Anda di halaman 1dari 8

Gabriella Asyera Dewi Permata Siringan

102018091 – A3

gabriellasiringan@gmail.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Abstract
Critical thinking is an intellectual thinking process, in this case thinkers deliberately
assess the quality of their thinking, thinkers use reflective, independent, clear and rational
thinking. Ethics is often referred to as moral philosophy. Ethos that comes from Greek and
means nature, character, habit is a term that always refers to ethics. And there are also theories
that discuss deontology, theology and ultirasime in moral philosophy. This literature review
aims to provide a method for ethical clinical decision-making processes for doctors. By
increasing understanding and training in the use of basic bioethical rules in everyday life, it is
hoped that it will be able to better maintain doctor-patient relationships.

Keywords: critical thinking, moral philosophy, and medical ethics.

Abstrak

Berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir secara intelektual, dalam hal ini pemikir
dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran yang reflektif,
independen, jernih dan rasional. Etika sering disebut sebagai filsafat moral. Ethos yang berasal
dari bahasa Yunani dan berarti sifat, watak, kebiasaan merupakan istilah yang selalu merujuk
pada etika. Dan terdapat pula adanya teori-teori yang membahas tentang deontology, teologi dan
ultirasime dalam filsafat moral. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memberi suatu metode
dalam proses pengambilan keputusan klinis yang etis bagi dokter. Dengan meningkatkan
pemahaman dan pelatihan penggunaan kaidah dasar bioetika dalam kehidupan seharihari
diharapkan akan mampu menjaga hubungan dokter-pasien secara lebih baik.

Kata kunci: berpikir kritis, filsafat moral, dan etika medis.


Pendahuluan

Sebagai makhluk ciptaan mulia yang Maha Esa, manusia diberikan akal budi untuk dapat
berpikir dan membadakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia tidak lepas dari kegiatan berpikir. Berpikir kritis mencakup analisis secara kritis untuk
memecahkan masalah. Analisis kritis berguna tidak hanya untuk menganalisis masalah, tetapi
juga membantu menemukan cara untuk menemukan akar masalah. Berpikir kiritis berbeda
dengan berpikir biasa atau berpikir rutin. Berpikir kritis merupakan proses berpikir intelektual di
mana pemikir dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran
yang reflektif, independen, jernih dan rasional. Sering kali kita dihadapkan dengan keputusan
yang dilematis, terkadang orang dapat salah mengambil keputusan, kerana setiap keputusan yang
kita ambil memiliki konsekuensi yang harus ditanggung, entah itu baik atau buruk. Sehingga kita
dituntut untuk dapat bepikir kritis. Dalam pekerjaan professional, pengambilan keputusan
didasarkan pada adanya moral dan juga etika. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan
pengetahuan tentang berpikir kritis dalam mengambil keputusan berdasarkan moralitas, yaitu
etika teleology, deontology, utilitarisme dan juga etika etis bagi kedokteran. 1

Cara berfikir kritis

Berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir secara intelektual, dalam hal ini pemikir
dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran yang reflektif,
independen, jernih dan rasional.

Berpikir kritis meliputi pemikiran dan penggunaan alasan yang logis, termasuk ketrampilan
membandingkan, mengklasifikasi, melakukan pengurutan, menghubungkan sebab dan akibat,
mendeskripsikan pola, membuat analogi, menyusun rangkaian, memberi alasan secara deduktif
dan induktif, peramalan, perencanaan, perumusan hipotesis, dan penyampaian kritik. Berpikir
kritis mencakup penentuan tentang makna dan kepentingan dari apa yang dilihat atau dinyatakan,
penilaian argumen, pertimbangan apakah kesimpulan ditarik berdasarkan bukti-bukti pendukung
yang memadai

Berpikir kritis tidak sama dengan berdebat atau mengkritisi orang lain. Kata “kritis”
terhadap suatu argumen tidak identik dengan “ketidaksetujuan” terhadap suatu argumen atau
pandangan orang lain. Penilaian kritis bisa saja dilakukan terhadap suatu argumen yang bagus,
sebab pemikiran kritis bersifat netral, imparsial dan tidak emosional. Berpikir kritis merupakan
ketrampilan berpikir universal yang berguna untuk semua profesi dan jenis pekerjaan.

Demikian juga berpikir kritis berguna dalam melakukan kegiatan membaca, menulis,
berbicara, mendengarkan, berdiskusi, dan sebagainya, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Analisis yang kritis dapat meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah. Pemikiran yang
analitis, diskriminatif, dan rasional, membantu memilih alternatif solusi yang berguna dan
menyingkirkan solusi yang tak berguna. Pemikiran yang reflektif dan independen dapat
menghindari keterikatan kepada keyakinan yang salah, sehingga memperkecil risiko untuk

pengambilan keputusan salah yang didasarkan pada keyakinan yang salah tersebut.
Berpikir kritis juga berguna untuk mengekspresikan ide-ide. Pemikiran kritis memiliki peran
penting dalam menilai manfaat ide-ide baru, memilih ide-ide yang terbaik, dan memodifikasinya
jika perlu, sehingga bermanfaat di dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan
kreativitas. Ada 3 syarat diperlukan untuk memiliki kemampuan berpikir kritis:

1. Sikap untuk menggunakan pemikiran yang dalam di dalam melihat suatu permasalahan,
dengan menggunakan pengalaman dan bukti yang ada.

