Anda di halaman 1dari 10

KELOMPOK 5

Nama : Meldawati Sitanggang (012018023)

Agnes Yuditia H (012018027)

Irna Berna Irawati S (012018026)

Devi Pardede (012018004)

Prodi : D3 Keperawatan (Tingkat III)

A. MENGENAL PERBEDAAN KEJANG DEMAM DAN EPILEPSI

Kejang demam merupakan kejang yang paling sering terjadi pada anak-anak.
Kejang ini berbeda dengan epilepsi dan umumnya tidak berbahaya. Namun, karena
epilepsi juga sering menyerang anak-anak, orang tua perlu memahami perbedaan
kedua penyakit ini.

Ketika seorang anak mengalami kejang, anggota tubuhnya akan berguncang hebat
atau menyentak kuat. Tingkat kesadaran anak pun akan menurun dan bola matanya
tampak melihat ke arah atas. Beberapa anak juga secara tidak sadar buang air kecil
atau buang air besar ketika kejang.

Kejang demam atau penyakit step adalah kejang yang dipicu oleh demam dan
tidak disebabkan oleh gangguan pada otak. Hal ini berbeda dengan epilepsi. Pada
epilepsi atau ayan, kejang disebabkan oleh gangguan arus listrik di otak dan dapat
terjadi secara berulang meski tidak ada demam

1. Perbedaan Kejang Demam dan Epilepsi dari Segi Usia

Kejang demam umumnya terjadi saat anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Meski
begitu, ada sebagian anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 3 bulan atau
setelah usia 6 tahun. Namun, kondisi ini biasanya semakin jarang terjadi seiring
pertambahan usia anak.

Berbeda dengan kejang demam, epilepsi dapat dialami siapa saja tanpa
memandang usia, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Anak yang
menderita epilepsi mungkin akan terus mengalaminya hingga usia remaja atau
dewasa.

2. Perbedaan Kejang Demam dan Epilepsi dari Segi Penyebab

Kejang demam dan epilepsi disebabkan oleh hal yang berbeda. Kejang demam
tidak disebabkan oleh gangguan otak, melainkan dipicu oleh suhu tubuh yang
meningkat lebih dari 380 Celsius.

Peningkatan suhu tubuh ini dapat disebabkan oleh reaksi setelah imunisasi,
infeksi bakteri, atau infeksi virus, seperti virus influenza atau campak. Namun, infeksi
yang menyebabkan demam pada kasus kejang demam bukanlah infeksi di area otak
seperti meningitis.

Sedangkan pada epilepsi, terdapat gangguan di otak. Sel-sel saraf di otak dan di
seluruh tubuh berkomunikasi satu sama lain menggunakan impuls listrik. Ketika
proses komunikasi ini terganggu, dapat terjadi gerakan yang tidak terkontrol berupa
kejang.

Berbeda dengan kejang demam yang memiliki penyebab jelas, yaitu demam,
kejang pada epilepsi umumnya tidak dapat dipastikan dan dapat terjadi kapan saja.

3. Perbedaan Kejang Demam dan Epilepsi dari Segi Gejala

Kejang demam dapat dibedakan menjadi kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Pada kejang demam sederhana, gerakan menyentak terjadi pada
seluruh bagian tubuh, tetapi tidak berlangsung lebih dari 15 menit dan tidak terjadi
berulang dalam waktu 24 jam.

Pada kejang demam kompleks, gerakan menyentak biasanya berawal dari satu
bagian tubuh, berlangsung lebih dari 15 menit, atau terjadi berulang dalam jangka
waktu 24 jam.

Untuk epilepsi, gejala yang muncul dapat bervariasi antara satu penderita dengan
penderita yang lain, tergantung bagian otak yang mengalami gangguan. Kejang pada
epilepsi dapat berupa gerakan menyentak di seluruh tubuh atau hanya pada beberapa
bagian tubuh. Kejang ini bisa disertai hilangnya gangguan kesadaran atau pingsan,
bisa juga tidak.

Beberapa penderita epilepsi juga mengalami aura sesaat sebelum muncul


serangan kejang. Beberapa contoh aura pada epilepsi adalah mencium bau yang aneh,
melamun atau jatuh tiba-tiba, merasa takut, gembira, kebas, kesemutan, atau merasa
anggota tubuh tertentu menjadi lebih besar atau lebih kecil (Alice in Wonderland
syndrome).

