Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering


ditemui pada pasien anak. Sebagian besar kejang terjadi pada masa anak-anak
dengan perkiraan 2-3% anak mengalami kejang sebelum umur 16 tahun.
Kejang dapat terjadi dengan atau tanpa provokasi. Kejang dengan
provokasi jika terjadi kerusakan atau gangguan otak akut, sedangkan tanpa
provokasi jika tidak adanya gangguan otak akut dan sering dihubungkan
dengan epilepsy. First Unprovoked Seizure adalah kejang tanpa provokasi
yang terjadi pertama kali pada anak. Keadaan yang tidak termasuk misalnya
trauma kepala, infeksi system saraf pusat dan gangguan metabolik serta
pemakaian obat-obatan.
Rerata risiko berulangnya kejang adalah 22% setelah 6 bulan, 29%
setelah 12 bulan, 37% setelah 24 bulan, 43& setelah 60 bulan dan 46% setelah
120 bulan.
Keadaan yang ditemukan saat ini adalah mengobati anak yang
mengalami First Unprovoked Seizure dengan obat antiepilepsi jangka panjang
sebab dikhawatirkan kejang akan berulang kembali . Kontroversi mengenai
ini masih terjadi dalam praktik sehari-hari dan diperlukan informasi dan
pengetahuan mengenai First Unprovoked Seizure pada anak.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Berdasarkan American Academy of Neurology, First Unprovoked
Seizure (FUS) didefinisikan dengan menggunakan kriteria dari The
International League Against Epilepsy (ILAE) yaitu rangkaian kejang pada
seorang anak berumur lebih dari satu bulan disertai pulihnya kesadaran
diantara kejang dan tidak diketahui adanya faktor pemicu terjadinya kejang
seperti demam, trauma kepala, infeksi system saraf pusat, tumor, atau
kelainan metabolik seperti hipoglikemia serta obat-obatan 1.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendefinisikan FUS sebagai
satu bangkitan kejang atau beberapa bangkitan kejang dalam 24 jam yang
terjadi tanpa adanya faktor pencetus. Dalam klasifikasi baru, FUS dapat
dianggap sebagai epilepsi bila risiko berulangnya kejang lebih dari 60% 1.
Adanya klasifikasi baru ini memberi dampak terhadap epidemiologi,
diagnosis, dan penatalaksanaan FUS 2.

II. ETIOLOGI
Kejang didefinisikan sebagai pelepasan neuron paroksismal abnormal
yang secara klinis dimanifestasikan oleh gangguan motorik, sensorik, otonom
atau perilaku. Dalam penelitian Ghofrani, berhipotesis bahwa kejadian iktal
adalah sekunder dari ketidakseimbangan antara aktivitas neurotransmitter
rangsang dan penghambatan di otak. Kejang yang dipicu ditandai oleh pemicu
spesifik seperti demam, infeksi sistem saraf pusat, keracunan, atau cedera
kepala. Dalam situasi ini, sudah pasti diindikasikan untuk mengobati kejang
segera bersamaan dengan mengatasi penyebabnya 3.
Sebaliknya, kejang yang tidak diprovokasi tidak berhubungan dengan
penyebab yang jelas dan mungkin terkait dengan epilepsi. Beberapa peneliti

2
percaya risiko kekambuhan keseluruhan untuk kejang lain setelah episode
pertama yang tidak diprovokasi adalah 45% (22% pada 6 bulan, 29% pada 12
bulan, 37% pada 24 bulan, 43% pada 60 bulan dan 46% pada 120 bulan) 3.

III. EPIDEMIOLOGI
Beberapa studi menunjukkan antara 25.000 dan 40.000 anak per tahun
di Amerika Serikat yang mengalami kejang tidak beralasan pertama 4. Insiden
dari FUS beragam mulai 50 sampai 70 kasus ditemukan dalam 100.000 kasus
yang ada. Stockholm Incidence Registry of Epilepsy melaporkan kejadian
FUS mencapai 33.9 orang dari 100.000 orang. Insiden paling tinggi terjadi
pada laki-laki berusia lebih dari 85 tahun dengan angka 96.9 dari 100.000
orang, sedangkan paling muda ditemukan insiden tertinggi pada usia dibawah
satu tahun dengan 77.1 dari 100.000 orang 5.

