Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) adalah definisi


umum yang mengacu pada serangkaian gejala neurologis dan psikiatri yang
berhubungan langsung dengan systemic lupus erythematosus (SLE). NPSLE
termasuk manifestasi neuropsikiatri heterogen yang melibatkan sistem saraf, baik
sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer.[ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Keterlibatan neuropsikiatrik pada SLE pertama kali dideskripsikan oleh
Moriz Kaposi pada tahun 1872 pada seorang perempuan muda yang mengalami
gangguan fungsi neurologi, dengan beberapa manifestasi sistemik lainnya. Pada
tahun 1903, Sir William Osler membuat sebuah hipotesis bahwa perubahan pada
vaskular serebral bertanggungjawab terhadap keterlibatan neurologis pada SLE.
[ CITATION Far17 \l 1057 ]
Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) terjadi didasari
oleh beberapa patofisiologi penting. Secara umum terdapat dua mekanisme utama
pada proses terjadinya NPSLE diantaranya proses autoimun atau inflamasi dan
proses injury vaskuler dan oklusi. Proses autoimun atau inflamasi terutama pada
otak menyebabkan disfungsi otak yang disebabkan oleh adanya autoantibodi atau
mediator inflamasi atau adanya formasi kompleks imun intratekal. Proses injury
vaskuler terjadi pada pembuluh darah besar dan kecil intrakranial yang
disebabkan adanya kompleks imun, deposit komplemen dan leukoaglutinasi yang
akan memediasi injury vaskuler dan percepatan aterosklerosis.[ CITATION
Mag16 \l 1057 ]
Studi epidemiologi menunjukkan adanya perbedaan prevalensi SLE dan
NPSLE berdasarkan umur, jenis kelamin, dan etnis. Hal ini juga menunjukkan
bahwa SLE secara substansial meningkat pada wanita usia subur dimana
perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 8 sampai 15 banding 1.
Meskipun insiden neuropsychiatric (NP) lebih banyak terdapat pada perempuan,
namun dilaporkan bahwa risiko kejang meningkat pada pria. Manifestasi NP
lebih sering terlihat pada ras Afrika, Hispanik, dan Asia dibandingkan ras kulit

1
putih. Akan tetapi kerusakan NP terjadi lebih banyak pada pasien kulit putih.
[ CITATION Mag16 \l 1057 ],[ CITATION Amm12 \l 1057 ],[ CITATION Mur13 \l 1057 ]

Manifestasi NP biasanya terjadi di awal perjalanan dari SLE, dan pada 39-
50% dari pasien menunjukkan gejala SLE. Unterman et al (2011), dalam sebuah
meta-analisis yang melibatkan beberapa studi dengan total 5.057 pasien populasi
SLE. Prevalensi NPSLE pada studi tersebut adalah 44,5% pada studi prospektif
dibandingkan 17,6% pada studi retrospektif. Berdasarkan studi tersebut, rata-rata
90% dari manifestasi NPSLE adalah manifestasi saraf pusat. Manifestasi NPSLE
paling banyak adalah sakit kepala (28,3%), gangguan mood (20.7%), disfungsi
kognitif (19.7%), kejang (9,9%) dan penyakit serebrovaskuler (8%).[ CITATION
Mag16 \l 1057 ],[ CITATION Kam13 \l 1057 ]
Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) merupakan
komplikasi berat SLE yang memberikan pengaruh besar terhadap kualitas hidup,
angka morbiditas dan mortalitas. Kejadian NP berhubungan dengan kualitas hidup
yang rendah dari waktu ke waktu, dengan prognosis buruk pada pasien SLE.
[ CITATION Zir14 \l 1057 ]
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas maka dirasakan perlu
untuk membuat tinjauan kepustakaan mengenai diagnosis dan penatalaksanaan
Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) untuk menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas.

2
BAB 2
PATOFISIOLOGI
NEUROPSYCHIATRIC SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

2.1 Vaskulopati
Meskipun hanya sedikit pasien NPSLE yang terbukti menderita vaskulitis
pada pencitraan atau pemeriksaan histopatologi, trombosis vaskulopati pembuluh
darah kecil telah menjadi abnormalitas histopatologi utama pada otak pasien
NPSLE pada saat otopsi. Vaskulopati pembuluh darah kecil ini biasanya
merupakan proses non inflamasi dan berhubungan dengan manifestasi klinis yang
tidak dapat dijelaskan sampai saat ini.[ CITATION Kiv15 \l 1057 ]
Hal ini mengasumsikan bahwa kerusakan vaskuler pada sistem saraf pusat
pada pasien NPSLE adalah disebabkan oleh vaskulopati yang berhubungan
dengan sindrom anti fospolipid atau penetrasi autoantibodi lainnya yang
menyebabkan kerusakan sawar darah otak, adanya kompleks imun dan aktivasi
komplemen, vaskulitis atau percepatan terjadinya arterosklerosis.[ CITATION
Kiv15 \l 1057 ]

2.2 Autoantibodi
2.2.1 Antibodi anti-ribosomal-P
Antibodi antiribosomal-P pada pasien NPSLE pertama kali ditemukan oleh
Bonfa et al tahun 1987 dan kemudian dilakukan studi kohort pada pasien NPSLE.
Sebuah meta analisis mengatakan bahwa antibodi antiribosomal-P secara spesifik
berhubungan dengan psikosis pada NPSLE. Beberapa studi menunjukkan
kemampuan antibodi antiribosomal-P mengikat antigen neuron, melakukan
penetrasi pada sel neuron dan menghambat sintesis protein. Beberapa autoantigen
dicurigai berinteraksi dengan antibodi antiribosomal-P, namun interaksi ini belum
dapat dikonfirmasi.[ CITATION Sci14 \l 1057 ],[ CITATION Car13 \l 1057 ]
Belakangan ini didapatkan bahwa antiribosomal-P berinteraksi dengan
antigen permukaan neuron P pada permukaan hipocampus dan berhubungan
dengan apoptosis neuron. Studi pada binatang percobaan, injeksi antiribosomal-P
secara intravena mampu mencapai hipocampus dan menyebabkan kerusakan

3
memori ketika sawar darah otak dirusak. Terdapat ikatan dan penetrasi antibodi
anti-ribosomal-P pada sel neuron hipocampus tikus dan sel neuron manusia.
Selanjutnya pada studi ini, antibodi antiribosomal-P diikat protein neuroplastis
yang berhubungan dengan peningkatan protein 43. Ikatan antibodi antiribosomal-
P pada jaringan otak dihambat dengan kehadiran protein ini. Hal ini
menyimpulkan untuk diadakannya auto-antigen bagi antibodi antiribosomal-P.
[ CITATION Bra15 \l 1057 ]
2.2.2 Antifosfolipid/anti cardiolipin dan anti gaba
Autoantibodi anti fosfolipid (aPL) adalah epitop anion fosfolipid atau
protein pengikat fosfolipid (contoh B2Gp1). Antibodi ini telah banyak dipelajari
pada pasien NPSLE namun patogenesisnya masih belum jelas. Antibodi ini
memiliki efek yang jelas, yaitu mengaktivasi proses koagulasi seperti fibrinolisis
dan anti koagulan alami (protein C dan F), aktivasi sel endotelial, aktivasi
komplemen dan aktivasi platelet. [ CITATION Mer08 \l 1057 ],[ CITATION Tsu14 \l 1057 ]
Pasien SLE dengan gejala anti pospolipid sekunder mudah terkena
manifestasi neurologi fokal seperti stroke, myelitis, chorea, kejang, migren dan
kerusakan kognitif. Studi barubaru ini menunjukkan level auto antibodi gamma-
aminobutyric acid (GABA) (B1 dan B2) dalam serum dan cairan serebrospinal
pasien NPSLE.[ CITATION Mer08 \l 1057 ],[ CITATION Tsu14 \l 1057 ]
2.2.3 Antibodi Anti-dsDNA
Antibodi anti-dsDNA merupakan penyebab spesifik aktivitas SLE yang
telah dideteksi dalam cairan serebrospinal pada pasien NPSLE dan membuktikan
terikat neuron hipocampus. Sebuah subset dari anti-dsDNA antibodi menunjukkan
interaksi dengan sub unit anti N-metil-D-aspartat (NMDA) dan reseptornya.
Kompleks ini berhubungan dengan gangguan mood, kebingungan akut dan
penurunan kognitif termasuk disfungsi memori. Antibodi ini mungkin
menginduksi neuron dengan aktifnya komplemen dan menginduksi terjadi
overload kalsium seluler dan neurotoksin, sama halnya dengan yang terjadinya
pada pasien alzheimer menunjukkan bahwa aksi ini bisa dihambat dengan reseptor
antagonis anti N-metil-D-aspartat (mamantine). Studi pada pasien dengan
disfungsi kognitif yang mendapatkan pengobatan memantine tidak menunjukkan
kognitif yang lebih baik.[ CITATION Gov16 \l 1057 ],[ CITATION HoR16 \l 1057 ]

4
Reaksi silang antara dsDNA dengan reseptor anti N-metil-D-aspartat
adalah contoh bagaimana antigen mimicri mungkin berkontribusi pada patogensis
penyakit autoimun. Contoh lain adalah reaksi silang pengikatan anti-ribosomal P
protein dengan permukaan antigen saraf (pertumbuhan saraf berhubungan dengan
protein 43). Antibodi ini menunjukkan interaksi dengan sel endotelial dan secara
terpisah merupakan target hipocampus dan amygdala yang mana mungkin
menjelaskan hubungan antara depresi dengan disfungsi kognitif. Bagaimanapun
disini terjadi kontradiksi bukti yang berhubungan dengan anti ribosoma P protein
pada manifestasi NPSLE. Anti-SM menunjukkan reaksi silang dengan anti
ribosomal P protein dan secara spesifik dihubungan dengan kebingungan akut.
[ CITATION Far17 \l 1057 ],[ CITATION Hir14 \l 1057 ]
2.2.4 Antibodi anti-DNA/NR2
Diamond et al (2012), menngemukakan bahwa antibodi anti
deoxyribonucleic acid (DNA) dapat mengenali sekuen spesifik (DWEYS) yang
mengandung reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) NR2A dan NR2B. Transfer
pasif auto-antibodi anti DNA/NR2 menyebabkan apoptosis neuron. Antibodi anti
DNA/NR2 ini bisa dideteksi dalam serum dan cairan serebrospinal pada 25-50%
pasien SLE dan beberapa studi telah menemukan korelasi antara kadarnya pada
darah dan gejala NPSLE yang timbul.[ CITATION Dia12 \l 1057 ]
Pasien dengan beberapa gejala NPSLE difus menunjukkan tingginya kadar
antibodi NR2 dalam cairan serebrospinal yang secara signifikan merusak sawar
darah otak. Studi Murine menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang rendah,
antibodi reseptor spesifik NMDA membantu transmisi sinaptik neuron, namun
pada konsentrasi tinggi dapat menginduksi kematian neuron. Hal ini dapat
menjelaskan bagaimana disfungsi kognitif terjadi pada beberapa pasien bersifat
sementara dan permenen pada pasien lainnya.[ CITATION Hir141 \l 1057 ]

