Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gigitan hewan merupakan kasus yang sering terjadi. Namun tidak ada data
yang menunjukkan secara pasti angka kejadian kasus gigitan hewan di Indonesia.
Sebagian besar hewan yang menggigit dalam kasus gigitan hewan adalah anjing
yang berkisar antara 80-90%.1,2 Kucing terlibat dalam sekitar 10% kasus dan
sisanya merupakan mamalia lain.1,2 Kebanyakan kasus gigitan mengenai
ekstremitas dan dapat juga mengenai daerah kepala dan leher. Kasus gigitan pada
daerah kepala dan leher lebih sering mengenai anak-anak dibandingkan orang
dewasa.1 Di Indonesia khususnya Bali dengan populasi anjing sekitar 460.000
ekor3 menyebabkan tingginya kemungkian kasus gigitan terutama yang
disebabkan oleh anjing.
Banyaknya flora oral pada mamalia menyebabkan tingginya kemungkinan
infeksi yang ditularkan melalui gigitan. Infeksi yang mungkin ditularkan melalui
gigitan diantarannya adalah tetanus dan rabies. Rabies menjadi sebuah penyakit
infeksi yang perlu mendapat perhatian lebih oleh karena memiliki case fatality
rate yang tinggi. Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh virus rabies yang ditularkan melalui gigitan hewan penular
rabies terutama anjing, kucing dan kera. Lebih dari 100 negara di dunia memiliki
kasus rabies dimana diperkirakan terdapat 55.000 kematian yang disebabkan oleh
rabies di daerah terpencil di Afrika dan Asia setiap tahun. Jumlah terbesar terdapat
di India, dimana terdapat 20.000 kematian akibat rabies setiap tahun. 4 Di
Indonesia data pada tahun 2008 menunjukkan terdapat 9 dari 33 provinsi yang
bebas dari rabies. Provinsi Bali yang awalnya merupakan provinsi yang bebas
rabies ternyata pada tahun 2008 ditemukan kasus gigitan anjing dengan rabies
positif.5
Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dalam family
Rhabdoviridae dimana transmisinya dapat ditularkan melalui gigitan, kontak
dengan membran mukosa, dan inhalasi aerosol pada gua kelelawar walaupun
kasusnya sangat jarang.6 Virus akan masuk ke tubuh manusia melalui luka gigitan,

1
kemudian selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan daerah
sekitarnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu
berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu,
tergantung dari jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak.
Sesampainya di otak, virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas
dalam semua bagian neuron. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian menuju perifer dalam serabut saraf eferen dan saraf
volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir setiap
organ dan jaringan di dalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-
jaringannya.7
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan gejala rabies hanya berupa
tindakan suportif. Tidak adanya terapi terhadap rabies menyebabkan tindakan
pencegahan menjadi sangat vital. Manajemen luka gigitan akan menjadi faktor
paling penting untuk mencegah infeksi rabies lebih lanjut, infeksi tetanus, ataupun
sepsis.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dengan luka gigitan hewan penular rabies?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan luka gigitan hewan penular
rabies.

1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai penatalaksanaan kasus gigitan hewan
penular rabies.
2. Memberikan informasi dalam penentuan tindakan yang akan dilakukan pada
pasien gigitan hewan penular rabies.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen luka


Setiap kasus gigitan hewan harus mendapat penanganan yang tepat dan
sesegera mungkin, karena adanya kemungkinan infeksi terutama infeksi rabies.
Manajemen luka meliputi pembersihan luka, irigasi, dan debridement. Luka
dibersihkan dengan sabun dan air yang mengalir atau larutan salin normal paling
tidak selama 10-15 menit untuk mengurangi kontaminasi bakteri dan menurunkan
resiko terjadinya infeksi. Singkirkan benda-benda asing yang mungkin terdapat
pada luka seperti debris, atau gigi, lakukan irigasi jika terdapat abses serta
debridement dapat dilakukan untuk membuang jaringan yang rusak. Kemudian
beri antiseptik seperti alkohol 70%, atau povidone iodine.7,8,9
Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan,
namun di Puskesmas Pembantu, Puskesmas, dan Rumah Sakit, pencucian luka
harus dilakukan kembali. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali
jahitan situasi. Jenis luka dengan resiko infeksi tinggi yang menjadi kontraindikasi
penjahitan luka dapat dilihat pada tabel 1. Namun bila luka memang perlu untuk
dijahit (dengan jahitan situasi), maka pasien dengan resiko tinggi tertular rabies
diberikan Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara
infiltrasi di sekitar luka dan sisanya disuntikan secara intramuskuler. Disamping
itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus,
antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.7
Tabel 1. Kontraindikasi penjahitan luka10
1. Crush injuries
2. Luka tusukan
3. Luka yang secara klinis tampak mengalami infeksi
4. Luka sejak lebih dari 12 sampai 24 jam
5. Gigitan kucing
6. Luka minor pada kaki dan tangan
7. Luka pada pasien yang mengalami immunosupresi

