Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

Dermatitis Atopik

DISUSUN OLEH:
Fadhil Mayudha
2015730041

PEMBIMBING :
dr. Flora Anisah Rakhmawati, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RSUD R. SYAMSUDIN, S.H. SUKABUMI

2019
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

 Nama : By. A
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 0 tahun 4 bulan 3 hari
 Pekerjaan : Tidak Bekerja
 Pendidikan : Belum sekolah
 Alamat : Kp. Nangewer, Kec. Sukabumi
 Tanggal Pemeriksaan : Selasa, 10 Desember 2019

1.2 ANAMNESIS

 Keluhan Utama
Bercak kemerahan yang terasa gatal di Pipi Kanan.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang Bayi berusia 4 bulan datang diantar oleh ibunya ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUD Syamsudin SH kota Sukabumi dengan keluhan bercak
kemerahan yang terasa gatal di pipi bagian kanan sejak usia 1 bulan.
Dari anamnesis kepada ibunya didapatkan bahwa keluhan seperti ini
diketahui hilang timbul. Awalnya timbul bercak kemerahan yang terasa sangat
gatal pada bagian Pipi Kanan sehingga membuat pasien sering terbangun
(menangis) pada malam hari. Setelah itu keluarga pasien memberikan obat
kampung berupa daung jengkol dan diketahui bercak kemerahannya membaik.
Lalu 2 hari sebelum masuk rumah sakit bercak kemerahannya seperti timbul
berair dikarenakan digigit oleh serangga.
Keluhan seperti ini diketahui sering hilang timbul tidak bergantung
dengan waktu dan hanya pada pipi kanan saja. Pasien diketahui sering

1
menggaruk daerah pipi kanannya dan menyebabkan kulit menjadi semakin
kemerahan dan terdapat beberapa bekas garukan.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya sudah pernah mengalami gejala serupa sejak usia 1
bulan di pipi kanan namun hilang timbul. Riwayat asma atau hay fever disangkal.

 Riwayat Penyakit Keluarga


Kakak pasien diketahui pernah mengalami keluhan yang sama & ibu

pasien tidak memiliki riw. Asma.

 Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi makanan(susu), obat, maupun cuaca.
 Riwayat Pengobatan
Sebelum berobat ke Poliklinik kulit dan kelamin, pasien sebelumnya
diberikan obat kampung oleh ibunya berupa daun jengkol namun tidak ada
perbaikan.

 Riwayat Psikososial & Kebiasaan


Pasien tinggal dengan orang tua dan kakak nya. Pencahayaan dan
Ventilasi rumah pasien baik. Pasien saat ini belum bekerja.

2
1.3 PEMERIKSAAN

A. Pemeriksaan Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)

Tanda-tanda vital

Tekanandarah : Tidak dilakukan

Nadi : 80 x/menit

Pernapasan : 24 x/menit

Suhu : 370C

Status Gizi

Berat badan : kg

Tinggi badan :-

Kepala : Normocephal

Rambut : Rambut tidak mudah rontok

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Hidung : Deviasi septum nasi (-), sekret (-)

Telinga : Normotia, sekret (-/-), sekret (-/-)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), mukosa faring hiperemis (-).

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid maupun KGB

Thoraks : Cor dan pulmo dalam batas normal

3
Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Dalam batas normal

B. Pemeriksaan Dermatologik

Distribusi : Regional, a/r Buccalis Dextra

Jumlah : Soliter

Susunan/bentuk : Polisiklik

Ukuran : Numular

Batas` : Difus

Permukaan : Menimbul

Sifat : Kering

Efloresensi :

- Eritema di sekitar pipi


- Vesikel
- Erosi
- Gatal (+)
- Kemerahan (+)
- Nyeri (-)

4
1.4 RESUME

Seorang Bayi berusia 4 bulan datang diantar oleh ibunya ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Syamsudin SH kota Sukabumi dengan keluhan bercak kemerahan yang
terasa gatal di pipi bagian kanan sejak usia 1 bulan. Dari anamnesis kepada ibunya
didapatkan bahwa keluhan seperti ini diketahui hilang timbul. Awalnya timbul bercak
kemerahan yang terasa sangat gatal pada bagian Pipi Kanan sehingga membuat pasien
sering terbangun (menangis) pada malam hari. Setelah itu keluarga pasien memberikan
obat kampung berupa daung jengkol dan diketahui bercak kemerahannya membaik. Lalu
2 hari sebelum masuk rumah sakit bercak kemerahannya seperti timbul berair
dikarenakan digigit oleh serangga. Berdasarkan riwayat penyakit dahulu ibu pasien
mengatakan bahwa keluhan seperti ini sering hilang timbul dan selama ini hanya
diberikan obat kampung, riwayat asma atau hay fever pada pasien disangkal. Riwayat
penyakit keluarga diketahui bahwa kakak pasien pernah mengalami keluhan yang sama
dan riwayat asma pada keluarga disangkal. Riwayat alergi terhadap makanan (susu) ,
obat, dan cuaca disangkal.

