Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

Creeping Eruption

Disusun Oleh:

Indra Fransis Liong

112017039

Pembimbing:

dr. Ika Soelistina, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S. SAMSOERI MERTOJOSO, SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 11 FEBRUARI – 16 MARET 2019


STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Polisi
Status Perkawinan : Sudah menikah

II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 18 Februari 2019.

Keluhan Utama
Nyeri dan kemerahan di paha kiri bagian depan sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan rasa nyeri dan kemerahan di paha kiri bagian depan
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan keluhan ini timbul secara tiba-tiba saja.
Pasien menyangkal adanya gigitan dari binatang ataupun kontak dengan binatang. Keluhan
tambahan lainnya berupa rasa gatal dan rasa panas yang juga dirasakan sejak 2 minggu
lalu. Rasa nyeri, gatal, dan panas di daerah kemerahan tersebut dirasakan terus menerus
sepanjang hari. Akan tetapi, rasa gatal bertambah berat jika malam hari. Pasien
mengatakan awalnya hanya berupa satu bintik kemerahan saja, tetapi kemudian
membentuk alur yang berkelok-kelok.
Pasien mengatakan sudah meminum obat acyclovir dengan dosis 3 x 400 mg dan
menggunakan salep kortikosteroid sejak 2 minggu lalu. Akan tetapi tidak ada perubahan,
dan semakin lama semakin nyeri, gatal, dan kemerahan.
Pasien bekerja sebagai polisi lalu lintas dimana setiap harinya pasien bekerja di
jalanan. Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan
di keluarga pasien juga tidak ada yang mengalami seperti ini.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini.

1
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang sedang menderita penyakit yang sama dengan pasien saat
ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 THT : Telinga : Normotia, sekret di liang telinga (-),
Hidung : Tidak tampak kelainan bentuk, sekret (-), septum deviasi (-)
Faring : Tidak hiperemis
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Uvula : Ditengah, tidak hiperemis
 Leher : Bentuk normal, pembesaran KGB (-)
 Thorax :
Paru : suara dasar napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ 1 dan 2 murni reguler, murmur (-), gallop(-)
 Abdomen :Distensi (-), Bising usus (+) , nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak membesar
 Ekstremitas: akral hangat, tidak ada udem

Status Dermatologikus
Lokasi : Genitokrural
Efloresensi :Makula eritematous berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif dengan central
healing dan skuama halus

2
IV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 20%

V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan rasa gatal pada daerah selangkangan sejak 3
minggu. Mula-mula keluhan timbul di lipat paha sebelah kiri kemudian diikuti
dengan timbul pada lipat paha sebelah kanan.. Rasa gatal bertambah jika pasien
berkeringat. Pada daerah yang gatal timbul bercak dengan pinggir berawarna merah
dengan bentuk yang tidak beraturan, terdapat sedikit sisik-sisik tipis pada daerah
yang gatal.Keluhan serupa di bagian tubuh lain disangkal.Pasien diberi obat
inerson dari puskesmas dan sudah digunakan selama 3 minggu ini. Pasien
mengatakan, setelah menggunakan obat inerson, keluhan gatal berkurang, namun
bercak tidak kunjung hilang, malah semakin membesar dari sebelumnya.Status
generalis dan antropometri pasien dalam batas normal.Pada pemeriksaan
dermatologis di peroleh :plak hiperpigmentasi ukuran plakat, tepi aktif disertai
papul ukuran miliar, dan skuama halus, disertai central healing.

VI. DIAGNOSIS KERJA

Tinea kruris

3
VII. DIAGNOSIS BANDING
Eritrasma
Kandidiasis Inguinalis

VIII. TATALAKSANA
Medikamentosa
- Ketoconazole krim 2%, dioles 2 x sehari setelah mandi pagi dan sore selama 14
hari
- Itraconazole PO 1 x 200mg.
- Loratadine tab 1 x 10mg (jika gatal sudah hilang, stop)

Non-Medikamentosa
 Menjaga kebersihan badan
 Menggunakan celana dan baju yang menyerap keringat dan yang sudah
dicuci bersih.Hindari menggunakan celana yang ketat dan bahan yang tidak
menyerap keringat
 Hindari kontak dengan anggota keluarga atau orang lain agar tidak
menjangkitkan penyakit baik dengan cara berbagi penggunaan pakaian atau
handuk.

