Anda di halaman 1dari 49

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 32 TAHUN DENGAN LOW BACK PAIN EC.


SPONDILOLISTHESIS DD KOMPRESI VERTEBRA LUMBAL 3,4
TERHADAP VERTEBRA LUMBAL 5

Oleh:
Pramitha Yustia G99161073

Pembimbing:
Ninik Dwiastuti, dr., Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN DAN REHABILITASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I.ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Bekasi
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Masuk : 25 Desember 2017
Tanggal Periksa : 5 Januari 2018
Nomor RM : 01403372
B. Keluhan Utama
Nyeri punggung bawah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri
punggung belakang. Nyeri timbul dan terasa memberat ketika pasien
beraktivitas. Namun pasien hanya istirahat tanpa mengobatinya. Karena
nyeri tersebut dirasakan semakin hari semakin memberat dan sekitar 1
bulan SMRS pasien merasakan adanya sedikit kelemahan pada tungkainya
yang membuat pasien sulit berjalan sehingga pasien mulai memeriksakan
kondisinya, namun pasien memilih pengobatan secara alternatif dan tidak
ada perbaikan. Akhirnya pasien dibawa berobat di RS di Gombong, namun
karena keterbatasan fasilitas, pasien dirujuk ke RSDM. Akibat nyeri di
punggung dan kelemahan tungkai, pasien harus dibantu oleh satu orang
keluarganya untuk berjalan dan bangun dari tempat tidur. Keluhan rasa
kesemutan, nyeri menjalar atau rasa panas seperti terbakar, dan hilangnya
sensasi raba pada anggota gerak bawah disangkal. Pasien sebelumnya tidak
pernah mengalami trauma ataupun jatuh dari ketinggian dalam posisi
terduduk. Pasien sebelumnya memiliki riwayat mengangkat benda berat
dengan pundak atau punggungnya karena pekerjaannya sebagai karyawan
di PT Baja. Pasien menyangkal adanya keluhan serupa sebelumnya. Karena
keluhan nyeri tersebut, pasien tidak beraktivitas keluar rumah, pasien hanya
berbaring d tempat tidur dan melakukan aktivitas di rumah seperti makan,
mandi, dan duduk di kursi. Buang Air Besar dan Buang Air Kecil tidak ada
keluhan. Pasien makan dan minum hanya sedikit, pasien mengalami
penurunan berat badan sebanyak > 10 kg. Pasien masih dapat makan,
minum, dan mandi sendiri.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya: disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang
Riwayat Gizi : Penderita makan 2-3 kali sehari
dengan sepiring nasi, lauk pauk (tahu, tempe, telur), dan sayur, jarang
daging atau ikan. Pasien jarang makan buah. Pasien minum air putih
sebanyak 5-6 gelas belimbing pehari.
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan baja. Saat ini
pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Sebelum sakit, pasien masih dapat
beraktivitas, bekerja, dan bersosialisasi dengan tetangga sekitar. Saat ini
pasien mondok di RSU Dr. Moewardi dengan menggunakan biaya BPJS
kelas I.

II.PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan kurang
B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 82 x / menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 18x / menit
Suhu : 36,5º C per aksiler
NRS : 3-4 regio lumbal
BB : 42 kg
TB : 160 cm
IMT : 16.4 kg/m2
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), hiperpigmentasi (-),
hipopigmentasi (-)
D. Kepala
Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut
hitam keputihan, mudah rontok (-), mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak lansung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), sekret (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-).
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thorax
 Retraksi (-),simetris
 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
 Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+ normal/+ normal), Suara
tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (+) regio VTh12, oedem (-),
spasme (+)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebrae (-)
L. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) 12x/menit normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani, pekak beralih (-)
M. Ektremitas
Oedem Akral dingin
- - - -
- - - -
N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6 compos mentis
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik :
Lengan Tungkai
Rasa Eksteroseptik
- Suhu tidak dilakukan tidak dilakukan
- Nyeri (+ / +) (+ / +)
- Raba (+ / +) (+ / +)
Rasa Propioseptik
- Rasa Getar tidak dilakukan tidak dilakukan
- Rasa Posisi (+ / +) (+ / +)
- Rasa Nyeri Tekan (+ / +) (+ / +)
- Rasa Nyeri Tusukan (+ / +) (+ / +)