1.5 DIAGNOSIS

A. Diagnosis Kerja

5
 Dermatitis Atopik (fase infantil)

B. Diagnosis Banding
 Dermatitis Seboroik
 Psoriasis

1.6 USULAN PEMERIKSAAN

Usulan pemeriksaan penunjang :


1. Laboratorium : serum-spesifik IgE antibody
2. Skin prick test
3. Skin patch test

1.7 TATALAKSANA

A. Non Medikamentosa
 Edukasi dan Konseling tentang penyakitnya, perjalanan penyakit, serta
berbagai faktor yang mempengaruhi penyakit.

 Edukasi dan Konseling tentang faktor pencetus kekambuhan.

 Edukasi dan Konseling tentang Penyakitnya yang sulit disembuhkan, namun


dapat dikendalikan.

B. Medikamentosa
 Topikal
- Pelembab : Physiogel A.I krim (2 kali per hari)
- Kortikostreoid gol VII (Potensi ringan) : Hidrokortison krim 1-2,5 % (2-3
kali per hari)

 Sistemik
- Antihistamin : Cerini drop (0,25 mL sekali sehari)

6
1.8 PROGNOSIS

 Quo ad vitam : bonam


 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

7
BAB II

ANALISIS KASUS

2.1 ANALISIS DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis Atopik Dermatitis Seboroik


Psoriasis
(fase infantil)
Etiologi Multifaktor : genetik - Malassezia spp Autoimun dan
(disfungsi sawar kulit), - Gangguan imunitas genetik
imunopatologi, &
hipersensitivitas
alergen
Predileksi - Wajah (utama) : kedua - Sering terkena di - Skalp, siku, lutut,
pipi, dahi, kulit daerah kulit kepala
punggung, lumbal,
kepala, telinga, dan berambut.
- Wajah : alis, lipat dan retroaurikuler.
leher.
- Pergelangan tangan, nasolabial, side
siku, dan lutut. burn, telinga dan
liang telinga,
bagian atas-tengah
dada, punggung,
lipat gluteus,
inguinal, genital,
dan aksila.
Gejala Klinis - Gatal - Gatal - Gatal
- Lesi - Terasa - Rasa terbakar
kemerahan seperti menyengat - Nyeri,
- Perubahan - Ketombe terutama bila kulit
kulit/kering di fosa merupakan tanda kepala terserang
kubiti, fosa popliteal, awal dari
bagian anterior Dermatitis
dorsum pedis, atau Seboroik
seputar leher

8
Dermatitis Atopik Dermatitis Seboroik Psoriasis
(fase infantil)
Efloresensi - Eritema - Skuama kuning - Makula erimatosa
- Vesikel berminyak - Plak erimatosa
- Erosi - Eksematosa ringan - Skuama
- Ekskoriasi - Papul

9
2.2ANALISIS KASUS

TEORI KASUS
Epidemiologi - Wanita lebih banyak Pasien berjenis kelamin laki-laki
dan berusia 4 bulan
menderita DA daripada
pria dengan rasio 1,3:1
- Dermatitis atopik kerap
terjadi pada bayi dan anak,
sekitar 50% menghilang
pada saat remaja, kadang
dapat menetap, atau
bahkan baru mulai muncul
saat dewasa
 
Manifestasi William - Terdapat gejala gatal, disertai
Klinis bekas garukan di daerah lesi
1. Gatal (harus ada) atau
- Terkena pada daerah pipi
tanda garukan pada anak kanan
kecil. - Terkena pada usia 1 bulan

2. Ditambah 3 atau lebih:


• Terkena pada daerah
lipatan siku, lutut, di
depan mata kaki atau
sekitar leher (termasuk
pipi pada anak di bawah
10 tahun).
• Anamnesis ada riwayat
atopi seperti asma atau
hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-
anak).
• Kulit kering secara
menyeluruh pada tahun
terakhir.
• Ekzema pada lipatan
10
(termasuk pipi, kening,
badan luar pada anak <4
tahun).
• Mulai terkena pada usia
dibawah 2 tahun (tidak
digunakan pada anak <4
tahun).

Tatalaksana Topikal Topikal


- Pelembab jenis humektan - Pelembab : Physiogel A.I
(gliserin dan propilen krim (2 kali per hari)
glikol), natural
moisturizing factor (urea
- Kortikosteroid gol VII
10% dalam euserin
(Potensi ringan) : Hidrokortison
hidrosa), emolien (lanolin
krim 1-2,5% (2-3 kali per hari)
10%, petrolatum, minyak
tumbuhan dan sintetis),
protein rejuvenators (asamSistemik
amino), bahan lipofilik - Antihistamin : Cerini drop
(asam lemak esensial, (0,25 mL sekali sehari)
fospolipid, dan seramid).

- Kortikosteroid topikal untuk


bayi dan anak dianjurkan
pemilihan kortikosteroid gol.
VII-VI.

