Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

DERMATITIS ATOPIK REKALSITRAN DENGAN INFEKSI SEKUNDER DAN


HIPERPIGMENTASI POST INFLAMASI

Penyusun:

Stefina Gunawan

11.2016.278

Pembimbing:

dr. Nirmawati, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SARTIKA ASIH BANDUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

PERIODE 10 SEPTEMBER - 13 OKTOBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit peradangan kronik hilang timbul yang
disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada bayi dan anak, menghilang
pada 50% kasus saat remaja tetapi dapat menetap atau bahkan dimulai pada masa dewasa. Gatal
merupakan gejala yang sangat umum dijumpai pada DA padahal menggaruk akan menambah
gambaran klinis bahkan memperberat keadaan dengan kemungkinan timbulnya infeksi
sekunder.1
Dermatitis atopik rekalsiltran adalah kekambuhan yang terjadi >6 kali dalam setahun,
kurang atau tidak responsif terhadap kortikosteroid topikal, biasanya lebih luas dari tempat
predileksi, dapat terjadi generalisata.1
Patogenesis DA sampai saat ini masih banyak yang belum diketahui secara pasti
sehingga belum ada pengobatan yang dapat memberikan kesembuhan total pada penderita DA.
Penatalaksanaan DA saat ini ditujukan terutama untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit,
mencegah/mengurangi kekambuhan sehingga mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama,
serta mengubah perjalanan penyakit. Keberhasilan pengobatan DA memerlukan pendekatan
sistematik dan holistik. Walaupun berbagai cara pengobatan dasar telah digunakan masih
banyak kasus yang refrakter sehingga memerlukan pengobatan khusus.

2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Muhammad Ismail

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 8 tahun 5 bulan (22 April 2010)

Alamat : Jl. H. Kurdi II/VI No. 319 RT 004/RW 001, Astana Anyar, Bandung

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan : SD

Status Pernikahan : Belum menikah

Suku bangsa : Sunda

Agama : Islam

ANAMNESIS

(Auto dan Alloanamnesis dengan ibu pasien tanggal 24 September 2018 pukul 10.00

Keluhan Utama:

Bentol-bentol merah dan koreng yang mengenai leher dan hampir seluruh kedua tangan dan
kaki.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poli penyakit kulit dan kelamin Rumah Sakit Bhayangkara Sartika
Asih dengan keluhan bentol-bentol merah dan koreng yang mengenai leher dan hampir seluruh
kedua tangan dan kaki yang memberat sejak 8 bulan SMRS. Keluhan ini awalnya mulai
dirasakan sejak pasien berusia 1 tahun (sekitar 7 tahun SMRS), awalnya bentol-bentol

3
dirasakan setelah gigitan nyamuk di kaki, bentol-bentol tersebut berbentuk bulat dan berisi air
yang dirasakan gatal sehingga pasien sering menggaruk-garuk kakinya. Setelah digaruk, timbul
bentol-bentol baru sehingga bentol menjadi semakin banyak dan mengenai hampir seluruh
kaki. Jika ada gigitan nyamuk di tangan, maka bentol-bentol tersebut juga muncul di tangan.
Garukan tersebut juga membuat bentol-bentol menjadi berbentuk koreng. Bekas bentol-bentol
tersebut kemudian tidak hilang, malah menjadi warna hitam bentuk bulat-bulat kecil. Keluhan
ini terus-terusan ada sepanjang tahun, dan menurut pengakuan pasien terasa gatal terus
menerus, tidak ada waktu-waktu tertentu pasien merasa gatal, misalnya hanya pada sore atau
malam hari. Pada saat sebelum keluhan atau saat keluhan pasien tidak ada demam.

Saat sekitar 8 bulan SMRS, ibu pasien mengatakan bentol-bentol semakin banyak di
kaki dan tangan, ada juga di leher. Bentol-bentol ini hampir menutupi seluruh permukaan kulit
kaki dan tangan, dari yang bekas lama sampai bentol baru. Bentol-bentol di kaki juga ada yang
berisi air, ada yang berisi nanah, ada yang sudah menjadi koreng. Bentol berisi nanah baru
muncul sekitar 1 minggu yang lalu. Pasien mengatakan keluhan gatal sepanjang hari yang suka
digaruk oleh pasien, pasien juga sering menggaruk tangan dan kakinya saat tidur. Ibu pasien
mengaku sebelum 8 bulan ini pasien punya kebiasaan bermain di kolam ikan. Jika pasien
bermain di tempat yang banyak debunya seperti pasir, bentol-bentol semakin banyak dan gatal.
Lesi-lesi berwarna putih di wajah tidak ada, bentol-bentol gatal di perut tidak ada, kulit kering
ada. Sabun yang pernah dipakai adalah detol, nuvo, dan JF sulfur. Pasien selama ini berobat di
puskesmas dan dari puskesmas pernah diberikan bedak salicyl, bubuk PK, salep dan obat gatal
namun keluhan tidak membaik. Ibu pasien mengaku tidak tahu pasien mempunyai riwayat
alergi apa, tetapi selama beberapa tahun ini pasien mengurangi makan makanan laut seperti
ikan, udang, telur, keluhan gatalnya agak berkurang. Ibu pasien rajin membersihkan dan
memotong kuku pasien. Keluhan ini terjadi kambuh-kambuhan, sepanjang tahun dialami
pasien (ibu pasien tidak bisa menghitung jumlah munculnya keluhan baru).

Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan adiknya, tidak ada anggota keluarga
yang mengalami keluhan yang sama atau yang sedang ada keluhan gatal, juga di keluarga tidak
ada riwayat atopik atau asma. Ukuran rumah sedang dengan lingkungan yang padat penduduk.
Menurut ibu pasien, pasien mandi dua kali sehari, mengganti pakaiannya dua kali sehari atau
jika pakaian kotor setelah pasien bermain, pasien menggunakan handuk dan baju sendiri (tidak
dipakai bersama dengan orang lain). Di sekolahnya juga tidak ada yang sedang mengalami
keluhan bentol-bentol gatal yang sama. Ibu pasien juga mengaku tidak pernah melihat binatang

4
ataupun kutu di badan ataupun di peralatan rumah. Pasien tidak ada riwayat asma atau sesak
napas dan keluhan bersin-bersin saat berada di tempat berdebu atau di tempat dingin.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien mempunyai riwayat kejang demam satu kali saat berusia 2 tahun. Pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit dahulu seperti asma, alergi, TB, dan penyakit kulit lainnya
kecuali bentol-bentol tersebut.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Di keluarga tidak ada riwayat penyakit tertentu seperti asma, diabetes mellitus, hipertensi,
penyakit kulit. Ibu pasien sering gatal jika banyak makan makanan laut seperti udang.

Riwayat Alergi:

Ibu pasien menyangkal pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan, namun tidak tahu
apakah ada alergi pada makanan, jika makan makanan laut keluhan gatal dan bentol-bentol
bertambah. Ibu pasien menyangkal adanya bersin-bersin ataupun sesak napas jika di tempat
berdebu atau tempat dingin, namun keluhan bentol-bentol dan gatal semakin bertambah jika
pasien bermain di tempat yang kotor dan berdebu.

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan:

Pasien mandi dua kali sehari menggunakan air PAM dengan menggunakan sabun cair yang
dijual pasaran. Kegiatan sehari-hari pasien adalah pelajar dan suka bermain di kolam ikan dan
tempat-tempat yang berdebu. Pasien mengganti sprei 2 minggu sekali dan rajin mencuci sprei,
peralatan rumah. Pola makan pasien baik, 3 kali sehari dengan menu nasi dan lauk pauk
bervariasi.

