Oleh :
H1AP12008
Pembimbing:
dr. Lenggo
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Eruption)
Telah menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam rangka kepaniteraan klinik di Bagian SMF
Ilmu Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Bengkulu.
Pembimbing
dr. Lenggo
BAB I
LAPORAN KASUS
Umur : 5 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Tgl. Masuk RS :
Anamnesa
Keluhan utama : terdapat bintil-bintil kecoklatan yang menjalar seperti bentuk benang
berkelok pada kaki kanan sejak 1 bulan lalu.
Sejak satu bulan yang lalu ibu pasien mengatakan jika anaknya sering
mengeluhkan rasa gatal pada kaki kanan. Awalnya timbul bintil merah disertai rasa
gatal pada kulit daerah kaki kanan yang terlihat oleh ibu pasien saat pasien pulang
bermain. Keluhan gatal dirasakan terus menerus, namun lebih terasa gatal pada
malam hari. Akibat rasa gatal tersebut pasien sering terlihat menggaruk-garuk
kakinya. Pada awalnya keluhan bintil kecil berwarna merah tersebut tampak seperti
bekas digigit serangga. Lama-kelamaan bintil semakin banyak, menimbul dan
menjalar seperti bentuk benang berkelok-kelok. Sejak 2 minggu yang lalu, bintil-bintil
kemerahan terlihat menjadi kecoklatan yang menjalar dengan ukuran bertambah
panjang.
Ibu pasien mengatakan jika anaknya sering bermain diluar rumah tanpa
menggunakan alas kaki. Pasien sering bermain sepeda dan bermain di pasir bersama
dengan teman-temannya. Pasien sebelumnya belum pernah berobat dan tidak pernah
meminum obat apapun untuk mengurangi keluhannya.
Tidak ada keluhan kulit yang sama pada daerah sela jari kaki maupun tangan,
pergelangan tangan, bokong, genital, ataupun tempat lain. Pasien tidak memiliki
riwayat kontak dengan binatang peliharaan seperti anjing atau kucing.
Status Present
Vital sign
RR : 22 x/menit
Suhu : 36.4o C
BB : 18 Kg
Leher : Kuduk kaku (-), pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
Thoraks
Paru :
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
Jantung :
Abdomen
Status Dermatologis
Pada regio pedis dextra terdapat papul eritem, multipel, polisiklik, serpiginosa serta
papul eritem,multipel, linear, yang membentuk seperti terowongan dengan panjang ± 5
cm disertai erosi.
Tanda patogonomik : terdapat kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok –
kelok, menimbul, dan terdapat papul diatasnya
Creeping Eruption
Skabies
Dermatitis venenata
Creeping Eruption
1.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
Topikal : Menyemprotkan kloretil pada lesi.
Sistemik : Albendazol 400mg 1x1 selama 3 hari,
Antihistamin, Loratadin 1x10mg selama 3 hari
Non medikamentosa
1) Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai kemungkinan
penyakit yang di alami oleh pasien berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan.
2) Menjaga kebersihan tangan dan kaki dengan cara sering cuci tangan dan kaki
terutama setelah aktivitas yang kontak langsung dengan tanah atau pasir, serta
kotoran hewan seperti kucing dan anjing.
3) Menganjurkan kepada pasien dan keluarganya selalu memakai alas kaki ketika
beraktivitas diluar rumah dan tidak duduk secara sembarangan di tanah atau
pasir karena larva cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang
tidak terlindungi dan daerah yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir.
4) Menghindari kontak dengan kotoran hewan seperti kotoran kucing dan anjing.
5) Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa menggaruk dapat
memperburuk kondisinya karena dapat terjadi infeksi sekunder.