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis FUS dapat ditegakkan dengan anamnesis mulai dari adanya
sifat epilepsi dari kejadian tersebut, penentuan etiologinya, klasifikasi kejang,
dan adakah sindrom epilepsi. Adanya sindrom epilepsi dapat menghasilkan
informasi prognostik penting. Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada
umumnya, tetapi tidak selalu cukup untuk mengkonfirmasi sifat epilepsi
kejang dan perlu pemeriksaan lebih lanjut.
a. Anamnesis
Ketika seorang pasien mengalami FUS, langkah diagnostik
pertama adalah mengonfirmasi apakah ada sifat epilepsi dari kejang
tersebut. Namun, terkadang anamnesis dengan keluarga yang melihat
langsung kejadian sering tidak jelas, tidak akurat, menyesatkan, atau
informasi tidak memadai. Karena itu, dokter harus menyelidiki dan
menguatkan anamnesis untuk membantu mendeskripsikan kejang agar
dapat membedakan kejang epilepsy dengan kejadian nonepilepsi untuk

3
menyingkirkan penyebab dari kejang. Peristiwa kejang nonepileptik
paling banyak ditemukan adanya syncope, psychogenic nonepileptic
events (PNES), pucat, adanya sianosis, reflux, self-gratification
disorders, dan paroxysmal nonepileptic motor disorders of sleep
among others 6.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menyingkirkan penyebab
kejang lain seperti demam, penurunan kesadaran, tanda-tanda
perdarahan intracranial, gejala intoksikasi, dan lainnya.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan klinis
pasien seperti pemeriksaan laboratorium, elektroensefalogram, lumbar
puncture atau pemeriksaan pencitraan.
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk kejang termasuk darah lengkap
hitung dengan diferensial, elektrolit serum, glukosa, kalsium, dan
magnesium banyak dilakukan 6. Kadar glukosa harus diperoleh
pada pasien diabetes dan BUN / Kreatinin dan elektrolit dasar
sangat penting pada pasien dengan riwayat penyakit ginjal,
muntah atau diare 3.
Pemeriksaan laboratorium banyak dilakukan karena pemeriksaan
ini minimal invasif dan juga murah.
American Academy of Neurology dan American Epilepsy Society
merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas
indikasi keadaan klinis pasien dan tidak adanya kecukupan data
untuk menyingkirkan penyebab dari kejang yang terjadi 6.
 Lumbar Puncture
Lumbar Puncture juga dianjurkan jika seorang anak yang
mengalami FUS dengan penurunan tingkat kesadaran untuk
jangka waktu yang lama yang tidak dapat dikaitkan dengan

4
keadaan pasca ictal. Pungsi lumbal harus dilakukan ketika ada
kecurigaan klinis meningitis atau ensefalitis.
 Elektroensefalografi
Dapat dikatakan bahwa EEG harus dilakukan setelah FUS terjadi
karena EEG abnormal membantu memprediksi pasien akan
mengalami kejang berulang dan juga membantu mengkarakterisasi
tipe kejang dan sindrom epilepsi potensial, dengan demikian
memudahkan diagnosis dan pilihan pengobatan 6.
EEG paling baik dilakukan dalam 24-48 jam kejang pertama,
sebab 70% kasus menunjukkan terdapat kelainan substansial pada
hasil EEG. Prediksi hasil mungkin lebih rendah dengan penundaan
lebih lama setelah kejang 7.
 Pencitraan
Pencitraan pada pasien FUS memberikan informasi mengenai
perlunya terapi akut intervensi, serta menemukan etiologi
potensial dan memberikan informasi prognosis. Meskipun jarang
dilakukan, MRI adalah metode terbaik untuk pencitraan structural.
Kelainan yang terdeteksi oleh MRI yang mengarah langsung ke
intervensi lebih umum pada orang dewasa daripada anak-anak 7.
American Academy of Neurology menyatakan bahwa resonansi
magnetik
pencitraan (MRI) lebih bermakna daripada computed tomography
(CT), neuroimaging dilakukan hanya ketika ada temuan fokus
seperti kelumpuhan, atau pasien tidak kembali ke garis dasar dan
MRI harus dipertimbangkan secara serius jika ada gangguan
kognitif atau motorik dari etiologi yang tidak diketahui,
pemeriksaan neurologis abnormal, kejang fokal, EEG yang
dilakukan tidak ditemukan adanya etiologi genetik, dan pada anak
usia di bawah 1 tahun.