Sistemik
- Ketokonazol Cream

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif,
disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama wajah pada bayi (fase
infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak), sering berhubungan dengan
peningkatan kadar igE dalam serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita.
Dermatitis atopik kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat
remaja, kadang dapat menetap, atau bahkan baru mulai muncul saat dewasa. Istilah
“atopy” telah diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, asal kata “atopos”
(out of place) yang berarti berbeda, dan yang dimaksud adalah penyakit kulit yang tidak
biasa, baik lokasi kulit yang terkena, maupun perjalanan penyakitnya.1,2

12
3.2. Epidemiologi
Prevalensi DA bervariasi, contoh prevalensi DA yang diteliti di Singapura tahun
2002 menggunakan kriteria United Kingdom (UK) Working Party pada anak sekolah
(usia 7 – 12 tahun) sebesar 20,8% dari 12.323 anak. Penelitian di Hannover (Jerman)
prevalensi DA (menggunakan kriteria Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-9 tahun)
ditemukan sebesar 10.5% dari 4219 anak. Di negara berkembang, 10-20% anak
menderita dermatitis atopik dan 60% diantaranya menetap sampai dewasa. Di
Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, prevalensi DA
pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara
agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah.
Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor
lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil,
pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan
meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita DA.
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan
lahin makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbulnya DA pada kemudian hari.1,2
DA cenderung diturunkan, lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah
satu orang tua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi
sampai usia 2 tahun, dan mengkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi.
Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah.
Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.2

3.3. Etiologi dan Patogenesis


Berbagai faktor interaksi dalam pathogenesis DA, misalnya faktor genetik,
lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya DA
adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari
sumsum tulang. Faktor psikologis dan hygiene dapat merupakan penyebab atai sebagai
dampak DA.1,2
Kadar igE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinophil dalam darah perifer
umumnya meningkat. Terbukti ada hubungan secara sistemik anatar DA dan alergi
saluran nafas, Karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rhinitis
alergik.2
Berikut ini 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi:
- Kelas I : gen predisposisi untuk atopi dan renpons umum igE

13
a. Reseptor FcɛRI-β, mempunyai afinitas tinggi untuk igE (kromosom
11q12-13)
b. Gen sitokin IL-4 (kromosom 16)
c. Gen reseptor IL-4 (kromosom 16)
- Kelas II : gen yang berpengaruh pada respon igE spesifik.
a. TCR (kromosom 7 dan 14)
b. HLA (kromosom 6)
- Kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme non inflamasi (hiperresponsif
bronkial.
- Kelas IV : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak di perantai igE.
a. TNF (kromosom 6)
b. Gen kimase sel mast (kromosom 14)
2.3.1 Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
DA erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat menurunnya
fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin), berkurangnya
volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epider-mal-water loss
(TEWL). TEWL DA meningkat 2-5 kali orang normal. Sawar kulit menurun akibat
protease eksogen yang berasal dari tungau debu rumah (house dust mite) dan
superantigen Staphylococcus aureus (SA) serta kelembapan udara.1
Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan
hipersensitivitas terhadap allergen. Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas
kemampuan menyimpan air, serta perubahan komposisi lipid esensial kulit. Garukan
akibat gatal menimbulkan erosi / eksoriasi yang mungkin berpotensi untuk penetrasi
mikroba di kulit.1

2.3.2 Perubahan Sistem Imun (Imunopatologi)


Keratinosit, sel Langerhans, Sitokin, IgE, Eosinofil, dan sel T
Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit (IL-1, IL-6,
IL-8, tumor necrosis factor-a (TNF-a) meningkat dan selanjutnya me- rangsang
molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi regulasi limfosit dan
leukosit, pada DA terdapat peningkatan kadar lgE yang menyebabkan reaksi eritema
di kulit. Terjadi stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T(CD4) dan IL-13 terhadap
sel B untuk memproduksi IgE, sebaliknya interferon y (IFNy) dapat mensupresi sel B.
IL-5 berfungsi menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu
parameter DA. 1

Lesi akut DA, ditandai edema interseluler (spongiosis) dan sebukan infiltrate
di epidermis yang utama limfosit T. Di dermis sebukan sel radang terdiri limfosit T
dengan epitope CD3, CD4, dan CD45R, monosit-makrofag. Lesi kronik DA ditandai

14
hiperplasi epidermis, pemanjangan rete ridges, sedikit spongiosis, dan hyperkeratosis.
Terdapat peningkatan LC dan jumlah IgE di epidermis, infiltrat di dermis lebih
banyak mengandung sel mononuklear/ makrofag dan sel mas yang bergranulasi
penuh, banyak sel eosinofil, serta tidak ada neutrofil walaupun terdapat peningkatan
kolonisasi dan infeksi Staphylococcus aureus.1