4. Perbedaan Kejang Demam dan Epilepsi dari Segi Pengobatan

Ketika seorang anak dengan riwayat kejang demam mengalami demam, orang tua
dapat memberikannya obat penurun panas. Jika sudah muncul kejang, tidak ada
penanganan khusus yang perlu dilakukan selain melindungi anak dari cedera, karena
kejang demam umumnya akan berhenti sendiri dalam waktu singkat.

Namun, bila kejang berlangsung lebih dari 3–5 menit, orang tua disarankan untuk
memberikan obat antikejang melalui dubur dan segera membawa anak ke rumah sakit
atau klinik terdekat. Di luar demam dan kejang, tidak ada obat khusus yang perlu
dikonsumsi setiap harinya.
Beda halnya dengan penderita epilepsi. Orang dengan epilepsi perlu
mengonsumsi obat antiepilepsi secara rutin setiap hari agar kadar obat di dalam
tubuhnya tetap stabil untuk menurunkan frekuensi kambuhnya kejang.

Bila penderita yang rutin mengonsumsi obat sudah tidak mengalami kejang
selama beberapa tahun, dokter mungkin akan menghentikan pemberian obat. Namun,
jika kejang tetap sering terjadi, dokter mungkin akan mengganti obat atau
menyarankan operasi untuk memperbaiki bagian otak yang mengalami gangguan.

5. Perbedaan Kejang Demam dan Epilepsi dari Segi Komplikasi

Kejang demam umumnya tidak memiliki dampak kesehatan yang serius. Kejang
demam sederhana tidak menimbulkan kerusakan otak, penurunan kecerdasan,
maupun gangguan dalam belajar.

Namun, sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 2–10% anak yang pernah
mengalami kejang demam dapat mengalami epilepsi di kemudian hari. Hal ini
umumnya terjadi pada anak yang memiliki riwayat gangguan perkembangan, lahir
prematur, kejang berulang, atau hasil elektroensefalografi (EEG) abnormal.

Sementara pada epilepsi, dapat terjadi gangguan yang serius bila tidak ditangani
dengan baik. Epilepsi dapat meningkatkan risiko anak mengalami kesulitan dalam
belajar, gangguan mood, dan beberapa gangguan psikologis lainnya.

Kejang demam merupakan kejang yang dipicu oleh demam dan umumnya tidak
menimbulkan dampak yang berbahaya, sedangkan epilepsi merupakan kondisi yang
lebih serius di mana kejang dapat terjadi secara berulang meski anak tidak mengalami
demam.

Bila anak Anda mengalami tanda-tanda epilepsi, mengalami kejang demam yang
berlangsung lebih dari 5 menit, atau mengalami kejang untuk pertama kalinya, Anda
disarankan untuk segera membawanya ke dokter agar dapat dilakukan pemeriksaan
dan diberikan penanganan yang tepat.

B. DIAGNOSE PENILAIAN EEG DI UNIT KEGAWATDARURATAN

Diagnosis dan Terapi Kejang di Instalasi Gawat Darurat Kejang adalah suatu
episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh aktivitas abnormal neuron.

Epilepsi adalah manifestasi kejang yang bertendensi terjadi rekuren, spontan,


intermiten akibat aktivitas abnormal listrik di sebagian otak.
Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit, berulang tanpa
mengganggu kesadaran.
Klasifikasi kejang berguna untuk menegakkan diagnosis, merencanakan terapi
dan memperkirakan prognosis.

Kejang tipe parsial (fokal) berasal dari area korteks, kejang tipe generalisata
(umum) meliputi daerah yang difus pada semua regio otak. Kejang tipe generalisata
dapat terjadi sebagai kondisi primer maupun sekunder akibat kejang parsial.

Kejang generalisata terdiri atas kejang tonik-klonik (grand mal) dan kejang tipe
petit mal. Pada kejang tonik-klonik menyebabkan gangguan kesadaran mendadak,
kehilangan kontrol postural, kontraksi otot tonik yang menyebabkan gigi seperti
menggigit dan rigiditas ekstensi (fase tonik) yang diikuti dengan hentakan otot secara
berirama (fase klonik).

Lidah dapat tergigit dan terjadi inkontinensia saat kejang. Pada kejang tipe petit
mal, terjadi tiba-tiba mengganggu kesadaran tanpa mempengaruhi postural tubuh
serta terjadi tidak lebih dari 5-10 menit tetapi dapat berulang beberapa kali dalam
sehari.
Tipe lain kejang umum adalah atipycal absence, infantile spasm, tonic, clonic, dan
kejang mioklonik. Kejang tipe sederhana-parsial tidak menyebabkan gangguan
kesadaran tetapi mempengaruhi motorik, sensorik, otonom, dan psikis.

