Creeping Eruption
Disusun Oleh:
112017039
Pembimbing:
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Polisi
Status Perkawinan : Sudah menikah
II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 18 Februari 2019.
Keluhan Utama
Nyeri dan kemerahan di paha kiri bagian depan sejak 2 minggu yang lalu.
1
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang sedang menderita penyakit yang sama dengan pasien saat
ini.
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : Telinga : Normotia, sekret di liang telinga (-),
Hidung : Tidak tampak kelainan bentuk, sekret (-), septum deviasi (-)
Faring : Tidak hiperemis
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Uvula : Ditengah, tidak hiperemis
Leher : Bentuk normal, pembesaran KGB (-)
Thorax :
Paru : suara dasar napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ 1 dan 2 murni reguler, murmur (-), gallop(-)
Abdomen :Distensi (-), Bising usus (+) , nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak membesar
Ekstremitas: akral hangat, tidak ada udem
Status Dermatologikus
Lokasi : Genitokrural
Efloresensi :Makula eritematous berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif dengan central
healing dan skuama halus
2
IV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 20%
V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan rasa gatal pada daerah selangkangan sejak 3
minggu. Mula-mula keluhan timbul di lipat paha sebelah kiri kemudian diikuti
dengan timbul pada lipat paha sebelah kanan.. Rasa gatal bertambah jika pasien
berkeringat. Pada daerah yang gatal timbul bercak dengan pinggir berawarna merah
dengan bentuk yang tidak beraturan, terdapat sedikit sisik-sisik tipis pada daerah
yang gatal.Keluhan serupa di bagian tubuh lain disangkal.Pasien diberi obat
inerson dari puskesmas dan sudah digunakan selama 3 minggu ini. Pasien
mengatakan, setelah menggunakan obat inerson, keluhan gatal berkurang, namun
bercak tidak kunjung hilang, malah semakin membesar dari sebelumnya.Status
generalis dan antropometri pasien dalam batas normal.Pada pemeriksaan
dermatologis di peroleh :plak hiperpigmentasi ukuran plakat, tepi aktif disertai
papul ukuran miliar, dan skuama halus, disertai central healing.
Tinea kruris
3
VII. DIAGNOSIS BANDING
Eritrasma
Kandidiasis Inguinalis
VIII. TATALAKSANA
Medikamentosa
- Ketoconazole krim 2%, dioles 2 x sehari setelah mandi pagi dan sore selama 14
hari
- Itraconazole PO 1 x 200mg.
- Loratadine tab 1 x 10mg (jika gatal sudah hilang, stop)
Non-Medikamentosa
Menjaga kebersihan badan
Menggunakan celana dan baju yang menyerap keringat dan yang sudah
dicuci bersih.Hindari menggunakan celana yang ketat dan bahan yang tidak
menyerap keringat
Hindari kontak dengan anggota keluarga atau orang lain agar tidak
menjangkitkan penyakit baik dengan cara berbagi penggunaan pakaian atau
handuk.
IX. PROGNOSIS
ad vitam : Bonam
ad functionam : Bonam
ad sanationam : Bonam
TINEA KRURIS
4
A. DEFINISI
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus
dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama
lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobi itch.
B. ETIOLOGI
C. EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea
cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan
diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.
D. PATOFISIOLOGI
5
timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit
semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-
sela jari paling sering terserang penyakit jamur.
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah
sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan
dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas
ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat
jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki
keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab,
6
memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga,
menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan
penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena
dermatophytosis.
2. Pemeriksaan Fisik
b. Daerah bersisik.
7
h. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga
tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula
folikuler.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi
lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi
KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan →
lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa,
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan
miselium
3. Punch biopsi
8
G. DIAGNOSIS
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Kandidiasis inguinalis
Kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida.
Kandidosis kadang sulit dibedakan dengan Tinea kruris jika mengenai lipatan
paha dan perianal. Lesi dapat berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik,
basah dan berkrusta. Perbedaannya ialah pada kandidiasis terdapat eritema
berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di sekitarnya.
Predileksinya juga bukan pada daerah-daerah yang berminyak, tetapi lebih
sering pada daerah yang lembab. Selain itu, pada pemeriksaan dengan larutan
KOH 10 %, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.4
Pada wanita, ada tidaknya flour albus biasanya dapat membantu diagnosis.
Pada penderita diabetes mellitus, kandidiasis merupakan penyakit yang sering
dijumpai.
2. Eritrasma
9
perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)
I. PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur
topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa
formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan
jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4
minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-
kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika
terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.
Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-
obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi
sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat
golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan
lainnya seperti siklopiros, tolnaftat, haloprogin. Golongan azole ini akan
menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi
mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur tersebut merupakankomponen
penting dalam dinding sel jamur. Golongan Alynamin menghambat keja dari
squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol
yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian
sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan
membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme
kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan
lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam
bentuk pemberian topikal dan sistemik.Obat secara topikal yang digunakan dalam
tinea cruris :
1. Golongan Azol
10
antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan
mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati.
Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika
tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti
dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%, solution, lotion.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi obat ini,
namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.
11
cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun
penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.
2. Golongan alinamin
3. Golongan Benzilamin
4. Golongan lainnya
12
a. Siklopiroks (Loprox), memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya
berhubunan dengan sintesi DNA
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau
gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan
dalam pengobatan tinea cruris:
d. Terbinafine, pemberian secara oral pada dewasa 250 mg/hari selama 2 minggu.
Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:
13
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab.
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
J. KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain.
Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan
sosial budayanya, tetapi pada umumnya prognosis baik.
L. KESIMPULAN
Tinea kruris adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita dimana
predileksinya adalah pada daerah pelipatan paha, bilateral kanan kiri sekitar ano-
genital dan dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.
Gambaran klinis bermula sebagai bercak/patch eritematosa yang gatal dan
lama kelamaan semakin meluas dengan tepi lesi yang aktif (peradangan pada tepi
lebih nyata daripada daerah tengahnya), central healing, batas tegas, bentuk
14
bervariasi, ditutupi skuama, dan kadang-kadang dengan banyak papul dan vesikel
kecil-kecil.
Pengobatan dapat diberikan secara topikal dan sistemik. Faktor-faktor
predisposisi terjadinya Tinea kruris adalah kelembapan dan kurangnya higienitas
perorangan. Prognosis penyakit ini adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.h.109-16.
2. Adiguna MS, Rusyati LM. Recent Treatment of Dermatomycosis. In: Kumpulan Makalah
Lengkap Peningkatan Profesionalisme di Bidang Infeksi Kulit dan Kelamin Serta
Pemakaian Anti Mikrobial yang Bijak. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin FK UNUD/RS Sanglah, Bagian Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RS Sanglah.
2011.h.37-8.
4. Citrashanty I, Suyoso S. Mikosis Superfisialis diDivisi Mikologi Unit Rawat Jalan Kulit
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periodetahun 2008-2010. Berkala Ilmu
Kesehatan KulitKelamin 2011; 23: 200-6.
5. Verma S, Hefferman MP. Tinea cruris. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ (editor). 7 th ed. New
York: McGraw-Hill 2008. p. 1807-21.
6. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin, clinical
dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
7. Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2 nd Ed: Volume 1.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2008.
16