PENDAHULUAN
1
kemudian selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan daerah
sekitarnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu
berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu,
tergantung dari jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak.
Sesampainya di otak, virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas
dalam semua bagian neuron. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian menuju perifer dalam serabut saraf eferen dan saraf
volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir setiap
organ dan jaringan di dalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-
jaringannya.7
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan gejala rabies hanya berupa
tindakan suportif. Tidak adanya terapi terhadap rabies menyebabkan tindakan
pencegahan menjadi sangat vital. Manajemen luka gigitan akan menjadi faktor
paling penting untuk mencegah infeksi rabies lebih lanjut, infeksi tetanus, ataupun
sepsis.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan luka gigitan hewan penular
rabies.
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai penatalaksanaan kasus gigitan hewan
penular rabies.
2. Memberikan informasi dalam penentuan tindakan yang akan dilakukan pada
pasien gigitan hewan penular rabies.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Peranan antibiotik sebagai profilaksis pada gigitan hewan masih
kontroversi,10,9 namun pendapat ahli menyarankan agar pemberian antibiotik
hanya dilakukan pada pasien dengan luka resiko tinggi saja. 9 Indikasi yang
disarankan untuk pemberian antibiotik dapat dilihat pada tabel 2. Kombinasi
amoxicillin dan clavulanic acid1 merupakan obat pilihan utama oleh karena efektif
melawan P. multicoda, Streptococcus, Staphylococcus, dan bakteri anaerob.11,12,13
Cephalosporin spektrum luas atau kombinasi trimethorprim dan sulfamethoxazole
ditambah clindamycin merupakan rekomendasi obat alternatif untuk pasien yang
alergi terhadap penicillin.10
Tabel 2. Indikasi pemberian antibiotik10
1. Gigitan pada kaki dan tangan
2. Gigitan yang menembus dermis
3. Keterlibatan otot, tendon, atau tulang dan penetrasi pada rongga sendi
4. Kecurigaan adanya benda asing yang masih tertinggal
5. Luka tusukan yang dalam dan gigitan dengan crush injury atau edema
6. Tanda infeksi dalam 24 jam
7. Pasien dengan resiko infeksi tinggi seperti pasien immunocompromised,
dan resiko tinggi terhadap endocarditis
4
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
sehingga penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan gejala rabies
hanya berupa tindakan suportif. Tidak adanya terapi terhadap rabies menyebabkan
tindakan pencegahan menjadi sangat vital. Ada 2 cara pencegahan rabies yang
dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksinya seseorang yaitu pre-exposure
profilaxis dan post-exposure profilaksis.
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR)
harus didasarkan dengan mempertimbangkan hasil-hasil anamnesis berupa adanya
kontak, jilatan, atau gigitan, apakah lokasi kejadian berada di daerah tertular,
terancam, atau bebas rabies, apakah paparan terjadi didahului tindakan provokatif
atau tidak, apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, apakah
hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap, apakah hewan yang
menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies, apakah penderita luka
gigitan pernah menerima VAR dan kapan, apakah hewan yang menggigit pernah
5
di VAR dan kapan.15 Algoritma untuk menentukan pemberian terapi dapat dilihat
pada lampiran.16
Bila terdapat indikasi, maka terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja.
Yang termasuk luka yang tidak berbahaya atau memiliki resiko rendah adalah
jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar
tangan, badan dan kaki. Bila pasien menderita luka dengan resiko tinggi, selain
pemberian VAR juga dilakukan pemberian SAR. Yang termasuk luka berbahaya
atau resiko tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,
kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan
luka pada banyak tempat (multipel). Untuk pasien yang mengalami kontak dengan
air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies, tetapi
tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan
pengobatan VAR maupun SAR.7
Vaksin rabies yang lazim diberikan saat ini adalah tissue culture vaccine,
suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid
cell vaccine (HDCV), purified vero cell rabies vaccine (PVRV), purified chick
embryo cell vaccine (PCEC). Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain
vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV),
suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan
komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. 8,17 Namun
demikian nerve tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa
negara Asia.