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

 Kesadaran : Compos mentis


 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Tekanan nadi : 80 kali/menit
 Frekuensi napas : 18 kali/menit
 Suhu : 36,50C

5
STATUS LOKALIS

 Kepala : Normocephali, rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, rambut


tidak mudah tercabut, tidak terdapat lesi, tidak terdapat ketombe, kerion maupun telur
kutu. Hertoge’s sign -/-. Pada wajah tidak tampak makula hipopigmentasi atau papul-
papul.
 Mata : Dennie-Morgan +/+, hiperpigmentasi infraorbita (+/+), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik -/-, sekret -/-
 Telinga : Normotia, liang telinga lapang, refleks cahaya +/+, serumen sedikit,
sekret -/-
 Hidung : Bentuk normal, tidak terdapat septum deviasi, mukosa hidung merah
muda, sekret -/-
 Mulut : Mukosa bibir lembab, gigi: caries dentis (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), gigi berlubang (-)
 Dada : Bentuk dada normal
 Paru : Tidak dilakukan
 Jantung : Tidak dilakukan
 Abdomen : Tidak dilakukan
 Ekstremitas :
o Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2”, kuku merah muda, bersih,
terawat, pendek, pitting nail (-)
o Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT < 2”, kuku merah muda, bersih,
terawat, pendek, pitting nail (-)

STATUS DERMATOLOGIKUS

 Distribusi : Regioner bilateral dan simetris ekstremitas atas dan bawah, regio leher
 Lokasi : Pada leher bagian belakang, kedua lengan atas dan bawah, lipat sikut,
dan tangan, kedua tungkai bawah anterior dan posterior sampai punggung dan telapak
kaki
 Bentuk : Sebagian lesi teratur sebagian lesi tidak teratur
 Ukuran : Miliar sampai lentikular
 Batas : Tegas
 Tepi : Tidak teratur

6
 Permukaan : Sebagian rata dan sebagian menonjol dari kulit
 Efloresensi :
o Tampak lesi berupa makula eritema berbatas tegas dan papula miliar sampai
lentikular, sebagian lesi berupa erosi dan ekskoriasi yang tertutup krusta serosa,
purulenta, dan hemoragika, sebagian lesi berupa makula hiperpigmentasi post
inflamasi pada leher bagian belakang, kedua lipat siku dan lengan, kedua
tungkai bawah bagian anterior dan posterior sampai kedua punggung dan
telapak kaki.

7
8
9
SCORAD

A : Luas lesi: 1% + 9% + 9% + 18% + 18% = 55%

B: Intensitas : (eritema = 1) + (papul = 2) + (krusta = 0) + (ekskoriasi = 2) + (likenifikasi = 0)


+ (dryness = 2) = 7

C : (pruritus = 6) + (sleep loss = 4) = 10

SCORAD = 55/5 + 49/2 + 10 = 11 + 24.5 + 10 = 45.5  sedang

Kriteria ringan < 25, sedang 25-50, berat >50

RESUME

Pasien laki-laki, 8 tahun dibawa oleh ibunya dengan keluhan pruritus dengan papul-
papul pada leher, tangan, dan kaki yang tidak membaik dengan pengobatan sejak 8 bulan
sebelum masuk poli dan memberat sejak 2 minggu sebelum masuk poli. Keluhan pruritus
dirasakan sepanjang hari. Keluhan pruritus dan papul-papul memberat jika pasien bermain di

10
tempat yang banyak debu atau makan makanan laut. Pasien sudah menggunakan salep dan
minum obat gatal dari puskesmas sejak 8 bulan sebelum masuk poli, namun tidak membaik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Dennie-Morgan pada kedua mata, hiperpigmentasi


infraorbita, xerosis kutis, dan didapatkan efloresensi berupa makula eritema berbatas tegas dan
papula miliar sampai lentikular, sebagian lesi berupa erosi dan ekskoriasi yang tertutup krusta
serosa, purulenta, dan hemoragika, sebagian lesi berupa makula hiperpigmentasi post inflamasi
pada leher bagian belakang, kedua lipat siku dan lengan, kedua tungkai bawah bagian anterior
dan posterior sampai kedua punggung dan telapak kaki.

DIAGNOSIS

Diagnosis kerja : Dermatitis atopik rekalsitran

Diagnosis tambahan : Infeksi sekunder, Hiperpigmentasi post inflamasi

Diagnosis banding :

- Skabies dengan infeksi sekunder


- Dermatitis kontak alergi dengan infeksi sekunder
- Dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder
- Insect bite dengan infeksi sekunder

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Prick test


2. Pemeriksaan atopy patch test
3. Pemeriksaan serologi: kadar IgE total dan IgE RAST

TATALAKSANA

Non medika mentosa

1. Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus lingkungan yaitu menghindari bahan


iritan dan alergen
2. Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan pakaian dari
wol
3. Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal dengan pemberian
sabun pelembab segera setelah mandi

11
4. Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk

Medika mentosa

1. Cefixime syrup 100 mg/5 ml 2 x ½ sendok teh selama 7 hari


2. Cetirizine syrup 5 mg/5 ml 2 x ½ sendok teh selama 7 hari

Topikal

1. Benoson G cream 5 gram oles dua kali sehari setelah mandi pada semua lesi yang gatal,
meradang, dan yang bernanah. Sebelum mengoleskan cream, krusta-krusta dibersihkan
dulu dengan merendam atau membalut lesi krusta dengan air lalu setelah krusta-krusta
hilang, baru oleskan cream.

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad malam, karena merupakan kelainan kulit inflamasi yang
bersifat kronis berulang, namun tergantung dari penatalaksanaan untuk mencegah
kekambuhan.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dermatitis Atopik Rekalsitran dengan Infeksi Sekunder

Definisi

Dermatitis atopik (DA) merupakan peradangan kulit yang bersifat kronis berulang,
disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu umumnya sering terjadi selama masa
bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
berhubungan dengan penyakit atopi lainnya, misalnya rhinitis alergi dan asma bronkial.
Banyak istilah lain dipakai sebagai sinonim dermatitis atopik ialah ekzema atopik, ekzema
konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi yang
paling sering digunakan ialah dermatitis atopik. Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit
reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, dengan gejala
eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai
infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.2
Kelainan dapat terjadi pada semua usia, merupakan salah satu penyakit tersering pada
bayi dan anak, sebanyak 45% terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan. Kata “atopi” pertama
kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit
pada individu yang mempunyai kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronkial,
rhinitis alergika, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. Dermatitis atopik dibagi 2 tipe
yaitu:2
1. Tipe 1 : murni tidak disertai keterlibatan saluran napas, ada 2 tipe yaitu:
a. Intrinsik : tidak terdeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapat
peningkatan IgE total serum;
b. Ekstrinsik : terbukti dengan adanya sensitasi terhadap alergen hirup dan alergen
makanan pada uji kulit dan pada serum. Bentuk ekstrinsik didapatkan pada 70-
80% pasien DA. Pada bentuk ini terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan
disertai serum IgE yang meningkat.
2. Tipe 2 : bentuk campuran disertai gejala saluran napas dan terdapat sensitasi IgE.

13
Dermatitis atopik rekalsiltran adalah dermatitis atopik yang mengalami kekambuhan
>6 kali dalam setahun, kurang atau tidak responsif terhadap kortikosteroid topikal.2
Walaupun etiologi penyakit tidak sepenuhnya dipahami, DA dianggap sebagai produk
dari interaksi komplek antara lingkungan host, gen-gen suseptibel, disfungsi fungsi sawar kulit,
dan disregulasi sistem imun lokal dan sistemik. Elemen utama dalam disregulasi imun adalah
sel Langerhans (LC), inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC), monosit, makrofag,
limfosit, sel mast, dan keratinosit, semuanya berinteraksi melalui rangkaian rumit sitokin yang
mengarah ke dominasi sel Th2 terhadap sel Th1, sehingga sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-10, dan
IL-13) meningkat dalam kulit dan penurunan sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-2).