5
2.3 Disfungsi sawar darah otak
Sawar darah otak adalah barier aktif metabolik dan imunologi penting
yang mengontrol transport molekul didalam sistem saraf pusat (SSP) dan
mempertahankan keadaan anti inflamasi. Bukti pada beberapa studi menunjukkan
disfungsi sawar darah otak pada NPSLE, dihubungkan dengan tingginya level
sitokin, albumin dan imunoglobulin dalam cairan serebrospinal pada pasien. Ada
beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya disfungsi sawar darah otak
seperti trauma, hipertensi dan infeksi. Hal ini juga ditunjukkan oleh reaksi auto
antibodi yang bisa menginduksi terjadi disfungsi sawar darah otak seperti antibodi
anti endotelial sel, aPL, reseptor anti N-methyl-D-aspartat (NMDA) melalui
ikatannya pada sel endotel yang akan menginduksi disrupsi sawar darah otak
melalui difusi pasif dari autoantibodi tersebut ke cairan serebrospinal. Interaksi ini
dapat menginduksi produksi kemokin proinfalmasi seperti matrixs
metalloproteinase8 (MMP8) dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) atau
menyebabkan disfungsi sel endotelial melalui induksi kaskade komplemen.
[ CITATION Far17 \l 1057 ]
Beberapa komponen komplemen yang berhubungan dengan NPSLE
seperti komplemen C3 dengan manifestasi difus dan komplemen C4 dengan
manifestasi fokal meskipun hanya dengan kejadian aPL. Secara spesifik
komplemen C5a mungkin berkontribusi pada disfungsi sawar darah otak dengan
menginduksi sitokin proinflamasi dan merangsang pembentukan reactive oxygen
species (ROS).[ CITATION Far17 \l 1057 ]
Level inteferon alfa menunjukkan angka yang tinggi pada cairan serebro
spinal pada pasien NPSLE dibandingkan dengan pasien SLE yang tanpa
manifestasi psikiatrik. Tingginya kadar interferon berhubungan dengan adanya
interferon gamma-induced protein 10, interleukin 8 (IL-8) dan monocyte
chemoattractant protein-1 (MCP-1) dalam cairan serebro spinal, sitokin/kemokin
diinduksi oleh interferon alfa yang mampu menginduksi disfungsi sawar darah
otak. Reseptor interferon gamma-induced protein 10 (CXCR3) adalah
diekspresikan terutama pada sel T helper tipe 1 yang mungkin menstimulasi
perjalanan penyakit. Suatu studi juga menunjukkan bahwa interaksi antibodi

6
antigen didalam otak memicu feedback positif yang menstimulasi produksi sitokin
proinflamasi seperti alfa interferon.[ CITATION Far17 \l 1057 ]
2.4 Peranan sitokin
Sitokin-sitokin seperti interleukin (IL) 2, IL 6, IL 8, IL10, interferon (IFN)
alfa dan IFN gamma ditemukan meningkat didalam serum pasien NPSLE.
Peningkatan sitokin-sitokin juga terdeteksi didalam cairan serebropinal pada
pasien NPSLE. Hal ini diperkirakan terjadi karena produksi sitokin melalui
infiltrasi sel imun atau sel glial lokal.[ CITATION Kiv15 \l 1057 ]

Gambar 2.1 Patofisiologi NPSLE[ CITATION Kiv15 \l 1057 ]

7
BAB 3
DIAGNOSIS
NEUROPSYCHIATRIC SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

3.1 Manifestasi klinis NPSLE


American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1999, menerbitkan
suatu definisi kasus NPSLE, termasuk didalamnya 12 manifestasi sistem saraf
pusat (SSP) dan 7 manifestasi sistem saraf perifer. Manifestasi SSP dapat dibagi
menjadi delapan sindrom neurologis dan empat sindrom psikiatri dan juga dibagi
menjadi gejala fokal dan difus.[ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Tabel 3.1 Manifestasi klinis NPSLE[ CITATION Mag16 \l 1057 ]

3.1.1 Manifestasi neurologi


Manifestasi neurologis terbanyak pada SLE adalah sindrom sistem saraf
pusat (35%-75%). Hal ini bisa bersifat difus atau fokal, akut atau kronik.
Manifestasi ini harus dibedakan dari gangguan fokal yang disebabkan oleh proses
stroke iskemik atau gangguan difus yang berhubungan dengan keadaan metabolik
atau gangguan keseimbangan elektrolit (pada gangguan ginjal), efek samping
obat-obatan steroid dan infeksi oportunistik. Manifestasi neurologis pada NPSLE
ini dapat berupa kejang epilepsi, sindrom meningeal dan meningoensefalitis, nyeri
kepala, penyakit serebrovaskuler, gangguan gerak, mielitis transversal, gangguan
nervus cranial dan gangguan nervus perifer.[ CITATION Sou13 \l 1057 ]

8
Kejang epilepsi terjadi pada sekitar 14% sampai 25 kasus yang biasanya
menimbulkan gejala tonik-klonik generalisata. Gejala yang jarang berupa kejang
sensori atau motorik simpel dan kompleks. Kejang epilepsi secara statistik
berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid (APL). Hal ini dapat terjadi
melaui 2 mekanisme yaitu adanya scar epileptogenik dari infark serebral yang
disebabkan oleh antibodi antifosfolipid atau melalui interaksi langsung antara
APL dengan parenkim otak. Kejang pada pasien SLE dapat terjadi karena efek
sekunder dari keadaan hipokalemia, gagal ginjal kronik, hipertensi maligna,
toksisitas dari kortikosteroid atau obat antimalaria.[ CITATION Sou13 \l 1057 ]
Sindrom meningeal dan meningoensefalitis bisa secara langsung
berhubungan dengan lupus, tetapi diagnosis ini adalah infeksi eksklusi atau
sindrom terinduksi obat, dimana obat yang tersering adalah ibuprofen dan infus
immunoglobulin. Sakit kepala dihubungkan dengan penyakit itu sendiri. Ini
dihubungkan dengan stres. Tipe sakit kepala yang tersering adalah berupa migrain
tanpa aura, migrain dengan aura, tension headache dan hipertensi intracranial
idiopatik. Mitsikostas et al (2004) mengungkapkan sakit kepala dihubungkan
dengan lupus aktif, khususnya pada pasien sistemik aktif.[ CITATION Sou13 \l
1057 ]
Pasien dengan SLE dihubungkan dengan peningkatan risiko stroke.
Penyakit serebrovaskuler terjadi pada 2% sampai 15% pasien SLE. Stroke
iskemik akut adalah bentuk tersering. Setelah kejadian serebrovaskuler, risiko
rekuren sangat tinggi. Penyebab stroke pada SLE diantaranya trombosis
(dihubungkan dengan antibodi antifosfolipid), hemoragik, hipertensi dan
trombositopenia.[ CITATION Sou13 \l 1057 ]
Gangguan gerakan jarang terjadi (sekitar 1% sampai 3% pasien) dan
chorea adalah tampilan tersering. Chorea dan mielitis tranversal dihubungkan
dengan keberadaan antibodi antifosfolipid. Arterial trombosis diperkirakan
menyebabkan mielitis transversal. Selain itu, interaksi langsung antibodi
antifosfolipid dengan struktur neuron dari ganglia basalis juga disebut menjadi
penyebab. Karakteristik mielitis tranversal adalalh paraplegia mendadak dan
pasien dengan mielitis transversal dapat berkembang menjadi neuropati optik.
[ CITATION Sou13 \l 1057 ]

9
Gangguan nervus kranial dan gangguan nervus perifer terjadi pada 10%-
15% pasien dan biasanya terjadi selama keadaan relaps. Gangguan ini respon pada
terapi konvensional (glukokortikoid dosis tinggi). Gangguan nervus cranial seperti
kerusakan nervus optikus, gangguan otot ekstraokuler, neuralgia trigeminal,
paralisis fasial, kebutaan, nistagmus dan vertigo. Neuropati perifer jarang terjadi,
gambaran tersering berupa neuropati sensorik distal, mononeuropati atau multipel
mononeuropati atau poliradikuloneuropati akut.[ CITATION Sou13 \l 1057 ]
3.1.2 Manifestasi gangguan kognitif dan psikiatri
Kejadian gangguan kognitif tinggi pada pasien lupus yaitu berkisar antara
20 sampai 80%, kerusakan kognitif tidak terlihat secara langsung berhubunagan
dengan aktivitas penyakit, beban penyakit atau terapi kortikosteroid. Perbedaan
antara penyebab fungsional dan organik sangat susah pada kasus gangguan
psikiatrik.[ CITATION Kiv15 \l 1057 ]
Depresi adalah gangguan mood tersering yang terjadi pada NPSLE dan
prevalensinya mencapai 65%, yang mana mania adalah yang gejala yang paling
jarang terjadi. Studi saat ini menyimpulkan bahwa depresi pada pasien SLE
berhubungan dengan beberapa faktor seperti tingginya dosis prednison (20mg
atau lebih). Faktor yang berperan lainnya adalah etnis non-Asia, penyakit kulit
dan myelitis yang lama. Hal ini mendukung gagasan bahwa depresi pada pasien
SLE berhubungan dengan efek samping terapi dibandingkan dengan aktivitas
penyakit itu sendiri. Depresi juga dicurigai berkaitan dengan antibodi spesifik
secara langsung pada ribosomal-P dan reseptor NMDA.[ CITATION Kiv15 \l
1057 ]
Gangguan cemas juga termasuk gejala yang paling sering terjadi dan
mempengaruhi sampai dengan 40% pasien. Manifestasi gangguan cemas yang
tersering adalah berupa serangan panik atau fobia dan gangguan obsesif.
Tingginya angka ansietas dan usia muda merupakan faktor risiko untuk terjadinya
depresi.[ CITATION Kiv15 \l 1057 ]
Psikosis organik dapat terjadi pada 2-11% pasien SLE. Psikosis SLE
biasaya berhubungan dengan aktivitas SLE dan respon terhadap terapi
imunosupresif.[ CITATION Kiv15 \l 1057 ]

10
Sindroma delirium akut merupakan disfungsi neurologi difus yang
manifestasinya adalah berupa kesadaran yang berfluktuasi serta terjadi
disorientasi. Prevalensinya gejala ini berkisar antara 0 sampai 7%.[ CITATION
Kiv15 \l 1057 ]
3.2 Diagnosis dan imaging NPSLE
Gejala NP pada SLE, < 40% dikaitkan dengan kerusakan sistem saraf yang
disebabkan SLE. Mengingat tidak adanya gold standard dalam pendekatan
diagnostik, NPSLE tetap merupakan diagnosis eksklusi yang berdasarkan
pendapat ahli. Pada semua pasien, kewajiban pertama adalah mengeksklusi
penyebab-penyebab lain seperti infeksi, kelainan metabolik, atau efek samping
obat. Pada pasien SLE dengan gejala NP dijelaskan tanda-tanda yang
menunjukkan penyakit NP, langkah pertama adalah mengevaluasi dan
mengkarakteristikkan gejala NP yang sama dengan pasien non SLE. Penilaian
neurologis yang harus menjadi fokus adalah sakit kepala, tanda-tanda kejang dan
defisit motorik sensorik, sedangkan evaluasi psikiatri yaitu menilai perilaku,
kognitif, persepsi, dan kemampuan berpikir, serta suasana hati.[ CITATION
Mag16 \l 1057 ]
Langkah-langkah dalam penegakan diagnostik dari pasien ini harus
mempertimbangkan semua keadaan yang juga dapat terjadi pada pasien non SLE
yang menunjukkan gejala yang sama. Dalam praktek klinis, diagnosis NPSLE
diperlakukan kasus per kasus menggunakan berbagai pemeriksaan klinis,
laboratorium, elektrofisiologis dan data neuroimaging, tergantung pada presentasi
klinis. Diantara semua autoantibodi yang beredar di dalam tubuh, APL, termasuk
anti cardiolipin (aCL), lupus anticoagulant (LAC), dan antibodi b2-glikoprotein,
memberikan informasi diagnostik terbesar pada NPSLE, terutama pada pasien
dengan kejadian NP fokal seperti penyakit serebrovaskular dan kejang.
Disarankan pemeriksaan serum antibodi antiribosom-P secara spesifik terkait
dengan psikosis lupus. Autoantibodi aquaporin 4 dapat membantu dalam proses
diagnostik dengan myelopati dan neuritis optik. Penilaian autoantibodi atau
sitokin dalam LCS tidak dianjurkan dalam praktek klinis kali ini karena tidak
terlalu spesifik.[ CITATION Han14 \l 1057 ]