6
WHO merekomendasikan pemberian VAR secara intramuskuler pada otot
deltoid atau anterolateral paha 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen),
sedangkan Depkes RI menganjurkan pemberian tiga kali pada hari 0, 7, 21
(regimen Zagreb).2 Karena mahalnya harga vaksin, Thailand menggunakan
regimen Thai Red Cross Intradermal (TRC-ID), dengan pemberian 0,1 ml secara
intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. 18 Jika
sudah mendapat vaksin rabies dalam 5 tahun terakhir, bila seseorang digigit anjing
tersangka rabies, vaksin diberikan hanya 2 dosis yaitu hari 0 dan 3, namun bila
gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap.2,6 VAR dapat diberikan
pada ibu hamil atau bayi.
SAR diberikan pada orang dengan luka gigitan multipel, luka lebar dan
dalam, jilatan pada mukosa, luka di leher dan kepala, jari tangan atau kaki, atau di
genitalia. Human rabies immune globulin diberikan dengan dosis tunggal 20 IU/
kgBB dengan rincian setengah dosis infiltrasi daerah sekitar luka dan setengah
dosis intramuskuler di tempat yang berlainan dengan suntikan VAR, diberikan
pada hari yang sama dengan dosis pertama VAR.2,15,19,18
7
BAB III
SIMPULAN
Gigitan hewan merupakan kasus yang sering terjadi, namun tidak ada data pasti
mengenai kasus gigitan hewan di Indonesia. Kasus gigitan hewan perlu mendapat
perhatian oleh karena memiliki resiko untuk terjadinya infeksi termasuk infeksi
rabies. Rabies merupakan penyakit yang belum ditemukan obatnya, sehingga
tindakan preventif menjadi sangat vital. Dalam penatalaksanaan luka gigitan
hewan rabies, perlu dilakukan manajemen luka yang tepat, pemberian antibiotik
dan tetanus toxoid bila memenuhi serta pemberian profilaksis rabies baik dengan
VAR ataupun SAR dengan pertimbangan yang matang. Manajemen awal yang
dapat dilakukan oleh pasien sendiri adalah pembersihan luka dengan air sabun dan
pemberian antiseptik. Di tempat pelayanan kesehatan seperti Puskemas ataupun
rumah sakit, pembersihan luka harus dilakukan kembali kemudian dapat
dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik, tetanus toxoid, maupun VAR
dengan atau tanpa SAR. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis masih
kontroversi, namun ahli menyarankan agar antibiotik hanya diberikan hanya pada
luka dengan resiko infeksi tinggi saja. Obat pilihan utama adalah kombinasi
amoxicillin dan clavulanic acid. Tetanus toxoid juga diberikan kepada pasien
dengan status vaksinasi yang tidak jelas. VAR dan SAR diberikan dengan banyak
pertimbangan, karena harga vaksin yang relatif mahal dan susah didapat. WHO
menyarankan VAR diberikan dengan regimen Essen, Thailand karena harga
vaksin yang mahal menggunakan regimen TRC-ID, sedangkan Indonesia
menggunakan regimen Zagreb.
8
DAFTAR PUSTAKA
9
17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Prophylaxis against Rabies. N Engl J Med.
2004;351:2626-2635.
18. Shayam C et al. Post-exposure Prophylaxis for Rabies. JIACM. 2006;7;1:39-
46
19. Suwansrinon K et al. Short Report: Is Injecting A Finger With Rabies
Immunoglobulin Dangerous?. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2006;75;2:363–364
20. Mortiere MD, Falcone AL. An Acute Neurologic Syndrome Temporally
Associated With Postexposure Treatment of Rabies. Pediatrics 1997;100:720-
721
10
APPENDIX
11
ARTIKEL ASLI
12