Epidemiologi
Estimasi terbaru mengindikasikan bahwa DA adalah problem kesehatan masyarakat
utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak 10-20% di Amerika, Eropa Utara dan
Barat, urban Afrika, Jepang, Australia dan negara industri lain. Prevalensi DA pada dewasa
berkisar 1-3%. Menariknya, prevalensi DA jauh lebih kecil di negara agrikultural seperti Cina,
Eropa Timur, rural Afrika, dan Asia. Rasio wanita/pria adalah 1.3 : 1.0. Beberapa faktor risiko
potensial yang mendapat perhatian karena disertai dengan peningkatan DA termasuk keluarga
kecil, meningkatnya penghasilan dan pendidikan baik pada kulit putih maupun hitam, migrasi
dari lingkungan pedesaan ke kota, meningkatnya pemakaian antibiotik, semuanya dikenal
sebagai Western life-style. Hal tersebut menghasilkan hygiene hypothesis, yaitu bahwa
penyakit alergi mungkin dapat dicegah dengan infeksi pada awal masa anak yang ditularkan
melalui kontak tidak higienis dari saudaranya.3

Etiologi dan patogenesis


DA adalah penyakit kulit inflamatori yang sangat gatal yang terjadi akibat interaksi
komplek antar gen-gen suseptibel (mengakibatkan tidak efektifnya sawar kulit, kerusakan
sistem imun alami, dan meningkatnya respon imunologik terhadap alergen dan antigen
mikrobial). Menurunnya fungsi sawar kulit akibat downregulasi gen cornified envelope
(filaggrin dan loricrin), penurunan level ceramid, peningkatan level enzim proteolitik endogen,
dan peningkatan kehilangan cairan trans-epidermal, selain tidak ada inhibitor terhadap protease
endogen.4
Penambahan sabun dan detergen ke kulit akan meningkatkan pH, yang berakibat
meningkatkan aktivitas protease endogen, yang selanjutnya menambah kerusakan fungsi sawar
kulit. Sawar epidermis dapat pula dirusak oleh pajanan protease eksogen dari house dust mite

14
dan S. aureus. Perubahan epidermis di atas berkontribusi meningkatkan absorpsi alergen dan
kolonisasi mikrobial ke dalam kulit. Menurunnya fungsi sawar kulit dapat bertindak sebagai
lokasi untuk sensitisasi alergen dan merupakan predisposisi bagi anak untuk mendapat alergi
pernafasan di kemudian hari.
Imunopatologi DA
Kulit pasien DA yang bebas lesi klinis menampakkan hiperplasia epidermal ringan dan
infiltrat perivaskuler yang jarang. Lesi kulit eksematosa akut ditandai edema interseluler nyata
(spongiosis) epidermis. Sel Langerhans (LC) dan makrofag dalam lesi kulit dan sedikit dalam
kulit tanpa lesi, menampakkan molekul IgE, selain didapati pula sedikit infiltrat sel T dalam
epidermis. Di dalam dermis dari lesi akut, tampak influx sel T. Infiltrat limfositik tersebut
terdiri terutama atas sel T memori aktif yang membawa CD3, CD4 dan CD45 RO (bukti dari
pajanan sebelumnya dengan antigen). Eosinofil jarang ditemukan pada DA akut, sedangkan sel
mast dalam jumlah normal dalam stadium degranulasi berbeda.5,6
Lesi kronik likenifikasi ditandai oleh epidermis hiperplastik dengan pemanjangan rete
ridges, hiperkeratosis jelas, dan spongiosis minimal. Terdapat peningkatan sel LC yang
membawa IgE dalam epidermis, dan makrofag mendominasi infiltrate dermis. Jumlah sel mast
meningkat dan umumnya dalam stadium degranulasi penuh. Sel netrofil tidak ditemui dalam
lesi kulit DA walaupun terjadi peningkatan kolonisasi dan infeksi S aureus. Eosinofil
meningkat dalam lesi kulit DA kronik, dan sel ini mengalami sitolisis dan melepas kandungan
protein granul ke dalam dermis atas dari kulit berlesi (major basic protein dengan pola fibriler).
Eosinofil diduga berkontribusi dalam inflamasi alergik dengan mensekresikan sitokin dan
mediator yang meningkatkan inflamasi alergik dan menginduksi kerusakan jaringan melalui
produksi reactive oxygen intermediate (ROI) dan pelepasan protein toksik dari granul.
Sitokin dan kemokin
Sitokin TNF-α dan IL-1 dari keratinosit, sel mast, dan sel dendritik (DC) mengikat
reseptor pada endotel vaskuler, mengaktifkan jalur sinyal, yang berakibat pada induksi molekul
adesi sel endotel vaskuler. Kejadian di atas, mengawali proses tethering, aktivasi, dan adesi
sel radang ke endotel vaskuler dilanjutkan dengan ekstravasasi sel radang ke dalam kulit.
Setelah berada dalam kulit, sel radang merespon chemotactic gradients oleh pengaruh kemokin
yang muncul dari lokasi kerusakan atau infeksi.5,6
DA akut disertai dengan produksi sitokin dari sel Th2, IL-4 dan IL-13, yang memediasi
pergeseran isotip imunoglobulin ke sintesis IgE, dan upregulasi ekspresi molekul adesi pada
sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam perkembangan dan kelangsungan hidup eosinofil,
dan hal ini dominan pada DA kronik. Produksi GM-CSF yang meningkat akan menghambat

15
apoptosis monosit, sehingga berkontribusi dalam persistensi DA. Bertahannya DA kronik
melibatkan pula sitokin sel Th1-like, IL-12 dan IL-18, IL-11, dan TGF-β1.
Kemokin spesifik kulit, cutaneous T cell-attracting chemokine (CTACK), CC
chemokine ligand 27 (CCL27), di upregulate pada DA dan berfungsi menarik sel T yang
memiliki CC chemokin receptor 10 (CCR10) dan CLA+ ke dalam kulit. Sel T CLA+ dapat
pula mengikat CCL17 pada endotel vaskuler dari venule kulit. Pengerahan selektif sel Th2
yang mengekspresikan CCR4, dimediasi oleh kemokin dari makrofag dan sitokin dari timus
dan activation-regulated cytokine. Selain itu, kemokin fractalkine, inducible protein 10 (IP 10),
dan monokin diupregulasi secara kuat pada keratinosit dan mengakibatkan migrasi sel Th1 ke
arah epidermis, terutama pada DA kronik. Peningkatan ekspresi CC chemokine, macrophage
chemoattractant protein-4 (MCP-4), eotaxin, dan regulated on activation normal T-cell
expressed and secreted (RANTES) mempunyai andil untuk infiltrasi makrofag, eosinofil, dan
sel T ke dalam lesi kulit DA akut maupun kronik.5,6
Tipe sel kunci dalam kulit DA
Sel penyaji antigen. Kulit DA mengandung 2 jenis DC yang membawa reseptor IgE
berafinitas tinggi, yaitu sel LC dan inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC), yang
berperan penting dalam presentasi alergen kulit kepada sel Th2 sebagai penghasil IL-4. Sel LC
yang membawa reseptor IgE, hanya didapati pada lesi kulit pasien DA. Sel LC mampu
menangkap dan menginternalisasi alergen, dan selanjutnya memproses serta
mempresentasikannya kepada sel T. Sel LC yang telah menangkap alergen, selain
mengaktifkan sel Th2 memori yang telah berada dalam kulit atopik, juga bermigrasi ke kelenjar
getah bening (KGB) untuk menstimulasi sel T naïve untuk menjadi sel Th2. Stimulasi FcεRI
pada permukaan sel LC oleh alergen akan menginduksi pelepasan sinyal kemotaktik dan
pengerahan prekursol IDEC dan sel T. Stimulasi FcεRI pada IDEC menyebabkan pelepasan
sinyal pro-inflamasi dalam jumlah besar, yang berkontribusi dalam amplifikasi respon imun
alergik. Didapati pula plasmacytoid DC (pDC) dalam jumlah kecil dalam lesi kulit DA. Sel ini
yang terdapat dalam sirkulasi pasein DA membawa varian trimerik FcεRI pada permukaannya,
yang diikat oleh IgE. Fungsi imun pDC yang mengalami modifikasi pada DA, berkontribusi
pada defisiensi IFN tipe I, sehingga meningkatkan kerentanan pasien DA terhadap infeksi virus
kulit seperti eksema herpetikum.
Sel T. Sel Th2 memori skin homing, berperan penting dalam pathogenesis DA, terutama selama
fase akut. Selama fase kronik, terjadi pergeseran ke sel Th1 yang menghasilkan IFN-γ. Sel
Th2-like menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Selain kedua jenis sel di atas, didapati
pula subset sel T, yaitu sel T regulator (Treg) yang mempunyai fungsi imunosupresi dan

