Anda di halaman 1dari 6

PENDEKATAN DIAGNOSIS BANDING ENSEFALITIS PADA ANAK

Irawan Mangunatmadja
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta

Ensefalitis pusat merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada praktek sehari-hari
yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Angka kejadian ensefalitis di negara maju sekitar 5-
10 per 100.000 penduduk per tahun, mengenai semua usia, dan menyebabkan kerugian yang besar
bagi pasien, keluarga dan masyarakat.1 Satu dekade terakhir Ini telah ditemukan sejumlah jenis
ensefalitis yang disebabkan perlawanan antibodi terhadap proteinneuron yang berperan dalam
transmisi sinaps, plastisitas, dan eksitabilitas neuron, dikenal sebagai ensefalitis autoimun.2
Pada makalah ini akan dibahas pendekatan ensefalitis dengan diagnosis banding:
ensefalitis virus umum (Non HSV), ensefalitis Herpes Simpleks (HSV), ensefalitis autoimun anti-
NMDAR dan Acute Demyelinating Encephalomyelitis (ADEM).

Ensefalitis virus nonHSV


Ensefalitis adalah infeksi parenkim otak yang disebabka n oleh virus atau mikroorganisme lain.
Virus tersering adalah virus herpes simpleks, virus Japanese B encephalitis, human herpes virus
6, enterovirus 71, sitomegalovirus (CMV). Adapun penyebablain adalah bakteri, protozoa, dan
lain lain. Manifestasi klinis ensefalitis virus pada keadaan awal ditandai dengan demam, sakit
kepala dan selanjutnya ditandai dengan gangguan serebral, berupa kejang, disfungsi serebral fokal
atau umum, penurunan kesadaran mulai dari somnolen sampai koma.3 Kejang fokal atau umum
terjadi pad 10 -50% kasus ensefalitis umum. Ensefalitis dengan kejang fokal yang pertama
difikirkan adalah adanya infeksi virus herpes simpleks. Peneriksaan neurologis pada pasien anak
didapatkan gejala disfungsi kognitif, ataksia, hiperrefleksia, kelumpuhan umum, movement
disorders, dan defisit fokal seperti afasia atau hemiparesis. Ensefalitis berat dapat berupa denga
koma, edema serebral, disertai herniasi sentral dan unkal.4,5 Pasca infeksi virus atau pasca
imunisasi yang bisanya ditandai dengan adanya gambaran perivenous demyelination.3

Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukkan infeksi virus atau didapatkan lekositosis yang
sedikit meningkat. Pada cairan serebrospinalis didapatkan cairan jernih, limfositik pleositosis (5 -
500 sel/mL), peningkatan protein (50-200 mg/dl) dengan glukosa normal (30-50 mg/dL). Hasil
cairan serebrospinalis normal tidak menyingkirkan diagnosis ensefalitis virus.4,5
Gambaran MRI dapat dalam batas normal atau adanya kelainan tertentu. Anak dengan
infeksi virus Japanese B ensefalitis atau Epstein-Barr menunjukkan karakteristik abnormal berupa
kelainan fokal pada talamus dan basal ganglia pada T2-weighted atau FLAIR (fluid-attenuated
inversion recovery).5 Gambaran elektoensefalografi memberikan gambaran perlambatan umum
atau fokal.3,5
Tatalaksana pasien dengan ensefalitis virus umumnya dilakukan dalam perawatan di
Rumah Sakit kadangkala memerlukan ruang perawatan intensif. Tatalaksana meliputi terapi
suportif dalam penanganan kejang, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan respirasi
sertaadanya gangguan elektrolit.3-5

