Oleh:
Pramitha Yustia G99161073
Pembimbing:
Ninik Dwiastuti, dr., Sp.KFR
I.ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Bekasi
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Masuk : 25 Desember 2017
Tanggal Periksa : 5 Januari 2018
Nomor RM : 01403372
B. Keluhan Utama
Nyeri punggung bawah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri
punggung belakang. Nyeri timbul dan terasa memberat ketika pasien
beraktivitas. Namun pasien hanya istirahat tanpa mengobatinya. Karena
nyeri tersebut dirasakan semakin hari semakin memberat dan sekitar 1
bulan SMRS pasien merasakan adanya sedikit kelemahan pada tungkainya
yang membuat pasien sulit berjalan sehingga pasien mulai memeriksakan
kondisinya, namun pasien memilih pengobatan secara alternatif dan tidak
ada perbaikan. Akhirnya pasien dibawa berobat di RS di Gombong, namun
karena keterbatasan fasilitas, pasien dirujuk ke RSDM. Akibat nyeri di
punggung dan kelemahan tungkai, pasien harus dibantu oleh satu orang
keluarganya untuk berjalan dan bangun dari tempat tidur. Keluhan rasa
kesemutan, nyeri menjalar atau rasa panas seperti terbakar, dan hilangnya
sensasi raba pada anggota gerak bawah disangkal. Pasien sebelumnya tidak
pernah mengalami trauma ataupun jatuh dari ketinggian dalam posisi
terduduk. Pasien sebelumnya memiliki riwayat mengangkat benda berat
dengan pundak atau punggungnya karena pekerjaannya sebagai karyawan
di PT Baja. Pasien menyangkal adanya keluhan serupa sebelumnya. Karena
keluhan nyeri tersebut, pasien tidak beraktivitas keluar rumah, pasien hanya
berbaring d tempat tidur dan melakukan aktivitas di rumah seperti makan,
mandi, dan duduk di kursi. Buang Air Besar dan Buang Air Kecil tidak ada
keluhan. Pasien makan dan minum hanya sedikit, pasien mengalami
penurunan berat badan sebanyak > 10 kg. Pasien masih dapat makan,
minum, dan mandi sendiri.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya: disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang
Riwayat Gizi : Penderita makan 2-3 kali sehari
dengan sepiring nasi, lauk pauk (tahu, tempe, telur), dan sayur, jarang
daging atau ikan. Pasien jarang makan buah. Pasien minum air putih
sebanyak 5-6 gelas belimbing pehari.
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan baja. Saat ini
pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Sebelum sakit, pasien masih dapat
beraktivitas, bekerja, dan bersosialisasi dengan tetangga sekitar. Saat ini
pasien mondok di RSU Dr. Moewardi dengan menggunakan biaya BPJS
kelas I.
II.PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan kurang
B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 82 x / menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 18x / menit
Suhu : 36,5º C per aksiler
NRS : 3-4 regio lumbal
BB : 42 kg
TB : 160 cm
IMT : 16.4 kg/m2
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), hiperpigmentasi (-),
hipopigmentasi (-)
D. Kepala
Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut
hitam keputihan, mudah rontok (-), mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak lansung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-).