Pada fase akut sel T-helper 2 (TH-2) melepaskan sitokin (IL4 dan IL 13)
menginduksi pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi sel endotel, sedangkan
IL-5 menginduksi dan memelihara sel eosinophil pada lesi kronik DA. Pada fase
kronik sitokin yang berperan IL-12 dan IL-18 dihasilkan oleh sel T helper-1 (TH-1),
IL-11 dan transforming growth factors β-1.1

Sel Efektor Pada Reaksi Imunologik DA

Keratinosit sebagai signal transducer, sebagai sel asesori, dan sebagai sel
penyaji antigen (SPA). Sel Langerhans (LCs) merupakan SPA poten. Sel T mengenal
antigen dengan adanya T-cell receptor (TCR) dengan rantai α dan β yang membentuk
kompleks reseptor dengan CD30. Sel endotel befungsi mengatur lalu lintas leukosit
pada inflamasi dan pada saat di induksi reaksi hipersensitivitas mengekspresikan
berbagai berbagai molekul adhesi, yaitu ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1, ELAM-1.1

Alergen yang masuk ke kulit akan ditangkap oleh SPA, di proses dan disajikan
kepada sel T (TH-2), berikatan dengan kompleks TCR, sehingga mengeluarkan IL-4
dan membantu sel B memproduksi IgE. IgE akan menempati reseptor di permukaan
sel mast, berikatan dengan alergen dan memacu sel mast berdegranulasi dan
melepaskan berbagai mediator serta IL-4 IL-5. IL-3, IL-4, IL-5 menarik eosinofil dan
memeliharanya di jaringan. Faktor lain yang menyebabkan migrasi eosinofil adalah
eosinophilic factor of anaphylaxis ECF-A), leukotrien B4, dan histamin. 1

Sitokin dan kemokin berperan penting pada reaksi inflamasi DA. Beberapa
sitokin, tumor necrotic factors-a (TNF-a) dan IL-1 yang dihasilkan sel keratinosit, sel
mas, dan LC, ber katan dengan reseptor sel endotel kapiler, meng- aktifkan sinyal
jalur sel, dan mengaktifkan molekul adhesi sel endotel. Peristiwa tersebut menyebab-
kan ekstravasasi sel inflamasi ke kulit dan segera menuju tempat peradangan atau
infeksi.1

Pada DA IgE berjumlah lebih banyak dan menunjukkan daya afinitas yang
tinggi pada reseptor di keratinosit dan sel Langerhans sehingga pathogenesis DA lebih
diperankan oleh reaksi tipe 1. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, rangsangan
zat/bahan langsung pada sel mas dapat menyebabkan sel mas berdegranulasi dan
melepaskan berbagai mediator antara lain histamin, kinin, bradikinin, tripsin, papain,
leukotriene B4, prostaglandin E2, dan 12 HETE. Mediator tersebut menimbulkan
vasodilatasi, reaksi inflamasi, rasa gatal, dan manifestasi inflamasi di kulit. Pasien DA
secara genetik menunjukkan hipersensitivitas terhadap berbagai alergen.1

2.3.3 Alergen dan Superantigen

15
Alergen
Faktor eksogen, terutama alergen hirup (debu rumah, tungau debu rumah)
berperan penting dalam terjadinya DA. Alergen lainnya adalah human dander, animal
dander, molds, grasses, trees, regweed, dan pollen. Beberapa penelitian membuktikan
peningkatan kadar IgE spesifik terhadap tungau debu rumah, bulu anjing, bulu kucing,
bulu kuda, dan jamur. Hasil uji tempel terhadap allergen tungau debu rumah
menginduksi perubahan histopatologik berupa pembentukan infiltrate selular yang
diperantai sel T (TH-2) serta ditemukan eosinophil dan basophil. Alergi yang sering
ditemukan pada DA adalah telur (69%), susu sapi (52%), kacang-kacangan (42%),
soya (34%), gandum (33%), serta lainnya terhadap ikan dan ayam.1

Superantigen
Berbagai hasil penelitian menyatakan pada lesi DA menunjukkan peningkatan
kolonisasi Staphylococcus aureus (SA). Superantigen mempunyai efek
imunomodulator, menyebabkan apoptosis sel T, sel eosinophil, meningkatkan
penglepasan histamine dan leukotriene, sistesis IgE, serta menurunkan potensi
glukokortikoid.1

2.3.4 Predisposisi Genetik

Risiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot
25%. DA sering dijumpai pada sebuah keluarga, 60% pasien DA mempunyai anak
atopi. Jika kedua orangtuanya menderita DA, maka 81% anaknya berisiko menderita
DA, apabila hanya salah satu orangtuanya yang menderita DA maka risiko nya
sebesar 59%.1

2.3.5 Mekanisme Pruritus Pada DA

Sensasi gatal dan nyeri disalurkan melalui saraf C tidak bermielin di daerah
taut dermoepidermal. Rangsangan ke reseptor gatal menjalar melalui saraf spinal
sensorik kemudian ke hipotalamus kontralateral dan selanjutnya ke korteks untuk
dipersepsikan. Rangsangan ringan dan superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, namun bila lebih dalam dan intensitas tinggi dapat
menyebabkan sensasi nyeri. Patogenesis DA berkaitan dengan faktor genetik dan
hipersensitivitas tipe I fase lambat. Namun, kemudian dianggap pada DA dapat terjadi
reaksi yang diperantarai hipersensitivitas tipe IV dan tipe l.1