11
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik neuroimaging pilihan
yang dapat digunakan untuk diagnosis NPSLE. Teknik ini mampu melokalisasi
kelainan pada otak dan tulang belakang, memungkinkan identifikasi lesi terkait
dengan NPSLE seperti contoh infark atau myelopati dan banyak gangguan
diferensial lainnya misalnya tumor atau infeksi.[ CITATION Erc15 \l 1057 ]

Studi elektrofisiologi digunakan ketika kejang dan neuropati diduga secara


klinis terjadi. Tes ini akan membantu dalam proses diagnostik sindrom neurologis.
Namun, tidak ada tanda-tanda khusus untuk NPSLE. Perubahan
elektroensefalografi mungkin berguna dalam guiding terapi. Pelepasan fokus
epileptiform akan lebih dicurigai sebagai fokus iskemik dibandingkan dengan
aktivitas yang difus yang lebih mencurigai kepada keadaan inflamasi. Pola
epilepsi khas yang muncul kurang dari setengah pada pasien SLE dengan kejang,
mungkin dapat memprediksi kekambuhan kejang. Florica et al, pada studi
kohortnya menggambarkan kelainan elektrofisiologi pada studi SLE yang besar.
Secara total, 8% dari pasien memiliki neuropati terkait dengan SLE. Neuropati
aksonal tampak pada 70% pasien dan tanda-tanda demielinisasi tampak pada 20%
pasien.[ CITATION Mag16 \l 1057 ],[ CITATION App04 \l 1057 ]

12
BAB 4
PENATALAKSANAAN
NEUROPSYCHIATRIC SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

4.1 Pengobatan umum


4.1.1 Terapi simptomatik
Pengelolaan pasien dengan NPSLE adalah berupa terapi multimodalitas.
Pada beberapa gejala NPSLE terapi simtomatik sangat dibutuhkan. Pada pasien
SLE dengan gangguan mood, psikosis, gangguan kejang, gangguan gerak, dan
sakit kepala, obat simtomatis yang digunakan untuk mengobati gejala-gejala ini
sering menjadi langkah pertama dalam penanganan terapi, tanpa
mempertimbangkan penyebab dasar NPSLE. Pada manifestasi NP ringan, terapi
simtomatik ini cukup berhasil, namun pada manifestasi NPSLE yang lebih parah
atau respon yang tidak adekuat terhadap pengobatan simtomatik diharuskan untuk
mendapat tambahan terapi dengan obat imunosupresif dan atau antitrombotik.
[ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Obat anti depresif dan anti psikotik serta anti anxietas, diresepkan sesuai
dengan indikasi gangguan kejiwaan. Terapi anti epilepsi dimulai ketika terdapat
gejala risiko tinggi seperti (kejang kedua <24 jam setelah kejang pertama), cedera
otak serius, kelainan struktural otak (MRI), tanda-tanda neurologis fokal, kejang
parsial sebagai kejang pertama, dan epilepsi (EEG). Kejang umum biasanya
ditatalaksana dengan fenitoin atau barbiturat, dan kejang parsial kompleks
biasanya dengan carbamazepine, clonazepam, asam valproat atau gabapentin.
Terapi simtomatik pada gangguan gerakan terdiri dari agonis dopamin. Obat anti-
inflamasi dapat ditambahkan untuk menghilangkan gejala rasa sakit dan
pengobatan migrain pada sakit kepala tertentu. (1)
4.1.2 Intervensi nonfarmakologis
Keluhan kognitif pada pasien SLE sering terjadi, pada kebanyakan studi
melaporkan prevalensinya berkisar antara 17 sampai 66%. Akan tetapi, sebagian
besar kasus disfungsi kognitif tidak begitu berat dan terapi imunosupresif tidak
diindikasikan pada pasien ini. Disfungsi kognitif dihubungkan dengan faktor
psikososial seperti kelelahan, kurang tidur, nyeri, depresi dan ansietas. Tidak

13
terdapat konsistensi terapi simtomatis berbasis bukti untuk disfungsi kognitif pada
SLE. Telah dilaporkan bahwa beberapa pasien dengan depresi dan disfungsi
[ CITATION Han14 \l 1057 ],
kognitif mungkin mendapatkan manfaat dari antidepresan.
[ CITATION Pet10 \l 1057 ]

Pada pasien yang melaporkan disfungsi kognitif tetapi secara global tidak
terdapat gangguan pada tes neuropsikologis, intervensi dari grup psikoedukasi
memberikan efek positif pada 8 minggu pengobatan, dilaporkan dapat
meningkatkan kemampuan memori, fungsi memori, dan kemampuan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari. Sebuah studi mengevaluasi psikoedukasi pada
group intevensi yang terdiri dari 34 pasien SLE setelah 6 bulan juga menunjukkan
secara signifikan dan berkelanjutan mampu meningkatkan kemampuan koping
pasien SLE dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup mereka. (1)

Gambar 4.1 Pilihan terapi pada NPSLE1

4.2 Pencegahan Primer


4.2.1. Obat anti malaria

14
Hidroksiklorokuin dan klorokuin adalah derivat dari 4-aminokuinoline dan
kuinakrin adalah derivat dari acridine. Penggunaan anti malaria pada pengobatan
SLE menjadi populer setelah dipublikasikan pertama kali tahun 1950. Sekarang
pengobatan hidroksiklorokuin (200 atau 400 mg/hari) dipertimbangkan sebagai
pengobatan SLE dan direkomendasikan selama penyakit terjadi dan dapat
diberikan saat kehamilan. Terapi ini digunakan secara ekstensif untuk kelainan
kulit dan muskoloskeletal. Efek samping obat anti malaria yang tidak lazim adalah
dermatitis, gangguan gastrointestinal, leukopenia, trombsositopenia, anemia
aplastik dan efek kardiotoksik. Obat ini juga jarang menyebabkan psikosis dan
klorokuin juga dihubungkan dengan kejang epilepsi. Meskipun tidak ada studi
yang secara spesifik melihat efeknya terhadap gejala neuropsikiatrik, penggunaan
obat-obatan ini untuk mencegah gejala sistem saraf pusat telah dianjurkan
terutama pada penyakit serebrovaskuler.[ CITATION Mag16 \l 1057 ],[ CITATION

Ber10 \l 1057 ]

Penelitian kohort menunjukkan penurunan angka kematian pada pasien


SLE, juga penurunan kerusakan organ pada pasien SLE yang diobati dengan obat
anti malaria. Beberapa studi yang menggunakan obat anti malaria menunjukkan
efek imunologi yang memiliki efek bisa menekan risiko penyakit serebrovaskuler
seperti menurunkan dislipidemia, mencegah diabetes dan menekan titer aPL. Pada
sebuah studi kohort yang melibatkan 1150 pasien SLE yang menggunakan anti
malaria sebagai perlindungan independent terhadap berkembangnya gejala
metabolik, menunjukkan potensi anti malaria sebagai protektor pada pasien.
[ CITATION Pet11 \l 1057 ], [ CITATION Par15 \l 1057 ]
Efek antitrombosis merupakan keuntungan lain dari obat anti malaria.
Jung et al (2010) menunjukkan bagaimana obat malaria berhubungan dengan 68%
penurunan risiko kejadian trombovaskuler pada pasien SLE. Studi prospektif SLE
lainnya juga menemukan efek positif hidroklorokuin dalam menurunkan risiko
terjadinya trombosis dimasa yang akan datang. Keuntungan potensial lainnya
yang berhubungan dengan obat anti malaria pada SLE adalah melindungi dari
kejang. Pada studi kohort lainnya pada 1631 pasien SLE juga telah dikonfirmasi
hubungannya.[ CITATION Jun10 \l 1057 ], [ CITATION Rui06 \l 1057 ]

15
4.2.2 Statin
Statin bekerja dengan kompetitif menghambat enzim reduktase
hydroxymethylglutaryl-coenzim A (HMG-CoA), dengan menghambat
transformasi HMG-CoA menjadi mevalonate dan kemudian menghambat sintesis
kolesterol. Terapi ini telah digunakan secara luas untuk mengobati
hiperkolesterolemia. Penurunan kadar low-density lipoprotein (LDL)
memperlihatkan manfaaat dalam pencegahan penyakit serebrovaskuler dan
penurunan angka morbiditas dan mortalitas pada penyakit serebrovaskuler.
[ CITATION Tay13 \l 1057 ]
Beberapa efek imunomodulasi, seperti penurunan sitokin inflamasi dan
molekul adhesi, pencegahan aktivasi sel endotel yang diinduksi oleh APL,
penghambatan fungsi sel-T, dan penurunan jumlah dan aktivitas sel inflamasi
dalam plak aterosklerotik dikaitkan dengan pemakaian statin. Statin dapat
meningkatkan regulasi dalam proses inflamasi yang terlibat dalam aterosklerosis.
[ CITATION Tay13 \l 1057 ]
Semua sifat dari statin yang telah dilaporkan ini menjadi bermanfaat pada
pengobatan SLE, karena penyakit ini dikaitkan dengan peningkatan risiko
percepatan aterosklerosis. Bagi beberapa peneliti, SLE dianggap sebagai faktor
risiko penyakit jantung koroner yang setara dengan diabetes. Selama 10 tahun,
lupus tidak diperhitungkan sebagai faktor resiko penyakit kardiovaskuler, dan
hasilnya pengobatan pasien dibawah standar. Berdasarkan hal ini, Elliot dan
Manzi (2009), telah merekomendasikan target kadar LDL <100 mg/dl pada semua
pasien SLE dan 70 mg/dl untuk pasien-pasien SLE dengan gejala subklinis
penyakit kardiovaskuler, stroke/transient ischemic attack (TIA) atau gangguan
kardiovaskular lainnya, penyakit pembuluh darah perifer atau diabetes.
[ CITATION Tay13 \l 1057 ],[ CITATION Ell09 \l 1057 ]

4.3 Manajemen inflamasi pada NPSLE


4.3.1 Kortikosteroid
Glukokortikoid adalah hormon 21-karbon steroid. Efek biologis dari
glukokortikoid dimediasi melalui reseptor glukokortikoid. Hormon-hormon ini
terlibat dalam regulasi respon imun dan peradangan, dan juga memainkan peran