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thorax
Retraksi (-),simetris
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+ normal/+ normal), Suara
tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (+) regio VTh12, oedem (-),
spasme (+)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebrae (-)
L. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) 12x/menit normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani, pekak beralih (-)
M. Ektremitas
Oedem Akral dingin
- - - -
- - - -
N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6 compos mentis
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik :
Lengan Tungkai
Rasa Eksteroseptik
- Suhu tidak dilakukan tidak dilakukan
- Nyeri (+ / +) (+ / +)
- Raba (+ / +) (+ / +)
Rasa Propioseptik
- Rasa Getar tidak dilakukan tidak dilakukan
- Rasa Posisi (+ / +) (+ / +)
- Rasa Nyeri Tekan (+ / +) (+ / +)
- Rasa Nyeri Tusukan (+ / +) (+ / +)
Rasa Kortikal
- Stereognosis tidak dilakukan
- Barognosis tidak dilakukan
TRUNK
Fleksor M. Rectus Abdominis NT
Thoracic group NT
Ektensor
Lumbal group NT
Rotator M. Obliquus Eksternus Abdominis NT
Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris NT
M. Deltoideus anterior 5 5
Fleksor
M. Bisepss anterior 5 5
M. Deltoideu 5 5
Ekstensor
M. Teres Mayor 5 5
M. Deltoideus 5 5
Abduktor
M. Biseps 5 5
Shoulder
M. Latissimus dorsi 5 5
Adduktor
M. Pectoralis mayor 5 5
M. Latissimus dorsi 5 5
Internal Rotasi
M. Pectoralis mayor 5 5
Eksternal M. Teres mayor 5 5
Rotasi M. Infra supinatus 5 5
M. Biseps 5 5
Fleksor
M. Brachilais 5 5
Elbow Eksternsor M. Triseps 5 5
Supinator M. Supinatus 5 5
Pronator M. Pronator teres 5 5
Fleksor M. Fleksor carpi radialis 5 5
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5
Wrist
Abduktor M. Ekstensor carpi radialis 5 5
Adduktor M. Ekstensor carpi ulnaris 5 5
Fleksor M. Fleksor digitorum 5 5
Finger
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5
Ektremitas Inferior Dekstra Sinistra
Hip Fleksor M. Psoas mayor NT NT
Ekstensor M. Gluteus maksimus NT NT
Abduktor M. Gluteus medius NT NT
Adduktor M. Adduktor longus NT NT
Knee Fleksor Hamstring muscle 4 4
Ekstensor Quadriceps femoris 4 4
Ankle Fleksor M. Tibialis 4 4
Ekstensor M. Soleus 5 5
R. Status Ambulasi :
Skor ADL dengan Barthel Index
Activity Score
Feeding
0 = unable 10
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 5
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 5
5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan
sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 10
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani 10
sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 5
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 10
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat)
> 50 yard
Stairs
0 = unable 5
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100) 70
Interpretasi hasil:
0-20 : ketergantungan total
21-60 : ketergantungan berat
61-90 : ketergantungan sedang
91-99 : ketergantungan ringan
100 : mandiri
Status Ambulasi: ketergantungan sedang
III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (3/1/2018)
IV.ASSESMENT
A. Low Back Pain e/c spondilolisthesis DD kompresi vertebra lumbal 3-4
V.DAFTAR MASALAH
Masalah Medis :
1. Low back pain
2. Kelemahan tungkai saat digunakan untuk berjalan
VI.PENATALAKSANAAN
Terapi Non Medikamentosa
1. Bedrest tidak total
2. Diet TKTP nasi 2100 kkal
3. Oksigen 3 lpm nasal kanul
Terapi Medikamentosa
1. Infus RL 20 tpm
2. Injeksi Ketorolac 30mg/12 jam
3. Injeksi mecobalamin 500 mg / 12 jam
4. Injeksi Ondancentron 40mg/8 jam k/p
5. Injeksi Omeprazole 40mg/12 jam
6. Gabapentin 500mg/24 jam per oral
Rehabilitasi Medik
1. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakitnya tersebut
2. Fisioterapi :
Istirahat jangka pendek, mulai dianjurkan saat ini karena efek
samping lebih minimal
Pemberian TENS lumbal
Isometric back exercise
Mobilisasi dengan TLSO
3. Speech Terapi : tidak ada
4. Okupasi Terapi : Membiasakan proper body mechanism pada pasien
5. Sosiomedik :
Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
pasien
Edukasi keluarga untuk merawat dan membantu pasien, ikut serta
dalam melatih terapi untuk pasien
6. Ortesa-protesa : TLSO
7. Psikologi :
Psikoterapi suportif
Mengurangi kecemasan pasien, meningkatkan kepercayaan diri
pasien, penguatan psikologis pasien, dan keluarga diharapkan
senantiasa memberikan dukungan dan perhatian.
