Anda di halaman 1dari 25

Case Report

Anak 5 Tahun Dengan Cutaneous Larva Migran (Creeping Eruption)

Oleh :

WENNY EFRINA ROMINDO

H1AP12008

Pembimbing:

dr. Lenggo

KEPANITRAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Wenny Efrina Romindo (H1AP12008)

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Judul : Anak 5 Tahun Dengan Cutaneous Larva Migran (Creeping

Eruption)

Bagian : SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Pembimbing : dr. Lenggo

Telah menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam rangka kepaniteraan klinik di Bagian SMF

Ilmu Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Bengkulu.

Bengkulu, April 2019

Pembimbing

dr. Lenggo
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Najjla

Umur : 5 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Pasar Kerkap, Bengkulu Utara

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Status : Belum Menikah

Tgl. Masuk RS :

1.2 RIWAYAT PENYAKIT

Anamnesa

Anamnesa diambil dari keluarga pasien (alloanamnesa) dan pasien.

Keluhan utama : terdapat bintil-bintil kecoklatan yang menjalar seperti bentuk benang
berkelok pada kaki kanan sejak 1 bulan lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien datang diantar oleh ibunya dengan keluhan terdapat bintil-bintil


berwarna kecoklatan yang menjalar seperti bebenntuk benang yang berkelok-kelok
yang disertai rasa gatal pada kaki kanan sejak 1 bulan yang lalu.

Sejak satu bulan yang lalu ibu pasien mengatakan jika anaknya sering
mengeluhkan rasa gatal pada kaki kanan. Awalnya timbul bintil merah disertai rasa
gatal pada kulit daerah kaki kanan yang terlihat oleh ibu pasien saat pasien pulang
bermain. Keluhan gatal dirasakan terus menerus, namun lebih terasa gatal pada
malam hari. Akibat rasa gatal tersebut pasien sering terlihat menggaruk-garuk
kakinya. Pada awalnya keluhan bintil kecil berwarna merah tersebut tampak seperti
bekas digigit serangga. Lama-kelamaan bintil semakin banyak, menimbul dan
menjalar seperti bentuk benang berkelok-kelok. Sejak 2 minggu yang lalu, bintil-bintil
kemerahan terlihat menjadi kecoklatan yang menjalar dengan ukuran bertambah
panjang.

Ibu pasien mengatakan jika anaknya sering bermain diluar rumah tanpa
menggunakan alas kaki. Pasien sering bermain sepeda dan bermain di pasir bersama
dengan teman-temannya. Pasien sebelumnya belum pernah berobat dan tidak pernah
meminum obat apapun untuk mengurangi keluhannya.

Tidak ada keluhan kulit yang sama pada daerah sela jari kaki maupun tangan,
pergelangan tangan, bokong, genital, ataupun tempat lain. Pasien tidak memiliki
riwayat kontak dengan binatang peliharaan seperti anjing atau kucing.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat penyakit kulit seperti ini sebelumnya disangkal


 Riwayat alergi makanan dan debu disangkal
 Riwayat sering bersin pagi hari dan gatal disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat penyakit kulit yang sama disangkal


 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat alergi makanan dalam keluarga disangkal
 Riwayat sering bersin pagi hari dan gatal di kulit disangkal

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15

Vital sign

Tekanan darah : Tidak dilakukan


Nadi : 96 x/menit

RR : 22 x/menit

Suhu : 36.4o C

BB : 18 Kg

Status Generalisata : Dalam Batas Normal

Kepala dan Leher

Kepala : Normocephal, persebaran rambut merata, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung : Sekret (-), epistaksis (-/-),pernapasan cuping hidung (-)

Telinga : Bentuk normotia, secret (-/-)

Mulut : Trismus (-) , bibir lembab (+), perioral cyanosis (-)

Leher : Kuduk kaku (-), pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks

Paru :

Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)

Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, ronchi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea mid clavicula sinistra

Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V linea mid clavicula sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan relative di ICS V linea parasternal dextra

Batas jantung kiri relative di ICS V linea mid clavicula sinistra

Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : abdomen datar, tidak terdapat jaringan parut, skiatrik


Palpasi : Supel, spasme otot abdomen (-), nyeri epigastrium (-) , turgor baik.

Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen

Auskultasi : bising usus normal

Status Dermatologis

Ragio Pedis Dextra

Pada regio pedis dextra terdapat papul eritem, multipel, polisiklik, serpiginosa serta
papul eritem,multipel, linear, yang membentuk seperti terowongan dengan panjang ± 5
cm disertai erosi.

Tanda patogonomik : terdapat kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok –
kelok, menimbul, dan terdapat papul diatasnya

1.4 Pemeriksaan Penunjang

1.5 Diagnosis Banding

 Creeping Eruption
 Skabies
 Dermatitis venenata

1.6 Diagnosis Kerja

Creeping Eruption

1.7 PENATALAKSANAAN

 Medikamentosa :
Topikal : Menyemprotkan kloretil pada lesi.
Sistemik : Albendazol 400mg 1x1 selama 3 hari,
Antihistamin, Loratadin 1x10mg selama 3 hari

 Non medikamentosa
1) Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai kemungkinan
penyakit yang di alami oleh pasien berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan.
2) Menjaga kebersihan tangan dan kaki dengan cara sering cuci tangan dan kaki
terutama setelah aktivitas yang kontak langsung dengan tanah atau pasir, serta
kotoran hewan seperti kucing dan anjing.
3) Menganjurkan kepada pasien dan keluarganya selalu memakai alas kaki ketika
beraktivitas diluar rumah dan tidak duduk secara sembarangan di tanah atau
pasir karena larva cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang
tidak terlindungi dan daerah yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir.
4) Menghindari kontak dengan kotoran hewan seperti kotoran kucing dan anjing.
5) Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa menggaruk dapat
memperburuk kondisinya karena dapat terjadi infeksi sekunder.

1.8 PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Creeping eruption atau yang disebut juga cutaneus larva migrans, dermatosis linearis

migrans, sandworms disease adalah kelainan kulit yang merupakan peradangan

berbentuk linear atau berkelok- kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi

larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Penyakit ini banyak terdapat

di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika

Selatan dan Barat, Asia Tenggara begitu juga Indonesia.1

2.2 Epidemiologi

Creeping eruption ditemukan di seluruh dunia tapi paling sering terjadi di

daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di

Afrika, Amerika Selatan dan Barat, terutama Amerika Serikat bagian tenggara,

Karibia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Pusat, India, dan Asia Tenggara, di

Indonesia pun banyak dijumpai. Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena

tingginya mobilitas dan tamasya. Dilaporkan adanya outbreak insiden CLM di

perkemahan anak-anak di Miami, Florida pada tahun 2006. Dilaporkan 22 orang

(33,7%) terdiri dari anak-anak dan dewasa, menderita CLM setelah 2,5 minggu

berada di perkemahan. Dari analisa didapatkan 22 orang tersebut berain di kotak pasir

selama minimal 1 jam per hari, berjemur matahari 1 jam per hari, 17 dari 22 orang

yag terkena ternyata tidak mengenakan sandal pada saat bermain pasir. Banyak yang

mengakui adanya kucing yang bekeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar

perkemahan.2
Cara infeksi melalui kontak kulit dengan larva infektif pada tanah. Orang dari

berbagai jenis umur, seksa dan ras bisaterinfeksi jika terpajan larva. Grup yang

beresiko adalah mereka yang pekerjaan atau hobinya berkontak dengan tanah berpasir

yang lembab dan hangat antara lain sebagai berikut:

1. Orang yang tidak memakai alas kaki di pantai

2. Anak-anak yang bermain pasir

3. Petani

4. Tukang kebun

5. Pembersih septic tank

6. Pemburu

7. Tukang kayu

8. Penyemprot serangga

2.3 Etiologi

Creeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi yang diakibatkan cacing

tambang dengan hospes non manusia. Penyebab utama adalah larva yang berasal dari

cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu ancylostoma braziliense dan

ancylostoma caninum. Ancylostoma braziliense adalah penyebab tersering. Di Asia

Timur umumnya disebabkan oleh Gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus

ditemukan Echinococcus, Strongyloides stercoralis, Dermatobia maziales dan Lucilia

caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya

Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly.

Penyebab yang umum:

1. Ancylostoma braziliense

2. Ancylostoma caninum
3. Uncinaria phlebotonum

Penyebab yang jarang:

1. Ancylostoma ceylonicum

2. Ancylostoma tubaeforme

3. Necator amricanus

4. Strongyloides papillosus

5. Strongyloides westeri

6. Ancylostoma duondenale

2.4 Siklus Hidup dan Patogenesis

Siklus hidup ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan

ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar

bersama kotoran binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi

kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh

cepat menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di tanah dan

berganti bulu dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Pada

hospes alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan ditranspor

melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus sampai
ke alveoli dan trakea dimana kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara

seksual, dan siklus baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat

tetap hidup pada tanah selama beberapa minggu.

Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari,

biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit

berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal.hal ini menginduksi reaksi inflamasi

eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit.

Larva bemigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus

ke dermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim

kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga

penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan

inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai

intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga

terjadi infiltrat paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan eosinofil

pada sputumnya.

Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa

hari sampai beberapa bulan.


Gambar : Siklus Hidup Ancylostoma Braziliense

Sumber : http://www.intechopen.com/books/soil-contamination/soil-transmitted-

helminthic-zoonoses-in-humans-and-associated-risk-factors
2.6 Gambaran klinis

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan

timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear, menimbul

dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini

menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam atau hari.1

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok,

polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang

beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal pada ujung

lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva. Larva filariform pada manusia tidak

berkembang menjadi dewasa, infeksi larva terbatas hanya pada lapisan epidermis, yang

menyebabkan kelainan berupa garis merah berbentuk serpiginosa yang disebut Creeping

eruption. Masuknya larva kekulit dapat menimbulkan erupsi yang tidak spesifik, dapat

berupa sensasi tingling atau prickling selama 30 menit sejak larva masuk kulit. Kemudian

jaringan kulit yang ditembus larva filariform berubah menjadi papul keras, merah dan gatal.

Larva dapat tidur selama beberapa minggu atau bulan atau segera memulai aktifitasnya.

Dalam beberapa hari berikutnya, akan terbentuk terowongan sempit di intrakutan yang

menimbul dengan diameter 2-3 mm dengan panjang 3-4 cm dan berwarna kemerahan.
Terowongan ini membentuk garis yang semakin panjang sesuai dengan gerakan larva yang

ada didalamnya. Penyakit ini self-limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau

dua bulan. Lebar lesi berkisar antara 3mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi

bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri.

Gambar 6. Creeping eruption pada kaki

Sumber : http://www.dermatalk.com/blogs/skin-disorders/cutaneous-larva-migrans/

Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di

bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Sering terjadi

ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Sepanjang garis yang berkelok-kelok terdapat

vesikel kecil yang sewaktu-waktu memungkinkan terjadinya infeksi sekunder jika kulit

digaruk. 6,7

Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan

pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan

peningkatan kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisa terjadi sindrom loeffler dan

mtositis namun jarang dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan

enteritis eosinofilik. 6,7


2.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan IgE serum dan eosinophil biasanya didapatkan meningkat dari normal

yang menandakan adanya infeksi parasit.

Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil

tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodic asam schiff positif) di terowongan

suprabasilar, terowongan pada membrane basalis, spongiosis dengan vesikel intraepidermal,

nekrosis keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis

bagian atas.6

2.8 Diagnosis

Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinis, riwayat

pajanan epidemiologi dan ditemukan lesi yang khas. Bentuk khas, yakni terdapatnya

kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul

atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung jalur yang mungkin

mengandung larva tetapi biopsi kurang mempunyai arti karena larva sulit ditemukan. Bila

infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom loeffler

(infiltrate paru yang berpindah-pindah), peningkatan kadar IgE. Hanya sedikit pasien yang

menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.

2.8 Diagnosis banding

A. Scabies

Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi

terhadap sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya. Cara penularan bisa melalui

kontak langsung (kontak dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan

hubungan seksual. Dan melalui kontak tidak langsung (melalui benda), misalnya

pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain.7


Gambar 7. Scabies pada pergelangan tangan dan sela- sela jari

Sumber : http://scabiesrashpictures.org/Scabies-Mites-Pictures.php

Scabies memiliki gejala klinis seperti pruritus nocturnal, adanya terowongan

(kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan,

berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan

ditemukan papul atau vesikel. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling

diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Penyakit ini

menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya

seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Dengan melihat adanya terowongan harus

dibedakan dengan scabies. Pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan

sepanjang seperti pada creeping eruption.3,

B. Insect bite

Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan.

Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen

dari hewan tersebut. Dalam beberapa menit akan muncul papul persisten yang

seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bulosa sering terjadi pada
kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya creeping eruption akan ditemukan papul

yang menyerupai insect bite (Gambar 8). 4,

Gambar 8. Gigitan serangga pada punggung

Sumber : http://bed-bugbites.org/bed-bug-bites-pictures-on-humans/bed-bug-

bites-on-back/

Tabel 1. Diagnosis Banding CLM14

Kondisi Keterangan Tes Diferensiasi

Larva currens Lesi khusus ditemukan pada area perianal, abdomen, Larva Strongyloidesterlihat pada
dan paha atas. Lesi bertahan hanya beberapa jam. pemeriksaan mikroskopik feses ;
Karakteristik oleh lesi tunggal yang secara cepat serologi IgG Strongyloidespositif.
timbul beberapa sentimeter per jam.
Gnatostomiasis Riwayat memakan ikan mentah atau setengah • Tes serologi positif.
matang. Ditandai dengan edem atau nodul subkutan • Eksisi lesi bisa terlihat larva
yang migrasi. nematoda.
Fasioliasis Riwayat memakan sayuran mentah di Asia atau • Tes serologi positif.
Afrika. Lesi kutan terdapat eritem yang dalam dan • Ekstraksi cacing dari ujung lesi
seperti terowongan. Lesi menyebabkan nyeri
terbakar dan memanjang 4-5 cm per hari.
Infeksi spesies spirurina Kasus dilaporkan hanya di Jepang. Riwayat Tes serologi positif.
memakan seafood mentah. Creeping erruption mirip
dengan CLM tapi biasanya lesi tunggal pada
abdomen.
Myiasis Terdapat nodul kutan sering dengan puncak di Ekstaksi belatung dari lesi kulit.
tengah. Pasien menyadari penyakit dengan nodul
yang bergerak. Dapat bermigrasi tapi biasanya tidak
ada lesi serpiginosa tipis.Lesi tidak biasanya
berlokasi di kaki.
Loiasis Riwayat terpapar nyamuk di Afrika Tengah dan Identifikasi mikrofilaria pada
Barat. Edem subkutan. Ulat dewasa dapat pemeriksaan mikroskop sampel
bermigrasi ke konjungtiva. darah; tes serologi positif.
Creeping hair Tidak ada hubungan dengan travel. Biasanya Ekstraksi rambut dari ujung lesi
melibatkan fragmen kulit bermigrasi secara lambat kulit.
pada dermis atas. Tidak ada gatal.
Skabies Gatalnokturnal. Terdapat papul dan vesikel, Mikroskopi kerokan kulit dapat
terowongan bisa terbukri dan akan membantu menungjukkan tungau, telur, atau
menegakkan diagnosis. Pergelangan tangan dan skibala.
kaki, telapak tangan dan kaki, sela jari, aksila,
pinggul, dan selangkangan adalah predileksi. Gejala
yang sama akan banyak terdapatdi orang sekitar
pasien.
Dermatitis Biasanya terdapat ruam makulopapular difus. Lesi Diagnosis berdasarkan klinis karena
sersarial(skistosomiasis kulit tak bermigrasi. Rash khususnya terlihat dalam penyebaran telur belum dimulai;
) 24 jam setelah kontak dengan air segar dari area kemudian, mikroskopi feses dan urin
endemik. (Afrika, Cina, Filipina, Brazil, dan negara menunjukkan kuantifikasi beban
tropis lainnya). telur dan identifikasi schistoma, dan
serologi skistomiasis akan
menampakkan antibodi terhadap
antigen parasit.
Infeksi herpes zoster Distribusi dermatom tipikal. Lesi kulit tak Usapan pada garukan vesikel positig
bermigrasi dan dikarakteristikan oleh vesikel yang pada virus varisela.
bergabung dan mengering. Biasanya lebih sakit dari
gatal.

2.9 Penatalaksanaan

a. Medikamentosa
Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi. Meskipun penyakit ini