Rasa Kortikal
- Stereognosis tidak dilakukan
- Barognosis tidak dilakukan

Fungsi Motorik dan Reflek


Atas Tengah Bawah
Ka/Ki Ka/Ki Ka/Ki
a. Lengan
- Pertumbuhan (n/n) (n/n) (n/n)
- Tonus (n/n) (n/n) (n/n)
- Reflek Fisiologis
Reflek Biseps (+2/+2)

Reflek Triceps (+2/+2)


- Reflek Patologis
Reflek Hoffman (-/-)
Reflek Trommer (-/-)
b. Tungkai
- Pertumbuhan (n/n) (n/n) (n/n)
- Tonus (n/n) (n/n) (n/n)
- Klonus
Lutut (-/-)
Kaki (-/-)
- Reflek Fisiologis
Reflek Patella (+2/+2)
Reflek Achilles (+2/+2)
- Reflek Patologis
ReflekChaddock (-/-)
Reflek Babinsky (-/-)
Reflek Oppenheim (-/-)
Reflek Gordon (-/-)
Reflek Scaeffer (-/-)
Reflek Rosolimo (-/-)
c. Reflek Kulit
Reflek Dinding Perut (+/+)
Reflek Cremaster (tidak dilakukan)
Nervus Craniales
- N. II, III : RC (+/+), Pupil Isokhor (3 mm/ 3mm)
- N. III,IV,VI : pergerakan bola mata normal
- N. VII : dalam batas normal
- N. XII : dalam batas normal
Tes Profokasi Nyeri
1. Patrick : (+/+)
2. Kontra Patrick : (+/+)
3. Lasseque : (+/+)
4. Bragard : (-/-)
5. Sighard : (-/-)
6. Valsava test : (-/-)
7. Nafziger test : (-/-)
O. Range of Motion (ROM)
NECK ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0 - 70º 0 - 70º
Ekstensi 0 - 40º 0 - 40º
Lateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60º
Lateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60º
Rotasi kanan 0 - 90º 0 - 90º
Rotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Superior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Fleksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180º
Ektensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Abduksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º
Shoulder
Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75º
Eksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º
Ekstensi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º
Elbow
Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Wrist
Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º
Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Radius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
PIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
MCP I Ekstensi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

TRUNK ROM Pasif ROM Aktif


Fleksi 0-40º 0-40º
Ekstensi Terbatas nyeri Terbatas nyeri
Rotasi Terbatas nyeri Terbatas nyeri

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Fleksi 0-40º 0-40º 0-30º 0-30º
Ektensi 0-15º 0-15º 0-10º 0-10º
Abduksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Hip
Adduksi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
Eksorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Endorotasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º
Knee
Ekstensi 0º 0º 0º 0º
Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Ankle
Eversi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
Inversi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º
P. Manual Muscle Testing (MMT)
NECK
Fleksor M. Sternocleidomastoideum 5
Ekstensor M. Sternocleidomastoideum 5

TRUNK
Fleksor M. Rectus Abdominis NT
Thoracic group NT
Ektensor
Lumbal group NT
Rotator M. Obliquus Eksternus Abdominis NT
Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris NT