2.2 Pemberian antibiotik

3
Peranan antibiotik sebagai profilaksis pada gigitan hewan masih
kontroversi,10,9 namun pendapat ahli menyarankan agar pemberian antibiotik
hanya dilakukan pada pasien dengan luka resiko tinggi saja. 9 Indikasi yang
disarankan untuk pemberian antibiotik dapat dilihat pada tabel 2. Kombinasi
amoxicillin dan clavulanic acid1 merupakan obat pilihan utama oleh karena efektif
melawan P. multicoda, Streptococcus, Staphylococcus, dan bakteri anaerob.11,12,13
Cephalosporin spektrum luas atau kombinasi trimethorprim dan sulfamethoxazole
ditambah clindamycin merupakan rekomendasi obat alternatif untuk pasien yang
alergi terhadap penicillin.10
Tabel 2. Indikasi pemberian antibiotik10
1. Gigitan pada kaki dan tangan
2. Gigitan yang menembus dermis
3. Keterlibatan otot, tendon, atau tulang dan penetrasi pada rongga sendi
4. Kecurigaan adanya benda asing yang masih tertinggal
5. Luka tusukan yang dalam dan gigitan dengan crush injury atau edema
6. Tanda infeksi dalam 24 jam
7. Pasien dengan resiko infeksi tinggi seperti pasien immunocompromised,
dan resiko tinggi terhadap endocarditis

2.3 Pemberian vaksin tetanus


Pasien dengan luka minor yang bersih dan telah mendapatkan imunisasi
primer (3 dosis tetanus toxoid) sebelumnya, maka diberikan tetanus toxoid
booster jika pemberian dosis terakhir lebih dari 10 tahun. Jika luka tidak bersih
tapi pasien telah mendapatkan imunisasi primer sebelumnya, pasien harus
diberikan satu dosis tetanus toxoid jika dosis terakhir diberikan lebih dari 5 tahun
lalu.9 Jika status imunisasi tetanus pasien tidak diketahui, dan luka pasien tidak
bersih atau minor, maka pasien diberikan tetanus toxoid dan tetanus
immunoglobulin sebanyak 250-500 unit secara intramuskular.10,13 Agen imunisasi
yang menjadi pilihan pada orang dewasa dan anak-anak berumur diatas 7 tahun
adalah tetanus dan diphtheria toxoid. Pada pasien hamil, maka hanya diberikan
tetanus toxoid saja tanpa diphtheria.1
2.4 Pemberian vaksin rabies

4
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
sehingga penanganan yang dapat dilakukan pada pasien dengan gejala rabies
hanya berupa tindakan suportif. Tidak adanya terapi terhadap rabies menyebabkan
tindakan pencegahan menjadi sangat vital. Ada 2 cara pencegahan rabies yang
dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksinya seseorang yaitu pre-exposure
profilaxis dan post-exposure profilaksis.

Pre-exposure profilaksis diberikan pada orang-orang dengan resiko tinggi


tertular rabies seperti pekerja laboratorium yang meneliti virus rabies, dokter
hewan, pawang hewan dan wisatawan yang bepergian ke daerah endemis rabies.
Pre-exposure profilaksis diberikan secara intramuskular sebanyak 1ml atau 0,5 ml
(volume sesuai dengan jenis vaksin yang digunakan) pada hari 0, 7 dan 28 lalu
booster diberikan setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.2,6 Untuk dewasa dan anak-anak
yang berumur ≥ 2 tahun, vaksin diberikan pada area deltoid tangan, sedangkan
untuk anak-anak yang berusia < 2 tahun, maka pemberian dilakukan pada daerah
anterolateral paha.4