self-limited, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk

berobat.5

1. Pengobatan Sistemik (Oral)


a. Anti-Helmintes
1. Tiabendazol
Merupakan drugs of choice. Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa
antihelminthes berspektrum luas, misalnya tiabendazol ternyata efektif.
Obat ini sukar didapat. Menghambat enzim fumarat reductase sehingga
menginhibisi pembentukan mikrotubuli. Akan terjadi gangguan uptake
glukosa dan inhibisi malat dehidrogenase. Merupakan antihelminthes
heterosiklik generasi ketiga. 1-3
Untuk dosis orang dewasa :
 Topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur dengan krim
kortikosteroid) secara oklusi, 2 kali sehari, selama minimal 1
minggu
 Oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5 hari
Untuk dosis anak-anak :
 Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak lebih dari
3 gr/hari.
Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol dan ivermectin sehingga
lebih dipilih agen yang lain. Efek samping yang sering berupa pusing,
anoreksia, nausea dan muntah. Permasalahan yang lebih jarang seperti
nyeri epigastrium, kram abdomen, diare, pruritus, nyeri kepala,
mengantuk, dan simtom neuroleptik. Pernah dilaporkan kerusakan hati
yang ireversibel dan sindrom Steven Johnson. Tiabendazol pada anak
di bawah 15 kg masih terbatas penggunaaannya. Obat ini tidak boleh
digunakan untuk ibu hamil atau yang menderita penyakit hati maupun
ginjal. 1-3

2. Ivermectin
Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap
nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui
pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan
drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal. 1-3

Untuk dosis dewasa :


 12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal
Untuk dosis anak-anak :
 <5tahun : 150 ug/kgBB dosis tunggal
 >5 tahun : sama dengan dewasa
Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea, muntah, nyeri perut
dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat yang
meningkatkan aktivitas GABA seperti barbiturat, benzodiazepine dan
asam valproat. Ivermectin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.1-3
3. Albendazol
Antihelmintes bersepektrum luas yang mengganggu uptake glukosa dan
agregasi mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazol.
Untuk dosis dewasa :
 400 mg per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau
 2x200 mg sehari selama 5 hari
Untuk dosis anak-anak :
 <2tahun : 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu
kemudian jika perlu
 >2 tahun : sama seperti dewasa
Bila digunakan 1-3 hari, albendazol hampir bebas efek samping. Bisa
terjadi gejala ringan distres epigastrium, diare, sakit kepala, nausea,
pusing, lesu dan insomnia. Pada pemakaian jangka panjang harus dicek
darah dan fungsi hati. Tidak boleh diberikan pada orang yang
hipersensitif terhadap benzimidazol lainnya atau orang dengan sirosis.
Kemanan pada ibu hamil dan anak kurang dari 2 tahun masih belum
diketahui. 1-3

4. Mebendazol
Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan mikrotubuli dan
memblok uptake glukosa sehingga terjadi deplesi cadangan glikogen
parasit.
Untuk dosis dewasa :
 200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
Untuk dosis anak-anak :
 <2 tahun : tidak disarankan
 >2 tahun : seperti dewasa
Bisa terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal. Efek samping
yang jarang berupa reaksi hipersensitivitas, agranulositosis, alopesia dan
peningkatan enzim hati. Mebendazol teratogenik pada binatang sehingga
tidak disarankan untuk ibu hamil. Pada anak kurang dari 2 tahun harus
berhati-hati karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bias
berkurang pada penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin.
Meningkat ada penggunaan bersama simetidin. Harus berhati-hati pada
orang dengan sirosis. Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim,
Byeung Song Lee, dan Wook Mok Sohn mendapatkan bahwa
ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak 21 pasien didapat hasil
lebih efektif daripada albendazol 400mg dosis tunggal.
Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif untuk CLM.
Namun ivermectin dan tiabendazol sukar didapat sehingga disarankan
pengobatan dengan albendazol dosis tunggal. 1-3

b. Anti-Pruritus
Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. 1

c. Antibiotik
Jika terjadi infeksi sekunder disebabkan oleh bakteri. 1

2. Pengobatan Topikal
Obat pilihan berupa tiobendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali sehari selama satu

minggu. Topikal tiobendazol adalah pilihan terapi pada lesi yang awal, untuk melokalisir lesi,

mengurangi lesi multipel dan infeksi folikel oleh cacing tambang. Obat ini perlu

diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit normal di sekitar lesi. Dapat juga digunakan

solutio tiobendazol 2% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiobendazol topikal ditambah

kortikosteroid topikal yang digunakan secara oklusi dalam 24-48 jam.