2.3.6 Faktor Psikologis

Tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara lain rasa cemas,
stress dan depresi. Rasa gatal yang hebat memicu garukan yang terus menerus
sehingga menyebabkan kerusakan kulit, cemas bertambah ketika pasien bertemu

16
dengan saudara, teman. Pasien DA bersifat temperamental, mudah marah, agresif,
frustasi, dan sulit tidur.1

2.3.7 Teori atau Hipotesis Higine

Jumlah anggota keluarga yang sedikit menyebabkan sedikit pajanan terhadap


infeksi akibat kontak dengan saudara yang lebih tua (kakak) di satu keluarga. Pajanan
dini tersebut menyebabkan sistem imun pada anak berkembang secara normal,
sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal tersebut akan meningkatkan
kerentanan terhadap alergi sehingga menurunkan risiko DA. Sampai saat ini hipotesis
higiene masih dalam penelitian.1

3.4. Manifestasi Klinis

Gambar 3 Predileksi Dermatitis Atopik3


Diagnosis DA didasarkan pada konstelasi gambaran klinis. DA tipikal mulai selama
bayi. Kisaran 50% timbul pada tahun pertama kehidupan dan 30% timbul antara 1-5 tahun.
Kisaran 50 dan 80% pasien DA bayi akan mendapat rhinitis alergika atau asma pada masa
anak.3

17
Gambar 4 Dermatitis atopik pada bayi.

Gambar 5 Fase Dermatitis Atopik

Klasifikasi DA berdasarkan usia saat ini

a. DA Fase Infantil
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun), umumnya awitan
DA terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi
dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas kedahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan, dan tungkai terutama di bagian volar atau fleksor. Dengan

18
bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna, anak mulai merangkak
dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian ekstensor,
misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma. Pada bayi
kurang dari 1 tahun, beberapa alergen makanan (susu sapi, telur, kacang-
kacangan) kadang-kadang masih berpengaruh. Gambaran klinis pada fase ini lebih
mirip dengan dermatitis akut, eksudatif, erosi dan ekskoriasi.1,4
b. DA Fase Anak
Pada DA fase anak (usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase
infantile atau muncul tanpa didahului fase infantile. Tempat predileksi lebih sering
di fossa kubiti dan poplitea, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher,
dan tersebar simetris. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis, disertai
hiperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama. Pada fase ini
pasien DA lebih sensitive terhadap allergen hirup, wol, dan bulu binatang.1,4
c. DA Fase Remaja dan Dewasa
DA fase remaja dan dewasa (usia >13 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase
infantile atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan fase anak, dapat meluas
mengenai kedua telapak tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian
anterior, scalp, dan putting susu. Manifestasi klinis bersifat kronis, berupa plak
hiperpigmentasi, hyperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi dan skuamasi. Rasa gatal
lebih hebat saat beristirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini bersifat kronik-
residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih. 1,4

3.5. Kriteria Diagnosis DA


Dalam praktik sehari-hari dapat digunakan kriteria William untuk menetapkan diagnosis
DA, yaitu :

Tabel 1 Kriteria Diagnosis William1


1.Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih:
1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun)
2. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).
3. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.

19
4. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4
tahun).
5. Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4
tahun).

Tabel 2 Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka


Kriteria Major (harus Kriteria Minor (harus terdapat 3 atau lebih)
terdapat 3)
1. Riwayat dermatitis 1. Kulit kering 12. Usia awal onset
fleksural 2. Ruam 13.Konjungtivitis
2. Onset usia <2 tahun 3. Hiperlinier palmar berulang
3. Adanya ruam 4. Keratosis pilaris 14. Keratokonus
4. Riwayat asma 5. Alergi tipe 1 dan 15. Katarak
5. Riwayat kulit kering peningkatan IgE 16. Eritema pada wajah
6. Dermatitis tangan 17. Lipatan leher
dan kaki anterior
7. Seilitis 18. Gatal saat
8. Eksim putting berkeringat
9. Terdapat 19. Intoleransi pelarut
Staphylococcus dan lipid
aureus dan Herpes 20. Intoleransi makanan
simpleks 21. Dipengaruhi factor
10. Keratosis lingkungan dan
perifolikular emosional
11. Pitiriasis alba