Post-exposure profilaksis (PEP) diberikan kepada orang-orang yang


terkena gigitan atau paparan lain dari hewan tersangka rabies. Post-exposure
profilaksis mencakup perawatan luka dan pemberian imunitas secara pasif dengan
immunoglobulin dan vaksinasi aktif. Diperkirakan tanpa adanya post-exposure
profilaksis, akan terdapat sekitar 327.000 kematian yang disebabkan oleh rabies di
Afrika dan Asia setiap tahun. Tujuan dari PEP adalah untuk menetralisir virus
yang terinokulasi pada luka sebelum virus memasukin sistem saraf pasien.14

Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR)
harus didasarkan dengan mempertimbangkan hasil-hasil anamnesis berupa adanya
kontak, jilatan, atau gigitan, apakah lokasi kejadian berada di daerah tertular,
terancam, atau bebas rabies, apakah paparan terjadi didahului tindakan provokatif
atau tidak, apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, apakah
hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap, apakah hewan yang
menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies, apakah penderita luka
gigitan pernah menerima VAR dan kapan, apakah hewan yang menggigit pernah

5
di VAR dan kapan.15 Algoritma untuk menentukan pemberian terapi dapat dilihat
pada lampiran.16

Dari pemeriksaan fisik dapat dilakukan identifikasi luka gigitan baik


lokasi, dan jenis luka untuk kemudian ditentukan derajat resiko paparan. Terdapat
3 kategori kontak menurut WHO dimana yang termasuk kategori I adalah
menyentuh atau member makan, jilatan pada kulit yang utuh atau dalam kata lain
tidak ada paparan. Kategori II diantaranya adalah gigitan kecil, cakaran minor,
atau abrasi tanpa perdarahan. Gigitan dan cakaran transdermal baik tunggal atau
multipel, kontaminasi membran mukosa dengan saliva dari jilatan, jilatan pada
kulit yang luka, dan paparan terhadap kelelawar termasuk dalam kategori III.4

Bila terdapat indikasi, maka terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja.
Yang termasuk luka yang tidak berbahaya atau memiliki resiko rendah adalah
jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar
tangan, badan dan kaki. Bila pasien menderita luka dengan resiko tinggi, selain
pemberian VAR juga dilakukan pemberian SAR. Yang termasuk luka berbahaya
atau resiko tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,
kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan
luka pada banyak tempat (multipel). Untuk pasien yang mengalami kontak dengan
air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies, tetapi
tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan
pengobatan VAR maupun SAR.7

Vaksin rabies yang lazim diberikan saat ini adalah tissue culture vaccine,
suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid
cell vaccine (HDCV), purified vero cell rabies vaccine (PVRV), purified chick
embryo cell vaccine (PCEC). Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain
vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV),
suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan
komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. 8,17 Namun
demikian nerve tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa
negara Asia.

6
WHO merekomendasikan pemberian VAR secara intramuskuler pada otot
deltoid atau anterolateral paha 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen),
sedangkan Depkes RI menganjurkan pemberian tiga kali pada hari 0, 7, 21
(regimen Zagreb).2 Karena mahalnya harga vaksin, Thailand menggunakan
regimen Thai Red Cross Intradermal (TRC-ID), dengan pemberian 0,1 ml secara
intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. 18 Jika
sudah mendapat vaksin rabies dalam 5 tahun terakhir, bila seseorang digigit anjing
tersangka rabies, vaksin diberikan hanya 2 dosis yaitu hari 0 dan 3, namun bila
gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap.2,6 VAR dapat diberikan
pada ibu hamil atau bayi.

SAR diberikan pada orang dengan luka gigitan multipel, luka lebar dan
dalam, jilatan pada mukosa, luka di leher dan kepala, jari tangan atau kaki, atau di
genitalia. Human rabies immune globulin diberikan dengan dosis tunggal 20 IU/
kgBB dengan rincian setengah dosis infiltrasi daerah sekitar luka dan setengah
dosis intramuskuler di tempat yang berlainan dengan suntikan VAR, diberikan
pada hari yang sama dengan dosis pertama VAR.2,15,19,18

Pemberian VAR maupun SAR dapat menimbulkan efek samping baik


lokal maupun sistemik seperti nyeri, eritema, edema pada tempat suntikan,
demam, nyeri kepala, mual, nyeri otot, dan nyeri sendi. 10 Pada pemberian HDCV
gejala seperti sindrom Guillain Barre sangat jarang terjadi, sedangkan
ensefalomielitis tidak pernah dilaporkan lagi pada pemberian PVRV. Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi pada pemberian VAR.2,20

