Anda di halaman 1dari 21

REFLEKSI KASUS

POLIP CAVUM NASI DEXTRA STADIUM II DENGAN RIWAYAT SINUSITIS


KRONIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik

Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

Pembimbing :

dr. Renny Swasti Wijayanti, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :

Toha Al Mubarok

01.210.6286

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2018
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. MN

Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur : 33 tahun

Alamat : Kudus

Pekerjaan : Penjaga toko

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Status Pernikahan : Menikah

No. RM : 48.36.71

ANAMNESIS

Keluhan utama : Hidung Tersumbat semakin lama semakin memberat

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSI Sultan Agung dengan keluhan hidung tersumbat sejak kurang
lebih 3 tahun yang lalu semakin lama semakin memberat. Keluhan hidung tersumbat
ini dirasakan pada kedua hidung, namun lebih berat pada hidung sebelah kanan.
Hidung tersembut itu dirasakan saat musim dingin dan banyak debu. Apabila pasien
jauh dari debu dan cuaca dingin gejala itu tidak begitu terasa
te rasa berat. Pasien mengaku
keluhan hidung tersumbat ini sering disertai keluhan pusing cekot-cekot, telinga
terasa penuh, serta penciumannya berkurang. Terkadang pasien merasa ingus turun
hingga ke tenggorokan. Keluhan sering pilek ini terutama dirasakan sejak 3 bulan
yang lalu. Pasien sudah berobat dan keluhan berkurang namun kemudian kambuh
kembali. Pasien merasa agak sulit bernafas kalau flunya kambuh. Pasien merasa ada
benjolan dihidung kanan kecil dan mengatakan sering bernafas menggunakan
dominan hidung kiri. Pasien tidak tau pasti kapan benjolan tersebut mulai muncul.
Benjolan tidak nyeri. Riwayat epistaksis disangkal pasien dan keluhan nyeri saat
pasien menunduk juga disangkal. Riwayat demam (-). Tidak ada keluhan mual
ataupun muntah.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat alergi obat : disangkal
 Riwayat alergi makanan : disangkal
 Riwayat alergi cuaca : diakui, sering pilek dan bersin-bersin saat pagi
hari terutama cuaca dingin

Riwayat alergi debu : diakui, kalau merasa banyak debu bersin-bersin


 Riwayat sakit gigi : diakui ± 3 bulan yang lalu cabut gigi 
crowded teeth
 Riwayat infeksi di daerah mulut : disangkal
 Riwayat Sinusitis : diakui ± 7 bulan yang lalu. Sudah pernah foto
SPN

3. Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluarga ada yang mengalami sakit seperti ini,
i ni, yakni kakak kandung pasien.
Didiagnosis polip nasi.
 Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
 Riwayat penyakit kanker : disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai penjaga gerbang tol. Pasien masih lajang, penghasilan cukup
untuk biaya hidup sendiri. Saat bekerja jarang memakai masker, sehingga hidung
sering terpapar debu dan asap kendaraan. Penderita berobat di poli THT RSI Sultan
Agung dengan pembiayaan dari BPJS. Kesan ekonomi : cukup.

PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalisata
 Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Komposmentis
 Status Gizi : Baik
 Tekanan Darah : 110/70
 Nadi : 80x/menit
 Suhu : 36,5°C
 RR : 18x/menit
 Jantung : tidak dilakukan pemeriksaan
 Paru : tidak dilakukan pemeriksaan
 Limfe : tidak dijumpai pembesaran KGB
 Ekstremitas : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Status Lokalisata
A. Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri


Telinga

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea
(-) (-)

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),


perforasi (-),cone of light (+) perforasi (-),cone of light (+)

B. Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-) nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret Hiperemis (+), sekret
mukopurulen (+) mukopurulen (+)
Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia (+) Bentuk (normal), hiperemia (+)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+), Mukosa hiperemis, krusta (+),
Massa (+) livid Massa (+)
Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi (+) Edema (+), mukosa hiperemi (+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-) (-)
Transluminasi Sinus Tidak dilakukan

Pemeriksaan SPN
Sinus Ethmoid Sinus Frontal Sinus Maxilla
Hiperemis - - -
Nyeri Tekan - - -
Nyeri Ketuk - - -

C. Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Caries dentis (-), crow
cr owde
ded
d te
teet
eth
h on reco
r ecove
verr y
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
lender (-)
Tonsila palatine Kanan kiri
T1 T1
Membran Tidak hiperemi Tidak hiperemi
Kripte Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak Ada Tidak ada
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)

dan Arkus Faringeus


 Nasofaring ( Rinoskopi Posterior ) : tidak dilakukan
 Laringofaring : tidak dilakukan
 Laring ( Laringoskopi direk ) : tidak dilakukan

PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Usulan pemeriksaan penunjang:


 Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan CT-scan
 Pemeriksaan tes alergi
 Pemeriksaan rhinoskopi posterior
 Pemeriksaan Histopatologi