Tabel 3. Kriteria Hanifin dan Rajka Untuk Bayi


Major Minor

Riwayat keluarga dermatitis atopic Xerosis

20
Dermatitis pruritus Fisur periaurukular

Dermatitis di muka atau ekstensor Kulit kepala kronis

Lesi area popok dan atau area mulut/hidung Aksentuasi perifolikular

Derajat Keparahan DA
Gambar 6. Sistem Skoring Derajat Sakit Haifin-Rajka

Indeks SCORAD
A. Penilaian Luas Penyakit

21
Dihitung menggunakan sistem rule of nine. Pada anak di bawah usia 2 tahun,
wajah dan kepala masing - masing dihitung 8,5 % dan kedua ekstremitas masing -
masing 6 % . Sedangkan pada orang dewasa, wajah dan kepala masing-masing
dinilai 4,5% dan kedua ekstremitas bawah masing - masing dinilai 9 % .1
B. Penilaian Intensitas
Parameter yang dinilai yaitu eritema, edema atau papul, eksudat atau krusta,
ekskoriasi, likenifikasi.1
1 : bila tidak ada
2 : bila ringan
3 : bila sedang
4 : bila berat
C. Penilaian Subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter
tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scales dari 0
sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat rasa gatal
dan tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di
bawah 7 tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.1
D. Total nilai indeks SCORAD
Rumus : A/5 + 7B/2 + C.1

22
Gambar 7 Indeks SCORAD1

23
3.6. Pemeriksaan Penunjang
I. Kadar IgE serum meningkat pada 70-80% pasien DA, yang disertai dengan
sensitisasi terhadap alergen inhalan dan makanan. Pada 20-30% pasien DA, tidak terjadi
peningkatan IgE dan pasien ini tidak menunjukkan sensitisasi terhadap alergen makanan
dan inhalan, tetapi beberapa pasien masih mempunyai IgE sensitization terhadap antigen
microbial (toksin S aureus, C albicans atau Malassezia sympodialis) dan menunjukkan
reaksi positif memakai atopy patch test walaupun tes kulit imediatenya negatif. Sebagian
besar pasien menunjukkan peningkatan eosinofil darah tepi, meningkatnya pelepasan
histamine spontan dari sel basofil. Sel T CLA+ secara spontan melepas IL-5 dan IL-13
yang secara fungsuional memperpanjang hidup eosinofil dan menginduksi sintesis IgE.
Pemeriksaan prick test dilakukan bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau
makanan tertentu, bukan untuk diagnostik.1

3.7. Diagnosis Banding


II. Dalam diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestasi klinis,
serta lokasi DA. Pada fase bayi dapat dermatitis seboroik, psoriasis dan dermatitis popok. Pada
fase anak dapat dermatitis numularis, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan
dermatitis traumatika. Sedangkan pada fase dewasa dengan neurodermatitis atau liken
simpleks kronikus.1
1. Dermatitis Kontak (Alergik dan Iritan)
a. Definisi
Dermatitis Alergi yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada
kulit. Reaksi peradangan kulit yang terjadi pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab/alergen.5
Dermatitis Iritasi, reaksi peradangan kulit non-imunologik yaitu kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan/sensitisasi.5
b. Etiologi
Alergi, Bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (<1000 dalton),
disebut hapten, bersifat lipofilik sangat reaktif dan menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup. Faktor kejadian DKA,
misalnya potensi sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena,
lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan ph. Atau
sedang mengalami sakit atau terpajan sinar matahari secara intens).5

24
Iritasi, bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Faktor kejadian DKI, lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang),
trauma fisis, suhu dan kelembapan lingkungan.5

c. Manifestasi Klinis
Alergi, ruam kulit berbatas relative tegas, polimorfi (eritema, papul, vesikel,
edema, skuamasi, krustasi), bentuk sesuai dengan bentuk penyebab (kontaktan).5
Iritan, ruam kulit berbatas relative tegas, monomorfi, kelainan didominasi oleh
satu jenis morfologi, bentuk sesuai dengan bentuk penyebab (iritan). 5

Gambar 8 Dermatitis Alergi & Dermatitis Iritan

3.8. Komplikasi

1. Infeksi Bakteri

III. Infeksi Staphylococcus aureus superfisial merupakan infeksi yang


paling umum ditemukan pada DA. Kulit yang meradang akan meningkatkan
fibronektin dan fibrinogen. Kolonisasi S. aureus kemungkinan berkontribusi
terhadap peradangan kulit, racun S. aureus mengaktifkan sel antigen dan
meningkatkan antigen limfosit sel T. Plak erosif, krusta berwarna madu, folikulitis,
dan pustule tender persisten atau multiple merupakan indikator infeksi kulit bakteri
dan memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya S aureus pada DA didukung oleh
observasi bahwa pasien DA berat, walaupun tanpa infeksi berat, dapat menunjukkan
respon klinis terhadap terapi kombinasi dengan antibiotik dan steroid topikal.3

2. Infeksi Virus
Komplikasi virus yang paling serius adalah eksim heperticum (EH). Setelah
masa inkubasi 5-12 hari, lesi multiple yang gatal dan vesikulopustular muncul dalam