Ensefalitis virus Herpes Simpleks


Dua jenis tipe HSV-1 dan HSV-2 sangat patogen unutk manusia. HSV-1 berhubungan dengan
infeksi sedangkan HSV-2 berhubungan dengan infeksi orofasial. Ensefalitis virus Herpes
Simpleks dapat disebabkan oleh virus HSV-1 dan HSV-2. Infeksi primer merupakan penyebab
ensefalitis yang tersering. Hanya 22% dari ensefalitis ini yang mempunyai riwayat infeksi herpes
yang berulang.5 Onset dimulai dengan gejala demam, sakit kepala, letargi, mual dan muntah.
Hampir 80% memperlihatkan gejala heurologis fokal seperti hemipoaresis, kejang fokal, gangguan
nervus kranialis, gangguan penglihatan dan gangguan bicara. Kadangkala disertai perubahan
perilaku, atau kejang umum tanpa kelainan neurologis fokal. Kejang dapat berlangsung satukali
diikuti denga penurunan kesadaran. Fase akut dapat berlangsung dalam 1 minggu.3-5
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dapat memperlihatkan cairan jernis sel 0 -1000 sel/mL,
limfositer. Protein berkisar antara 80-100 mg/dl dengan glukosa dalam batas normal. Pemeriksaan
EEG 80% menujukkan kelainan fokal atau kelainan umum disertai gambaran Periodic
Lateralizing Epilepticform Dischards (PLEDs). Pemeriksaan PCR terhadap HSV pada cairan
serebrospinalis memperlihatkan hasil positif. Hasil MRI kepala menunjukkan kelainan pada
daerah temporal atau oksipital maupun parietal.3,5 Kadangkala manifestasi klinis dan EEG sesuai
dengan ensefalitis Herper Simpleks dan pengobatan memberikan perbaikan klinis, tetapi hasil PCR
HSV negatif. Keadaan ini dapat disebabkan kadar viraload virus yang tidak tinggi.

Gambar 1. Gambar B. MRI T2 Axial memperlihatkan high signal pada


seluruh lobus temporal kanan. Gambar C. CT scan menunjukkan gambaran
ensefalomalsia lobus temporal kanan.5
Tatalaksana pasien ditujukan pada pengobatan suportif disertai dengan pemberian antiviral
asiklovir 10 -20 mg/kgbb per 8 jam selama 14 – 21 hari.3,5 Perbaikan klinis umumnya dapat
terlihat setelah satu minggu pengobatan. Apabila setelah 10 hari pengobatan tidak tampak
perbaikan klinis perlu dilakukan evaluasi ulang apakah diagnosis kita benar atau tidak. Pengobatan
menyebabkan angka kematian menurun dari 70% menjadi 25-30%. Perbaikan normal berkisar
antara 38%.5 Kadangkala timbul koreoatetosis setelah 1 bulan pengobatan, keadaan ini diduga
karena proses autoimun. Beberapa tahun kemudian dapat terjadi sindrom koreoatetosis ringan
yang diduga karena replikasi baru dari virus.5

Salah satu diagnosis banding yang harus kita pikirkan adala ,h ensefalitis autoimun.
Ensefalitis Herpes Simpleks dan ensefalitis autoimun dapat berubah manifestasi klinis diantara
keduanya. Terdapat hubungan antara ensefalitis Herpes Simplex dan ensefalitis anti-NMDAR.3,6
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ensefalitis anti-NMDAR dapat terjadi pasca infeksi
ensefalitis Herpes Simplex.6 Pada keadaan ini pasien perlu diberikan IVIG 0,8 mg’kg/hari selama
5 hari. Umumnyaakan memberikan perbaikan nyata.3

Ensefalitis autoimun anti-NMDAR


Ensefalitis autoimun dimulai dengan gejala psikiatri disertai gejala kejang tanpa penyebab infeksi.
Gejala mulai denga sakit kepala, gangguan psikiatri, kejang fokal atau kejang umum, getaran-
getaran ekstremitas, mioklonik, dapat terjadi ataksia, aphasia, halusinasi, dan gangguan tidur.5

Penegakan diagnosis ensefalitis anti-NMDAR sering terlambat karena memerlukan


pemeriksaan antibodi dari cairan serebrospinal sebagai baku emas diagnosis. Grauss dkk (2016)7
dan Ho dkk (2017),8 memperkenalkan kriteria diagnosis ensefalitis anti-NMDAR sebagai berikut:
a. Probable ensefalitis anti-NMDAR
Bila ditemukan 3 gejala dibawah ini :
Terdapatnya paling sedikit 4 dari 6 gejala mayor dengan awitan waktu yang cepat (kurang
dari 3 bulan) :
 Gangguan psikiatri atau kognitif
 Ganggan bicara
 Kejang
 Gangguan kordinasi gerak motorik
 Penuruan Kesadaran
 Disfungsi Autonom (hipoventilasi sentral)
Dijumpai sedikitnya 1 dari hasil laboratorium dibawah ini :
 Gambaran EEG Abnormal (gambaran epileptic form, gelombang fokal atau
diffuss lambat atau delta brash)
 Pleositosis atau Oligoklonal band positif (+) pada cairan serebrospinalis
Kemungkinan penyebab lain dapat disingkirkan
b. Definit ensefalitis anti-NMDAR
Diagnosis dapat ditegaakkan dengan adanya satu lebih dari gejala klinis diatasnya dan
ditemukan antibodi Imuniglobin G anti-Glo N-1 (antibodi terdapat pada cairan serebro
spinalis). Setelah mengeksklusi kemungkinan penyebab lain.