16
mempunyai profil sitokin yang berbeda dari sitokin sel Th1 dan Th2. Sel Treg mampu
menghambat perkembangan sel Th1 dan Th2. Bila ada superantigen stafilokokus, fungsi sel
Treg berubah yaitu meningkatkan inflamasi kulit.
Keratinosit. Keratinosit memainkan peran kritis dalam meningkatkan inflamasi kulit atopik.
Keratinosit DA mensekresikan profil sitokin dan kemokin unik setelah terpajan sitokin
proinflamasi, di antaranya yaitu RANTES setelah stimulasi TNF-α dan IFN-γ. Sel tersebut
merupakan pula sumber penting dari thymic stromal lymphopoietin (TSLP), yang
mengaktifkan sel DC untuk aktifkan sel T naive menghasilkan IL-4 dan IL-13 (untuk
diferensiasi sel Th2).
Keratinosit berperan pula pada respon imun alami melalui ekspresi Toll-like receptor
(TLR), produksi sitokin pro-inflamasi, dan peptid antimikrobial (human β defensin dan
cathelicidins) sebagai respon terhadap kerusakan jaringan atau invasi mikroba. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa keratinosit DA menghasilkan peptid antimicrobial dalam
jumlah kecil sehingga menjadi predisposisi untuk mengalami kolonisasi dan infeksi S aureus,
virus dan jamur. Defek ini diperoleh akibat pengaruh sitokin sel Th2 (IL-4, IL-10, IL-13) yang
menghambat TNF dan IFN-γ (yang berfungsi menginduksi produksi peptid antimikrobial).
Faktor genetik
DA adalah penyakit yang diturunkan secara familial dengan pengaruh kuat ibu.
Terdapat peran potensial dari gen barier kulit/diferensiasi epidermal dan gen respon imun/host
defense.
Hilangnya fungsi akibat mutasi protein sawar epidermal, filaggrin, terbukti merupakan
faktor predisposisi utama DA. Gen filaggrin terdapat pada kromosom 1q21, yang mengandung
gene (loricrin dan S100 calcium binding proteins) dalam komplek diferensiasi epidermal, yang
diketahui diekspresikan selama diferensiasi terminal epidermis. Analisis DNA microarray
membuktikan adanya upregulasi S100 calcium binding proteins dan downregulasi loricrin dan
filaggrin pada DA. Variasi dalam gen SPINK5 (yang diekspresikan dalam epidermis teratas)
yang menghasilkan LEK1, menghambat 2 serine proteases yang terlibat dalam skuamasi dan
inflamasi (tryptic dan chymotryptic enzymes), mengakibatkan gangguan keseimbangan antara
protease dan inhibitor protease. Ketidakseimbangan tersebut berkontribusi dalam inflamasi kulit
pasien DA.
Produk gen yang terlibat dalam patologi DA, terdapat pada kromosom 5q31-33.
Kromosom ini mengandung gen sitokin yang berhubungan secara fungsional, yaitu IL-3, IL-4,
IL-5, IL-13, dan GM-CSF (diekspresikan oleh sel Th2).

17
Peranan pruritus pada DA
Keluhan gatal adalah gambaran menonjol dari DA, dimanifestasikan sebagai
hiperreaktivitas kulit dan garukan setelah pajanan alergen, perubahan kelembaban, keringat
berlebihan, dan iritan konsentrasi rendah. Penanganan pruritus penting karena kerusakan
mekanis akibat garukan dapat menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan kemokin,
menyebabkan vicious scratch-itch cycle yang memperparah lesi kulit DA. Mekanisme pruritus pada
DA belum banyak diketahui. Histamin yang berasal dari sel mast bukan penyebab eksklusif gatal
pada DA, karena antihistamin tidak efektif mengontrol gatal pada DA. Berdasarkan observasi,
bahwa terapi steroid topikal dan inhibitor kalsineurin efektif mengurangi gatal, menunjukkan
bahwa sel radang berperan penting pada pruritus. Molekul yang dikaitkan dengan pruritus
adalah sitokin IL-31 dari sel T, neuropeptid, protease, eikosanoid, dan protein yang berasal dari
eosinofil.7

Gambaran klinis
DA tipikal mulai selama bayi. Kisaran 50% timbul pada tahun pertama kehidupan dan
30% timbul antara 1-5 tahun. Kisaran 50 dan 80% pasien DA bayi akan mendapat rhinitis
alergika atau asma pada masa anak.

Lesi kulit
Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah menjelang senja dan
malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah garukan, prurigo papules, likenifikasi, dan
lesi kulit eksematosa. Lesi akut ditandai keluhan gatal intens, papul eritem disertai ekskoriasi,
vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat serosa. Lesi subakut ditandai papul eritem, ekskoriasi,
skuamasi. DA kronik ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi (accentuated skin markings),
dan papul fibrotik (prurigo nodularis).
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan aktivitas penyakit.
Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama mengenai wajah, scalp, dan bagian ekstensor
ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya tidak terkena. Pada anak yang lebih tua, dan pada
yang telah menderita dalam waktu lama, stadium penyakit menjadi kronik dengan likenifikasi
dan lokalisasi berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas.
DA sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa tersebut mempunyai kulit
yang peka terhadap gatal dan peradangan bila terpajan iritan eksogen. Eksema tangan kronik
mungkin merupakan manifestasi primer dari banyak orang dewasa dengan DA.

18
Tes Laboratorium8
a. Uji kulit dan IgE-RAST
Pemeriksaan uji tusuk dapat memperlihatkan allergen mana yang berperan, namun
kepositifannya harus sejalan dengan derajat kepositifan IgE RAST ( spesifik terhadap
allergen tersebut). Khususnya pada alergi makanan, anjuran diet sebaiknya
dipertimbangkan secara hati-hati setelah uji tusuk, IgE RAST dan uji provokasi. Cara
lain adalah dengan double blind placebo contolled food challenges (DPCFC) yang
dianggap sebagai baku emas untuk diagnosis alergi makanan.
b. Peningkatan kadar IgE pada sel langerhans
Hasil penelitian adanya IgE pada sel Langerhans membuktikan mekanisme respon
imun tipe I pada dermatitis atopik, adanya pajanan terhadap allergen luar dan peran
IgE di kulit.
c. Jumlah eosinofil
Peningkatan jumlah eosinofil di perifer maupun di jaringan kulit umumnya seirama
dengan beratnya penyakit dan lebih banyak ditemukan pada keadaan yang kronis.
d. Faktor imunogenik HLA
Walaupun belum secara bermakna HLA-A9 diduga berperan sebagai faktor
predisposisi intrinsik pasien atopik. Pewarisan genetiknya bersifat multifaktor.
Dugaan lain adalah kromosom 11q13 juga diduga ikut berperan pada timbulnya
dermatitis atopik.
e. Kultur dan resistensi
Mengingat adanya kolonisasi Stapylococcus aureus pada kulit pasien atopik terutama
yang eksudatif (walaupun tidak tampak infeksi sekunder), kultur dan resistensi perlu
dilakukan pada dermatitis atopik yang rekalsitran terutama di rumah sakit di kota
besar.
f. Uji Tempel pada kasus kronik rekalsitran
Uji tempel pada kasus kronik rekalsitran berharga dilakukan untuk eksklusi
dermatitis kontak yang menyertai. Pada laporan kasus di India, kurang dari separuh
dari 50 pasien memberikan uji tempel positif terhadap koloponi, nitrofurazon, neomisin
sulfat, dan nikel sulfat. Level IgE normal.