16
penting dalam berbagai proses metabolisme. Glukokortikoid, terutama prednison,
telah menjadi obat spesifik untuk SLE. Terapi ini menawarkan efek anti inflamasi
paling cepat untuk inflamasi dibandingkan semua terapi imunosupresif lainnya
dan kemudian terapi ini lebih banyak digunakan untuk mengontrol inflamasi
ringan sampai berat pada pasien SLE. Dasar penggunaan dosis yang berbeda dari
glukokortikoid dalam pengaturan klinis tertentu pada pasien SLE pada dasarnya
telah dibuktikan.[ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Glukokortikoid juga dikenal mampu menginduksi beberapa efek samping
penting yang tidak diinginkan antara lain hipertensi, dislipidemia, osteoporosis,
katarak, glaukoma, perubahan elektrolit, diabetes, Cushing's syndrome, ulkus
peptikum, risiko infeksi, dan reaktivasi virus laten. Secara keseluruhan,
pemakaian berkepanjangan merupakan faktor risiko tinggi untuk timbulnya efek
samping. Selain itu, beberapa gangguan NP telah terkait dengan penggunaan
glukokortikoid. Sebagai contoh, sekitar 10% pasien yang diobati dengan 1
mg/kg/hari atau lebih dengan prednisone akan memiliki penyakit kejiwaan yang
diinduksi glukokortikoid. Depresi, hipomania, dan psikosis secara jelas dikenal
sebagai manifestasi kejiwaan yang diinduksi glukokortikoid. Gejala biasanya
terjadi dalam 8 minggu penggunaan glukokortikoid dan dalam kebanyakan kasus
dapat membaik melalui pengurangan dosis.[ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Pada pasien NPSLE, meskipun kortikosteroid umum digunakan pada
NPSLE untuk menekan suatu proses peradangan, penggunaan ini hanya dapat
dilakukan dengan pengalaman klinis. Meskipun kurangnya bukti yang kuat, pada
beberapa manifestasi NPSLE yang berat, dalam praktek klinis biasanya dipakai
dosis 1 gram methylprednisolone intravena selama 3 hari berturut-turut diikuti
oleh prednisolon oral (dosis awal 1 mg/kg/hari), dengan skema tappering berkisar
antara 3-12 bulan. Pada manifestasi yang tidak begitu berat, dosis awal biasanya
0,5-1 mg/kg/hari dengan titrasi turun sesuai klinis. [ CITATION Ber10 \l 1057 ]
4.3.2 Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid menambahkan gugus alkil pada
DNA, sehingga mengganggu replikasi deoxyribonucleic acid (DNA).
Siklofosfamid adalah obat yang dikonversi oleh enzim hati sitokrom 450 menjadi
metabolit 4-hydroksycyclophosphamide. Dosis dan durasi terapi akan

17
mempengaruhi derajat penghambatan fungsi imun. Siklofosfamid digunakan
untuk gejala SLE yang serius. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Siklofosfamid pada pasien SLE sebagian besar diberikan melalui intravena
secara intermiten. Hal ini dibuktikan oleh dua percobaan yang dilakukan di
National Institutes of Health (NIH). Rejimen NIH menyebutkan, obat ini telah
digunakan selama puluhan tahun pada SLE berat. Rejimen ini terdiri dari terapi
bulanan (selama 6 bulan) dan kemudian triwulanan (sampai 1 tahun setelah remisi
lengkap) dengan dosis 0,75-1,5 gram/m2 siklofosfamid intravena, dikombinasikan
dengan metilprednisolon intravena. Dalam rangka meminimalkan efek samping
dari obat ini, dosis rendah rejimen intravena (enam jeda setiap dua minggu dari
dosis yang tetap 500 mg) yang kemudian dipakai pada pasien dengan lupus
nefritis. Data tindak lanjut selama 10 tahun dari percobaan Euro-Lupus Nephritis
yang membandingkan kedua dosis siklofosfamid ini menunjukkan bahwa protokol
dosis rendah ini mencapai hasil yang sebanding dengan rejimen NIH.
[ CITATION Mag16 \l 1057 ],[ CITATION Hou10 \l 1057 ]
Siklofosfamid memiliki efek samping yang signifikan. Komplikasi umum
yang dapat terjadi berupa alopesia, mual dan muntah, dan depresi sumsum tulang.
Meskipun myelotoksisitas berat jarang terjadi, mielosupresi yang terutama terdiri
dari leukopenia mungkin merupakan toksisitas yang paling signifikan dari
siklofosfamid. Leukopenia dan granulositopenia dapat meningkatkan risiko
infeksi pada pasien. Organ-spesifik lain yang dipengaruhi oleh toksisitas
siklofosfamid diantaranya sistitis hemoragik, kardiotoksisitas, pneumonitis
interstitial, fibrosis paru, dan cervical intraepithelial neoplasia. Azoospermia dan
kegagalan ovarium juga dilaporkan sebagai efek terapi jangka panjang. Efek
samping ini dapat terjadi tergantung pada dosis kumulatif dan efek sampingnya
lebih kuat pada seiring bertambahnya usia pasien. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Manifestasi NPSLE berat, terutama dengan keterlibatan susunan saraf
pusat (SSP) saat ini telah diterapi dengan siklofosfamid. Beberapa kasus telah
menjelaskan efek positif dari pengobatan dengan siklofosfamid pada manifestasi
NPSLE berat pada orang dewasa dan anak-anak. Mok et al (2013) melaporkan
adanya respon yang baik pada 13 pasien dengan lupus psikosis untuk 6 bulan
pengobatan dengan siklofosfamid oral (1-2 mg/kg/hari) dan prednison oral (1

18
mg/kg/hari), dengan dosis titrasi turun secara bertahap, diikuti oleh azathioprine
(1-2 mg/kg/hari). Sebuah studi retrospektif dari 31 pasien NPSLE menunjukkan
efektivitas dari penggunaan glukokortikoid secara bersamaan dengan
siklofosfamid bulanan melalui intravena (250-1000 mg/m2). (1), [ CITATION Mok13 \l 1057 ]
Ramos et al (2006), menganalisis secara retrospektif 25 NPSLE pasien
dengan keterlibatan SSP. Semua pasien diobati dengan siklofosfamid dosis
mingguan yang rendah (500 mg / m2) dan semua pasien kecuali satu pasien
mencapai respon yang baik setelah rata-rata terapi selama 11 hari tanpa efek
samping utama. Stojanovich et al (2013), melakukan penelitian pada 60 pasien
NPSLE dan membandingkan hasil dari dua kelompok, satu kelompok menerima
dosis rendah bulanan siklofosfamid intravena (200-400 mg/m2) ditambah
prednison dibandingkan dengan yang menggunakan prednison saja. Pada hasil
disimpulkan bahwa pasien yang diobati dengan siklofosfamid menunjukkan lebih
banyak perbaikan klinis dan perbaikan secara elektrofisiologi pada fungsi otak.
[ CITATION Ram06 \l 1057 ],[ CITATION Sto13 \l 1057 ]
Siklofosfamid adalah satu-satunya terapi yang diuji dalam uji acak klinis
kecil terkontrol pada NPSLE. Pada percobaan ini dibandingkan penggunaan
methylprednisolone intravena dengan siklofosfamid intravena. Semua pasien yang
mendapatkan terapi metilprednisolon 1 gram/hari selama 3 hari sebagai terapi
induksi. Setelah terapi induksi, diikuti dengan pemberian metilprednisolon 1
gram/bulan selama 4 bulan, kemudian setiap 2 bulan selama 6 bulan, kemudian
ditambah siklofosfamid 750 mg/m2 setiap bulan selama 1 tahun kemudian 3 bulan
pada tahun berikutnya. Sementara dikelompok lainnya diberikan prednison oral (1
mg/kg/hari) dimulai pada hari keempat setelah terapi induksi diberikan paling
lama 3 bulan dan dititrasi turun sesuai dengan aktivitas penyakit. Kriteria terapi
dikatakan respon adalah adanya peningkatan 20% dari keadaan awal baik secara
klinis, serologi dan gangguan neurologis spesisfik selama 24 bulan. Hasil
didapatkan respon terapi pada 94,7% pasien yang mendapatkan siklofosfamid
intravena dibandingkan respon pada 46,2% pasien pada kelompok
metilprednisolon.[ CITATION Bar15 \l 1057 ]

19
4.3.3 Azatioprin
Azathioprine adalah prodrug yang secara cepat dikonversi menjadi
mercaptopurine dan methylnitroimidazole oleh thiopurine methyltransferase
(TPMT). Mercaptopurine diketahui menghambat beberapa proses enzimatik yang
terlibat dalam sintesis purin, yang mempengaruhi fungsi imun seluler dan
humoral.
Efek positif dari obat ini pada pasien SLE, terutama dalam pencegahan inflamasi,
telah dijelaskan sebelumnya pada 1970-an. Saat ini, azathioprine (2-3 mg / kg /
hari) terutama digunakan pada pasien SLE yang mengalami artritis, manifestasi
mucocutaneous dan serositis dan juga sebagai terapi maintenance pada nefritis
lupus.[ CITATION Ber10 \l 1057 ], [ CITATION DiP15 \l 1057 ]
Efek samping dari azatioprin diantaranya supresi sumsum tulang,
hepatotoksik, intoleransi gastrointestinal, dan peningkatan risiko ringan infeksi.
Selain itu dengan tidak adanya aktivitas TPMT, pasien cenderung memiliki
konsentrasi nukleotida thioguanine yang lebih tinggi, yang dapat menimbulkan
peningkatan risiko mielosupresi berat yang mengancam nyawa. Oleh karena itu,
penentuan aktivitas TPMT sebelum memulai terapi dengan azatioprin
direkomendasikan oleh beberapa peneliti. [ CITATION DiP15 \l 1057 ]
Efek samping azatioprin yang relatif ringan sehingga sering digunakan
untuk maintenance atau sebagai glukocorticoid-sparing agent. Sebuah studi yang
melibatkan 68 pasien SLE dengan prognosis yang buruk karena manifestasi ginjal
atau NP menunjukkan bahwa 54 pasien yang diobati dengan azatioprin
meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang secara signifikan dan lebih
sedikit angka rawat inap dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan obat. Para
peneliti lain berkomentar tentang pentingnya terapi ini dalam pemeliharaan remisi
klinis dan penghambatan kerusakan lebih lanjut dari fungsi SSP. Namun, dalam
uji coba secara acak dari azathioprine (3-4 mg/kg/hari ditambah prednison inisial)
dibandingkan prednison (60 mg/hari inisial) pada 24 pasien dengan SLE yang
mengancam kehidupan, tidak ada keuntungan signifikan jangka pendek yang

20
diamati pada penggunaan azatioprin untuk NP dan manifestasi SLE lainnya.
[ CITATION Mag16 \l 1057 ]