VIII.PLANNING
Planning Diagnostik : MRI, CT Scan Lumbosacral
Planning Terapi : Fisioterapi dan penggunaan TLSO
Planning Edukasi :
1. Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
2. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
3. Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi, pemeriksaan lab darah
IX.TUJUAN
A. Perbaikan keadaan umum (mengurangi nyeri punggung) sehingga
mempersingkat lama perawatan di RS
B. Minimalisasi impairment, disabilitas, dan handicap pada pasien
C. Mengembalikan penderita pada tingkat aktivitas normalnya
D. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan
penderita (seperti kelumpuhan dan gagal nafas)
X.PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI VERTEBRA
Struktur utama dari tulang punggung adalah vertebrae, discus
invertebralis, ligamen antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-
organ dalam disekitar pelvis, abdomen dan kulit yang menutupi daerah
punggung.
Columna vertebralis (tulang punggung) terdiri atas :
1. Vertebrae cervicales 7 buah
2. Vertebrae thoracalis 12 buah
3. Vertebrae lumbales 5 buah
4. Vertebrae sacrales 5 buah
5. Vertebrae coccygeus 4-5 buah
Vertebra cervicales, thoracalis dan lumbalis termasuk golongan true vertebrae.
Pada vertebrae juga terdapat otot-otot yang terdiri atas :
1. Musculus trapezius
2. Muskulus latissimus dorsi
3. Muskulus rhomboideus mayor
4. Muskulus rhomboideus minor
5. Muskulus levator scapulae
6. Muskulus serratus posterior superior
7. Muskulus serratus posterior inferior
8. Muskulus sacrospinalis
9. Muskulus erector spinae
10. Muskulus transversospinalis
11. Muskulus interspinalis
Otot-otot tersebut yang menghubungkan bagian punggung ke arah
ekstrremitas maupun yang terdapat pada bagian punggung itu sendiri.Otot pada
punggung memiliki fungsi sebagai pelindung dari columna spinalis, pelvis dan
ekstremitas. Otot punggung yang mengalami luka mungkin dapat menyebabkan
terjadinya low back pain.
Gambar 1. Columna vertebralis
Fungsi kolumna vertebralis yaitu sebagai berikut:3
1. Menyangga berat kepala dan batang tubuh
2. Memungkinkan pergerakan kepala dan batang tubuh
3. Melindungi medula spinalis
4. Memungkinkan keluarnya nervus spinalis dari kanalis spinalis
5. Tempat untuk perlekatan otot.
Di sepanjang medula spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior (motorik) dan posterior (sensorik). Masing-masing radix melekat
pada medula spinalis melalui sederetan radices (radix kecil) yang terdapat di
sepanjang segmen medula spinalis. Setiap radix mempunyai sebuah ganglion
radix posterior yang axon sel-selnya memberikan serabut-serabut saraf perifer
dan pusat. Radix nervus spinalis berjalan dari masing-masing segmen spinalis
foramen intervertebralis yang sesuai tempat keduanya menyatu membentuk
nervus spinalis. Di sini antara saraf sensorik dan motorik bercampur. Karena
pertumbuhan memanjang columna vertebralis tidak sebanding dengan
pertumbuhan medulla spinalis, panjang radix n.spinalis bertambah panjang dari
atas ke bawah. Di daerah cervikal atas, radix nervus spinalis pendek dan
bearjalan hampir horizontal, tetapi di bawah di ujung medula (pada orang
dewasa di L1) membentukl seberkas saraf vertikal di sekitar filum terminal
vertebra yang disebut cauda equina.3
III. SPONDILOLISTHESIS
A. Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas
kata spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang
berarti “bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk
pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang
dibawahnya. Kelainan terjadi akibat hilangnya kontinuitas-pars
intervertebralis sehingga menjadi kurang kuat untuk menahan pergeseran
tulang berakang. (Joong, 2004)
B. Epidemiologi
C. Etiopatofisiologi
Etiologi spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Konsep umum masih terfokus pada faktor predisposisi yakni konginetal dan
trauma. (Japardi, 2002)
Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan
lumbosakral (kecil bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang
kecil, sendi facet tidak kompeten, yang dapat bersifat kongenital (bawaan),
disebut sebagai spondilolisthesis displastik, atau mungkin terjadi selama
masa remaja karena patah tulang atau cedera pada salah satu tulang-tulang
belakang dari kegiatan olahraga terkait seperti angkat berat, berlari,
berenang, atau sepak bola yang menyebabkan seseorang memiliki
spondilolisthesis isthmic. (Joong. 2004)
Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis dikategorikan oleh sistem
klasifikasi Wiltse:
1. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sacrum bagian atas atau neral arch
L5. Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang
disertai dengan spina bifida.