Ektremitas Superior Dekstra Sinistra

M. Deltoideus anterior 5 5
Fleksor
M. Bisepss anterior 5 5
M. Deltoideu 5 5
Ekstensor
M. Teres Mayor 5 5
M. Deltoideus 5 5
Abduktor
M. Biseps 5 5
Shoulder
M. Latissimus dorsi 5 5
Adduktor
M. Pectoralis mayor 5 5
M. Latissimus dorsi 5 5
Internal Rotasi
M. Pectoralis mayor 5 5
Eksternal M. Teres mayor 5 5
Rotasi M. Infra supinatus 5 5
M. Biseps 5 5
Fleksor
M. Brachilais 5 5
Elbow Eksternsor M. Triseps 5 5
Supinator M. Supinatus 5 5
Pronator M. Pronator teres 5 5
Fleksor M. Fleksor carpi radialis 5 5
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5
Wrist
Abduktor M. Ekstensor carpi radialis 5 5
Adduktor M. Ekstensor carpi ulnaris 5 5
Fleksor M. Fleksor digitorum 5 5
Finger
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5
Ektremitas Inferior Dekstra Sinistra
Hip Fleksor M. Psoas mayor NT NT
Ekstensor M. Gluteus maksimus NT NT
Abduktor M. Gluteus medius NT NT
Adduktor M. Adduktor longus NT NT
Knee Fleksor Hamstring muscle 4 4
Ekstensor Quadriceps femoris 4 4
Ankle Fleksor M. Tibialis 4 4
Ekstensor M. Soleus 5 5

R. Status Ambulasi :
Skor ADL dengan Barthel Index
Activity Score
Feeding
0 = unable 10
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 5
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 5
5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan
sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 10
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani 10
sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 5
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 10
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat)
> 50 yard
Stairs
0 = unable 5
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100) 70
Interpretasi hasil:
0-20 : ketergantungan total
21-60 : ketergantungan berat
61-90 : ketergantungan sedang
91-99 : ketergantungan ringan
100 : mandiri
Status Ambulasi: ketergantungan sedang

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (3/1/2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI RUTIN
Hb 9.4 g/dl 13.5 - 17.5
Hct 29 % 33 – 45
AL 6.1 10 /  L
3
4.5 – 11.0
AT 250 103 /  L 150 – 450
AE 3.61 106/  L 4.50 – 5.90
HEMOSTASIS
PT 12.4 detik 10.0 – 15.0
APTT 29.8 detik 20.0 – 40.0
INR 0.98
KIMIA KLINIK
GDS 85 mg/dl 60-140
SGOT 30 µ/l < 31
SGPT 39 µ/l <45
Albumin 2.3 g/dl 3.2-4.6
Ureum 30 mg/dl <50
Creatinin 0.3 mg/dl 0.9-1.3
ELEKTROLIT
Natrium darah 127 mmol/L 136 - 145
Kalium darah 3.3 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 96 mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg rapid Non Reactive Non reaktive

B. Pemeriksaan Radiografi (31/12/2017)


A. Foto Thorak PA (inspirasi kurang maksimal)

- Cor : besar dan bentuk normal


- Pulmo : corakan bronkovaskular dalam batas normal
- Sinus costophrenikus kanan dan kiri normal
- Trakhea di tengah
- Sistema tulang baik
Kesan : dalam batas normal
B. Foto lumbosacral AP/Lat
- malaligment baik, curve melurus
- trabekulasi tulang di luar lesi normal
- tampak kompresi VL 3 dan VL 4
- tampak penyempitan Diskus Intervertebralis Lumbal 3-4
- Tampak listhesis di corpus VL3-L4 terhadap VL ke
posterior
- Tak tampak erosi/destruksi tulang
- Tak tampak paravertebral soft tissue mass/swelling
Kesan : listhesis corpus VL 3-4 terhadap VL 5 ke posterior,
kompresi VL 3-4 disertai penyempitan DIV L3-L4, paralumbal
muscle spasme.

IV.ASSESMENT
A. Low Back Pain e/c spondilolisthesis DD kompresi vertebra lumbal 3-4

V.DAFTAR MASALAH
Masalah Medis :
1. Low back pain
2. Kelemahan tungkai saat digunakan untuk berjalan

Problem Rehabilitasi Medik


1. Fisioterapi : pasien sulit beraktivitas karena nyeri pada punggung
bawah
2. Speech Terapi : tidak ada
3. Okupasi Terapi : gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(ADL) selama sakit
4. Sosiomedik : tidak dapat melakukan pekerjaan dan memerlukan
bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari selama sakit
5. Ortesa-protesa : pro TLSO untuk mengurangi nyeri dan stabilisasi
6. Psikologi : beban pikiran karena kesulitan melakukan kegiatan
sehari-hari dan tidak dapat bekerja