IX. PROGNOSIS
ad vitam : Bonam
ad functionam : Bonam
ad sanationam : Bonam

TINEA KRURIS

4
A. DEFINISI

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus
dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama
lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobi itch.

B. ETIOLOGI

Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan


Epidermophython fluccosumTrichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton
tonsurans (6%).

C. EPIDEMIOLOGI

Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea
cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan
diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.

D. PATOFISIOLOGI

Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung.


Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur
baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui
tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebabjuga dapat
ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau
autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini
menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan
invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-
cabangnya didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim
keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi
peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan

5
timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit
semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:

a. Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik,


zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu
dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian
dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut,
Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha bagian dalam.

b. Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

c. Faktor suhu dan kelembaban

Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-
sela jari paling sering terserang penyakit jamur.

d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah
sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik

e. Faktor umur dan jenis kelamin

E. MANIFESTASI KLINIS

1. Anamnesis

Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan
dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas
ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat
jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki
keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab,

6
memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga,
menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan
penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena
dermatophytosis.

2. Pemeriksaan Fisik

Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder.


Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula
atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya
makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi.
Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.

Manifestasi tinea cruris :

a. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat


paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.

b. Daerah bersisik.

c. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif.

d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan


disertai likenifikasi.

e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus


yang tersebar dan sedikit skuama.

f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena.

g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin


muncul karena garukan.

7
h. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga
tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula
folikuler.

i. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas


pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik
untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang
sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.

1. Pemeriksaan dengan sediaan basah

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi
lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi
KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan →
lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa,
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan
miselium

2. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium


saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide
(mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun
jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu.

3. Punch biopsi

Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun


sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–
Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan
methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.

4. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya


eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.

8
G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan


melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang
seperti yang telah disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang
ditetesi KOH 10-20%, sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau
penggunaan lampu wood.

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Kandidiasis inguinalis
Kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida.
Kandidosis kadang sulit dibedakan dengan Tinea kruris jika mengenai lipatan
paha dan perianal. Lesi dapat berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik,
basah dan berkrusta. Perbedaannya ialah pada kandidiasis terdapat eritema
berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di sekitarnya.
Predileksinya juga bukan pada daerah-daerah yang berminyak, tetapi lebih
sering pada daerah yang lembab. Selain itu, pada pemeriksaan dengan larutan
KOH 10 %, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.4
Pada wanita, ada tidaknya flour albus biasanya dapat membantu diagnosis.
Pada penderita diabetes mellitus, kandidiasis merupakan penyakit yang sering
dijumpai.

2. Eritrasma

Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang


disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum, ditandai lesi berupa eritema
dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi
berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus
kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi
dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di daerah intertriginosa
lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang
eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi.
Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan
tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada

9
perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)

I. PENATALAKSANAAN

Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur
topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa
formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan
jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4
minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-
kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika
terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.
Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-
obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi
sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat
golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan
lainnya seperti siklopiros, tolnaftat, haloprogin. Golongan azole ini akan
menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi
mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur tersebut merupakankomponen
penting dalam dinding sel jamur. Golongan Alynamin menghambat keja dari
squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol
yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian
sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan
membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme
kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan
lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam
bentuk pemberian topikal dan sistemik.Obat secara topikal yang digunakan dalam
tinea cruris :

1. Golongan Azol

a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec), merupakan obat pilihan pertama yang


digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena bersifat broad spektrum

10
antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan
mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati.
Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika
tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti
dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%, solution, lotion.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi obat ini,
namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.

b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm), mekanisme kerjanya dengan selaput


dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat biosintesis dari ergosterol
sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat menyebabkan sel
jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama
dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

c. Econazole (Spectazole), mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang


berhubungan dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis,
metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel jamur
dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4
kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

d. Ketokonazole (Nizoral), mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan


imidazole yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur
mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari
kontak dengan mata.

e. Oxiconazole (Oxistat), mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad


spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel
jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk

11
cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun
penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

f. Sulkonazole (Exelderm), merupakan obat jamur yang memiliki spektrum


luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan
menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian
sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio. Penggunaan pada
anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan
pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).