2. Isthmic atau spondilolitik
Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis.
Tipe ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini
mempunyai tiga sub:
- Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena
fatique fracture dan paling sering ditemukan pada usia dibawah 50 tahun
- Elongated pars interarticularis: terjadi oleh karena mikro fraktur dan
tanpa pemisahan pars
- Acute pars fracture: terjadi setelah suatu trauma yang hebat.
3. Degenerative
Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada
level L4-L5 daripada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun. Pada
wanita terjadi empat kali lebih sering dibandingkan pria. Pada kulit hitam
terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan kulit putih.
4. Traumatic
Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses trauma pada
vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis.
Tipe ini terjadi sesudah periode satu minggu atau lebih dari trauma. Acute
pars fracture tidak termasuk tipe ini.
5. Pathologis
Jenis terakhir Spondilolisthesis, yang juga yang paling langka, disebut
spondilolisthesis patologis. Jenis Spondilolisthesis terjadi karena kerusakan
pada elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke
bagian lain dari tubuh dan menyebabkan tumor) atau penyakit tulang
metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget
tulang (dinamai Sir James Paget, seorang ahli bedah Inggris yang
menggambarkan gangguan kronis yang biasanya menghasilkan tulang
membesar dan cacat), tuberkulosis (penyakit menular mematikan yang
biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyebar ke bagian lain dari
tubuh), tumor sel raksasa, dan metastasis tumor.
Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori
Spondilolisthesis adalah penting untuk memahami serta keparahan dari
pergeseran yang terbagi menjadi 5 kelas sebelum pengobatan yang tepat
untuk kondisi tersebut dapat disarankan.(www.spondylolisthesis.org )
D. Manifestasi Klinis
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis
pergeseran dan usia pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi
klinis dapat berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan
pada panggul dan paha posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang
berkorelasi dengan tingkat pergeseran, meskipun mereka disebabkan
ketidakstabilan segmental. Tanda neurologis seringkali berkorelasi dengan
tingkat selip dan melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang
sesuai untuk pelampiasan akar saraf (biasanya S1). (Syaiful, 2008)
F. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondilolisthesis:
1. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot
view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat
memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto
lumbal dapat memberikan gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi
tidak selalu membuktikan adanya isolated spondilolistesis.
2. SPECT
SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT positif maka
lesi tersebut aktif secara metabolik.
3. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat
memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan
juga dapat membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih
serius.
4. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI
juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis
dadri kanalis sentralis.
5. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.
G. Penatalaksanaan
1. Non operative
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative.
Pengobatan non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa
defisit neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat
merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian
brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen
pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien. (Japardi, 2002)
Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga
termasuk:
Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.
Analgetik (misalnya NSAIDs).
Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
Bracing
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada
pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low
grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat
digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan.