7
BAB III
SIMPULAN

Gigitan hewan merupakan kasus yang sering terjadi, namun tidak ada data pasti
mengenai kasus gigitan hewan di Indonesia. Kasus gigitan hewan perlu mendapat
perhatian oleh karena memiliki resiko untuk terjadinya infeksi termasuk infeksi
rabies. Rabies merupakan penyakit yang belum ditemukan obatnya, sehingga
tindakan preventif menjadi sangat vital. Dalam penatalaksanaan luka gigitan
hewan rabies, perlu dilakukan manajemen luka yang tepat, pemberian antibiotik
dan tetanus toxoid bila memenuhi serta pemberian profilaksis rabies baik dengan
VAR ataupun SAR dengan pertimbangan yang matang. Manajemen awal yang
dapat dilakukan oleh pasien sendiri adalah pembersihan luka dengan air sabun dan
pemberian antiseptik. Di tempat pelayanan kesehatan seperti Puskemas ataupun
rumah sakit, pembersihan luka harus dilakukan kembali kemudian dapat
dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik, tetanus toxoid, maupun VAR
dengan atau tanpa SAR. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis masih
kontroversi, namun ahli menyarankan agar antibiotik hanya diberikan hanya pada
luka dengan resiko infeksi tinggi saja. Obat pilihan utama adalah kombinasi
amoxicillin dan clavulanic acid. Tetanus toxoid juga diberikan kepada pasien
dengan status vaksinasi yang tidak jelas. VAR dan SAR diberikan dengan banyak
pertimbangan, karena harga vaksin yang relatif mahal dan susah didapat. WHO
menyarankan VAR diberikan dengan regimen Essen, Thailand karena harga
vaksin yang mahal menggunakan regimen TRC-ID, sedangkan Indonesia
menggunakan regimen Zagreb.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Galli SKD, Miller PJ. Animal Bites. pada


http://emedicine.medscape.com/article/768875-overview. diakses 17 Januari
2011
2. Gunawan CA. Rabies: Diagnosis dan Penatalaksanaan. CDK
172.2009;36;6:417-421
3. WSPA. 2010. Vaksinasi Masal Memberantas Rabies. Vaksinasi: Solusi Yang
Manusiawi Untuk Hewan Anjing Bali
4. WHO. 2010. Weekly epidemiological record. No. 32, 85, 309–320
5. DepkesRI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. 48-49
6. McKay N, Wallis L. Rabies: a review of UK management. Emerg. Med. J.
2005;22;316-321
7. DepkesRI. 2000. Petunjuk Perencanaan Dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan
Hewan Tersangka / Rabies Di Indonesia
8. Nandi S, Kumar M. Development in Immunoprophylaxis against Rabies for
Animals and Humans. Avicenna J Med Biotech. 2010;2;1:3-21
9. Dendle C. Looke D. Management of mammalian bites Australian Family
Physician. 2009;38;11:868-874
10. Nirupama K, Deepak K. Mammalian Bites. Clin Pediatr.2009;48;2:145-148
11. Talan DA et al. Bacteriologic Analysis Of Infected Dog And Cat Bites. N
Engl J Med.1999;340:85-92.
12. Patronek GJ, Slavinski SA. Animal bites. JAVMA;2009;234;3:336-345
13. Stierman KL et al. Treatment and Outcome of Human Bites in the Head and
Neck. Otolaryngology -- Head and Neck Surgery. 2003;128;975-801
14. Wilde H et al. Postexposure Treatment of Rabies Infection: Can It Be Done
without Immunoglobulin?. Clinical Infectious Diseases. 2002;34:477–480
15. Grill AK. Approach to management of suspected rabies exposures: What
primary care physicians need to know. Can Fam Physician. 2009;55:247-251
16. Moran GJ et al. An Acute Neurologic Syndrome Temporally Associated With
Postexposure Treatment of Rabies. JAMA. 2000;284;8:1001-1007

9
17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Prophylaxis against Rabies. N Engl J Med.
2004;351:2626-2635.
18. Shayam C et al. Post-exposure Prophylaxis for Rabies. JIACM. 2006;7;1:39-
46
19. Suwansrinon K et al. Short Report: Is Injecting A Finger With Rabies
Immunoglobulin Dangerous?. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2006;75;2:363–364
20. Mortiere MD, Falcone AL. An Acute Neurologic Syndrome Temporally
Associated With Postexposure Treatment of Rabies. Pediatrics 1997;100:720-
721

10
APPENDIX

11
ARTIKEL ASLI

12

Anda mungkin juga menyukai