5
V. RISIKO BERULANGNYA KEJANG
Secara umum, bila seorang anak mengalami kejang spontan pertama
kali, risiko berulangnya kejang adalah 45%. American Association of
Neurology mendeskripsikan empat faktor yang dapat meningkatkan risiko
berulangnya kejang, yaitu adanya EEG yang abnormal dengan gelombang
epilepsy, riwayat trauma kepala, ditemukan lesi pada hasil neuroimaging dan
kejang nocturnal 8.
Jika terdapat riwayat kejang didalam keluarga risiko berulangnya
kejang mencapai 29%. EEG abnormal akan memiliki risiko 50% lebih tinggi
pada pasien dengan FUS 8. Adanya Global Developmental Delay dan
disabilitas intelektual meningkatkan risiko berulangnya kejang secara
bermakna. Kejang lebih sering berulang pada anak yang mengalami kejang
parsial (69%) dibandingkan kejang umum (31%).
Pemelitian di Belanda terhadap 156 anak menunjukkan bahwa
rekurensi kejang pada FUS adalah 54%. Bila ditemukan EEG abnormal, risiko
tersebut meningkat sampai 71%, sedangkan kelianan neurologis atau retardasi
mental meningkatkan risiko menjadi 74% 2.

Beberapa faktor risiko berulangnya FUS seperti dibawah ini:


1. Kelainan neurologis dan gambaran EEG epileptiform
Kelainan neurologis yang mendasari seperti retardasi mental,
palsiserebral, pasca trauma kepala atau pascainfeksi sistem saraf pusat
sebelumnya, serta gambaran EEG epileptiform. Kedua faktor tersebut
bersifat menguatkan dan kehadiran keduanya pada pasien menjadikan
risiko tinggi berulangnya kejang jika dibandingkan tanpa kedua atau salah
satu faktor risiko tersebut.
2. Umur saat kejang
Beberapa penelitian observasional dengan jumlah subjek yang besar
menunjukkan tidak ada pengaruh umur terhadap berulangnya kejang.

6
3. Tipe kejang
Tidak ada cukup bukti yang mendukung tipe kejang tertentu terhadap
risiko berulangnya pada FUS. Secara umum beberapa tipe kejang tertentu
sangat jarang ditemukan pada pasien dengan FUS misalnya tipe kejang
absans, mioklonik, dan kejang parsial kompleks serta spasme epileptik.
Beberapa tipe kejang yang lebih sering ditemukan sebagai FUS misalnya
kejang umum tipe tonik-klonik.
4. Durasi kejang
Kejang menginduksi kerusakan hipokampus dan faktor risiko misalnya
umur, kelainan neurologis, durasi kejang demikian pula predisposisi
genetik dapat memperberat kerusakan hipokampus. Beberapa penelitian
eksperimental menunjukkan bahwa walaupun kejang berkepanjangan
mungkin tidak menyebabkan kerusakan hipokampus dalam otak normal,
akan tetapi kejang ini dapat mempengaruhi kemampuan belajar dan
tingkah laku. Meskipun durasi kejang bukan merupakan faktor risiko yang
mendukung terjadinya berulangnya kejang akan tetapi pertimbangan
pemberian pengobatan OAE bukan hanya menurunkan risiko berulangnya
kejang tetapi juga menurunkan risiko terjadinya kejang yang
berkepanjangan bahkan status epileptikus.
5. Riwayat epilepsi dalam keluarga
Beberapa tipe epilepsy bersifat diturunkan melalui kode genetik dan
berhubungan dengan kejadian kejang pada anggota keluarga lainnya.
Belum didapatkan bukti yang mendukung terjadinya peningkatan risiko
kejang berulang pada pasien dengan FUS yang memiliki riwayat epilepsy
dalam keluarga.
6. Riwayat kejang demam kompleks sebelumnya
Ditemukan peningkatan risiko berulangnya kejang pada pasien dengan
riwayat kejang demam kompleks sebelumnya. Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan angka berulangnya kejang bervariasi mulai dari
24% pada pasien tanpa faktor risiko hingga 65% lebih pada pasien yang

7
memiliki dua atau lebih faktor risiko (misalnya riwayat epilepsi dalam
keluarga, awitan parsial, gambaran EEG epileptiform, dan kelainan pada
sistem saraf pusat).