Beberapa pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakkan diagnsis enseofalitis anti-


NMDAR :9
 Elektroensefalografi (EEG) 10
Pemeriksaan EEG menunjukan Gelombang Abnormal pada 66% pasien.
Pada fase awal umumnya EEG menunjukan gelombang umum yang melambat kemudian
pada fase lanjut dapat dijumpai Gelombang Delta Umum atau Gelombang Delta brass

 Magnetic Resonan Imaging (MRI) 11


Pemeriksaan MRI menunjukan hasil Normal tu tidak spesifik pada awal gejala, namun
pada fase lanjut menunjukan adanya hiperintens pada Lobus Medial Temporal dengan
keterlibatan hypocampus.

 Cairan serebrospinalis 12
Pada analissi cairan Cerebro Spinalis dapat menunjukan pleositosis limfositik ringan atau
sedang. (< 100 cel leucocyt / micro liter Ul) Peningkatan protein, atau dapat dijumpai
Oligoklonal Ben Postif, disertai kadar glukosa normal. Beberapa Penelitian menyatakan
bahwa peeriksaan antibodi anti-NMDAR lebih snesitif dibandingkan cairan
serebrospinalis.
Terapi ensefalitis anti-NMDAR adalah pemberian imunosupresan dengan pemberian
kortikosteroid intravena yaitu metil prednisolon 15 – 30 mg per kg BB selama 5 hari,
imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4 gr per kg BB per hari selama 5 hari. Bila klinis tidak ada
perbaikan dapat diikuti plasmaferesis.3,5,,13

Acute Disseminated Ensefalomyelitis (ADEM)


Adalah kelainan demielisasi sistim saraf pusat terutam didaerah white matter yg disebabkan oleh
respon imun yang ditandai dengan adanya Ensephalopati. ADEM dapat terjadi setelah infeksi
bakteri atau virus sebelumnya atau setelah di vaksinasi. Kurang lebih 50 – 75 % ADEM setelah
terjadi infeksi virus maupun bakteri sebelumnya. Angka kejadian ADEM. setelah diberikan
imunisasi terjadi kurang dari 5 % dari total kejadian ADEM.14
Manifestasi klinis ADEM umumnya terjadi 2 hari hingga 4 minggu setelah terpapar
antigen. Spektrum ADEM ditandai dengan adanya hemiplegia, ataksia, gerakan involunter,
gagguan kognitif, mielitis transversa pada daerah ekstremitas dilanjutkan dengan dengan adanya
gejala ensepalopati akut,sefalitis akut.5,114,15 Gejala ADEM akan progresif dalam 2 – 5 hari.
Gejala neurologis yang dapat dijumpai seperti adanya gejaa piramidal, ataxia, hemifaresis akut,
neuro optika, kelainan saraf otak lainnya, kejang, sindrom medula spinalis dan gngguan bicara.5,14
Kriteria ADEM :14
1. Adanya kecurigaan demielinisasi yang terjadi polifokal.
2. Ensefalopati (penurunan kesadaran atau gangguan perilaku tanpa disertai dengan demam,
gejala sistemik dan gejala pasca iktal)
3. Kelainan pada MRI berupa demielinisasi fase akut.
4. Tiada gejala klinis yang baru atau kelainan MRI setelah 3 bulan.
Pemeriksaan penunjang
Pada MRI terdapat gambaran hiper intens multiple bilateral bercak-bercak batas lesi yang tidak
jelas didaerah subkortikal substansia alba, dan perbatasan dengan substansia grisea, talamus,
ganglia basalis, serebelum dan batang otak.5,14-16 Pemeriksaan cairan serebrospinalis normal
pada 42-72% Selain itu, cairan serebrospinalis dapat menunjukan pleositosis ringan dengan
dominan limfosit, protein meningkat (23-62%) dan adanya peningkatan imunoglobulin G serta
gamaglobulin.14,15 Pada pemeriksaan EEG tidak ditemukan kelainan yang spesifik terlihat adanya
perlambatan dan gelombang epileptiform.15
Tata laksana
Pemberian metilprednisolon intravena 30 mg/kgBB/hari (maksimal 1.000 mg/hari) selama 5 hari
diikuti dengan pemberian prednison 1-2 mg/ kgBB/hari per oral selama 4 – 6 minggu masih
merupakan terapi utama ADEM. Pada keadaan tidak respons terhadap terapi utama maka dapat
diberikan IVIG 2 g/kgBB dalam 2-5 hari. Pada kelainan yang berat dan refrakter dapat dilakukan
plasmafaresis.14-16
Sebagian besar anak akan sembuh sempurna dari ADEM. Mortalitas berkisar 1 – 3%.
Gejala sisa yang mungkin terjadi dalam jangka panjang yaitu gangguan kognitif, gangguan
pemusatan perhatian, gangguan bicara, dan gangguan prilaku. Kurang dari 10% ADEM akan
mengalami relaps.5,15