1.8 PROGNOSIS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Creeping eruption atau yang disebut juga cutaneus larva migrans, dermatosis linearis
berbentuk linear atau berkelok- kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi
larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Penyakit ini banyak terdapat
di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika
2.2 Epidemiologi
daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di
Afrika, Amerika Selatan dan Barat, terutama Amerika Serikat bagian tenggara,
Karibia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Pusat, India, dan Asia Tenggara, di
Indonesia pun banyak dijumpai. Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena
(33,7%) terdiri dari anak-anak dan dewasa, menderita CLM setelah 2,5 minggu
berada di perkemahan. Dari analisa didapatkan 22 orang tersebut berain di kotak pasir
selama minimal 1 jam per hari, berjemur matahari 1 jam per hari, 17 dari 22 orang
yag terkena ternyata tidak mengenakan sandal pada saat bermain pasir. Banyak yang
mengakui adanya kucing yang bekeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar
perkemahan.2
Cara infeksi melalui kontak kulit dengan larva infektif pada tanah. Orang dari
berbagai jenis umur, seksa dan ras bisaterinfeksi jika terpajan larva. Grup yang
beresiko adalah mereka yang pekerjaan atau hobinya berkontak dengan tanah berpasir
3. Petani
4. Tukang kebun
6. Pemburu
7. Tukang kayu
8. Penyemprot serangga
2.3 Etiologi
tambang dengan hospes non manusia. Penyebab utama adalah larva yang berasal dari
cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu ancylostoma braziliense dan
Timur umumnya disebabkan oleh Gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus
caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya
1. Ancylostoma braziliense
2. Ancylostoma caninum
3. Uncinaria phlebotonum
1. Ancylostoma ceylonicum
2. Ancylostoma tubaeforme
3. Necator amricanus
4. Strongyloides papillosus
5. Strongyloides westeri
6. Ancylostoma duondenale
Siklus hidup ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan
ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar
bersama kotoran binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi
kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh
cepat menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di tanah dan
berganti bulu dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Pada
hospes alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan ditranspor
melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus sampai
ke alveoli dan trakea dimana kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara
seksual, dan siklus baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat
Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari,
biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit.
Larva bemigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus
ke dermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim
kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga
penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan
inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai
intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga
terjadi infiltrat paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan eosinofil
pada sputumnya.
Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa
Sumber : http://www.intechopen.com/books/soil-contamination/soil-transmitted-
helminthic-zoonoses-in-humans-and-associated-risk-factors
2.6 Gambaran klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear, menimbul
dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini
menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam atau hari.1
beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal pada ujung
lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva. Larva filariform pada manusia tidak
berkembang menjadi dewasa, infeksi larva terbatas hanya pada lapisan epidermis, yang
menyebabkan kelainan berupa garis merah berbentuk serpiginosa yang disebut Creeping
eruption. Masuknya larva kekulit dapat menimbulkan erupsi yang tidak spesifik, dapat
berupa sensasi tingling atau prickling selama 30 menit sejak larva masuk kulit. Kemudian
jaringan kulit yang ditembus larva filariform berubah menjadi papul keras, merah dan gatal.
Larva dapat tidur selama beberapa minggu atau bulan atau segera memulai aktifitasnya.
Dalam beberapa hari berikutnya, akan terbentuk terowongan sempit di intrakutan yang
menimbul dengan diameter 2-3 mm dengan panjang 3-4 cm dan berwarna kemerahan.
Terowongan ini membentuk garis yang semakin panjang sesuai dengan gerakan larva yang
ada didalamnya. Penyakit ini self-limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau
dua bulan. Lebar lesi berkisar antara 3mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi
bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri.
Sumber : http://www.dermatalk.com/blogs/skin-disorders/cutaneous-larva-migrans/
Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di
bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Sering terjadi
ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Sepanjang garis yang berkelok-kelok terdapat
vesikel kecil yang sewaktu-waktu memungkinkan terjadinya infeksi sekunder jika kulit
digaruk. 6,7
Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan
pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan
peningkatan kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisa terjadi sindrom loeffler dan
mtositis namun jarang dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan
Pemeriksaan IgE serum dan eosinophil biasanya didapatkan meningkat dari normal
Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil
tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodic asam schiff positif) di terowongan
nekrosis keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis
bagian atas.6
2.8 Diagnosis
pajanan epidemiologi dan ditemukan lesi yang khas. Bentuk khas, yakni terdapatnya
kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul
atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung jalur yang mungkin
mengandung larva tetapi biopsi kurang mempunyai arti karena larva sulit ditemukan. Bila
infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom loeffler
(infiltrate paru yang berpindah-pindah), peningkatan kadar IgE. Hanya sedikit pasien yang
A. Scabies
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi
terhadap sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya. Cara penularan bisa melalui
kontak langsung (kontak dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan
hubungan seksual. Dan melalui kontak tidak langsung (melalui benda), misalnya
Sumber : http://scabiesrashpictures.org/Scabies-Mites-Pictures.php
berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling
diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Penyakit ini
seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Dengan melihat adanya terowongan harus
dibedakan dengan scabies. Pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan
B. Insect bite
Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan.
Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen
dari hewan tersebut. Dalam beberapa menit akan muncul papul persisten yang
seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bulosa sering terjadi pada
kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya creeping eruption akan ditemukan papul
Sumber : http://bed-bugbites.org/bed-bug-bites-pictures-on-humans/bed-bug-
bites-on-back/
Larva currens Lesi khusus ditemukan pada area perianal, abdomen, Larva Strongyloidesterlihat pada
dan paha atas. Lesi bertahan hanya beberapa jam. pemeriksaan mikroskopik feses ;
Karakteristik oleh lesi tunggal yang secara cepat serologi IgG Strongyloidespositif.
timbul beberapa sentimeter per jam.
Gnatostomiasis Riwayat memakan ikan mentah atau setengah • Tes serologi positif.
matang. Ditandai dengan edem atau nodul subkutan • Eksisi lesi bisa terlihat larva
yang migrasi. nematoda.
Fasioliasis Riwayat memakan sayuran mentah di Asia atau • Tes serologi positif.
Afrika. Lesi kutan terdapat eritem yang dalam dan • Ekstraksi cacing dari ujung lesi
seperti terowongan. Lesi menyebabkan nyeri
terbakar dan memanjang 4-5 cm per hari.
Infeksi spesies spirurina Kasus dilaporkan hanya di Jepang. Riwayat Tes serologi positif.
memakan seafood mentah. Creeping erruption mirip
dengan CLM tapi biasanya lesi tunggal pada
abdomen.
Myiasis Terdapat nodul kutan sering dengan puncak di Ekstaksi belatung dari lesi kulit.
tengah. Pasien menyadari penyakit dengan nodul
yang bergerak. Dapat bermigrasi tapi biasanya tidak
ada lesi serpiginosa tipis.Lesi tidak biasanya
berlokasi di kaki.
Loiasis Riwayat terpapar nyamuk di Afrika Tengah dan Identifikasi mikrofilaria pada
Barat. Edem subkutan. Ulat dewasa dapat pemeriksaan mikroskop sampel
bermigrasi ke konjungtiva. darah; tes serologi positif.
Creeping hair Tidak ada hubungan dengan travel. Biasanya Ekstraksi rambut dari ujung lesi
melibatkan fragmen kulit bermigrasi secara lambat kulit.
pada dermis atas. Tidak ada gatal.
Skabies Gatalnokturnal. Terdapat papul dan vesikel, Mikroskopi kerokan kulit dapat
terowongan bisa terbukri dan akan membantu menungjukkan tungau, telur, atau
menegakkan diagnosis. Pergelangan tangan dan skibala.
kaki, telapak tangan dan kaki, sela jari, aksila,
pinggul, dan selangkangan adalah predileksi. Gejala
yang sama akan banyak terdapatdi orang sekitar
pasien.
Dermatitis Biasanya terdapat ruam makulopapular difus. Lesi Diagnosis berdasarkan klinis karena
sersarial(skistosomiasis kulit tak bermigrasi. Rash khususnya terlihat dalam penyebaran telur belum dimulai;
) 24 jam setelah kontak dengan air segar dari area kemudian, mikroskopi feses dan urin
endemik. (Afrika, Cina, Filipina, Brazil, dan negara menunjukkan kuantifikasi beban
tropis lainnya). telur dan identifikasi schistoma, dan
serologi skistomiasis akan
menampakkan antibodi terhadap
antigen parasit.
Infeksi herpes zoster Distribusi dermatom tipikal. Lesi kulit tak Usapan pada garukan vesikel positig
bermigrasi dan dikarakteristikan oleh vesikel yang pada virus varisela.
bergabung dan mengering. Biasanya lebih sakit dari
gatal.
2.9 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi. Meskipun penyakit ini
self-limited, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk
berobat.5
2. Ivermectin
Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap
nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui
pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan
drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal. 1-3
4. Mebendazol
Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan mikrotubuli dan
memblok uptake glukosa sehingga terjadi deplesi cadangan glikogen
parasit.
Untuk dosis dewasa :
200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
Untuk dosis anak-anak :
<2 tahun : tidak disarankan
>2 tahun : seperti dewasa
Bisa terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal. Efek samping
yang jarang berupa reaksi hipersensitivitas, agranulositosis, alopesia dan
peningkatan enzim hati. Mebendazol teratogenik pada binatang sehingga
tidak disarankan untuk ibu hamil. Pada anak kurang dari 2 tahun harus
berhati-hati karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bias
berkurang pada penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin.
Meningkat ada penggunaan bersama simetidin. Harus berhati-hati pada
orang dengan sirosis. Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim,
Byeung Song Lee, dan Wook Mok Sohn mendapatkan bahwa
ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak 21 pasien didapat hasil
lebih efektif daripada albendazol 400mg dosis tunggal.
Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif untuk CLM.