Sebuah pusat studi kohort studi yang dilakukan oleh Lim et al (2013)
melaporkan perjalanan klinis dan respon terhadap pengobatan imunosupresif pada
53 anak-anak dengan manifestasi kejiwaan terkait SLE (semua dengan disfungsi
kognitif dan 40 dengan psikosis). Delapan belas dari 32 pasien yang diobati
dengan azathioprine memerlukan perubahan ke siklofosfamid karena respon yang
buruk, namun tak satu pun dari pasien yang menerima terapi siklofosfamid
memerlukan perubahan. [ CITATION LIm13 \l 1057 ]
Satu percobaan terbuka dengan menggunakan azathioprine sebagai terapi
maintenance setelah 6 bulan pengobatan oral siklofosfamid dan oral prednison
pada beberapa kasus skala kecil pada 13 pasien dengan psikosis lupus. Setelah
masa pemantauan selama 86 51 bulan, hanya satu pasien (8%) yang mengalami
kekambuhan psikosis dan tiga pasien mengalami perkembangan gejala NP
lainnya. Pada pasien dengan gangguan kejiwaan dalam konteks SLE umum, terapi
induksi dengan glukokortikoid dan siklofosfamid diikuti oleh maintenance dengan
azathioprine dapat mengakibatkan peningkatan respon signifikan (60-80%),
meskipun kekambuhan masih dapat terjadi (50%). Selain hasil ini, dan meskipun
penggunaan terapi ini pada NPSLE tidak didukung oleh bukti-bukti saat ini,
azatioprin secara luas digunakan dalam praktek klinis sebagai terapi maintenance
setelah induksi siklofosfamid pada gejala NPSLE berat dan sebagai pilihan
pertama untuk gejala NPSLE ringan sebagai glucocorticoid-sparing-agent.
[ CITATION Ber10 \l 1057 ],[ CITATION Mok13 \l 1057 ]
4.3.4 Mycophenolate Mofetil
Mycophenolate mofetil adalah prodrug asam mikofenolat, penghambat
proliferasi limfosit melalui penghambatan reversibel dari inosin-5-monofosfat
dehidrogenase, yang sangat penting untuk sintesis nukleotida guanosin. Asam
mikofenolat menekan pembentukan antibodi, respon imun diperantarai sel,
ekspresi molekul adhesi, dan pengumpulan limfosit dan monosit ke sumber
peradangan. Secara historis, obat ini telah digunakan untuk mengurangi penolakan

21
akut dan kronis pada penerima allograft. Pada pasien SLE, mycophenolate mofetil
banyak digunakan sebagai opsi lini pertama untuk pengobatan induksi dan
maintenance terapi nefritis lupus. Beberapa studi observasional telah
mengungkapkan manfaat dari mikofenolat mofetil dalam manifestasi non-renal
SLE, terutama pada manifestasi hematologi dan dermatologis. [ CITATION
Mag16 \l 1057 ]
Mycophenolate mofetil dan asam mikofenolat yang diberikan masing-
masing secara oral dengan dosis 1000-3000 mg/hari dan 1080-1440 mg/hari. Efek
samping utama mycophenolate mofetil adalah intoleransi gastrointestinal (mual,
nyeri perut, ringan sampai diare sedang), penekanan sumsum tulang, dan infeksi. [
CITATION Mag16 \l 1057 ]
Ginzler et al (2010), menganalisis studi Aspreva Lupus Management, yang
membandingkan efek mycophenolate mofetil dengan siklofosfamid intravena pada
370 pasien dengan nefritis lupus. Tiga pasien NPSLE diobati dengan
mycophenolate mofetil dan prednisolon setelah 3 hari dilanjutkan
methylprednisolone didapatkan dua pasien merespon secara parsial, sedangkan
satu pemulihan lengkap. Sementara, dua pasien dalam kelompok siklofosfamid
berkembang manifestasi neurologis baru dan tidak ada pada pasien yang diberikan
mycophenolate mofetil. Dalam sebuah studi SLE kohort pada 75 pasien yang
semua diberi perlakuan menggunakan mikofenolat mofetil, manifestasi neurologis
membaik pada dua pasien, tetapi manifestasi neurologis baru terjadi pada enam
pasien.[ CITATION Gin10 \l 1057 ],[ CITATION Pos09 \l 1057 ]
Peneliti lain telah menjelaskan tentang kasus individu atau serangkaian
kasus kecil pasien NPSLE yang diobati dengan mycophenolate mofetil, terutama
sebagai terapi maintenance setelah pengobatan awal dengan siklofosfamid. Tiga
pasien dengan mielopati diobati dengan mycophenolate mofetil sebagai agen
imunosupresif pertama. Satu pasien tidak respon, satu pasien mencapai pemulihan
parsial, dan pasien lainnya mencapai pemulihan lengkap. [ CITATION Mag16 \l
1057 ]
Saison et al (2015), mempublikasikan penelitiannya pada 20 pasien SLE
dengan mielopati. Sembilan pasien terpilih untuk menggunakan mycophenolate

22
mofetil sebagai terapi maintenance. Empat pasien kambuh setidaknya sekali
dalam 2 tahun pertama.[ CITATION Sai15 \l 1057 ]
4.3.5 Metotreksat
Metotreksat adalah antagonis asam folat. Derivat polyglutamated
metotreksat berpotensi menghambat berbagai enzim, termasuk dihidrofolat
reduktase dan 5-aminoimidazole-4-carbocsamida ribonucleotide transformylase.
Di antara beberapa efek imunosupresif telah dijelaskan sebagai penghambatan
interleukin (IL) -1 dan juga memberikan efek pada enzim proteolitik. Metotreksat
biasanya diberikan secara oral, subkutan, atau intramuskular. Metotreksat secara
rutin digunakan pada NPSLE dengan manifestasi pada muskuloskeletal dan kulit.
Metotreksat juga telah diberikan secara intratekal atau ke dalam ventrikel serebral,
terutama pada pasien dengan tumor SSP. Dalam kasus ini, 10 mg metotreksat dan
10 mg deksametason diencerkan dengan 3 ml normal saline dan injeksikan secara
lumbal pungsi. Pemberian dengan rute ini mungkin dapat menyelesaikan masalah
bahwa obat ini harus melewati sawar darah otak dan meningkatkan konsentrasi
obat metotreksat di LCS. Efek samping yang lebih umum termasuk gejala
gastrointestinal, stomatitis, peningkatan enzim hati dan sitopenia ringan.
Selanjutnya, beberapa komplikasi seperti hati fibrosis, pneumonitis interstitial,
dan pansitopenia berat juga telah dilaporkan. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Obat ini digunakan sangat jarang pada NPSLE dan buktinya terbatas
hanya pada beberapa serial kasus tentang efek metotreksat intratekal. Valesini et
al (2004), melaporkan perbaikan tiga pasien NPSLE setelah terapi kombinasi
metotreksat intratekal dan deksametason. Group peneliti Cina mempublikasikan
beberapa laporan tentang studi kohort pada kelompok yang sama. Sebanyak 109
pasien menerima kombinasi metotreksat intratekal dan deksametason (satu sampai
lima injeksi) dan menunjukkan hubungan dengan hasil yang positif. Wang et al
(2014), melaporkan tingkat efektivitas kombinasi methylprednisolone dengan
methotrexate intratekal pada 36 pasien NPSLE adalah 89%.[ CITATION Val04 \l
1057 ],[ CITATION Wan14 \l 1057 ]
4.3.6 Siklosporin A
Siklosporin A adalah inhibitor calsineurin yang awalnya berasal dari
jamur. Siklosporin bekerja dengan menekan aktivitas sel T dengan menghambat

23
transkripsi IL-2 dan sitokin lainnya. Siklosporin A merupakan imunosupresif yang
digunakan pada pasien SLE dengan dosis harian 2,5-3 mg/kg. Penggunaan
siklosporin A pada pengobatan pasien SLE terbatas dan banyak data mengenai
agen ini berasal dari pengalaman dengan nefritis lupus. Terapi ini diketahui
menyebabkan efek samping seperti hipertensi, kerusakan fungsi ginjal, dan
hipertrikosis. [ CITATION Yan14 \l 1057 ]

Tidak ada studi secara eksplisit menjelaskan efek siklosporin A pada gejala
NP pasien SLE. Siklosporin A bersamaan dengan therapeutic plasma exchange
(TPE) telah digunakan pada 18 pasien NPSLE dengan sindrom otak organik dan
psikosis. Ketika kombinasi ini ditambahkan pada terapi standar sebelumnya
termasuk kortikosteroid dan azathioprine atau siklofosfamid dicapai perbaikan
secara dini pada gejala NP.[ CITATION Bam10 \l 1057 ]
4.3.7 Rituximab/Anti-CD20
Rituximab adalah antibodi monoklonal chimeric yang secara langsung
ditargetkan terhadap sel B-spesifik dan antigen CD20. Deplesi sel B dicapai
dengan rituximab melalui mekanisme yang berbeda seperti sitotoksisitas sel yang
dimediasi antibodi dependent, tergantung sitotoksisitas, dan induksi apoptosis.
Penggunaan terapi deplesi sel B pada SLE didasarkan pada aspek bahwa sel B
memainkan peran sentral dalam patogenesis SLE, sebagai antigen-precenting
cells dan dalam produksi autoantibodi, sitokin, dan kemokin. Saat ini, rituximab
banyak digunakan sebagai terapi alternatif pada pasien SLE aktif yang tidak
respons terhadap terapi imunosupresif standar. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Dua randomized controlled trials (RCT) tentang penggunaan rituximab
pada pasien SLE, satu dengan keterlibatan ginjal yaitu trial the Lupus Nephritis
Assesment with Rituximab (LUNAR) dan yang lainnya tanpa keterlibatan ginjal
yaitu trial the Eksploratory Phase II/III SLE Evaluation of Rituximab
(EXPLORER) gagal menemukan keunggulan rituximab dibandingkan dengan
standar rejimen imunosupresif (glukokortikoid, siklofosfamid, dan mycophenolate

24
mofetil) ringan hingga sedang pada SLE aktif. Pada studi ini tidak dimasukkkan
pasien berat dan refrakter.[ CITATION Rov12 \l 1057 ],[ CITATION Mer10 \l 1057 ]
Di sisi lain, efikasi dan keamanan rituximab dalam pengobatan nonrenal
SLE baru-baru ini dianalisis dalam review sistematis termasuk satu RCT, dua
studi open-label dan 22 studi kohort dengan total 1231 pasien. Rituximab terbukti
aman dan efektif dalam pengobatan SLE nonrenal, terutama dalam hal aktivitas
penyakit, parameter imunologi, dan efek kortikosteroid. [ CITATION Cob14 \l
1057 ]

Sejumlah besar laporan kasus dan beberapa penelitian open-label


menunjukkan kemampuan yang baik oleh rituximab pada kasus-kasus NPSLE
refrakter. Tokunaga et al (2007) melaporkan respon sebesar 100% pada sepuluh
pasien NPSLE refrakter berat yang diobati dengan rituximab. Narvaez et al (2013)
telah meringkas semua data yang dipublikasikan mengenai pasien dewasa dengan
NPSLE refrakter dengan hasil terdapat respon klinis pada 85% pasien,
diklasifikasikan menjadi respon komplit pada 50% pasien dan respon parsial pada
35% pasien. Namun, 45% dari pasien kambuh, rata-rata setelah 17 bulan
meskipun menjalani terapi maintenance. [ CITATION Tok07 \l 1057 ],[ CITATION

Nar13 \l 1057 ]