VI. TATALAKSANA
a. Indikasi Menggunakan AED
Sampai saat ini, terapi untuk memulai terapi jangka panjang adalah
obat antiepilepsi (AED) setelah seorang anak atau remaja mengalami kejang
tunggal dari jenis apa pun. Alasan untuk terapi ini didasarkan pada keyakinan
bahwa semua kejang cenderung kambuh dan bahwa kejang bisa berbahaya
dan menyebabkan kerusakan otak. Beberapa penelitian bahwa AED aman,
memiliki sedikit efek samping, dan efektif dalam pencegahan kekambuhan
kejang. Asumsi-asumsi ini telah mengalami modifikasi substansial selama 20
tahun terakhir, yang mengarah pada pandangan yang lebih optimis tentang
sifat kejang dan pendekatan yang lebih konservatif terhadap penggunaan
pengobatan 3.
Beberapa peneliti melakukan uji klinis terhadap anak-anak dan remaja
mengenai kemanjuran pengobatan setelah kejang pertama. Satu dari studi ini
menguji efektifitas obat antiepilepsi dengan mengkategorikan anak-anak
dalam pengobatan dan tanpa pengobatan selama satu tahun setelah kejang
pertama yang tidak demam. Dalam penelitian ini dengan total 31 anak, 2 dari
14 anak (14%) yang diobati dengan carbamazepine (CBZ) mengalami
kekambuhan dibandingkan dengan 9 dari 17 (53%) yang tidak diobati 3.
Pemberian obat anti epilepsy biasanya diindikasikan berdasarkan EEG
dan juga neuroimaging untuk menentukan apakah perlu diberikan atau tidak
dan juga berdasarkan risiko berulangnya kejang.

b. Jangka Waktu Pengobatan


Ketika anak-anak memulai tatalaksana FUS dengan obat AED, ada
beberapa yang berpendapat bahwa meminum obat tersebut dengan jangka

8
waktu kurang lebih satu tahun sampai anak bebas kejang, kecuali terdapat
sindrom epilepsy yang ditemukan pada saat pemeriksaan lebih lanjut. Tetapi,
tidak ada data lebih lanjut mengenai jangka waktu pemberian obat-obat anti
epilepsy terhadap anak-anak yang mengalami FUS 7.

c. Efek Samping
Pemberian AEC akan menimbulkan beberapa efek samping seperti
ruam, hirtusisme (tumbuhnya rambut tebal pada wanita yang biasanya tumbuh
pada area tubuh laki-laki) dan kenaikan berat badan. Reaksi yang lebih serius
terdapatnya kelainan pada hati, bone marrow toxicity dan sindrom steven
johnson juga dapat terjadi. Efek samping yang biasa terjadi pada anak-anak
adalah perilaku dan gangguan kognitif, yang sering kali berhubungan dengan
pemberian dosis obat. Pasien perempuan yang hamil, akan meningkatkan
risiko teratogenik jika meminum obat AED 6.
Beberapa penelitian melaporkan efek samping berupa adanya
gangguan perilaku dan kognitis pada anak-anak yang rutin meminum AED.
Dari 116 anak-anak, terdapat 29 yang mendapat terapi karbamazepin dan
phenytoin memiliki gangguan perilaku sedang sampai berat atau terjadinya
perubahan suasan. Penelitian lain mengatakan bahwa anak-anak yang
mendapat terapi phenobarbital memiliki nilai lebih rendah pada emapat
pemeriksaan fungsi kognitif dan juga memiliki masalah perilaku lebih kecil 6.
Penelitian lain mendapatkan hasil bahwa dari 48 anak yang
mengkonsumi asam valproate, 1 mengkonsumsi phenytoin, dan 51
mengkonsumsi karbamazepin, terbukti tidak ditemukan adanya masalah pada
perilaku dan juga fungsi kognitif 6.
American Academy of Pediatrics malaporkan kewaspadaan terhadap
penggunaan AED tercatat anak-anak dengan kadar AED tinggi dalam darah
berhubungan erat dengan menurunnya fungsi kognitif. Gangguan perilaku dan
fungsi kognitif dideskripsikan dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan juga
perilaku 4.