25
pola yang menyebar, lesi vesicular adalah cenderung berkelompok dan sering
menjadi hemoragik dan berkrusta. Erosi yang pecah akan menyakitkan. Lesi-lesi
dapat menyatu menjadi area yang luas, berdarah yang dapat meluas ke seluruh tunuh
dan berakibat fatal pada beberapa kasus.3
Respon berlebihan terhadap virus coxsackie dilaporkan dengan AD yang
menyerupai EH dan disebut eksim coxsackium. Pada anak-anak terdapat vesikel
tangan dan kaki atau papula tangan, kaki, dan mulut, tetapi lesi cenderung lebih
parah dan hemoragik.3

Gambar 9 Eksema herpetikum


3. Infeksi Jamur
Tidak jelas infeksi jamur yang terjadi pada DA. Peran Malassezia sympodialis
(Pityrosporum ovale atau Pityrosporum orbiculare) pada Ad. Malassezia
sympodialis adalah ragi lipofilik yang biasanya ada di area kulit seboroik. Antibody
IgE terhadap Malassezia furfur umumnya ditemukan pada pasien AD dan paling
sering dengan dermatitis kepala dan leher.3
4. Gangguan pada Mata
Komplikasi mata pada DA parah dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan. Dermatitis kelopak mata dan kronis blepharitis umumnya dikaitkan
dengan AD dan dapat menyebabkan gangguan penglihatan akibat jaringan parut
kornea. Keratoconjunctivitis atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki gejala
melumpuhkan yang meliputi gatal, terbakar, robek, dan keluarnya lendir berlendir.
Konjungtivitis vernal adalah proses inflamasi kronis rekuren bilateral yang
berhubungan dengan hipertrofi papiler atau ikal pada konjungtiva kelopak mata atas.
Biasanya terjadi pada pasien yang lebih muda dan memiliki insidensi musiman,
seringkali pada musim semi. Pruritus intens yang terkait diperburuk oleh paparan

26
iritasi, cahaya, atau berkeringat. Keratoconus adalah kelainan bentuk kerucut kornea
sebagai hasil dari mata kronis pada pasien dengan DA dan rhinoconjunctivitis alergi.
Katarak dilaporkan terjadi hingga 21% dari pasien dengan DA parah.3

5. Dermatitis Tangan
Pasien DA sering mengalami dermatitis tangan nonspesifik. Dermatitis ini
sering dipicu oleh basah berulang dan pencucian tangan dengan sabun, detergen, dan
desinfektan.3

Gambar 10 Dermatitis Tangan

6. Dermatitis Eksfoliatif
Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil toksin
atau infeksi herpes simplek, iritasi berulang, atau terapi yang tidak mencukupi. Pada
beberapa kasus, penghentian steroid sistemik yang dipakai mengontrol DA berat
dapat menjadi factor pencetus eritroderma eksfoliatif.3

3.9. Tatalaksana
Medikamentosa

Terapi Topikal

 Hidrasi kulit
Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis, mudah retak sehingga
dapat menjadi jalan masuk pathogen, iritan dan alergen. Perlu diberikan pelembab,

27
misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat ditambah hidrokortison 1%. Bila memakai
pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya tidak lebih dari 5%, karena dapat
mengiritasi apabila dermatitis masih aktif. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena
lama kerja maksimum 6 jam. 2
 Kortikosteroid Topikal
Karena efek samping potensial, pemakaian steroid topikal hanya untuk mengontrol DA
eksaserbasi akut. Setelah control DA dicapai dengan pemakaian steroid setiap hari, kontrol
jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan pemakaian fluticasone
0.05% 2 x/minggu pada area yang telah sembuh tetapi mudah mengalami eksema. Pada
bayi dan anak digunakan salap steroid rendah, misalnya hidrokortison 1% - 2,5%,
metilprednisolon atau flumetason. Pada DA dengan derajat sedang-kuat, misalnya
desonid, triamsinolon asetonid, hidrokortison butirat, kecuali pada muka digunakan
steroid lebih rendah, dan dipakai di daerah genitalia dan lipatan. Bila kondisi lebih
parah dapat digunakan klobetason propionat, flutikason, betametason atau
aklometason.1,2,3
 Imunomodulator Topikal
- Takrolimus
Salap takrolimus 0.03% untuk anak usia 2-15 tahun dan takrolimus 0.03% dan 0.1%
untuk dewasa. Takrolimus menghambat aktivasi sel dalam DA yaitu sel
Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pengobatan jangka panjang, koloni S.
aureus menurun. Efek samping yaitu rasa seperti terbakar setempat. Dapat
digunakan di muka dan kelopak mata. 2
- Pimekrolimus
Krim pimekrolimus 1% disetujui untuk perawatan pasien berusia 2 tahun dan lebih
tua dengan AD ringan hingga sedang. Cara pemakaian dioleskan 2x/hari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun.
Pasien harus memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat
berpotensi menimbulkan kanker kulit.2,3
- Preparat Ter
Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan antiinflamasi pada kulit. Dipakai
pada lesi kronis. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misalnya mengandung
likuor karbonis detergen 5%-10% atau crude coal tar 1% - 5%.2 Preparat ter batu
bara mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit tetapi tidak sekuat