19
Kriteria Diagnostik

Klinis

1. Rasa gatal, dapat sangat berat sehingga mengganggu tidur


2. Efloresensi lesi sangat bergantung pada awitan dan berat penyakit
3. Riwayat perjalanan penyakit kronis berulang
Tidak ada gambaran klinis tunggal pembeda atau tes laboratoris diagnostik untuk DA, sehingga
diagnosis didasarkan pada konstelasi temuan klinis oleh Hanifin & Rajka (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik2


Kriteria Mayor ( ≥ 3) Kriteria Minor (≥ 3)
1. Pruritus 1. Xerosis (kulit kering) 14. Intoleransi/alergi
2. Morfologi dan distribusi 2. Garis atau lekukan di makanan
tipikal (misal, likenifikasi bawah tepi kelopak 15. Immediate (type 1)
fleksura pada anak yang mata bawah (Dennie- skin test reactivity
lebih tua; terkaitnya wajah Morgan fold) 16. Rentan terhadap
dan ekstensor pada bayi 3. Bawah kelopak mata infeksi kulit (misal,
dan anak yang lebih muda) menggelap (allergic dengan Staph
3. Memiliki tendensi ke arah shiners/Orbital aureus, HSV, virus
kronik atau kekambuhan darkening) lain, kutil,
dermatitis secara kronis 4. Wajah pucat/wajah molluscum,
4. Riwayat atopi pada pribadi eritema dermatofita)
atau keluarga (contoh, 5. Pityriasis alba 17. Perifollicular
asma, rhinitis alergi, 6. Keratosis pilaris accentuation
dermatitis atopik) 7. Ichthyosis vulgaris 18. Onset pada usia
8. Hiperlinear pada muda
telapak tangan dan 19. Impaired cell-
kaki mediated immunity
9. White 20. Lipatan leher
dermographism anterior
(garis putih yang 21. Dipengaruhi faktor
tampak pada kulit 1 lingkungan atau
menit setelah emosional

20
tergores oleh benda 22. Pruritus dengan
tumpul) keringat
10. Konjungtivitis 23. Intoleransi terhadap
11. Keratoconus wol dan lipid
12. Katarak subkapsular solvents
anterior 24. Eosinofilia
13. Peningkatan IgE 25. Dermatitis
serum total tangan/kaki
26. Cheilitis
27. Eksema pada puting

Tabel 2. Kriteria diagnostik dermatitis atopik pada bayi


Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Dermatitis pruritik 1. Xerosis/Ichthyosis/hiperlinear telapak
2. Eksema wajah atau ekstensor tangan
tipikal atau dermatitis likenifikasi 2. Perifollicular accentuation
3. Riwayat atopi pada keluarga 3. Sisik kulit kepala kronis
(asma, rhinitis alergi, dermatitis 4. Fisura periauricular
atopik)

Tabel 3. Kriteria William untuk dermatitis atopik:2

I Harus ada:
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
II Ditambah 3 atau lebih tanda berikut
1. Riwayat perubahan kulit/ kering di fosa kubiti, fosa poplitea,
bagian anterior dorsum pedis atau seputar leher ( termasuk
kedua pipi pada anak < 10 tahun )
2. Riwayat asma atau hay fever pada anak ( riwayat atopi pada
anak < 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga)
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
4. Dermatitis di fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada
anak < 4 tahun )

21
5. Awitan dibawah umur 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak < 4
tahun )

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital
based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena
kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum
divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena
itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki
dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman
diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa,
anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter
Puskesmas membuat diagnosis.
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-
ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Hanifin dan Rajka sebagaimana tabel berikut :

I. Luasnya lesi kulit


fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh =2
> 36 % luas tubuh =3
fase infantile

< 18% luas tubuh =1


18-54% luas tubuh =2
> 54% luas tubuh =3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/ tahun =1
remisi < 3 bulan/ tahun =2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

Penilaian skor:2
3-4 : ringan

22
4.5-7.5 : sedang

8-9 : berat

Cara lain menilai derajat sakit yaitu dengan kriteria Notingham eczema severity score (NESS).
Hasil penelitian Prevention of atopy among children in Torndheim (PACT) memperlihatkan
bahwa lebih dari 70% anak DA yang didiagnosis dengan kriteria UK Working Party menderita
DA ringan baik dengan cara NESS maupun SCORAD. Untuk penilaian derajat sakit dapat
dipakai Score for Atopic Dermatitis (SCORAD). Penentuan indeks SCORAD tidak sederhana.
Secara klinis lesi DA dinilai dengan menggunakan acuan foto berwarna pasien DA. Untuk
akurasi penilaian diperlukan pendapat dari 2 orang penilai, yang menilai masing-masing lesi.

Indeks SCORAD:2

A. Penilaian luas penyakit:


Dihitung menggunakan sistem rule of nine. Pada anak di bawah usia 2 tahun, wajah
dan kepala masing-masing dihitung 8,5% dan kedua ekstremitas masing-masing 6%.
Sedangkan pada orang dewasa, wajah dan kepala masing-masing dinilai 4,5% dan
kedua ekstremitas bawah masing-masing dinilai 9%.
B. Penilaian intensitas:
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis, yaitu eritema,
edema atau papul, eksudat atau krusta, ekskoriasi, likenifikasi. Setiap lesi dinilai
sebagai berikut: 0 bila tidak ada, 1 bila ringan, 2 bila sedang, 3 bila berat. Tidak ada
nilai ½ atau 0,5. Sedangkan untuk kulit kering yang dinilai adalah kulit di luar kelima
lesi. Intensitas morfologi dinilai oleh 2 orang pengamat dengan variasi (perbedaan)
penilaian yang tidak bermakna. Standar penilaian intensitas pada SCORAD adalah foto
atau slide foto pasien.
C. Penilaian subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter tersebut
pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scale dari 0 sampai dengan
10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat rasa gatal dan tidak bisa tidur
selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7 tahun pemberian nilai
tidak dapat dipercaya sehingga tidak ikut dinilai.
D. Total nilai indeks SCORAD: ditetapkan dengan menggunakan rumus: A/5 + 7B/2 + C

23
Menurut Hill dan Sulzberger, terdapat 3 fase pada DA:

1. Fase bayi (usia 0-2 tahun)

Lesi awal dermatitis atopik muncul pada


bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat akut,
subakut, rekuren, simetris di kedua pipi.5 Karena
letaknya di daerah pipi yang berkontak dengan
payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat
eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul
dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif,
Gambar 1 Dermatitis Atopik tipe infantil
eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi di
kedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor.9

Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan
sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta
dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang,
dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.

Bentuk lesi: lesi akut, eritematosa, papul, vesikel, erosi, eksudasi/oozing dan krusta. Lokasi
lesi: kedua pipi, kulit kepala, dahi, telinga, leher dan badan dengan bertambah usia, lesi
dapat mengenai bagian ekstensor ekstremitas.

2. Fase anak (usia 2 tahun – pubertas)


Awitan lesi muncul sebelum umur 5
tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase
bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi
hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan
likenifikasi. Akibat adanya gatal dan
garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear
yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan
Gambar 2 Dermatitis Atopik tipe anak
fleksor popliteal. Sangat jarang diwajah.9 lesi
DA pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong.
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar) daerah persendian,
(sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi.

24
Bentuk lesi: lesi subakut, lebih kering, plak eritematosa, skuama, batas tidak tegas dapat
disertai eksudat, krusta dan ekskoriasi. Lokasi lesi: distribusi lesi simetris, di daerah
fleksural pergelangan tangan, pergelangan kaki, daerah antekubital, popliteal, leher,
dan infragluteal.10
3. Fase dewasa
Bentuk lesi pada fase dewasa
hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak.10 Lesi selalu kering
dan dapat disertai likenifikasi dan
hiperpigmentasi. Tempat predileksi
tengkuk serta daerah fleksor kubital dan
fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit

Gambar 3 Dermatitis Atopik tipe dewasa kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat.
Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis
Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila
mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA
remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh)
satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil
berlangsung sampai tua.
Bentuk lesi: lesi kronik, kering, papul/plak eritematosa, skuama dan likenifikasi. Lokasi
lesi: lipatan fleksural, wajah, leher, lengan atas, punggung serta bagian dorsal tangan,
kaki, jari tangan dan jari kaki.