Rejimen terapi rituximab yang paling sering digunakan adalah 1000 mg


dosis terpisah untuk 15 hari. Pada semua kasus, rituximab diberikan bersama-
sama dengan kortikosteroid. Serangkaian kasus baru pada 18 pasien NPSLE
pediatrik menunjukkan efek menjanjikan rituximab. [ CITATION Nar13 \l 1057 ]
4.3.8 Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena (IGIV) merupakan campuran antibodi alami IgG
yang berasal dari darah donor yang sehat. Pada pasien SLE, efek IGIV dianggap
bermanfaat karena menekan fungsi autoreaktif limfosit B dan menetralisir
autoantibodi patogen yang diproduksi oleh sel-sel ini dan menghambat
diferensiasi sel dendritik yang dimediasi interferon (IFN) tipe 1 dan penekanan
endositosis dari nukleosom. [ CITATION Bay11 \l 1057 ]

25
Bukti yang ada untuk menilai efektifitas IGIV pada SLE saat ini masih
terbatas. Beberapa Indikasi saat ini yang ditujukan untuk IGIV pada SLE adalah
pada kasus berat yang tidak respons pada penggunaan obat imunosupresif
konvensional, pasien dengan SLE aktif dan infeksi secara bersamaan, dan
digunakan sebagai corticosteroid-sparing agent ketika SLE hanya dapat terkontrol
dengan glukokortikoid dosis tinggi. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Imunoglobulin intravena (IGIV) juga aman digunakan selama kehamilan,
tanpa resiko teratogenik dan mungkin merupakan pilihan yang baik pada kasus
yang berat dan mengancam kehidupan. Pada pasien SLE, IGIV diberikan dengan
dosis 2 gram/kg, dengan dosis terbagi selama 2-5 hari. Efek samping dikaitkan
IGIV telah dilaporkan lebih dari 20% pasien. Pada umumnya efek samping yang
terjadi berlangsung ringan seperti sakit kepala, demam, flushing, menggigil,
arthralgia, nyeri punggung, dan mialgia yang tidak memerlukan penghentian
terapi. Reaksi lainnya yang serius adalah reaksi sistemik seperti komplikasi
tromboemboli.[ CITATION Kat07 \l 1057 ]
Berdasarkan laporan beberapa studi kasus dan studi retrospektif, IGIV
telah berhasil digunakan untuk mengobati pasien NPSLE dengan gejala spektrum
yang luas, seperti manifestasi SSP seperti sindrom delirium akut, kejang, sakit
kepala, chorea, psikosis, manifestasi sistem saraf perifer seperti inflamasi kronis
polineuropati demielinasi, Guillain-Barre', neuropati perifer yang berhubungan
dengan vaskulitis, dan gejala kejiwaan seperti psikosis, depresi dan gangguan
mood. Camara et al (2014) melaporkan studi pada 52 pasien SLE, termasuk 11
pasien dengan keterlibatan sistem saraf yang diobati dengan IGIV. Pada pasien ini,
enam memiliki keterlibatan SSP dan lima dengan neuropati perifer. Setelah
pengobatan IGIV, delapan pasien ini mengalami perbaikan (empat pasien dengan
remisi total dan empat mengalami respon parsial), dan tiga pasien (vasculitis SSP,
neuropati perifer, dan gejala tidak spesifik NPSLE lainnya) tidak menunjukkan
respon pada terapi ini. Secara umum, pada sebagian besar kasus NPSLE yang
dilaporkan sampai saat ini, pemberian IGIV dilakukan karena tidak terdapat
respon setelah pemberian terapi pulse dose kortikosteroid, gagal atau
kontraindikasi untuk terapi imunosupresif standar atau munculnya infeksi
konkomitan. Seperti yang terlihat pada manifestasi lain SLE, efek yang

26
menguntungkan IGIV terhadap gejala NP secara cepat dicapai dan pasien tidak
mengalami kekambuhan setelah pemberian infus terakhir. [ CITATION Mag16 \l
1057 ],[ CITATION Cam14 \l 1057 ]
4.3.9 Therapeutic Plasma Exchange
Therapeutic Plasma Exchange (TPE) atau dikenal juga dengan Aferesis
adalah teknik purifikasi extracorporeal yang dirancang untuk menghilangkan zat-
zat molekul besar dari plasma. Plasma segar ataupun beku digunakan untuk
mengganti sejumlah besar plasma pasien dengan melewati pembuluah darah vena
melalui alat extracorporeal continuous flow centrifugation device. Dasar dari
teknik ini adalah bahwa penghilangan zat akan mengurangi kerusakan dan dapat
melawan proses patologis. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]

Therapeutic Plasma Exchange (TPE) adalah teknik kompleks mahal yang


memerlukan pengalaman dan peralatan spesifik, namun disisi lain teknik ini relatif
aman. Komplikasi berlangsung ringan seperti reaksi alergi ringan, demam, dan
gejala hipokalsemia seperti parestesia, mual dan kram. Efek samping yang
berpotensi mengancam jiwa jarang terjadi. Meskipun TPE telah digunakan untuk
mengobati beberapa manifestasi SLE dengan manfaat yang menguntungkan,
penggunaannya dalam praktek klinis masih terbatas. Aferesis diterima oleh
American Society for Apheresis (ASFA) sebagai terapi lini kedua, baik sebagai
pengobatan tunggal atau bersamaan dengan pengobatan lain, meskipun bukti yang
ada masih rendah. [ CITATION Sch13 \l 1057 ]
Therapeutic Plasma Exchange (TPE) telah digunakan secara tunggal atau
kombinasi dengan imunosupresan lain sebagai terapi adjuvant pada pasien dengan
NPSLE. TPE akan memodulasi komponen humoral dari respon imun, menghapus
autoantibodi dan kompleks imun, sementara terapi imunosupresif menekan
produksi antibodi. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Neuwelt mereview 26 pasien dengan gejala SLE dengan keterlibatan SSP
yang diobati dengan TPE secara tunggal atau kombinasi dengan siklofosfamid.
Setelah terapi ini, 74% dari pasien mengalami perbaikan, 13% stabil, dan 13%
pasien mengalami progresivitas. Hal ini menggaris bawahi keuntungan potensial
TPE pada pasien refrakter atau pasien kritis yang tidak berespon terhadap

27
siklofosfamid. Studi retrospektif pada 13 pasien dengan NPSLE yang sedang
menjalani TPE menunjukkan remisi komplit pada 54% pasien dan remisi parsial
pada 46% pasien. Semua kecuali satu pasien telah diberikan siklofosfamid dan
adjuvant plasma exchange dalam minggu yang sama. [ CITATION Mag16 \l 1057
]
Guidelines dari ASFA menyarankan bahwa aferesis dapat dilakukan setiap
hari (1-1,5 Total volume plasma) selama tiga sampai enam kali untuk melihat
respon pada pasien dengan cerebritis lupus. Guidelines ini juga menetapkan
pengobatan demielinasi inflamasi akut, tetapi tidak ada rekomendasi mengenai
myelopati pada SLE. TPE juga juga dapat diindikasikan gejala neurologis lain
yang berhubungan dengan SLE, misalnya myasthenia gravis dan sindrom
Guillain-Barre. Meskipun tidak ada rekomendasi spesifik untuk gejala NP, namun
hasil fungsional yang baik telah dilaporkan ketika TPE ditambahkan sebagai
terapi imunosupresif pada pasien SLE dengan komplikasi ini. Kesimpulannya,
TPE yang dikombinasikan dengan terapi imunosupresif lainnya memiliki
toksisitas yang dapat diterima dan dapat menjadi alternatif yang baik pada NPSLE
berat. [ CITATION Mag16 \l 1057 ],[ CITATION Sch13 \l 1057 ]
4.3.10 Autologous Hematopoietic Stem Cell Transplantation
Autologous Hematopoietic Stem Cell Transplantation (AHSCT) telah
muncul sebagai pengobatan yang efektif pada pasien SLE berat. AHSCT telah
digunakan sebagai terapi penyelamatan pada pasien dengan NPSLE refrakter berat
untuk mengintensifkan terapi imunosupresif. AHSCT bisa mencapai penurunan
gejala klinis dan imunologi secara berkelanjutan hingga 5 tahun bahkan pada
pasien dengan penyakit berat yang tidak respon terhadap terapi imunosupresif
konvensional lainnya. Tujuan dari terapi ini adalah mengatur ulang sistem
kekebalan tubuh pasien dengan cara mendeplesi sel memori autoreaktif dan
pemulihan sistem kekebalan tubuh dengan normalisasi pertumbuhan sel T lebih
muda. Menurut literatur terbaru, lebih dari 200 pasien telah menerima
transplantasi stem sel autologus sebagai terapi pada lupus yang refrakter terhadap
terapi agresif imunosupresif standar. [ CITATION Ill11 \l 1057 ]
Darah tepi merupakan sumber stem sel hematopoietik dapat juga
dikombinasi dengan siklofosfamid (2-4 gram/m2), antithymocyte globulin (30

28
mg/kg), dan granulocyte colony-stimulating factor (GCSF) dengan dosis 5 g/kg)
merupakan strategi ablasi/mobilisasi yang paling sering digunakan. [ CITATION
Ill11 \l 1057 ]
Autologous Hematopoietic Stem Cell Transplantation (AHSCT)
dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian jangka pendek yang
berkontribusi dalam banyak kasus komplikasi infeksi atau penyakit flare.
kematian terkait transplantasi berkisar dari 0 sampai 25%. Dilaporkan juga bahwa
pasien SLE memiliki angka kematian yang tinggi pada 100 hari proses
transplantasi dan paling tertinggi 5-tahun kematian setelah transplantasi
dibandingkan dengan penyakit autoimun lainnya; Oleh karena itu, rasio antara
risiko dan benefit sangat penting untuk dioptimalkan.[ CITATION Ill11 \l 1057 ]

Burt et al (2006) melaporkan pada 50 pasien SLE menjalani terapi


AHSCT, 32 pasien menunjukkan gejala sistem saraf pusat seperti kejang, psikosis,
sakit kepala, meningitis aseptik, defisit focus, TIA, atau myelopati. Alchi et al
(2013) melaporkan bahwa 46% pasien SLE direkrut dari 1995-2002 memiliki
keterlibatan SSP. Frekuensi aktivitas lupus SSP menurun < 5% setelah terapi
AHSCT dan hanya satu pasien menunjukkan berkembang menjadi penyakit SSP
baru setelah pemberian AHSCT.[ CITATION Bur06 \l 1057 ],[ CITATION Alc13 \l 1057 ]
Peneliti lain juga melaporkan penurunan kondisi klinis pada pengobatan
NPSLE dengan AHSCT tetapi hasilnya terbatas pada laporan kasus atau kasus
kecil. Selain peningkatan aktivitas lupus keseluruhan dan status serologis, AHSCT
telah dilaporkan untuk memperbaiki gejala anti antifosfolipid (APS). Level aCL
dan LAC secara nyata meningkat atau normal setelah transplantasi pada beberapa
pasien. Burt et al juga melaporkan bahwa dari 22 pasien yang menerima
antikoagulan, 18 mampu menghentikan terapi ini dalam rata-rata 4 bulan setelah
terapi AHSCT, dan 78% bebas dari kejadian trombosis.[ CITATION Mag16 \l
1057 ],[ CITATION Bur06 \l 1057 ]
.
4.4 Manajemen iskemik NPSLE dan Pencegahan Sekunder