2. Pengetahuan tentang metode untuk bertanya dan mengemukakan alasan dengan logis

3. Ketrampilan untuk menerapkan metode tersebut

Berpikir kritis tidak hanya persoalan berpikir secara analitis, tetapi juga berpikir secara
berbeda (thinking differently). Berpikir kritis mencakup analisis secara kritis untuk memecahkan
masalah. Analisis kritis berguna tidak hanya untuk mengiris/ menganalisis masalah, tetapi juga
membantu menemukan cara untuk menemukan akar masalah. Memahami masalah dengan baik
penting untuk dapat memecahkannya. Dengan menggunakan kerangka skeptisisme ilmiah,
berpikir kritis diperlukan di semua bidang profesi dan disiplin akademik, termasuk bidang
profesi kedokteran. Sebagai contoh, dalam memilih terapi untuk pasien, seorang dokter perlu
berpikir kritis apakah keputusan untuk memilih terapi sudah tepat, apakah didukung oleh
buktibukti ilmiah yang kuat yang membenarkan bahwa terapi itu memang efektif untuk
memecahkan masalah yang dihadapi pasien.1,2
Filsafat moral

Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata Yunani yaitu
ethos yang berarti watak Sedangkan, moral berasal dari kata Latin yaitu mos atau mores yang
artinya kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dalam Bahasa Indonesia istilah moral
atau etika diartikan kesusilaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan etika dalam
tiga arti yaitu:

1. Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).

2. Etika adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

3. Etika ialah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Moral dalam KBBI didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai akhlak, akhlak dan budi pekerti. Kondisi mental yang mempengaruhi seseorang
menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin, dan sebagainya.

Teori Utilitarisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah
tindakan yang menimbulkan kenikmatan atau kebahagiaan yang sebesar besarnya bagi manusia
yang sebanyak-banyaknya. Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742-1832), yang
kemudian diperbaiki oleh John Stuart Mill (1806-1873), (Bertens, 2007). Mill mengatakan
bahwa kebahagiaan seseorang tidak harus diukur secara kuantitatif tetapi juga harus
mempertimbangkan kualitasnya. Menurut- nya kesenangan ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah. Misalnya, kesenangan orang kaya lebih tinggi ketimbang kesenangan orang miskin.
Pemikiran kedua Mill menyatakan bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah semua
orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja sebagai pelaku
utama. Kemakmuran negara harus dapat dinikmati oleh semua rakyat, bukan segelintir orang
(kelompok penguasa dan kroni-kroninya). Kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih
penting daripada kebahagiaan orang lain (Bertens, 2007)

Deontologi. Yaitu teori etika yang berasal dari kata Yunani, deon yang berarti apa yang
harus dilakukan adalah kewajiban (Bertens, 2013: 198).
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku,
konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku
dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku
itu sesuai norma-norma yang ada.

Teori Teleologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari
perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari
indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme
(hedonisme) dan utilitarianisme (utilisme).3,4

Etika medis

Etika Klinis Dalam dunia kedokteran, fondasi moral hubungan dokter pasien adalah inti etika
kedokteran. Pembahasan dalam etika kedokteran lebih dititikberatkan pada fondasi moral yang
mengatur hubungan dokter pasien. Konsep hubungan ini akan lebih mempertajam keputusan-
keputusan klinis yang akan dibuat oleh dokter dalam berbagai situasi, sehingga akan tersusun
standar perilaku profesional.

prinsip prima facie-nya adalah ketika pasien (berubah menjadi atau dalam keadaan) gawat
darurat yang memerlukan suatu intervensi medik dalam rangka penyelamatan nyawanya.

Non-maleficence (tidak merugikan orang lain) Tujuan prinsip ini adalah untuk melindungi
seseorang yang tidak mampu (cacat) atau orang yang non-otonomi. Seperti yang telah dijelaskan,
orang ini juga dilindungi oleh prinsip berbuat baik (beneficence). Jawaban etik yang benar
adalah dengan melihat kebaikan lebih lanjut dari diri seseorang, tidak diperbolehkan untuk
menyakiti orang lain. Prinsip ini mengemukakan bahwa keharusan untuk tidak melukai orang
lain lebih kuat dibandingkan keharusan untuk berbuat baik.