Stigmata pada dermatitis atopik

Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:10

• ‘White dermatographism’
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik
diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15
menit berikutnya.

25
 Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila ekstremitas
penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan
perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diduga karena adanya
pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang mengakibatkan
terjadinya edema dan warna pucat dijaringan sekelilinnya.
• Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)
• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan
meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk DA.
• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis palmar yang lebih dalam
dan lebih nyata, menetap sepanjang hidup.
• Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun dapat ditemukan satu
atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian bawah.keadaan ini pada saat lahir atau
segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata
bawah namun bukan merupakan atonogmomik DA.
• Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat gatal.
• ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang
jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan
melanin.
• Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
• Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular
hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga
terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada
musim panas.
• ‘Delayed blanch’
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan eritema.
Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini
disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.

26
 Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.
 Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal
selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA gatal dapat bertahan selama 45 menit.
 Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim belum difahami secara
menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelembaban nisbi tinggi musim
baik pada kekeringan kulit penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi
musim panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA.
 Hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata.

Diagnosis Banding
Dalam diagnosis banding, terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi, penyakit
genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan DA,
yang harus dieksklusi sebelum diagnosis DA dibuat, yaitu:
1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)
2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis
5. Iktiosis vulgaris
6. Dermatofitosis
7. Eczema asteatotik
8. Liken simplek kronikus
9. Dermatitis numularis

Penyakit Gambaran klinis


Dermatitis Seboroik Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted
nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada

27
Dermatitis kontak Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat
keluarga tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak
sesuai dengan penyakit
Dermatitis Vesikel berkelompok di daerah lipatan
herpetiformis
Dermatofitosis Plak dengan central healing, KOH negatif
Penyakit Riwayat infeksi berulang.
Immmunodefisiensi

Komplikasi
Masalah mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan gangguan visus dan skar
kornea. Keratokonjungtivitis atopik biasanya bilateral dan menimbulkan gejala gatal, terbakar,
keluar air mata dan sekresi mukoid. Keratokonus adalah deformitas konikal kornea akibat
gosokan kronik. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat. Belum jelas apakah ini
akibat manifestasi primer DA atau sebagai akibat pemakaian ekstensif steroid topikal dan
sistemik.

Infeksi
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang merupakan refleksi dari defek
lokal fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah akibat infeksi herpes simplek,
menghasilkan Kaposi varicelliform eruption atau eczema herpeticum. Setelah inkubasi 5-12
hari, lesi vesikopustular, multipel dan gatal timbul dalam pola diseminata; lesi vesikuler ber
umbilated dan cenderung berkelompok, dan sering mengalami perdarahan dan berkrusta,
menghasilkan erosi punch-out dan sangat nyeri. Lesi dalam bergabung menjadi area besar
(dapat seluruh tubuh) yang mengelupas dan berdarah.

28
Gambar 4 Eksema Herpetikum

Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien dengan individu yang
mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi luas berat (eczema vaccinatum) yang tampak
sangat mirip dengan eczema herpeticum.
Pasien DA menunjukkan peningkatan prevalensi infeksi T rubrum dibandingkan control
nonatopik. Antibodi (IgE) terhadap M furfur biasa dijumpai pada pasien DA, sebaliknya jarang
pada control normal dan pasien asmatik. M furfur dan dermatofit lain penting karena setelah
terapi anti jamur, akan terjadi penurunan keparahan kulit DA.
Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta kuning madu,
folikulitis, pioderma dan pembesaran KGB regional, merupakan indikasi adanya infeksi
sekunder (biasanya oleh S. aureus) dan memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya S. aureus
pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien DA berat, walaupun tanpa infeksi berat, dapat
menunjukkan respon klinis terhadap terapi kombinasi dengan antibiotik dan steroid topikal.

Dermatitis tangan
Pasien DA sering mengalami dermatitis tangan nonspesifik. Dermatitis ini sering dipicu
oleh basah berulang dan pencucian tangan dengan sabun, detergen, dan desinfektan.

Dermatitis/eritroderma eksfoliatif

Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil toksin atau infeksi herpes
simplek, iritasi berulang, atau terapi yang tidak mencukupi. Pada beberapa kasus, penghentian
steroid sistemik yang dipakai mengontrol DA berat dapat menjadi faktor pencetus eritroderma
eksfoliatif.

29
Penatalaksanaan
Prinsip:11
 Edukasi dan empowerment pasien, orang tua, serta caregiver
 Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus lingkungan yaitu menghindari bahan
iritan dan alergen.
 Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal dengan pemberian
sabun pelembap segera setelah mandi, dilakukan pada setiap fase perjalanan penyakit
mulai dari individu dengan kecenderungan genetik atopi hingga yang telah
bermanifestasi DA.
 Anti-inflamasi diberikan pada yang telah bermanifestasi DA intrinsik maupun
ekstrinsik (terapi reaktif) dan pada DA subklinis sebagai terapi pemeliharaan (terapi
proaktif).
 Pada terapi pemeliharaan, anti-inflamasi dapat dioleskan pada lesi yang merah (hot
spot) 1-2 kali/minggu (weekend therapy) sebagai terapi proaktif.
 Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk, antihistamin sedatif (lebih
dianjurkan pada bayi dan anak), atau non sedatif sebagai terapi adjuvant bila gatal
sangat mengganggu.
 Konseling psikologi dapat membantu mengatasi rasa gatal dan merupakan salah satu
program edukasi.

30
Terapi topikal
Hidrasi kulit. Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis yang berkontribusi
untuk terjadinya fissure mikro kulit yang dapat menjadi jalan masuk pathogen, iritan dan alergen.
Problem tersebut akan diperparah selama winter dan lingkungan kerja tertentu. Lukewarm soaking
baths minimal 20 menit dilanjutkan dengan occlusive emollient (untuk menahan kelembaban) dapat

31
meringankan gejala. Terapi hidrasi bersama dengan emolien menolong mengembalikan dan
memperbaiki sawar lapisan tanduk, dan dapat mengurangi kebutuhan steroid topikal.11
Steroid topikal. Karena efek samping potensial, pemakaian steroid topikal hanya untuk mengontrol
DA eksaserbasi akut. Setelah kontrol DA dicapai dengan pemakaian steroid setiap hari, kontrol
jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan pemakaian fluticasone 0.05% 2
kali/minggu pada area yang telah sembuh tetapi mudah mengalami eksema. Steroid poten harus
dihindari pada wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid dioleskan pada lesi dan emolien
diberikan pada kulit yang tidak terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh dipakai dalam waktu
singkat dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah atau lipatan). Steroid mid-poten
dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik pada badan dan ekstremitas. Efek samping lokal
meliputi striae, atrofi kulit, dermatitis perioral, dan akne rosasea.
Inhibitor kalsineurin topical. Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0.03% telah disetujui sebagai terapi intermiten DA
sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan takrolimus 0.1% untuk dewasa. Krim pimekrolinus 1%
untuk anak ≥ 2 tahun dengan DA ringan-sedang. Kedua obat efektif dan dengan profil keamanan
yang baik untuk terapi 4 tahun bagi takrolimus dan 2 tahun untuk pimekrolimus. Kedua bahan
tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit, sehingga aman untuk wajah dan lipatan; dan tidak
menyebabkan peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus.12
Topikal:11
Sesuai dengan usia, kelainan klinis, dan lokasi kelainan.
 DA Lesi basah: kompres NaCl 0,9%.
 Kortikosteroid topikal (KST) potensi lemah digunakan untuk pasien DA bayi, lemah
sampai sedang untuk DA anak, potensi sedang sampai kuat untuk DA dewasa.
o Gunakan KST mulai potensi rendah yg paling efektif untuk anak.
o Usia 0-2 tahun maksimum KST potensi rendah.
o Usia >2 tahun maksimum KST potensi sedang.
o Usia pubertas sampai dewasa poten tinggi atau superpoten 2 kali sehari.
o Pada wajah dan fleksura dapat dikontrol dengan pemberian KST potensi sedang
selama 5-7 hari, kemudian diganti menjadi KST potensi lebih ringan atau
inhibitor kalsineurin inhibitor (IKT).
 Gunakan KST 2 kali sehari sampai lesi terkontrol atau selama 14 hari.
 Lesi terkontrol KST 1 kali sehari pagi dan IKT sore hari atau IKT dapat diganti dengan
pelembap.