28
steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi potensi steroid topikal yang
diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis. Produk ter batubara baru telah
dikembangkan sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan dengan bau dan
mengotori pakaian. Sampo mengandung ter dapat menolong untuk dermatitis
kepala. Preparat ter tidak boleh diberikan pada lesi kulit radang akut, karena dapat
terjadi iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif. 3
- Antihistamin
Pengobatan DA dengan antihistamin topical tidak dianjurkan karena berpotensi
kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Topical krim doksepin 5% dalam jangka
pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi.
Diperhatikan bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping
sedatif.2

Terapi Sistemik
- Kortikosteroid
Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik. Beberapa pasien dan dokter
lebih menyukai pemberian steroid sistemik karena terapi topical dan hidrasi kulit
memberikan hasil yang lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengendalikan
eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-
seling, kemudian diganti dengan kortikosteroid topical. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul
kembali.2,3
- Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam
hari, sehingga mengganggu tidur. Antihistamin mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit diberikan doksepin
hidroklorid mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamine H1
dan H2, dengan dosis 10-75mg secara oral malam hari pada orang dewasa.2
- Antiinfeksi
Ditemuakn peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten diberikan
eritromisin, asitromisin atau klaritromisin, sedangkan untuk yang sudah resisten
diberikan dikloksasilin, oksasilin atau generasi pertama sefalosporin. Bila terinfeksi
virus herpes simplek kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral
asiklovir 3 x 400 mg/hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari untuk dewasa dengan

29
infeksi herpes simplek kulit. Sedangkan asiklovir iv diberikan untuk eczema
herpetikum diseminata.2

- Interferon
IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel
TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis,
karena dapat menurunkan jumlah eosinophil total dalam sirkulasi.2
- Siklosporin
DA yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan
siklosporin dalam jangka pendek. Dosis per oral 5mg/kg berat badan. Efek
samping yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau terjadi penurunan fungsi
ginjal dan hipertensi.2

Non Medikamentosa
1. Penjelasan kepada pasien, keluarga, dan yang merawat mengenai penyakit, terapi,
serta prognosis. Memberi edukasi cara merawat kulit, menghindari penggunaan
obat-obat tanpa sepengetahuan dokter.
2. Penjelasan mencakup semua masalah yang berkaitan dengan DA, gejala,
penyebab, faktor pencetus, prognosis dan tatalaksana.
3. Perawatan kulit pasien DA: mandi menggunakan air hangat, tidak lebih dari 10
menit, menggunakan sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembab, segera
setelah mandi oleskan pelembab 2-3 kali sehari atau bila masih teraba kering.
Pelembab efektif dan aman digunakan untuk terapi DA pada anak dan dewasa
dengan gejala ringan sedang.
4. Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (bahan iritan, bahan alergen,
suhu ekstrim, makanan, stres)
5. Terkait dengan terapi DA, dosis, cara pakai, lama terapi
6. Bayi dan anak jangan terlalu sering dimandikan, cukup dua kali sehari, jangan
menggosok terlalu kuat.
7. Jangan memakai pakian terlalu tebal, ketat, atau kotor, atau yang bersifat iritan
(wol atau sintetik); bahan katun kebih baik.
8. Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah popok.

30
Terapi Sinar (Phototherapy)
Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy).
Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel
Langerhans dan eosinophil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan
cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit. 2
Efek samping jangka pendek treapi sinar yaitu eritema, nyeri kulit, gatal, dan
pigmentasi, sedangkan efek samping jangka panjang yaitu penuaan kulit premature
dan keganasan kulit.3

3.10. Prognosis
IV. Prognosis lebih buruk bila kedua orang tua menderita DA. Ada kecenderungan
perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada kekambuhan pada masa remaja. Sebagian
kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA sejak bayi dilaporkan
terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama DA ringan. 84% DA anak berlangsung
sampai masa remaja. DA pada anak diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan
65% berkurang gejalanya.2

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Boediarja, Siti Aisah. Dermatitis Atopik. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2018. p. 167-183.
2. Sularsito, Sri Adi. Djuanda, Suria. Dermatitis Atopik. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. p. 138-147.
3. Eric L. Simpson, Donald Y. M. Leung, Elchenfield, Lawrence F. Boguniewicz, Mark.
Dermatitis Atopic. Fitzpatricks’s Dermatology In General Medicine. 9th ed. New York:
The McGraw-Hill.; 2019. p. 363-381.
4. Menaldi SLSW, Novianto E, Sampurna AT. Dermatitis Atopik. Atlas Berwarna dan
Sinopsis Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI; 2015. p. 86.
5. Menaldi SLSW, Novianto E, Sampurna AT. Dermatitis Kontak. Atlas Berwarna dan
Sinopsis Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI; 2015. p. 171-172.

32

Anda mungkin juga menyukai