29
4.4.1 Terapi antiplatelet
Terjadinya plak aterosklerotik menyebabkan deposisi platelet dan
pembentukan trombus arteri yang dapat memicu kejadian serebrovaskular akut.
Sejak platelet dijelaskan sebagai komponen seluler kunci dari trombus oklusif
arteri, asam asetilsalisilat sebagai obat dengan efek yang poten untuk mengurangi
agregasi platelet, dimaksudkan untuk memiliki efek signifikan pada angka
kesakitan dan kematian. Aterosklerosis telah dijelaskan terjadi secara dini pada
pasien SLE dan menjadi faktor risiko independen tradisional untuk panyakit
kardiovaskuler. Aktivasi trombosit meningkat pada pasien SLE dibandingkan
dengan pasien normal dan memiliki peran dalam mempercepat terjadinya
aterosklerosis. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]

Kehadiran simultan antibodi pada SLE dan antibodi aPL, yaitu LAC dan
kadar aCL dengan titer yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan risiko
trombosis. Asam asetilsalisilat dosis rendah memiliki peran protektif ringan
terhadap trombosis pada pasien SLE dengan aPL positif. Para ahli dibidang anti-
phospolipid syndrome (APS) merekomendasikan penggunaan asam asetilsalisilat
dosis rendah pada pasien SLE dengan LAC positif atau titer aCL yang tinggi
sebagai tromboprofilaksis primer ketika tidak ada kontraindikasi mayor.
[ CITATION Mag16 \l 1057 ], [ CITATION Rui13 \l 1057 ]
Sebagai tromboprofilaksis sekunder, terapi ini berhubungan dengan
adanya APS. Pada pasien tanpa aPL atau dengan aPL yang tidak tidak memenuhi
kriteria APS, asam asetilsalisilat (50-325 mg / hari) digunakan sebagai monoterapi
dan clopidogrel 75 mg sebagai monoterapi diterima sebagai pilihan terapi inisial.
Pilihan ini direkomendasikan sebagai pilihan pertama pada terapi kombinasi
(asam asetilsalisilat/clopidogrel) atau antikoagulan. Pada pasien yang mengalami
serebrovaskular sekunder pada saat terapi asam asetilsalisilat, agen antiplatelet
alternatif seperti clopidogrel sering dipertimbangkan.[ CITATION Mag16 \l
1057 ],[ CITATION Rui13 \l 1057 ]
4.4.2 Antikoagulan

30
Obat antikoagulan menunjukkan efektivitas untuk pencegahan dan
pengobatan troboemboli vena dan arteri, namun penggunaannya juga dikaitkan
dengan peningkatan risiko pendarahan. Penggunaan dan manfaat terapi
antikoagulan pada pencegahan primer dan sekunder dari penyakit serebrovaskular
iskemik yang terkait SLE dengan aPL atau APS masih kontroversial.[ CITATION
Mag16 \l 1057 ]
Cuadrado et al (2014), melaporkan studi prospektif selama 5 tahun, sebuah
studi randomized controlled trial pada 166 pasien SLE dengan aPL yang secara
acak menerima pengobatan asetilsalisilat dosis rendah atau asetilsalisilat dosis
rendah dan warfarin intensitas rendah. Peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan tingkat trombosis antara kedua kelompok. Selanjutnya warfarin
dilaporkan kurang aman dan memiliki toleransi yang buruk.[ CITATION Cua14 \l
1057 ]
Pencegahan sekunder stroke pada pasien dengan aPL juga telah dibahas
dalam beberapa penelitian. Sebuah studi yang berfokus pada kejadian cerebral
arteri menunjukkan angka yang sama dalam kejadian trombotik berulang lebih
dari 2 tahun dan risiko pendarahan mayor pada pasien yang diobati dengan aspirin
dosis rendah atau terapi warfarin. Dua sudut pandang, penelitian acak pada APS
melaporkan bahwa pengobatan dengan intensitas tinggi warfarin (INR kisaran 3-
4) tidak lebih unggul dibandingkan penggunaan warfarin intensitas sedang (INR
2,0-3,0) dalam mencegah trombosis berulang. Tingkat komplikasi perdarahan
minor sedikit meningkat pada pasien yang diobati dengan antikoagulan intensitas
tinggi. [ CITATION Mag16 \l 1057 ]
Rekomendasi EULAR untuk pengelolaan NPSLE menunjukkan bahwa
antikoagulan bisa menjadi terapi yang lebih unggul daripada antiplatelet pada
pencegahan sekunder kerusakan arteri seperti stroke atau TIA pada APS. Pada
guidelines internasional terbaru untuk pencegahan dan manajemen trombosis
jangka panjang pada pasien APL-positif merekomendasikan penggunaan terapi
warfarin dengan target INR > 3.0, atau anti aggregasi dikombinasikan dengan
terapi antikoagulan dengan target INR 2,0-3,0 pada pasien dengan APS dan
trombosis arteri. [ CITATION Ber10 \l 1057 ]

31
Pada pasien SLE dengan trombosis vena serebral dan sinus, dianjurkan
pengobatan dengan antikoagulan oral. Durasi optimal terapi antikoagulan oral
setelah fase akut tidak jelas. guidelines merekomendasikan antikoagulan oral
dengan target INR kisaran 2,0-3,0 selama 3-6 bulan dan pada pasien dengan APS
pemberian antikoagulan jangka panjang harus dipertimbangkan.[ CITATION
Ein10 \l 1057 ]
Antikoagulan oral juga telah digunakan pada NPSLE yang tidak terlibat
serebrovaskular. Pada beberapa pasien SLE APL-positif dengan myelopati, hasil
fungsional yang baik telah didapatkan ketika ditambahkan pada terapi
imunosupresif.. Pada pasien SLE dengan chorea atau kejang, antikoagulan dapat
dipertimbangkan bila dikaitkan dengan aPL atau ketika proses iskemik dicurigai
terjadi. Terapi ini juga telah berhasil digunakan dalam APL terkait iskemik optik
neuropati dan pada pasien SLE dengan aPL positif dan neuropati kranial yang
tidak respon terapi imunosupresif. Beberapa studi juga menyarankan bahwa
pasien APS dengan disfungsi kognitif mendapatkan manfaat dari terapi
antikoagulan. [ CITATION Ber10 \l 1057 ]

32
Gambar 4.2 Pendekatan terapi NPSLE[ CITATION Mag16 \l 1057 ]

33
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) adalah definisi
umum yang mengacu pada serangkaian gejala neurologis dan psikiatri
yang berhubungan langsung dengan systemic lupus erythematosus (SLE).
2. NPSLE termasuk manifestasi neuropsikiatri heterogen yang melibatkan
sistem saraf, baik sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer.
3. Diagnosis NPSLE merupakan diagnosis eksklusi berdasarkan manifestasi
klinis neurologi, gangguan kognitif dan psikiatri serta pemeriksaan
imaging melalui MRI.
4. Penatalaksanaan NPSLE berupa pencegahan primer, terapi simtomatik,
manajemen inflamasi, manajemen iskemik dan pencegahan sekunder.

5.2 Saran
Perlu pemahaman lebih lanjut tentang diagnosis dan penatalaksanaan
NPSLE untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas

34
DAFTAR PUSTAKA
x
1. Magro-Checa M , Zirkzee EJ , Huizunga TW , Steup-Beekman GM. Management of
neuropsychiatric systemic lupus erythematosus: current approaches and future
perspectives. Drugs. 2016; 76: p. 459-483.
2. Faria R , Goncalves J , Dias R. Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus
involvement: towards a tailored approach to our patients? Rambam Maimonides Med
J. 2017; 8(1): p. e0001.
3. Ammur S , Parekh A , Mummaneni P. Sex diffrencies and genomics in autoimmune
disease. J Autoimmune. 2012; 38(2-3): p. 254-65.
4. Murphy G , Isenberg D. Effect of gender on clinical presentation in systemic lupus
erythematosus. Rheumatology (Oxford). 2013; 52(12): p. 2108-15.
5. Kampylafka EI , Alexopoulous H , Kosmidis ML , Panagiotokos DB ,
Vlachoyiannopoulos PG , Dalakas MC , et al. Incidence and prevalence of major
central nervous system involvement in systemic lupus erythematosus: a 3-year
prospective study of 370 patients. Plos One. 2013; 8(2): p. e55843.
6. Zirkzee EJ , Huizinga TW , Bollen EL , Van Buchem MA , Midelkoop HA , Van der
Wee NJ , et al. Mortality in neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. Lupus.
2014; 23(1): p. 31-8.
7. Kivity S , Agmon-levin N , Zandman-Goddard G , Chapman J , Shoenfeld Y.
Neuropsychiatric lupus: a mosaic of clinical presentations. BMC Medicine. 2015; 13:
p. 43.
8. Sciascia S , Bertolaccini ML , Roccatello D , Khamashta MA , Sanna G.
Autoantibodies involved in neuropsychiatric manifestations associated with systemic
lupus erythematosus review. J Neurol. 2014; 261: p. 1706-14.
9. Carmona-Fernandes D , Santos MJ , Canhao H , Fonseca JE. Anti-ribosomal P
protein IgG autoantibodies in patients with systemic lupus erythematosus diagnostic
performance and clinical profile. BMC Med. 2013; 11: p. 98.
10. Bravo-Zehnder M , Toledo EM , Segovia-Miranda F , Serrano FG , Benito MJ , Metz
C , et al. Anti-ribosomal P protein autoantibodies from patients with neuropsychiatric
lupus impair memory in mice. Arthritis Rheumatol. 2015; 67: p. 204-14.
11. Meroni PL. Pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: an additional example of
the mosaic of autoimmunity. J Autoimmun. 2008; 30: p. 99-9103.
12. Tsuchiya H , Haga S , Takahashi Y , Kano T , Ishizaka Y , MimoriA. Identification of
novel autoantibodies to GABA(B) receptors in patients with neuropsychiatric
systemic lupus erythematosus. Rheumatology (Oxford). 2014; 53: p. 1219-28.
13. Govoni M , Bortoluzzi A , Padovan M , Silvagni E , Borrelli M , Donelli F , et al. The
diagnosis and clinical managaement of the neuropsychiatric manifestations of lupus.
J Autoimmun. 2016; 74: p. 41-72.
14. Ho RC , Thiaghu C , Ong H , Lu Y , Ho CS , Tam WW , et al. A meta-analysis of
serum and cerebrospinal fluid autoantibodies in neuropsychiatric systemic lupus
erythematosus. Autoimmune Rev. 2016; 15: p. 124-38.
15. Hirohata S , Sakuma Y , Yanagida T , Yoshio T. Association of cerebrospinal fluid
anti-Sm antibodies with acute confusional state in systemic lupus erythematosus.
Arthritis Res Ther. 2014; 7: p. 5.
16. Diamond B , Volpe BT. A model for lupus brain disease. Immunol Rev. 2012; 248: p.
56-67.