RINGKASAN

1. Pemeriksaan Subjektif
a. Keluhan utama : Hidung kanan tersumbat semakin lama semakin memberat
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pria 33 tahun datang ke poli THT RSI Sultan Agung dengan keluhan hidung
tersumbar sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu. Keluhan semakin memberat hingga
sulit bernapas dengan hidung kanan. Keluhan lain yang dirasakan pusing, telinga
terasa penuh, penciuman berkurang. 3 bulan sebelumnya sering batuk dan pilek serta
kepala pusing cekot-cekot dan sering kambuh meskipun sudah berobat. Timbul
benjolan di hidung kanan. Riw. Penyakit Dahulu Alergi cuaca dingin (+), Dan
Riwayat Alergi debu Riwayat Sinusitis (+). Riw. Kakak kandung pernah menderita
keluhan serupa. Riw. Pekerjaan sering terpapar debu dan asap kendaraan.
2. Pemeriksaan Objektif
Status Lokalis  Px. Hidung (Rhinoskopi Anterior) terdapat massa livid di meatus
nasi media

DIAGNOSIS BANDING

1. Polip Nasi
2. Ca Cavum Nasi

DIAGNOSIS SEMENTARA

Polip di cavum nasi dextra dengan riwayat sinusitis kronik dan riwayat alergi
ale rgi
RENCANA PENGELOLAAN

a. Kortikosteriod: Deksametason Tab


Tab 3x4 mg selama 3 hari, kemudian
kemudian 2x4mg 3
hari selanjutnya, kemudian dilanjutkan 1x4mg pada 3 hari terakhir.
b. Dekongestan : Psuudoefedrin HCL tab 3 x 8 mg
c. Operasi u
untuk
ntuk mengangkat
mengangkat massa pada cavum nasi sinistra (polip)
Polipektomi

EDUKASI

 Hindari cuaca dingin dan keadaan yang banyak debu


 Jika obat habis atau keluhan tambah parah segera kontrol kembali
 Untuk polip, sebaiknya dilakukan tindakan operatif yaitu poliptektomi

PROGNOSIS

1. Ad vitam : dubia ad bonam


2. Ad functionam : dubia ad bonam
3. Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)


pangkal hidung (bridge
bridge),
), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6)
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang
kartil ago septum.2
kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
( koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring2.
disebut nares posterior (koana)

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 2
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. 2

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3) Krista
nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh
lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral),
premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan
tulang palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan
diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius,
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior
yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
et moid
posterior dan sinus sphenoid.
s phenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk
oleh os maksila dan os palatum.2

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga
hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang
dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.2

II. FISIOLOGI HIDUNG

Untuk fisiologi
fisi ologi hidung terkait
t erkait dengan polip, pertama kita
kit a harus memahami
Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari prosessus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan ressesuss frontalis.
KOM ini merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dasri sinus-sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya
tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa
yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung. 1

lai n : 1,2
Beberapa fungsi hidung juga antara lain

1. Sebagai jalan nafas


Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air


( air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh:

a. Rambut (vibrissae
(vibrissae)) pada vestibulum nasi
b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah
posterior, di mana kemudian akan ditelan
dit elan atau diekspektorans, merupakan kerja silia
yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran
turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara
inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya,lapisan mukus berupa selubung
sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung,
sinus, tuba eustakius, faring, dan seluruh cabang bronkus.

Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun
dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus menghangatkan
udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan udara isnpirasi
dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan dengan jumlah uap
demikian sering kali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering,
sering kali terdapat di rumah-rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal
ini dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan hidung.
Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar
seromukosa pada submukosa hidung.

Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih aktif
pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung menarik lapisan
mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan septum
adalah kebelakang dan
dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hiduhidung,
ng, arahnya
kebelakang dengan kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke dalam
meatus inferior. Pada sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan kebawah,
lewat dibawah tepi inferior dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak
bersilia pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus. Ini
merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga
merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun
organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat
suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus,
bersifat destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam
membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel
pernapasan juga memberikan imunitas induksi seluler.

Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan


fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila
alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut
terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan
dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang
khas.

4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.

5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
III. POLIP NASI

a. Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal
dari celah
cel ah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga
hidung.2,5

b. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui
diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil
studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan
dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di di
Eropa dan 4,3% di Finlandia.
Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika
Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang
ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark
memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003,
Ferguson et al.2006). Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan
2,3,4
pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.
c. Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai
mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang yang berkisar dari
predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor.2

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu :5

1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.