2. Golongan alinamin

a. Naftifine (Naftin), bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan


derivat sintetik dari alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis
dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel jamur terhambat.
Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada
perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. . Penggunaan
pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-
4minggu).

b. Terbinafin (Lamisil), merupakan derivat sintetik dari alinamin yang bekerja


menghambat skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis
sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol yang menyebabkan
kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan keefektifan
penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada
anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu.

3. Golongan Benzilamin

a. Butenafine (mentax), anti jamur yang poten yang berhuungan dengan


alinamin. Kerusakan membran sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat
pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan selama 2-4
minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan sebanyak
4kali sehari.

4. Golongan lainnya

12
a. Siklopiroks (Loprox), memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya
berhubunan dengan sintesi DNA

b. Haloprogin (halotex), tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream.


Digunakan selama 2-4minggu dan dioleskan sebanyak 3kali sehari.

c. Tolnaftate, tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari


selama 2-4 minggu.

Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau
gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan
dalam pengobatan tinea cruris:

a. Ketokonazole, sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur


oral yangberspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari
selama 2-4 minggu.

b. Itrakonazole, sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur


oral yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan
menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan
komponen penting pada selaput sel jamur.Pada penelitian disebutkan bahwa
itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik 2-3 minggu
setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selama 1 minggu dan dosis dapat
dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi
400mg/hari.Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini
dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan
bersama dengan cisapride karena berhubungan dengan aritmia jantung.

c. Griseofulvin, termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis


sel jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit
tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa
500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-4minggu, untuk
anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari.

d. Terbinafine, pemberian secara oral pada dewasa 250 mg/hari selama 2 minggu.
Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:

12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

13
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :

1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering.

2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.

3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab.

4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.

5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan


penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.

J. KOMPLIKASI

Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain.
Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.

K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan
sosial budayanya, tetapi pada umumnya prognosis baik.

L. KESIMPULAN
Tinea kruris adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita dimana
predileksinya adalah pada daerah pelipatan paha, bilateral kanan kiri sekitar ano-
genital dan dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.
Gambaran klinis bermula sebagai bercak/patch eritematosa yang gatal dan
lama kelamaan semakin meluas dengan tepi lesi yang aktif (peradangan pada tepi
lebih nyata daripada daerah tengahnya), central healing, batas tegas, bentuk

14
bervariasi, ditutupi skuama, dan kadang-kadang dengan banyak papul dan vesikel
kecil-kecil.
Pengobatan dapat diberikan secara topikal dan sistemik. Faktor-faktor
predisposisi terjadinya Tinea kruris adalah kelembapan dan kurangnya higienitas
perorangan. Prognosis penyakit ini adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

15
1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.h.109-16.

2. Adiguna MS, Rusyati LM. Recent Treatment of Dermatomycosis. In: Kumpulan Makalah
Lengkap Peningkatan Profesionalisme di Bidang Infeksi Kulit dan Kelamin Serta
Pemakaian Anti Mikrobial yang Bijak. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin FK UNUD/RS Sanglah, Bagian Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RS Sanglah.
2011.h.37-8.

3. Bassiri-Jahromi S, Khaksari AA. Epidemiologicalsurvey of dermatophytosis in Malaysia,


from2007 to 2009. Indian J Dermatol Venereol Leprol2009; 75: 142-7.

4. Citrashanty I, Suyoso S. Mikosis Superfisialis diDivisi Mikologi Unit Rawat Jalan Kulit
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periodetahun 2008-2010. Berkala Ilmu
Kesehatan KulitKelamin 2011; 23: 200-6.

5. Verma S, Hefferman MP. Tinea cruris. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ (editor). 7 th ed. New
York: McGraw-Hill 2008. p. 1807-21.

6. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin, clinical
dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.

7. Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2 nd Ed: Volume 1.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2008.

8. Siswati AS, Ervianti E. Dermatomikosis superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim ketokonazole


2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar batas lesi klinis (laporan
penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai