua ke
anaknya. Neuropati herediter sering disebut sebagai Charcot-Marie-Tooth (CMT). Sebagian
besar CMT merupakan neuropati motorik dan sensorik. Oleh itu, sering juga disebut hereditary
motor and sensory neuropathy (HMSN). CMT dibagi kepada dua yaitu CMT 1 yang memiliki
patologi hypertrophic demyelinating neuropathy dan terdapat perlambatan KHS dan CMT 2
yang memiliki patologi degenerasi aksonal dengan KHS normal. Untuk mendiagnosis pasien
neuropati herediter kadang cukup mudah. Jika pasien memiliki kelemahan ekstremitas bagian
distal disertai hilangnya fungsi sensorik, KHS melambat, pes cavus dan riwayat keluarga yang
cukup kuat, maka pasien tersebut kemungkinana menderita CMT.

2. Neuropati Diabetes

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyebab terbanyak neuropati perifer di dunia.
Perubahan patologi saraf yang paling besar adalah pada neuropati diabetes terjadi pada serabut
saraf perifer di distal, namun dapat juga terjadi di proksimal. Terdapat beberapa teori mekanisme
penyebab neuropati diabetes, anara lain gangguan vaskular, hipotesis metabolik, perubahan
sintesis protein dan transport aksonal, serta mekanisme imunologi.

Gangguan vaksular diprediksi dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah mikro dan
menyebabkan iskemia pada vasa neuronum. Hipotesis metabolik tentang hiperglikemia
berdasarkan studi retrospektif yang menyatakan bahwa komplikasi neuropati pada diabetes yang
lebih dini dan lebih berat berhubungan dengan control glikemik yang buruk. Di sisi lain, acute
painful diabetic neuropathy juga memebaik dengan penurunan berat badan dan control glikemik
yang baik. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena pada kondisi hiperglikemia, perubahan

14
sintesis protein dan transpor aksonal akan mengganggu transpor makromolekul dari akson di
distal Kembali ke zona perinuclear untuk didaur ulang. Gangguan ini menyebabkan degenerasi
aksonal di distal.

Tatalaksana neuropati diabetic sangat beragam. Pasien diabetes perlu dinilai sensibilitas daerah
distal. Pasien yang tidak dapat merasakan tes monofilament 10g kemungkinan memiliki
diagnosis polineuropati distal simetrik dan cenderung akan mengalami ulserasi pada telapak
kakinya. Oleh karena itu, perlu diberikan edukasi serta tindakan penegahan dan penggunaan alas
kaki yang sesuai.

Pasien diabetes juga rentan terhadap gangguan saraf otonom. Jika terdapat riwayat hipotensi
ortostatik, presinkop dan hasil pemeriksaan EKG-treadmill menunjukkan gambaran intoleran,
kemungkinan pasien mengalami cardiac dysautonomoa. Disfungsi ereksi sebagai salah satu
gagngguan otonom dapat terjadi pada pasien DM. Jika didapatkan disfungsi ereksi maka tidak
menutup kemungkinan terdapat penyakit kardiovaskular lainnya yang terkait gangguan otonom.

Tatalaksana neuropati diabetes adalah dengan control gula darah yang baik mendekati
normoglikemia atau kadar HbA1c dipertahankan di bawah 7%. Bila terdapat nyeri, maka obat
simptomatik pilihan diantaranya adalah gabapentin, pregabalin, karbamazepin maupun
okskarbazepin. Obat antinyeri neuropatik tersebut dapat dikombinasikan dengan obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS), analgesic lainnya ataupun antidepresan. Namun, interaksi oabt
dan fungsi ginjal harus diperhatikan sebelum terapi diberikan.

3. Bell’s palsy

Merupakan kelainan saraf fasialis tipe perifer idiopatik dan penyebab terbanyak lesi nervus fasial
unilateral yang dapat mengenai semua jenis kelamin dan usia. Pada Bell’s palsy terjadi inflamasi
yang menyebabkan demielinisaisi segmental, bahkan dapat terjadi kerusakan aksonal, sehingga
terjadi kelainan nervus fasialis tipe perifer yang mencapai maksimal dalam 48 – 72 jam pasca
onset. Abnormalitas dapat terjadi pada lokasi sepanjang perjalanan nervus fasilais sejak keluar
dari intinya di pons hingga serabut terminalnya yang menginervasi efektor. Lokasi lesi terbanyak
di bagian proksimal kanalis fasialis yang merupakan tempat tersempit.

Nyeri pada area belakang auricular dapat muncul 1 -2 hari sebelum onset. Level kerusakan
nervus fasilasi menentukan manifestasi klinis yang muncul. Nervus fasialis mempunyai bagian

15
motoric dan sensorik, maka gangguannya dapat berupa kelumpuhan otot fasialis ipsilateral,
penurunan lakrimalis ipsilateral, penurunan salivasi ipsilateral dan penurunan indera pengecap
2/3 anterior lidah. Diagnosis bell’s palsy ditegakkan secara klinis. Pada pemeriksaan MRI
dengan kontras, didapatkan penyengatan nervus fasialis yang mempresentasikan inflamasi.
Cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan ringan limfosit dan monosit. Pemeriksaan
elektrofisiologin yaitu refleks kedip dapat menentukan topis kerusakan nervus fasialis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah onsel 14 hari, karena pada <14 hari pascaonset masih terjadi
kerusakan nervus fasialis, sehingga belum dapat diperkirakan derajat kerusakan akhirnya.
Diagnosis banding kasus ini adalah Lyme, otitis media, sindrom Ramsay-Hunt, sarcoidosis,
SGB, tumor kelenjar parotis, multiple sclerosis, stroke dan tumor.

Inflamasi pada nervus fasialis dapat diatasi dengan pemberian glukokortikoid oral (prednisone
40-60 mg perhari selama 10 hari dengan penurunan dosis bertahap). Jika diduga penyebabnya
adalah virus, dapat ditambahkan antiviral, yaitu asiklovir 400mg 5 kali/hari selama 7 hari atau
valasiklovir 1g 3kali/hari selama 7 hari dalam waktu 72 jam sejak onset.

Daftar Pustaka

1. Wiratman W, Safri A.Y, Indrawati L.A, Octaviana F, Hakim M. Buku Ajar neurologi :
Neuropati. Jakarta:FKUI. 2017.hal 663 - 86

16

Anda mungkin juga menyukai