17. Hirohata S , Arinuma Y , Yanagida T , Yoshio T. Blood-brain barrier damages and

35
intrathecal synthesis of anti-N-methyl-D-aspartate receptor NR2 antibodies in diffuse
psychiatric/neuropsychological syndromes in systemic lupus erythematosus. Arthritis
Res Ther. 2014; 16: p. R77.
18. Souirti Z , Lahlou M , El Ouali O , Chtaou N , Aarab C , El Ghazouani F , et al.
Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. Open Journal of Rheumatology and
Autoimmune Disease. 2013; 3: p. 86-91.
19. Hanly JG. Diagnosis and management of neuropsychiatric SLE. Nat Rev Rheumatol.
2014; 10(6): p. 338-47.
20. Ercan E , Ingo C , Tritanon O , Magro-Checa C , Smith A , Smith S , et al. A
multimodal MRI approach to identify and characterize microstructural brain changes
in neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. Neuroimage Clin. 2015; 8: p. 337-
44.
21. Appenzeler S , Cendes F , Costallat LT. Epileptic seizures in systemic lupus
erythematosus. Neurology. 2004; 63(10): p. 320-3.
22. Petri M , Naqibuddin M , Carson KA , Wallace DJ , Weisman MH , Holliday SL , et
al. Depression and cognitive impairment in newly diagnosed systemic lupus
erythematosus. J Rheumatol. 2010; 37(10): p. 2032-8.
23. Bertsias GK , Ioannidis JP , Aringer M , Bollen E , Bombardieri S , Bruce IN , et al.
EULAR recommendations for the management of systemic lupus erytehmatosus with
neuropsychiatric manifestation: report a task force of the EULAR standing comittee
for clinical affairs. Ann Rheum Dis. 2010; 69(12): p. 2074-82.
24. Petri M. Use of hydroxycholroquine to prevent thrombosis in systemic lupus
erythematosus and in antiphospolipid antibody positive patients. Curr Rheumatol
Rep. 2011; 13(1): p. 77-80.
25. Parker B , Urowitz MB , Gladman DD , Lunt M , Donn R , Bae SC , et al. Impact of
early disease factors on metabolic syndrome in systemic lupus erythematosus: data
from an international inception cohort. Ann Rheum Dis. 2015; 74(8): p. 1530-6.
26. Jung H , Bobba R , Su J , Shariati-Sarabi Z , Gladman DD , Urowitz M , et al. The
protective effect of antimalarial drugs on throombovascular events in systemic lupus
erytehematosus. Arthritis Rheum. 2010; 62(3): p. 863-8.
27. Ruiz-Irastorza G , Egurbide MV , Pijoan JI , Garmendia M , Villar I , Martinez-
Berriotxa A , et al. effect of antimalarial on thrombosis and susrvival in patients with
systemic lupus erythematosus. Lupus. 2006; 15(9): p. 577-83.
28. Taylor F , Huffman MD , Macedo AF , Moore TH , Burke M , Davey Smith G , et al.
Statins for the primary prevention of cardiovascular disease. Cochrane Database Syst
Rev. 2013;(1): p. CD004816.
29. Elliot JR , Manzi S. Cardiovascular risk assesment and treatment in systemic lupus
erytehmatosus. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2009; 23(4): p. 481-94.
30. Houssiau FA , Vasconcelos C , D'Cruz D , Sebastiani GD , de Ramon Garrido E ,
Danieli MG , et al. The 10-year follow up data of the Euro-Lupus Nephritis Trial
comparing low dose and high dose intravenous cyclophosphamide. Ann Rheum Dis.
2010; 69(1): p. 61-4.
31. Mok CC , Lau CS , Wong RW. Treatment of lupus psychosis with oral
cyclophospamide followed by azathioprine maintenance: an open-label study. Am J
Med. 2013; 115(1): p. 59-62.
32. Ramos PC , Mendez MJ , Ames PR , Khamashta MA , Hughes GR. Pulse
cyclophospamide in treatment in treatment of neuropsychiatric systemic lupus
erythematosus. Clin Exp Rheumatol. 2006; 14(3): p. 295-9.
33. Stojanovich L , Stojanovich R , Kostich V , Dzolich E. Neuropsychiatric lupus
favourable response to low dose i.v cyclophosphamide and prednisolone (pilot
study). Lupus. 2013; 12(1): p. 3-7.

36
34. Barile-Fabris L , Ariza-Andraca R , Olguin-Ortega L , Jara LJ , Fraga-Mouret A ,
Miranda-Limon JM , et al. Controlled clinical trial of IV cyclophosphamide versus
IV methylprednisolone in severe neurological manifestations in systemic lupus
erythematosus. Ann Rheum Dis. 2015; 64(4): p. 620-5.
35. DiPiero J , Teng K , Hicks JK. Should thiopurine methyl transferase (TPMT) activity
be determined before prescribing azathioprine, mercaptopurine, or thioguanine? Clin
J Med. 2015; 82(7): p. 409-13.
36. LIm LS , Lefebvre A , Benseler S , Silverman ED. Longterm outcomes and damage
accrual in patients with childhood systemic lupus erythematosus with psychosis and
severe cognitive dysfunction. J Rheumatol. 2013; 40(4): p. 27-34.
37. Ginzler EM , Wofsy D , Isenberg D , Gordon C , Lisk L , Dooley MA , et al.
Nonrenal disease activity following mycophenolate mofetil or intravenous
cyclophosphamide as induction treatment for lupus nephritis: findings in a
multicenter, prospective, randomized, open-label, parallel-group clinical trial.
Arthritis Rheum. 2010; 62(1): p. 211-21.
38. Posalski JD , Ishimori M , Wallace DJ , Weisman MH. Does mycophenolate mofetil
prevent extra-renal flares in systemic lupus erythematosus? Results from an
observational study of patients in a single practice treated for up to 5 years. Lupus.
2009; 18(6): p. 516-21.
39. Saison J , Costedoat-Chalumeau N , Maucort-Boulch D , Iwaz J , Marignier R ,
Cacoub P , et al. Systemic lupus erythematosus associated acute transverse myelitis:
manifestations, treatments, outcomes and prognostic factors in 20 patients. Lupus.
2015; 24(1): p. 139-41.
40. Valesini G , Priori R , Francia A , Balestrieri G , Tincani A , Airo P , et al. Central
nervous system involvement in systemic lupus erytehematosus: a new therapeutic
approach with intrathecal dexamethasone and methotrexate. Springer Semin
Immunopathol. 2004; 16(2-3): p. 313-21.
41. Wang J , Zhao Y , Zhang J , Lei H , Zhu G , Fu B , et al. Impact analysis of
autoantibody level and NR2 antibody level in neuropsychiatric SLE treated by
methylprednisolone combined with MTX and DXM intrathecal injection. Cell
Biochem Biophys. 2014; 70(2): p. 1005-9.
42. Yang M , Li M , He W , Wang B , Gu Y. Calcineurin inhibitors may be reasonable
alternative to cyclophosphamide in the induction treatment of active lupus nephritis:
a systematic review and meta-analysis. Exp Ther Med. 2014; 7(6): p. 1663-70.
43. Bambauer R , Schwarze U , Schiel R. Cyclosporin A and therapeutic plasma
exchange in treatment of severe systemic lupus erythematosus. Artif Organs. 2010;
24(11): p. 852-6.
44. Rovin BH , Furie R , Latinis K , Looney RJ , Fervenza FC , Sanchez-Guerrero J , et
al. Efficacy and safety of rituximab in patients with active proliferative lupus
nephritis: The Lupus nephritis Assesment with Rituximab study. Arthritis Rheum.
2012; 44(2): p. 1215-26.
45. Merrill JT , Neuwelt CM , Wallace DJ , Shanahan JC , Latinis KM , Oates JC , et al.
Efficacy and safety rituximab in moderately-to-severely active sytemic lupus
erythematosus: the randomized, double-blind, phase II/III systemic lupus
erythematosus evaluation of rituximab trial. Arthritis Rheum. 2010; 62(1): p. 222-33.
46. Cobo-Ibanez T , Loza-Santamaria E , Pego-Reigosa JM , Marques AO , Rua-
Figueroa I , Fernandez-Nebro A , et al. Efficacy and safety of rituximab in treatment
of non renal systemic lupus erythematosus; a systemic review. Semin Arthritis
Rheum. 2014; 44(2): p. 175-85.

37
47. Tokunaga M , Saito K , Kawabata D , Imura Y , Fujii T , Nakayamada S , et al.
efficacy of rituximab (anti-CD20) for refractory systemic lupus erythematosus
involving the central nervous system. Ann rheum Dis. 2007; 66(4): p. 470-5.
48. Narvaez J , Rios-Rodriguez V , de la Fuente D , Estrada P , Lopez-Vives L , Gomez-
Vaquero C , et al. Rituximab therapy in refractory neuropsychiatric lupus: current
clinical evidence. Semin Arhritis Rheum. 2013; 41(3): p. 364-72.
49. Bayry J , Negi VS , Kaveri SV. Intravenous immunoglobulin theraphy in rheumatic
diseases. Nat Rev Rheumatol. 2011; 7(6): p. 349-59.
50. Katz U , Achiron A , Sherer Y , Shoenfeld Y. Safety of intravenous immunoglobulin
(IVIG) therapy. Autoimmune Rev. 2007; 6(4): p. 257-9.
51. Camara I , Sciascia S , Simoes J , Pazzola G , Salas V , Karim Y , et al. Treatment
with intravenous immunoglobulins in systemic lupus erythematosus: a series of 52
patients from a single centre. Clin Exp Rheumatol. 2014; 32(1): p. 41-7.
52. Schwartz J , Winters JL , Padmanabhan A , Bologun RA , Delaney M , Linenberger
ML , et al. Guidelines on the use of therapeutic apheresis in clinical practice-
evidence-based approach from the Writing Committee of the American Society for
Apheresis: the sixth special issue. J Clin Apher. 2013; 28(3): p. 145-284.
53. Illei GG , Cervera R , Burt RK , Doria A , Hiepe F , Jayne D , et al. Current state and
future directions of autologous hematopoietic stem cell tranplantation in systemic
lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. 2011; 70(12): p. 2071-4.
54. Burt RK , Traynor A , Statkute L , Barr WG , Rosa R , Schroeder J , et al.
Nonmyeloablative hematopoietic stem cell tranplantation for systemic lupus
erythematosus. JAMA. 2006; 295(5): p. 527-35.
55. Alchi B , Jayne D , Labopin M , Demin A , Sergeevicheva V , Alexander T , et al.
Autologous haematopoietic stem cell tranplantation for systemic lupus
erythematosus: data from the European Group for Blood and Marrow Transplantation
registry. Lupus. 2013; 22(3): p. 245-53.
56. Ruiz-Irastorza G , Cuadrado MJ , Ruiz-Arruza I , Brey R , Crowther M , Derksen R ,
et al. Evidence-based recommendations for the prevention and long-term
management of thrombosis inantiphospolipid antibody-positive patients: report of a
task force at the 13th International Congress on antiphospholipid antibodies. Lupus.
2013; 20(2): p. 206-18.
57. Cuadrado MJ , Bertolaccini ML , Seed PT , Tektonidou MG , Aguirre A , Mico L , et
al. Low-dose aspirin vs low dose aspirin plus low-intensity warfarin in
thromboprophylaxis: a prospective, multicentre, randomized, open, controlled trial in
patients positive for antiphospholipid antibodies (ALIWAPAS). Rheumatology
(Oxford). 2014; 53(2): p. 275-84.
58. Einhaupl K , Stam J , Bousser MG , De Bruijn SF , Ferro JM , Martinelli I , et al.
EFNS guideline on treatment of cerebral venous and sinus thrombosis in adult
patients. Eur J Neurol. 2010; 17(10): p. 1229-35.
x

38

Anda mungkin juga menyukai