9
Efek samping lainnya dari penggunaan AED dapat berupa mual,
muntah, ataksia, ruam, dan pusing. Beberapa menyebutkan bahwa efek
samping dari karbamazepin adalah sakit kepala, anorexia, mual atau nyeri
perut, dan anak cenderung menjadi gelisah 4.

VII. PROGNOSIS
Berdasarkan data yang ada, risiko berulangnya kejang pada FUS
mencapai 65% sampai 76% pada satu atau dua tahun pertama setelah kejang
pertama. Berbeda hal dengan kejang yang didasari oleh etiologi tertentu
seperti demam, gangguan metabolik, dll, risiko akan berulangnya kejang lebih
kecil dibandingkan dengan FUS. Pasien dengan EEG abnormal akan
meningkatkan risiko berulangnya kejang mencapai 20% sampau 25% dalam
dua tahun. Pasien yang mengalami kejang berulang, akan memiliki risiko
kejang kembali dalam waktu satu tahun atau lebih cepat yaitu enam bulang
setelah episode kejang pertama 9.

10
BAB III
PENUTUP

First Unprovoked Seizure adalah rangkaian kejang pada seorang anak


berumur lebih dari 1 bulan disertai pulihnya kesadaran diantara kejang dan tidak
diketahui adanya faktor pemicu kejang seperti demam, trauma kepala, infeksi sistem
saraf pusat, tumor, atau kelainan metabolik seperti hipoglikemia serta obat-obatan.
Kejang yang berulang dalam satu hari dianggap sebagai satu episode kejang.
Sebagian besar anak yang mengalami FUS mengalami berulangnya kejang
dimasa mendatang dan jika berulang maka pengobatannya tidak tergantung dari
terapi yang diberikan sebelumnya. Tatalaksana FUS merupakan tatalaksana fase akut
yaitu mengatasi kejang pada saat serangan dengan pemberian obat anti-kejang
dimulai dari diazepam.
Tujuan utama pengobatan OAE pada pasien dengan FUS adalah untuk
mengoptimalisasi kualitas hidup pasien dengan mempertimbangkan risiko
berulangnya kejang dan efek samping pemberian OAE. Keputusan untuk
memberikan atau tidak memberikan pengobatan OAE bersifat perorangan menurut
aspek medis maupun pilihan keluarga. Pengobatan dengan OAE setelah FUS jika
dibandingkan dengan pengobatan setelah mengalami epilepsi tidak memperbaiki
prognosis dalam hal remisi bebas kejang di masa mendatang.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Melati D, et al. First Unprovoked Seizure Pada Anak. Medicina. 2014;45:93-8


2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Knowledge and Softskill Update To
Improve Child Healthcare. First Unprovoked Seizure. p. 1. 2015
3. Ghofrani M. Approach To The First Unprovoked Seizure Part I. PubMed.
2017
4. Hirtz D, et al. Practice parameter: Treatment of the child with a first
unprovoked seizure. American Academy of Neurology. 2003;60:166
5. Rizvi S, et al. Epidemiology of Early Stages of Epilepsy: Risk of Seizure
Recurrence After A First Seizure. Elsevier. 2017;49:47
6. Sansevere AJ, et al. Diagnostic and Therapeutic Management of a First
Unprovoked Seizure in Children and Adolescents With a Focus on the
Revised Diagnostic Criteria for Epilepsy. Journal of Child Neurology. 2017
7. Pohlmann-Eden B, et al. The First Seizure and Its Management In Adults and
Child. BMJ. 2006;332:339-42
8. Jose A, et al. Cilinical Guideline: Management of The First Unprovoked
Epileptic Seizure In Adults and Children. Rev Mex Neuroci. 2019;20
9. A. wilden J, et al. Evaluatin of First Nonfebrile Seizures. American Family
Physician. 2012;86(4):334-340

12

Anda mungkin juga menyukai