Namun ivermectin dan tiabendazol sukar didapat sehingga disarankan
pengobatan dengan albendazol dosis tunggal. 1-3
b. Anti-Pruritus
Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. 1
c. Antibiotik
Jika terjadi infeksi sekunder disebabkan oleh bakteri. 1
2. Pengobatan Topikal
Obat pilihan berupa tiobendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali sehari selama satu
minggu. Topikal tiobendazol adalah pilihan terapi pada lesi yang awal, untuk melokalisir lesi,
mengurangi lesi multipel dan infeksi folikel oleh cacing tambang. Obat ini perlu
diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit normal di sekitar lesi. Dapat juga digunakan
solutio tiobendazol 2% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiobendazol topikal ditambah
3. Bedah beku
Cara terapi ialah dengan bedah beku atau krioterapi yakni menggunakan etil
klorida atau dry ice dengan penekanan 45 detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-turut.
Penggunaan NO2 cair juga pernah dicoba. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil
sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak mengetahui secara pasti
di mana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Terapi ini efektif bila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh terowongan harus
dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini bersifat traumatik
dan hasilnya kurang dapat dipercaya. 3
Ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan. Infeksi umum
disebabkan oleh streptococcus pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi.6,7
2.11 Prognosis
Cutaneous larva migrans memiliki prognosis yang baik. Cutaneous larva migrans dapat
sembuh sendiri. Larva akan mati dengan sendirinya karena manusia adalah pejamu terakhir,
lesi membaik dalam dua sampai delapan pekan, paling lama satu tahun (jarang). Lesi akan
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan tetanus generalisata berdasarakan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis yang dilakukan didapatkan bawah delapan
hari yang lalu pasien terjatuh ditangga rumah dan terdapat sebuah luka terbuka pada tungkai
bawah kanan. Pada hari kesembilan pasien mulai mengeluhkan nyeri saat menelan dan sulit
membuka mulut. Pasien tidak mengeluhkan adanya deman, kejang dan nyeri kepala. Pada
pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pasien datang ke rumah sakit tidak ditemukan adanya
trimus, kaku kuduk (-), kekakuan pdaa otot-otot wajah tidak ditemukan, spasme pada otot
abdomen juga tidak ditemukan dan leher dapat digerakkan bebas tanpa ada rasa nyeri. Pada
follow hari kedua pasien dirawat (13 Oktorber 2018), keluhan sulit membuka mulut
bertambah berat, sulit untuk menggerakan pipi/wajah dan leher terasa kaku. Pada follow up
hari ketiga perawatan (14 Oktober 2018). Pasien tidak dapat membuka mulut, leher terasa
sangat kaku dan pasien mengalami kejang seluruh tubuh selama 10 menit.
Pasien pada kasus ini adalah seorang wanita berusia 77 tahun. Berdasarkan kriteria
umur DEPKES pasien pada kasus ini masuk kedalam kelompok masa manula. Penatalaksaan
tetanus pada pasien usia lanjut umumnya sama dengan panatalaksanaan pada pasien usia
muda. Namun dalam hal perawatan pasien usia lanjut dengan tetanus umumnya
membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama dan membutuhkan prolonged mechanical
ventilation.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Isono H et al. 2016 setidaknya sebanyak 100
kasus tetanus yang dilaporkan di Jepang setiap tahunnya. Sebanyak 94% adalah orang
dewasa dengan usia >40 tahun dan 18% diantara berusia >80 tahun. Pasien dengan tetatus
berat setidaknya membutuhkan prolonged mechanical ventilation selama satu bulan dan masa
perawatan di rumah sakit selama dua bulan. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat pasien usia lanjut dengan tetanus setidaknya membutuhkan mechanical ventilation
lebih dari tiga minggu dan perawatan di rumah sakit selama dua bulan dengan menghabiskan
biaya perawatan mencapai 200,000 dollar AS untuk satu pasien. Pada penelitian
merekomendasikan untuk melakukan booster vaksin tetanus setiap 10 tahun.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nakajima et al. 2018 menemukan faktor yang
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah S. Creeping eruption. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. 5th
2. Bolognia JL. Cutaneus larva migrans. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.
3. Estrada R. Larva migrans (Larva migrans syndrome). In: Arenas R, Estrada R, editors.
4. Omar L. Protozoa and Worms. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, et al, editors.
6. Vega-Lopez F, Hay RJ. Parasitic Worms and protozoa. In: Burns T, Breathnach S, Cox
N, Griffiths C, editors. Rook's textbook of dermatology. 7th ed: Blackwell; 2004. p. 17-8.
CMAJ.JAMC 2008:51-2..