32
 Fase pemeliharaan: KST potensi lemah secara intermiten (2 kali seminggu) dilanjutkan
1 kali seminggu pada daerah sering timbul lesi atau hot spot.
 IKT digunakan apabila DA sering kambuh, tidak dapat memakai KST, atau untuk
mengurangi pemakaian KST.
 KST kombinasi dapat diberikan pada DA selama 7 hari:
Infeksi lokalisata:
o Bakteri: kombinasi KST dengan asam fusidat, mupirosin.
o Jamur: kombinasi KST dengan derivat azol: mikonazol, flukonazol, kotrimazol.
o DA inflamasi berat dan rekalsitran: kombinasi KST dengan asam fusidat atau
mupirosin.
 Jumlah kebutuhan aplikasi obat topikal KSTL
Diukur dengan finger-tip unit (FTU) ~0,5 gram: jumlah salep yang dikeluarkan dari
tube dengan lubang berdiameter 5 mm, diukur sepanjang ruas jari distal jari telunjuk,
yang dihitung sesuai area tubuh.

Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus.


Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di antaranya sabun atau detergen, pajanan
kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan ekstrim suhu dan kelembaban.
Alergen spesifik. Alergen potensial dapat didentifikasi dengan anamnesis detil, uji tusuk
selektif, dan level IgE spesifik. Uji kulit atau uji in vitro positif, terutama terhadap makanan,
sering tidak berkorelasi dengan gejala klinis sehingga harus dikonfirmasi dengan controlled
food challenges dan diet eliminasi.
Bayi dan anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang anak yang lebih tua dan
dewasa lebih banyak alergi terhadap aeroallergen lingkungan.
Anti-infeksi. Sefalosporin dan penicillinase-resistant penicillins (dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin)
diberikan untuk pasien yang tidak dikolonisasi oleh strain S aureus resisten. Stafilokokus yang
resisten terhadap metisilin memerlukan kultur dan uji sensitivitas untuk menentukan obat yang
cocok. Mupirosin topikal dapat berguna untuk lesi yang mengalami infeksi sekunder terbatas.
Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit,sangat penting untuk pasien DA luas.
Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h untuk 10 hari untuk dewasa dengan infeksi
herpes simplek kulit. Sedangkan asiklovir iv diberikan untuk eczema herpetikum diseminata.
Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA, sehingga harus diterapi dengan
anti-jamur topical atau sistemik.

33
Pruritus. Steroid topikal dan hidrasi kulit untuk mengurangi radang dan kulit kering, sering
mengurangi keluhan gatal. Alergen hirup dan makanan yang terbukti menyebabkan rash pada
controlled challenges, harus disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja terutama memblok
reseptor H1 dalam dermis, karenanya dapat menghilangkan pruritus akibat histamine. Karena
histamine hanya merupakan satu mediator penyebab gatal, beberapa pasien hanya mendapat
keutungan minimal terhadap terapi antihistamin. Keuntungan beberapa antihistamin adalah
mempunyai efek anxiolytic ringan sehingga dapat lebih menolong melalui efek sedatif.
Antihistamin non-sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi, dan akan berguna bila DA
disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.
Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari, antihistamin sedatif, hidroksizin atau
difenhidramin, mempunyai kelebihan (oleh efek samping mengantuk) bila diberikan pada waktu
tidur. Doksepin memiliki efek antidepresan dan efek blok terhadap reseptor H1 dan H2. Obat ini
dapat diberikan dengan dosis 10-75 mg oral malam hari atau sampai 2 x 75 mg pada pasien
dewasa. Pemberian doksepin 5% topikal jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi pruritus
tanpa menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian, dapat terjadi efek sedasi pada pemberian
topical area yang luas dan dermatitis kontak alergik.
Preparat ter. Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit
tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi potensi steroid topikal yang
diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis. Produk ter batubara baru telah dikembangkan
sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan dengan bau dan mengotori pakaian. Sampo
mengandung ter dapat menolong untuk dermatitis kepala. Preparat ter tidak boleh diberikan
pada lesi kulit radang akut, karena dapat terjadi iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya
folikulitis dan fotosensitif.
Terapi foto. UVB broadband, UVA broadband, UVB narrowband (311 nm), UVA-1 (340-
400nm), dan kombinasi UVA-B dapat berguna sebagai terapi penyerta DA. Target UVA
dengan/tanpa psoralen adalah sel LC dan eosinofil, sedangkan UVB berfungsi imunosupresif
melalui penghambatan fungsi sel penyaji antigen, LC dan merubah produksi sitokin oleh
keratinosit. Efek samping jangka pendek terapi foto di antaranya eritema, nyeri kulit, garal,
dan pigmentasi; sedangkan efek samping jangka panjang adalah penuaan kulit premature dan
keganasan kulit.12

Rawat inap
Pasien DA yang tampak eritrodermik atau dengan penyakit kulit berat dan luas yang resisten
terhadap terapi outpatient, harus dirawat inap sebelum mempertimbangkan terapi sistemik

34
alternatif, dengan maksud menjauhkan pasien dari alergen lingkungan atau stress emosional.
Bersihnya lesi kulit selama dirawat, memberikan kesempatan untuk dilakukan uji kulit dan
controlled challenge.

Terapi sistemik
Steroid sistemik. Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik. Beberapa pasien dan
dokter lebih menyukai pemberian steroid sistemik karena terapi topical dan hidrasi kulit
memberikan hasil yang lambat. Perlu diingat, bahwa hasil yang dramatis oleh steroid sistemik
sering disertai rebound flare berat DA setelah steroid dihentikan. Untuk DA eksaserbasi akut dapat
diberikan steroid oral jangka pendek. Bila ini diberikan, perlu dilakukan tapering dosis dan
memulai skin care, terutama dengan steroid topical dan frequent bathing, dilanjutkan dengan
pemberian emolien untuk cegah rebound flare DA.
Siklosporin. Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama terhadap sel
T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Agen mengikat sitopilin, dan komplek ini
seterusnya menekan kalsineurin (molekul yang diperlukan memulia transkripsi gen sitokin.
Pasien DA dewasa dan anak yang refrakter terhadap terapi konvensional, dapat berhasil dengan
siklosporin jangka pendek. Dosis 5 mg/kg umumnya dipakai secara sukses dalam pemakaian
jangka pendek dan panjang (1 tahun), sedang beberapa peneliti lain memakai dosis tak
bergantung berat badan untuk dewasa, dosis rendah (150 mg) atau 300 mg (dosis tinggi) perhari
memakai siklosporin mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai dengan menurunnya penyakit
kulit dan perbaikan kualitas hidup. Penghentian terapi dapat menghasilkan kekambuhan
(beberapa pasien tetap remisi lama). Meningkatnya kreatinin serum atau yang lebih nyata
gengguan ginjal dan hipertensi adalah efek samping spesifik yang perlu diperhatikan pada
terapi siklosporin.
Antimetabolit. Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang digunakan
sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, telah pula digunakan dalam terapi penyakit
kulit inflamatori. Studi open label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek, dan
monoterapi menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang resisten terhadap obat lain
(steroid oral dan topical, PUVA). Obat tersebut ditoleransi baik (hanya 1 pasien mengalami
retinitis herpes). Supresi sumsum tulang (dose-related) pernah dilaporkan. Bila obat tidak
berhasil dalam 4-8 minggu, obat harus dihentikan.
Allergen immutherapy. Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam terapi
DA. Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada dewasa dengan DA yang