3. Bedah beku
Cara terapi ialah dengan bedah beku atau krioterapi yakni menggunakan etil
klorida atau dry ice dengan penekanan 45 detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-turut.
Penggunaan NO2 cair juga pernah dicoba. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil
sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak mengetahui secara pasti
di mana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Terapi ini efektif bila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh terowongan harus
dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini bersifat traumatik
dan hasilnya kurang dapat dipercaya. 3

Gambar 9. Cara melakukan krioterapi


Sumber :
http://fabulouslyaverage.com/beauty/cryotherapy-worked-but-more-age-spots-
uncovered
2.10 Komplikasi

Ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan. Infeksi umum

disebabkan oleh streptococcus pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi.6,7

2.11 Prognosis

Cutaneous larva migrans memiliki prognosis yang baik. Cutaneous larva migrans dapat

sembuh sendiri. Larva akan mati dengan sendirinya karena manusia adalah pejamu terakhir,

lesi membaik dalam dua sampai delapan pekan, paling lama satu tahun (jarang). Lesi akan

membaik dalam satu minggu dengan penatalaksanaan adekuat.


BAB III

PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan tetanus generalisata berdasarakan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis yang dilakukan didapatkan bawah delapan
hari yang lalu pasien terjatuh ditangga rumah dan terdapat sebuah luka terbuka pada tungkai
bawah kanan. Pada hari kesembilan pasien mulai mengeluhkan nyeri saat menelan dan sulit
membuka mulut. Pasien tidak mengeluhkan adanya deman, kejang dan nyeri kepala. Pada
pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pasien datang ke rumah sakit tidak ditemukan adanya
trimus, kaku kuduk (-), kekakuan pdaa otot-otot wajah tidak ditemukan, spasme pada otot
abdomen juga tidak ditemukan dan leher dapat digerakkan bebas tanpa ada rasa nyeri. Pada
follow hari kedua pasien dirawat (13 Oktorber 2018), keluhan sulit membuka mulut
bertambah berat, sulit untuk menggerakan pipi/wajah dan leher terasa kaku. Pada follow up
hari ketiga perawatan (14 Oktober 2018). Pasien tidak dapat membuka mulut, leher terasa
sangat kaku dan pasien mengalami kejang seluruh tubuh selama 10 menit.

Pasien pada kasus ini adalah seorang wanita berusia 77 tahun. Berdasarkan kriteria
umur DEPKES pasien pada kasus ini masuk kedalam kelompok masa manula. Penatalaksaan
tetanus pada pasien usia lanjut umumnya sama dengan panatalaksanaan pada pasien usia
muda. Namun dalam hal perawatan pasien usia lanjut dengan tetanus umumnya
membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama dan membutuhkan prolonged mechanical
ventilation.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Isono H et al. 2016 setidaknya sebanyak 100
kasus tetanus yang dilaporkan di Jepang setiap tahunnya. Sebanyak 94% adalah orang
dewasa dengan usia >40 tahun dan 18% diantara berusia >80 tahun. Pasien dengan tetatus
berat setidaknya membutuhkan prolonged mechanical ventilation selama satu bulan dan masa
perawatan di rumah sakit selama dua bulan. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat pasien usia lanjut dengan tetanus setidaknya membutuhkan mechanical ventilation
lebih dari tiga minggu dan perawatan di rumah sakit selama dua bulan dengan menghabiskan
biaya perawatan mencapai 200,000 dollar AS untuk satu pasien. Pada penelitian
merekomendasikan untuk melakukan booster vaksin tetanus setiap 10 tahun.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nakajima et al. 2018 menemukan faktor yang

DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah S. Creeping eruption. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. 5th

ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007. p. 125-6.

2. Bolognia JL. Cutaneus larva migrans. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.

Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby; 2008. p. 9-10.

3. Estrada R. Larva migrans (Larva migrans syndrome). In: Arenas R, Estrada R, editors.

Tropical dermatology. Goergetown, Texas: Landes Bioscience; 2001. p. 213-8..

4. Omar L. Protozoa and Worms. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, et al, editors.

Dermatology. 2nd ed. New York: Elsevier Saunders, 2008. p 1263-81


5. Brooker S, Albonico M et al. Soil-transmitted helminth infections: ascariasis,

trichuriasis, and hookworm. 2006. Available from:

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16679166 [Accesed 31 July 2015]

6. Vega-Lopez F, Hay RJ. Parasitic Worms and protozoa. In: Burns T, Breathnach S, Cox

N, Griffiths C, editors. Rook's textbook of dermatology. 7th ed: Blackwell; 2004. p. 17-8.

7. Micantonio T, Peris K. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller.

CMAJ.JAMC 2008:51-2..

Anda mungkin juga menyukai