Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung merupakan bagian tubuh yang memberi peran penting dalam kehidupan sehari-
hari kita. Hidung berfungsi sebagai penghidu selain dari saluran pernafasan bagian atas tubuh
manusia.
Kelainan anatomi hidung akan menyebabkan gangguan fungsi hidung. Kelainan anatomi
dapat disebabkan dari faktor kongenital dan bisa juga faktor yang didapat. Contoh kelainan
anatomi hidung dengan faktor kongenital adalah palatoschizis dan kelainan septum. Faktor yang
didapat lebih banyak seperti infeksi, trauma, dan rinitis yang lama.
Salah satu gejala dari kelainan anatomi hidung adalah hidung tersumbat. Hidung
tersumbat sering dikaitkan dengan proses peradangan yang terjadi di mukosa hidung. Peradangan
ini akan membesar jika tidak ditangani dan menyumbat saluran hidung. Selain itu, bisa juga
disebabkan oleh timbulnya polip dan tumor pada nasal nasi.
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada
penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal
hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os
maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago
septum.1

Gambar 1. Anatomi hidung luar.1

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring1

10
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.2
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. 2
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3) Krista
nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh
lamina prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral),
premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan
tulang palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan
diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.2

11
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya
terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding
lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius,
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior
yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk
oleh os maksila dan os palatum.2
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga
hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang
dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.2

FISIOLOGI HIDUNG
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus memahami
Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari prosessus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan ressesuss frontalis.
KOM ini merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dasri sinus-sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya
tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan

12
terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa
yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.1
Beberapa fungsi hidung juga antara lain :
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti
jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.1,2

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan
masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 37o C.1,2

3. Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan
oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah posterior,
di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans, merupakan kerja silia yang
menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran turbulen dalam
hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara inspirasi dengan epitel

13
hidung dan lapisan mukusnya,lapisan mukus berupa selubung sekret kontinyu yang
sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius, faring,
dan seluruh cabang bronkus.1,2
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun
dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus menghangatkan udara
inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan udara isnpirasi dengan lebih
dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering
kali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering, sering kali terdapat
di rumah-rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini dapat berakibat
mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan hidung. Derajat kelembaban
selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada
submukosa hidung.1,2
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih aktif pada
meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung menarik lapisan mukus
dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan septum adalah
kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung, arahnya kebelakang
dengan kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus inferior. Pada
sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan kebawah, lewat dibawah tepi inferior
dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak bersilia pada sepertiga anterior
hidung sebelumnya praktis lewat meatus. Ini merupakan daerah yang paling banyak
mengumpulkan kontaminan udara.1,2
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga
merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun organisme
hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat suatu biakan
postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus, bersifat destruktif
terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung
merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel pernapasan juga
memberikan imunitas induksi seluler.1,2
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan fisiologik,
telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila alergen yang
terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut terfiksasi pada

14
mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan
mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang khas.1,2

4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.2

5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut
tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.2

15
POLIP HIDUNG

Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada
penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Polip nasi bukan
merupakan penyakit tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit
dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.3

ANAMNESIS

Pada anamnesa kasus polip, keluahan utama biasanya ialah:


1. Hidung tersumbat dari yang ringan sampai berat. Sumbatan ini menetap, tidak
hilang dan semakin lama semakin berat.
2. Rinore mulai dari yang jernih sampai purulen
3. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar
membuang ingus.
4. Hiposmia atau anosmia
Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah
frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin di dapati post nasal drip dan rinore purulen.
Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, halitosis, nyeri muka, suara
nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas
hidup.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan.
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lundt (1997) :

- Stadium I : polip masih terbatas di meatus medius


- Stadium II : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di ronggga hidung tapi

16
belum memenuhi rongga hidung.
- Stadium III : polip yang masif.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang
baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rhinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium
asesorius sinus maksila.4

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell, dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang
bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. TK terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.4

ETIOLOGI

Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi
genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor. Namun saat ini yang banyak digunakan, yaitu : teori infeksi dan
teori inflamasi. 5
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

17
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.5

EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian polip hidung secara pasti belum diketahui. Penelitian di Eropa Timur
melaporkan prevalensi polip hidung dengan sinusitis maksilaris 1,3%, sedangkan Amerika Utara
diperkirakan 1 – 4%. Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya dijumpai
pada penderita dewasa muda berusia antara 30 – 60 tahun, sedangkan perbandingan antara laki-
laki dan perempuan adalah 2 – 4 : 1 dan tidak ada kekhususan ras pada kejadian polip hidung.

PATOFISIOLOGI

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom,
serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat
peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di daerah sempit kompleks
osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat
retensi air sehingga terbentuk polip.8

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan


permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-
sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.

Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.8

GEJALA KLINIS

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan
yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus
paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan
rinore. 7,8

18
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung.
Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatkan post nasal drip dan rinorhea purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur
dan penurunan kualitas hidup.
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi,
terutama pada penderita polip nasi dengan asma.8

DIAGNOSIS BANDING
Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini
mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung. Dari
anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif.
Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman.
Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial. 8

Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, diliputi oleh selaput
lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi.
Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran klasik disebut
sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus Pterigoideus ke belakang. 8

Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan
destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena
bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja
laki-laki.

Konkha Polipoid
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan

19
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka polipoid,
terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati pemberiannya pada
pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit
jantung lainnya.8

PENATALAKSANAAN

Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif. Pengelolaan polip nasi
seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab polip nasi belum
diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi
alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat
diobati dengan konservatif.9
Terapi Konservatif adalah termasuk pemberian kortikosteroid sistemik yang merupakan
terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap
pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,
terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi. Selain itu, bisa diberikan
kortikosteroid spray yang bisa membantu untuk mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak
efektif untuk polip yang massif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran
polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan. Terapi
medikamentosa dengan Leukotrin inhibitor, membantu untuk menghambat pemecahan asam
arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan
mediator inflamasi.9
Terapi operatif dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat besar,
sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan operasi yang dapat dilakukan
meliputi polipektomi intranasal, ethmoidektomi intranasal, ethmoidektomi ekstranasal, Caldwell-
Luc (CWL) dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF).10

20
PROGNOSIS

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan
kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi
dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan.

21
BAB III
KESIMPULAN

Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada
penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal
dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi
anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.
Diagnosis polip nasi berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo. Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung
dan Telinga editor : Eliaty AS, Nurbaiti, edisi ke 6 tahun 2007. Hal 118-122.
2. Snell, Richard S, Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik alih bahasa dr. Jan Tamboyang.
EGC 1997
3. Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo. Polip Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Hidung dan Telinga editor : Eliaty AS, Nurbaiti, edisi ke 6 tahun 2007. Hal 123-125
4. McClay, Jhon E MD. Nasal Polyps, di akses dari : www.emedicine.com . Diakses tanggal 30
Januari 2018.
5. Polip hidung, 2004. Diakses dari www.medicastore.com Diakses tanggal 30 Januari 2018
6. Blumenthal MN. Kelainan alergi pada pasien THT. Dalam: Adam, Boies, Higler. BOIES.
Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta, EGC, 1997. Hal 196-8.
7. Bechara, Y Ghorayeb. Nasal polyps. Diakses dari www.otolaryngology Houston.htm.
Diakses tanggal 30 Januari 2018.

8. Polip Nasal. Diakses dari www.arquivosdeorl.org.br Diakses tanggal 30 January 2018.

9. Valerie J Lund. Diagnosis and Treatment of Nasal Polyps. Diakses dari


www.otolayngologyhouston Htm. Diakses tanggal 30 January 2018.

10. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL di


Indonesia. 2007. Hal 58

23

Anda mungkin juga menyukai