35
disensitasi dengan alergen dust mite menunjukkan perbaikan pada SCORAD dan pengurangan
pemakaian steroid.
Probiotik. Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat perinatal,
menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko selama 2 tahun pertama kehidupan.
Ibu diberi placebo atau lactobasilus GG perhari selama 4 minggu sebelum melahirkan dan
kemudian baik ibu (menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap hari selama 6 bulan. Hasil di
atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia
bayi. Hal ini terutama didapat pada pasien dengan uji kulit positif dan IgE tinggi.13
Sistemik:11
 Terapi gatal: antihistamin intermiten/jangka pendek. Non sedatif untuk pagi hari/sedatif
untuk malam hari bila menyebabkan gangguan tidur.
 DA dengan infeksi sekunder yg luas atau tidak berespons dengan terapi topikal diberi
antibiotik selama 7 hari.
Lini 1: amoksilin-klavulanat, sefaleksin. Bila alergi penisilin dapat diberikan
eritromisin.
Lini 2: eritromisin, sefalosporin generasi 2, methycillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA).
 Kortikosteroid (prednison, metilprednidsolon, triamsinolon) pemberian singkat
(sampai dengan 1 minggu) untuk DA eksaserbasi akut/kronik/berat/luas.
 Siklosporin-A: DA berat, refrakter terhadap terapi konvensional, pada pasien DA anak
dan dewasa. Dosis 3-5 mg/kgBB/hari atau dewasa 150 mg/300 mg setiap hari.
 Antimetabolit: mofetil mikofenolat (DA refrakter), metotreksat (DA rekalsitran),
azatioprin (DA berat).

Terapi terkini untuk dermatitis atopik rekalsitran


 Pemberian Tofacitinib pada sebuah penelitian dilaporkan pada tahun 2015. Penelitian
prospektif dilakukan pada enam pasien dengan dermatitis atopik rekalsitran. Terapi
sistemik lainnya dihentikan setidaknya 2 minggu sebelum memulai tofacitinib, kecuali
untuk prednison dosis rendah pada satu pasien dengan pruritus parah. Dosis tofacitinib
yang ditentukan adalah 5 mg, dua kali sehari (dosis yang disetujui untuk rheumatoid
arthritis), kecuali pada satu pasien yang diberikan hanya sekali sehari. Hasil penelitian
ditentukan berdasarkan Skoring Dermatitis Atopik (SCORAD) sebelum dan setelah
terapi.14

36
 Hasil SCORAD menurun secara signifikan dari 54,8% menjadi 36,5% selama periode
observasi awal dan menjadi 12,2% selama periode kedua pengamatan
( P <0,05). Selain itu, ada penurunan serupa dalam skor pruritus dan penilaian waktu
tidur. Para pasien tidak mengalami efek samping. Sampai saat ini, terapi ini mungkin
dipertimbangkan untuk pasien dermatitis atopik yang tidak berespon dengan terapi
topikal, fototerapi, atau berbagai penekan kekebalan tubuh (immunosupresan).

Tindak lanjut
Pemantauan hasil uji tusuk alergen hirup (tungau debu rumah) dan alergen makanan
(misalnya susu sapi). Bila sangat dibutuhkan, dilakukan uji DBPCFC, bekerja sama dengan
subspesialis alergi anak. Edukasi sesuai hasil uji tersebut.

Edukasi
1. Penjelasan kepada pasien, keluarga, dan/atau caregivers mengenai penyakit, terapi,
serta prognosis. Memberi edukasi cara merawat kulit, menghindari penggunaan obat-
obat tanpa sepengetahuan dokter.
2. Penjelasan mencakup semua masalah yang berkaitan dengan DA; gejala, penyebab,
faktor pencetus, prognosis dan tatalaksana.
3. Perawatan kulit pasien DA: mandi menggunakan air hangat kuku, tidak lebih dari 10
menit, menggunakan sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembab, segera
setelah mandi 3 menit mengoleskan pelembab 2-3 kali sehari atau bila masih teraba
kering. Pelembab efektif dan aman digunakan untuk terapi DA pada anak dan dewasa
dengan gejala ringan sedang.
4. Jenis pelembab: mengandung humektan, emolien dan oklusif atau generasi baru yang
mengandung antiinflamasi dan antipruritus (glycerrhectinic acid, telmestein dan vitis
vinifera)14,34,35 (A,1) atau yang mengandung bahan fisiologis (lipid, seramid, Natural
Moisturizing Factor.
5. Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (bahan iritan, bahan alergen, suhu
ekstrim, makanan, stres), manifestasi klinis dan hasil tes alergi.
6. Terkait dengan terapi DA, dosis, cara pakai, lama terapi, cara menaikkan dan
menurunkan potensi, serta penghentian terapi.

37
Prognosis
Penyakit cenderung lebih berat dan persisten pada anak, dan periode remisi lebih sering bila
anak bertambah usia. Resolusi spontan dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun pada 40-60% pasien
yang menderita sejak bayi. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kisaran 84% anak
akan terus menderita DA sampai dewasa, tetapi studi yang lebih baru melaporkan bahwa DA sembuh
pada kisaran 20% anak, dan menjadi kurang parah pada 65%. Faktor prediktif berikut berkorelasi
dengan prognosis jelek DA : DA luas pada masa anak, disertai rhinitis alergik dan asma, riwayat DA
pada orang tua atau saudara, awitan DA pada usia lebih dini, anak tunggal, dan level IgE sangat
tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang menjadi asma
bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis kontak iritan
akibat kerja di tangan.11
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam, karena merupakan kelainan kulit inflamasi yang
bersifat kronis berulang, namun tergantung dari penatalaksanaan untuk mencegah
kekambuhan.11

38
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah salah satu dari sepuluh besar penyakit yang sering terjadi,
karenanya perlu pemahaman yang lebih mendalam. Selain karena Dermatitis atopik dapat
menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan
memberat sampai usia dewasa.

Perkembangan dermatitis atopik merupakan hasil perpaduan antara faktor genetik,


lingkungan, imunologis, dan farmakologis. Karena semakin hari angka kejadian dermatitis
atopik ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, dan industri yang
menghasilkan banyak polutan dan iritan, maka langkah untuk mencegah dermatitis atopik ini
sangat bermanfaat untuk mencegah kenaikan prevalensi dan diharapkan dengan mengenali
lebih dalam tentang penyakit dermatitis atopik ini diharapkan pula dapat mengurangi angka
kesakitan yang terjadi baik pada masa infantil, anak-anak maupun dewasa.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Kariosentono, Harijono. Dermatitis atopik ( Eksema ) Dari gejala klinis, Reaksi atopik,
Peran eosinofil, Tungau debu rumah, Sitokin sampai kortikosteroid pada
penatalaksanaannya. UNS Press, Solo.2006.

2. Linuwih, Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Balai Penerbit FK UI, Jakarta,
2015.

3. Baratawijaya, K.G. Imunologi Dasar. Jakarta: FK UI. 2010.

4. Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;


www.Childrenallergicclinic.wordpress.com Unduh 24 juli 2018

5. Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
(Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.

6. Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi
W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-
51.

7. Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.

8. Tada J., 2012. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11. 460-65.

9. Zulkarnain I., 2009. Faktor resiko pada Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito
T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta. Hal. 39-51. file:///C:/Users/acer/Downloads/2548-5648-1-PB.pdf Unduh 24 juli
2018

10. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2011. Dermatitis
Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta. Penerbit Media
Aesculapius FKUI.

11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan praktik klinis bagi
dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta: Salemba; 2017.h. 191-7.

40
12. Chair co, et.al,. 2013. Guidelines of care for the management of atopik dermatitis Section
1. Diagnosis and assessment of atopik dermatitis. Hospitals NHS Trust, Nottingham;
Department of Dermatology, University of Alabama at Birmingham; National Eczema
Association,p San Rafael; American Academy of Dermatology,q Schaumburg; and the
Department of Dermatology,r Seattle Children’s Hospital. American Academy of
Dermatology, Inc. http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2013.10.010

13. Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi melalui
induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.

14. Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A.,
Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit
FK UI. Jakarta. Hal. 39-55. Sugito T.L., 2009

41

Anda mungkin juga menyukai