Respect for Autonomy (menghormati autonomi pasien) Otonomi secara literatur adalah aturan
yang mengatur diri sendiri secara tenang dan tidak tergesa-gesa. Dasar-dasar respect for
autonomy terkait erat dengan dasar mengenai rasa hormat terhadap martabat manusia dengan
segala karakteristik yang dimilikinya karena ia adalah seorang manusia yang memiliki nilai dan
berhak untuk meminta. Otonomi adalah aturan personal yang bebas dari campur tangan pihak
lain. Beuchamp dan Childress merumuskan hal ini sebagai kata “tindakan otonomi tidak hanya
ditujukan untuk mengontrol pembatasan oleh orang lain”. Respect for autonomy merupakan
sesuatu yang hanya diwajibkan bila ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah bioetika
yang utama lainnya, contohnya: jika sebuah tindakan otonomi akan membahayakan manusia
lain, maka prinsip respect for autonomy akan bertentangan dengan prinsip nonmaleficence, maka
harus diputuskan prinsip yang ditetapkan.5

Penyelengaraan praktek kedokteran yang tercantum dalam undang-undang nomor 29 tahun 2004,
menyatakan bahwa: melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien,
keluarga dekat atau wali. Dalam kondisi ini, pasien tidak mampu memberikan pesetujuan dan
tidak memiliki pendamping, tetapi dengan tujuan untuk menyelamatkan hidup (life safing) atau
dengan mencegah kecacatan pasien yang dalam keadaan gawat darurat, tindakan medik dapat
dilakukan tanpa adanya pesetujuan dari pasien.

Adanya permintaan euthanasia atau bantuan bunuh diri, muncul sebagai akibat dari rasa sakit
atau penderitaan yang dirasa oleh pasien tidak tertahankan. Pasien lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Banyak pasien menganggap mereka mempunyai hak
untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati. Dokter dianggap sebagai instrumen
kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada
obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit.

Seorang dokter tentunya akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan
tindakan yang ilegal disebagian besar negara dan dilarang dalam dalam kode etik kedokteran.
Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telah dinyatakan kembali
oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia: Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri
hidup seorang pasien dengan segera, tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga
dekatnya yang memintanya. Hal ini tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya
menghormati keinginan pasien untuk membiarkan proses kematian alami dalam keadaan sakit
tahap terminal. Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak
dapat melakukan apapun bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut
dan dimana tindakan kuratif tidak tepat. Dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat dan tetap
memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.6
Pembahasan skenario

Pada skenario ini, terdapat adanya pro dan kontra anatara pasien dan dokter, dalam hal ini pasien
tidak mau hidup karena dia merasa sangat menderita dengan penyakitnya pada saat ia hidup,
tetapi dalam tindakan medis dokter harus melakukan kewajiabannya yaitu menolong pasiennya.
Dokter telah menerapkan etika moral yaitu teleologi, diamana keputusan atau tindakan moral
yang diambil bertujuan demi kebaikan. Dalam etika deontologi hal ini dilakuakan karena suatu
kewajiban untuk berbuat baik, dan utilitarisme dimana tindakan yang baik yang dapat
menimbulkan kebahagian bagi semua orang. Dan juga dokter menerapkan kaidah dasar bioetik
dengan baik sesuai dengan standar profesi kedokteran.

Kesimpulan

Setelah memahami apa itu filsafat moral, baik itu etika teleologi, deontologi, dan utilitarisme
dapat disimpulkan bahwa etika ini besifat atau betujuan baik ke pada semua orang. Terkadang
dalam kehidupan ini kita dihadapkan dengan pilihan dilematis. Dalam keadaan ini kita
dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dan terbaik. Mengambil keputusan
tidak semudah apa yang kita pikirkan, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu dari
beberapa aspek yaitu aspek moralitas yaitu konsisten terhadap sesuatu yang kita capai atau
konsisten terhadap norma yang kita pegang, aspek etika Deontologi yaitu kewajiban kita
untuk melakukan hal-hal baik dengan tulus dan ikhlas, aspek teleologi yaitu aspek yang
betujuan utntuk kebaikan dan aspek etika utilitiarisme yaitu melakukan suatu tindakan yang
menghasilkan suatu keuntungan bagi semua orang. Dan dengan meningkatkan pemahaman dan
pelatihan penggunaan kaidah dasar bioetika dalam kehidupan sehari-hari diharapkan akan
mampu menjaga hubungan dokter secara lebih baik.
Daftar pustaka

1. Murti B. Berpikir kritis. Institute for Health Economic and Policy Studies (IHEPS). 2010.
4(2): 1-5.
2. Kowiyah. Kemampuan berpikir kritis. Jurnal Pendidikan Dasar. 2012: 3(5): 175-9.
3. Abadi TW. Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika. Kanal (jurnal ilmu
komunikasi). 2016: 4(2): 187-204.
4. Najmudin. Studi tentang intervensi etika dan peningkatan moral mahasiswa. Jurnal Bisnis
dan Ekonomi (JBE). 2011: 18(1): 69–83.
5. Afandi D. Kaidah dasar bioetika dalam pengambilan keputusan klinis yang etis. Majalah
Kedokteran Andalas. 2017: 40(2):111-21.
6. Williams JR. Panduan etika medis. Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2009.

Anda mungkin juga menyukai