2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung

Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :2,3,5

 Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal,
yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan
dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda
alergi. Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip
hidung melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung. 1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung.7 Akan
tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung
juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma
dengan onset yang telat (late
( late onset asthma)
asthma) akan berkembang menjadi nasal
polip sekitear 10-15%
 Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan
adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang

ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis


ri nitis prodromal sebelum
pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki
vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor.
Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas
dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip.
 Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif
dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif
ini kemudia akan terjadi infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal
terbentuknya polip.
 Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi
daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan
membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena
kar ena
pengaruh gravitasi atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari
scanning dengan pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel
yang bermakna pada pasien dengan polip hidung.
 Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi
aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom
s indrom klinis yang
jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya
rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat
berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat
dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan
metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT).
Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi
jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar
PGE2 (yang
( yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4
synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs,
LTs, menyebabkan
respon inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis.
 Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada
kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan kar
karena
ena mutasi gen

tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator


(CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride
chanel yang menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi
natrium. Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida
menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya
menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
 Nitric Oxide

Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar
dalam terjadinya reaksi
reaks i imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular,
pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya
dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense system
superoxide dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas
ini dapat melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi
defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan
meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada
pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya
penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
 Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan
proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis
(semua jenis patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis).
rinosinusitis ). Bagaimana
granuloma menginduksi terjadinya polip hidung masih belum benar-benar
dipahami.
 Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus
didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus
enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock
syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen,

menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung.
Aktifasi dari limfosit ini, akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama.
IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil
muchosal disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik
IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip hidung.
d. Manifestas
Manifestasii Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
selanj utnya dapat
menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian
dirasakan hidung yang
yang berair (rinorea) mulai dari y
yang
ang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal.
Gejala lain yang dapat timbul
ti mbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri
dapat disertai pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder
yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan
tidur, dan gannguan kualitas hidup.2

Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma.5
Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi
aspirin.5

e. Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat,
rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan
aktifitas.2
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan
2
mudah digerakkan.
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip
masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus
media, tampak pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung,
Stadium 3: polip masif.2

Pemeriksaan Penunjang

 Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi
anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada
kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.2,6
 Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT
scan sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan
pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi. 6
f. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu

- Menatalaksanai penyakit penyerta


- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan
medis dan operatif.

 Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun
pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif
sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan. 2,6
1. Antibiotik

Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya


terj adinya obstruksi sinus,
si nus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan
dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan
harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies
Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan
mikroorganisme pada sinusitis kronis.6
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung.
Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post-
operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka

kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6
minggu dengan fluticasone propionate nasal
nas al drop 400 ug 2x/hari memiliki
kemampuan besar dalam mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2),
diamana dapat mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung
tersumbat.4

Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.
Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid
intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total
t otal dosis 560 mg selama
s elama 12 hari
atau 715 mg selama
sela ma 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai
disert ai pemberian
budesonide spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta
4
memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran polip.
Akan tetapi dari penelitian
peneliti an lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu
methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama
10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi
ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan
penghidu.6
3. Terapi lainnya

Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik


akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan
adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada
pasien dengan polip berulang. Antagonis
Anta gonis leukotrient dapat diberikan pada pasien
dengan intoleransi aspirin.4

 Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang
tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi
berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung
disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan
guna patensi jalan nafas.
naf as. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip
(polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus
maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan
navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6
Keluhan

Sumbatan hidung dengan 1/> gejala

Massa polip hidung


Curiga keganasan
Tentukan stadium
Permukaan berbenjol, mudah
berdarah
Jika mungkin : biopsy untuk
tentukan tipe polip dan lakukan
Biopsy tatalaksana sesuai
polipektomi reduksi

Keterangan menentukan
stadium
Stad 2&3 Stad I & 2
1. Po
Poli
lip
p dal
dalam
am MM (N (NE)
E)
Terapi bedah Terapi 2. Po
Poli
lip
p kel
kelua
uarr d
dar
arii MM
MM
medik 3. Po
Poli
lip
p me
memenenu uhi
rongga hidung

Persiapan pra
bedah
Terapi medik :

1. ster
steroi
oid
d to
topi
pica
call dan
dan at
atau
au
2. polipek
polipektom
tomii medikam
medikamententosa
osa dengan
dengan cara :
 deksametason 12 mg (3 Hr)  8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)
 Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)
 Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah Tidak ada perbaikan Perbaikan Perbaikan

mengecil hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical sembuh

Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

Polip rekuren :


Cari faktor alergi
 Steroid topical
 Steroid oral tidak lebih 3-4x/ tahun Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal 7
 Kaustik
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit
 Operasi ulang
THT-KL di Indonesia
g. Prognosis

Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik
(dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan
pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu
follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk

mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi,


bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan
inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi
pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan
endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid
diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung. 2,3,6
DAFTAR PUSTAKA

1. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme,
2006, h. 2 – 13
2. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI,
2001, h. 88 – 95
3. Ahmad Maymane Jahroni.
J ahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal Polyps
that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology
Otorhynolaryngology.2012
.2012 : 2 (4) : 72-75
4. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87

5. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc Thai. 2005
: 88 (12) :1966-72
6. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps. Current
Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 : 27-36
7. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL di
Indonesia. 2007. Hal 25

Anda mungkin juga menyukai