Beberapa penelitian menunujukkan bahwa fisioterapi menggunakan
TENS mampu mengurangi nyeri dan spasme otot pada kondisi low back
pain akibat spondilolisthesis, serta terapi latihan William flexion mampu
meningkatkan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot penggerak trunk.
2. Operative
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu
aktifitas, yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan
untuk operasi.
Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan
serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip
menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi
untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala fusi
harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien
dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen
operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda maka fusi harus
dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila
dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda,
progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran
3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi
level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual
tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi
menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union)
rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat
dilakukan dengan beberapa approach:
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
(Japardi, 2002)
H. Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada
pasien yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk
menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root
injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan
melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari prosedur
pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk
terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi ialah (>50%). Pasien yang
berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi
serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini. (Japardi, 2002)
I. Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik.
Pasien dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative
kemungkinan akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk
terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30%
pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan
semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression)
atau sciatica hal ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi. (Japardi,
2002)
IV. FISIOTERAPI
Tujuan tindakan fisioterapi antara lain (Rahayu, 2011):
1. Jangka panjang: mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional
berjalan pasien.
2. Jangka pendek:
a. Mengurangi nyeri
b. Mengurangi spasme m.piriformis dan gastroknemius
c. Mengurangi kontraktur m.hamstring
d. Melepaskan jepitan pada nervus spinalis
Tindakan fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Short Wave Diathermy (SWD)
Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan
frekuensi tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas
dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan
efek-efek nontermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi
terdiri atas Short Wave Diathermy (SWD) dan Microwave Diathermy
(Rahayu, 2011).
SWD adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi
elektromagnetik dengan arus bolak-balik frekuensi tinggi. Federal
Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang
digunakan pada SWD, yaitu:
a. Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter, frekuensi
ini paling sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan.
b. Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
c. Frekuensi 40,68 MHz dengan panjang gelombang 7,5 meter, frekuensi
ini jarang digunakan.
Efek terapi yang ditimbulkan antara lain (Peng et.al., 2005):
a. Perubahan panas/ temperatur
1) Meningkatkan metabolisme sel-sel sekitar 13% setiap
kenaikan 1o C.
2) Meningkatkan vasomotion sphinter sehingga timbul
homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi
lokal.
b. Reaksi general
Mengaktifkan sistem termoregulator di hipotalamus
yang mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk
mempertahankan temperatur tubuh secara general.
c. Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat secara lebih
baik seperti jaringan kolagen kulit, tendon, ligamen dan
kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan.
d. Otot
1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot
2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi
nosisensorik, kecuali hiertoni akibat emosional dan
kerusakan sistem saraf pusat.
e. Saraf
1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf
2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan
ambang rangsang (theshold).
2. Elektro Stimulus
a. Acupunture
Menggunakan jarum untuk memproduksi rangsangan yang ringan tetapi
cara ini tidak terlalu efisien karena ditakutkan resiko komplikasi akibat
ketidaksterilan jarum yang digunakan sehingga menyebabkan infeksi.
b. Ultra Sound
Ultrasound berfungsi untuk efek menghangatkan.
c. Radiofrequency Lesioning
Dengan menggunakan impuls listrik untuk merangsang saraf
d. Spinal Endoscopy
Dengan memasukkan endoskopi pada kanalis spinalis untuk
memindahkan atau menghilangkan jaringan scar.
e. Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (PENS)
f. Elektro Thermal Disc Decompression
g. Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation ( TENS )
Menggunakan alat dengan tegangan kecil.
3. Traction
Helaan atau tarikan pada badan ( punggung ) untuk kontraksi otot.
4. Pemijatan atau massage
Dengan terapi ini bisa menghangatkan, merileksi otot belakang dan
melancarkan perdarahan.
5. William flexion exercise
William flexion exercise dikenalkan oleh dr Paul Williams pada tahun
1937 yang ditujukan untuk pasien kronik Low Back Pain (LBP) dengan
kondisi degenerasi korpus vertebra sampai pad adegenerasi diskus. Program
ini telah berkembang dan banyak ditujukan pada laki-laki di bawah usia 50-
an dan wanita di bawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal
berlebihan, penurunan segmen diskus antara segmen lumbal dan gejala-gejala
kronik LBP (Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).
William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri dari 7
macam gerakan yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi
fleksi lumbal). William flexion exercise telah menjadi dasar dalam
mananjemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk mengobati
beberapa problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis.
Program ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint
(kapsul ligament), otot serta degenerasi korpus dan diskus (Kassem, 2010)
Metode latihan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan memberikan
stabilisasi lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot
abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring sehingga terjadi peningkatan
fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back
(sacrospinal). Selain itu, latihan ini berguna untuk
mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot
postural fleksor dan ekstensor (Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).
Adapun prosedur pelatihannya adalah:
a. Latihan I
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kaki datar
diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua
tungkai mendorong ke bawah. kemudian pertahankan 5-10 detik.
Gerakan ini bertujuan untuk penguluran otot-otot ekstensor trunk,
mobilisasi sendi panggul dan penguatan otot perut (Fajrin, 2008; Rahayu,
2011).
3. Pelvic Tilt
1. Alat Bantu
1. Back corsets. Penggunaan penahan pada punggung sangat membantu
untuk mengatasi Low Back Pain yang dapat membungkus punggung
dan perut.
2. Tongkat Jalan
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham dan Louis Solomon. 1994. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley ; Edisi Ketujuh, Alih Bahasa Edi Nugroho, Widya Medika.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih bahasa:
Setiawan, I. dan Santoso, A. EGC: Jakarta
Harsono dan Soeharso. 2005. Nyeri punggung Bawah (Harsono). Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hodges, P. W. Dan Richardson P. A. 2006. Inefficient Muscular Stabilization of the
Lumbar Spine Associated with Low Back Pain a Motor Control Evaluation
Of Transversus Abdominis; Diakses tanggal Januari 2018.
http://www.lowbackpain.com.au/rese arch-page4new.htm.
Irani,Z. Spondylolisthesis Imaging http://emedicine.medscape.com/article/396016-
overview#showall diakses pada 18 Desember 2013
Japardi, I. 2002. Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas Kedokteran,
Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara
Moore, K. L, Arthur F, Dalley II, Anne M. R. Agur. 2013. Anatomi Berorientasi
Klinis. Dialihbahasakan oleh Hartanto H. Jakarta: Erlangga.
Mujianto. 2013. Cara Cepat Mengatasi 10 Besar Kasus Muskuloskeletal dalam
Praktik Klinik Fisioterapi. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 80tahun 2013 Tentang
penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Fisioterapi. Lembar Negara.
Peng, B., et al. 2005. The Pathogenesis of Discogenic Low Back Pain. Vol 87: 62-67.
Journal of Bone and Joint Surgery.
Price, Sylvia A. Dan Lorraine M.Wilson. 2006. Herniasi Diskus Intervertebralis
Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta.
Prescher, Andreas. 2002. Anatomy and Pathology of the Aging Spine. Vol 23:181-
195. European Journal of Radiology.
Simanjuntak, charles A. 2008. Sudah Perlukah Dilakukan Skrining Skoliosis pada
Anak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jambi: Dexa Medica.
http://www.spondylolisthesis.org diakses pada 18 Desember 2013
Suhadi, Irwan. 2006. Gambaran Klinis dan Radiologi kasus Low Back Pain Di
Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode 2002-2005. Karya Tulis Ilmiah:
Universitas Maranatha.
Sujanto. 2007. Sumber Fisis. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta.
Syaanin, Syaiful. 2008. Neurosurgery of Spondylolisthesis. Padang: RSUP. Dr. M.
Djamil/FK-UNAND Padang.
Vookshor A. 2007. Spondilolisthesis, spondilosis and spondylisis.
www.eMedicine.com diakses pada 18 Desember 2013.