Simpulan
Telah dibahas beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding ensefalitis. Dari keterangan di
atas dapat disimpulkan:
1. Diagnosis banding ensefalitis pada anak dapat merupakan ensefalitis tertentu.
2. Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, EEG, cairan serebrospinalis, dan
MRI kepala.
3. Tatalaksana sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan
4. Ensefalitis Herpes Simpleks dapat berubah menjadi ensefalitis autoimun anti-NMDR
akibat proses imunologis
Daftar Pustaka
1. Messacar K, Fisher M, Dominguez SR, Tyler KL, Abzug MJ. Encephalitis in US children. Infect
Dis Clin North Am. 2018; 32:145-62.
2. Armangue T, Petit-Pedrol M, Dalmau J. Autoimmune encephalitis in children. J Child Neurol.
2012; 27:1460-9.
3. Bonthius DJ, Bale JF. Viral infection of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS, Grooman AL, dkk, penyunting. Pediatric neurology: principles
& practice, Edisi ke 6. Philadelphia: Mosby Elsevier 2017.h. 895-906.
4. Packer RJ, Berman PH. Neurologic emergencies. Dalam : Fleiser GR, Ludwig S, Silverman BK,
penyunting. Synopsis of pediatric emergencies medicine. Baktimore: Williams and Wikins
1996.h.296-311.
5. Altered state of consciouness. Dalam: Pina-Garza JE, James KC, penyunting. Fenichel Clinical
Pediatric Neurology: A sign and symptoms approach. Philadelphia: Elsevier.2019. h.49-77.
6. Armague T, Moris G, Cantarin-Extremera V, Conde CE, Rostasy K, Erro M, dkk. Autoimun post-
herpes simplex encephalitis of adult and teenegers. Neurology. 2015; 85: 1736-43.
7. Graus F, Titulaer MJ, Balu R, Benseler S, Bien CG, Celluci T, dkk. A clinical approach to diagnosis
of autoimmune encephalitis. Lancet Neurol. 2016;15:391-404.
8. Ho ACC, Mohammad SS, Pillai SC, Tantsis E, Jones H, Ho R, et al. High sensitivity and
specificity in proposed clinical diagnostic criteria for anti-N-methyl-D aspartate receptor
encephalitis. Developmental Med and Child Neurol. 2017;59:1256-60.
9. Dimyati Y. Ensefalitis virus dan ensefalitis anti-NMDAR: Apakah yang berbeda?. Dalam: Soebadi
A, Rafli A, Widjaja I R, penyunting. Prosiding Hospital-Based pediatric neurology: Translating
current evidence into practical tips. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta.
2019.h.61-9.
10. Gillinder L, Warren N, Hartel G, Dionisio S, O’Gorman C. EEG Findings in NMDA Encephalitis
– a systematic review. Seizure. 2019;65 : 20-4
11. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme, Schor. Autoimmune encephalitis. Dalam: Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke -20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h. 2905-9
12. Wang R, Guan HZ, Ren HT, Wang W, Hong Z, Zhou D. CSF findings in patients with anti-N-
methyl-d-aspartate receptor encephalitis. Seizure . 2015;29: 137-42
13. Dutra LA, Abrantes F, Toso FF, Pedroso JL, Barsottini OGP, Hoftberger R. Autoimune
encephalitis : A review of diagnosis and treatment. Arq Neuropsiquiatr.2018; 76: 41-9.
14. Pohl D, Alper G, Van Haren K, Korneng AJ, Lucchinetti CF, Tenembaum S, dkk. CNS syndrome.
Neurology. 2016;87: S38-45
15. Rezal MS, Tagiphur M, Azizi F, Abbaskhainan A. Acute disseminated encephalomyelitis: a case
series and review of literatures. J Pediatr Rev. 2013; 1 (2): 88-98.
16. Makhani N, Brenton JN, Banwel B. Acquired disorders affecting the white matter. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS, Grooman AL, dkk, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice, Edisi ke 6. Philadelphia: Mosby Elsevier 2017.h. 759-
766.

Anda mungkin juga menyukai