Tipe lain adalah kejang tipe kompleks-parsial yang menyebabkan gangguan


kesadaran serta sistem otomasi motorik yang kompleks. Kejang sering dialami pada
pria dibanding wanita.

Angka kematian akibat kejang sekitar 20% pada penderita status epileptikus.
Insiden tertinggi kejang dewasa pada usia lebih dari 65 tahun.

1. Diagnosis Klinis Kejang

a. Anamnesis Pasien Kejang


Anamnesis pada pasien kejang biasanya dilakukan setelah kondisi umum pasien
stabil atau dapat dilakukan heteroanamnesis.

Anamnesis pasien kejang meliputi

1. Riwayat penyakit kejang sebelumnya (epilepsi)

2. Riwayat trauma

3. Riwayat penyakit metabolik yang diderita seperti diabetes melitus, hipertensi,


gagal ginjal, penyakit hati kronis

4. Apakah pasien sedang hamil atau terlambat haid (preeklampsia/eklampsia)

5. Riwayat obat-obat yang dikonsumsi akan membantu mengidentifikasi


penyebab atau untuk mengeksklusi diagnosis banding.
b. Pemeriksaan Fisik Pasien Kejang
Pemeriksaan fisik secara umum dilakukan untuk mencari dasar penyebab kejang,
contohnya infeksi, penyakit sistemik, penyakit vaskular dan neurokutaneus.

Adanya asimetri pada pemeriksaan fisik neurologis menunjukkan kemungkinan


tumor otak, stroke, trauma atau lesi fokal yang lain. Pemeriksaan fisik spesifik untuk
mengidentifikasi penyebab kejang dapat sejawat pelajari lebih lengkap dalam
buku Panduan Praktik Klinis Neurologi.

c. Pemeriksaan Penunjang Pasien Kejang


Pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan pada pasien dewasa yang
mengalami kejang adalah :

1. Pemeriksaan laboratorium : hemotologi lengkap, kadar glukosa, kadar


serum natrium, dan tes kehamilan diwanita usia subur, analisa gas darah,
fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT), analisis gas darah
2. Radiologi : non-kontras CT scan kepala untuk pasien yang mengalami kejang
pertama kali, trauma, riwayat keganasan, imunokompromais, penggunaan
antikoagulan, terdapat fokal neurologik baru, usia > 40 tahun. MRI, bila
fasilitas tersedia, karena hasilnya lebih baik untuk mengidentifikasi lesi yang
kecil.
3. Elektrokardiografi, untuk mengidentifikasi adanya aritmia, pemanjangan
gelombang QTc, QRS melebar, ditemukan gelombang R di aVR, maupun
adanya blok.
4. Elektroensefalografi (EEG) tidak secara rutin tersedia di UGD. EEG harus
menjadi bagian dari hasil pemeriksaan neuro-diagnostik penuh, EEG dapat
dengan akurat menentukan kelainan aktivitas listrik otak dan memperkirakan
prognosis pasien. EEG harus dipertimbangkan jika tersedia di IGD dan
meskipun pasien lumpuh, terpasang intubasi, atau sedang dalam status
epileptikus.
5. Pungsi Lumbar : harus dipertimbangkan untuk pasien dengan
immunokompromis, demam terus-menerus, sakit kepala parah, atau
perubahan status mental yang terus-menerus

C. TERAPI DIET PENDERITA EPILEPSI

Salah satu terapi nonfarmakologi yang dapat diberikan untuk pasien yang
tidak responsif terhadap pemberian obat antiepilepsi adalah diet ketogenik. Diet
ini merupakan diet spesial tinggi lemak dan rendah karbohidrat yang dapat
membantu mengontrol kejang pada beberapa penderita epilepsi. Sejak 1920, jenis
diet telah dikenal sebagai terapi efektif untuk epilepsi berat pada anak. Namun,
menyusul pengenalan obat antikonvulsan, ketertarikan terhadap terapi
nonfarmakologi ini menurun. Ketertarikan pada jenis diet ini naik lagi pada tahun
1990-an dimana berbagai penelitian menunjukan kegunaan praktisnya.

Saat ini, beberapa tipe diet ketogenik digunakan pada terapi epilepsi. Tipe
yang paling sering digunakan adalah diet ketogenik yang dikenalkan oleh Wilder
pada tahun 1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang serta protein dan
karbohidrat dalam persentase yang rendah. Protokol ini, seperti yang diterapkan
pada Johns Hopkins Hospital, terdiri dari lemak dalam rasio 4:1 dengan gabungan
protein dan karbohidrat. Pada jenis protokol ini, pasien masuk rumah sakit dan
dipuasakan selama 24 jam sebelum memulai diet. Selain itu juga terdapat tipe diet
yang menggunakan trigliserida rantai sedang serta tipe diet yang menggunakan
gabungan antara diet lemak jenuh rantai panjang dan diet trigliserida rantai
sedang.
Diet ketogenik trigliserida rantai panjang memberikan nutrisi berupa 3-4 gram
lemak untuk setiap 1 gram karbohidrat dan protein. Total kalori yang diberikan
pada diet ketogenik disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien. Sumber lemak
yang digunakan pada diet ini berupa mentega, krim kocok kental, mayonnaise,
maupun berbagai jenis minyakminyakan. Karena jumlah karbohidrat dan lemak
pada diet ini sangat dibatasi, maka penyiapan makanan harus dilakukan dengan
sangat hatihati. Biasanya seorang ahli gizi akan memonitor pemberian diet ini.

Diet ketogenik diperkirakan menstimulasi efek metabolik dari kelaparan


dengan memaksa tubuh kita menggunakan lemak sebagai sumber energi utama.
Sistem saraf pusat tidak dapat menggunakan lemak sebagai sumber energi, oleh
karenanya secara normal glukosa merupakan sumber energi utama. Setelah 3-4
hari tanpa konsumsi karbohidrat, SSP "dipaksa" untuk menemukan sumber energi
alternatif yang didapatkan dari produksi berlebih acetyl coenzyme A (CoA).
Kondisi ini menyebabkan produksi badan keton dalam jumlah diatas normal oleh
hati. Dalam kondisi produksi berlebihan, asam asetoasetat akan berakumulasi
dalam jumlah diatas normal dan sebagian akan dikonversi menjadi
betahidroksibutirat dan aseton yang menyebabkan ketonemia dan ketonuria.

Dalam kondisi normal, konsentrasi badan keton (>0.3 mmol/l) sangatlah


rendah dibanding konsentrasi glukosa (~4 mmol). Dan karena glukosa dan badan
keton memiliki kM yang mirip untuk transpor glukosa ke otak, benda keton mulai
digunakan sebagai sumber energi utama saat konsentrasinya sekitar 4 mmol/l.
Selanjutnya benda keton digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui
jalur yang membentuk dua molekul asetil KoA dari beta-hidroksibutirat. Asetil
KoA yang dihasilkan akan digunakan dalam siklus krebs. Energi yang dihasilkan
dari benda keton lebih besar dibanding glukosa.
Ketosis yang terjadi pada kondisi ini merupakan mekanisme fisiologis dimana
ketonemia mencapai kadar maksimum 7-8 mmol/l dan tanpa penurunan pH.
Sedangkan pada ketoasidosis diabetikum, ketonemia mencapai kadar lebih dari 20
mmol/l dengan penurunan pH darah. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
memahami bagaimana ketosis dapat mempengaruhi epilepsi namun sampai saat
ini masih belum jelas. Beberapa hipotesis yang mungkin bisa menjelaskan
mekanisme kerja dari diet ketogenik antara lain:

1. efek antikonvulsan langsung dari badan keton

2. penurunan eksitabilitas neuronal yang diinduksi oleh badan keton

3. efek pada jalur mamalian target of rapamycin (mTOR).

Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas dari diet ketogenik. Raju 2011


melaporkan 26% (5/19) partisipan bebas kejang dan 58% (11/19) partisipan
mengalami penurunan frekuensi bangkitan kejang lebih dari 50% setelah
pemberian diet ketogenik jenis 4:1 selama 3 bulan. Sementara itu, Seo 2007
melaporkan sebanyak 55% (22/40) dari partisipan mengalami bebas kejang dan
sebanyak 85% (34/40) partisipan mengalami penurunan kejang melebihi 50%
pada pemberian jenis diet ketogenik dan durasi pemberian yang sama.

Kelemahan utama diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka
dropout. Dropout terjadi terutama akibat timbulnya berbagai efek samping
gastrointestinal dan kesulitan konsumsi diet dikarenakan citarasa yang kurang
menggugah selera. Efek samping gastrointestinal yang paling sering muncul
berupa mual, muntah, konstipasi dan diare.

Anda mungkin juga menyukai