VI.PENATALAKSANAAN
 Terapi Non Medikamentosa
1. Bedrest tidak total
2. Diet TKTP nasi 2100 kkal
3. Oksigen 3 lpm nasal kanul
 Terapi Medikamentosa
1. Infus RL 20 tpm
2. Injeksi Ketorolac 30mg/12 jam
3. Injeksi mecobalamin 500 mg / 12 jam
4. Injeksi Ondancentron 40mg/8 jam k/p
5. Injeksi Omeprazole 40mg/12 jam
6. Gabapentin 500mg/24 jam per oral
 Rehabilitasi Medik
1. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakitnya tersebut
2. Fisioterapi :
 Istirahat jangka pendek, mulai dianjurkan saat ini karena efek
samping lebih minimal
 Pemberian TENS lumbal
 Isometric back exercise
 Mobilisasi dengan TLSO
3. Speech Terapi : tidak ada
4. Okupasi Terapi : Membiasakan proper body mechanism pada pasien
5. Sosiomedik :
 Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
pasien
 Edukasi keluarga untuk merawat dan membantu pasien, ikut serta
dalam melatih terapi untuk pasien
6. Ortesa-protesa : TLSO
7. Psikologi :
 Psikoterapi suportif
 Mengurangi kecemasan pasien, meningkatkan kepercayaan diri
pasien, penguatan psikologis pasien, dan keluarga diharapkan
senantiasa memberikan dukungan dan perhatian.

VII.IMPAIRMENT, DISABILITAS, dan HANDICAP


A. Impairment : Low back pain (nyeri pada punggung bawah)
B. Disabilitas : imobilisasi akibat nyeri
C. Handicap : keterbatasan kegiatan sehari-hari dan dalam melakukan
pekerjaan dan aktivitas sosial

VIII.PLANNING
Planning Diagnostik : MRI, CT Scan Lumbosacral
Planning Terapi : Fisioterapi dan penggunaan TLSO
Planning Edukasi :
1. Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
2. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
3. Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi, pemeriksaan lab darah
IX.TUJUAN
A. Perbaikan keadaan umum (mengurangi nyeri punggung) sehingga
mempersingkat lama perawatan di RS
B. Minimalisasi impairment, disabilitas, dan handicap pada pasien
C. Mengembalikan penderita pada tingkat aktivitas normalnya
D. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan
penderita (seperti kelumpuhan dan gagal nafas)

X.PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI VERTEBRA
Struktur utama dari tulang punggung adalah vertebrae, discus
invertebralis, ligamen antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-
organ dalam disekitar pelvis, abdomen dan kulit yang menutupi daerah
punggung.
Columna vertebralis (tulang punggung) terdiri atas :
1. Vertebrae cervicales 7 buah
2. Vertebrae thoracalis 12 buah
3. Vertebrae lumbales 5 buah
4. Vertebrae sacrales 5 buah
5. Vertebrae coccygeus 4-5 buah
Vertebra cervicales, thoracalis dan lumbalis termasuk golongan true vertebrae.
Pada vertebrae juga terdapat otot-otot yang terdiri atas :
1. Musculus trapezius
2. Muskulus latissimus dorsi
3. Muskulus rhomboideus mayor
4. Muskulus rhomboideus minor
5. Muskulus levator scapulae
6. Muskulus serratus posterior superior
7. Muskulus serratus posterior inferior
8. Muskulus sacrospinalis
9. Muskulus erector spinae
10. Muskulus transversospinalis
11. Muskulus interspinalis
Otot-otot tersebut yang menghubungkan bagian punggung ke arah
ekstrremitas maupun yang terdapat pada bagian punggung itu sendiri.Otot pada
punggung memiliki fungsi sebagai pelindung dari columna spinalis, pelvis dan
ekstremitas. Otot punggung yang mengalami luka mungkin dapat menyebabkan
terjadinya low back pain.
Gambar 1. Columna vertebralis
Fungsi kolumna vertebralis yaitu sebagai berikut:3
1. Menyangga berat kepala dan batang tubuh
2. Memungkinkan pergerakan kepala dan batang tubuh
3. Melindungi medula spinalis
4. Memungkinkan keluarnya nervus spinalis dari kanalis spinalis
5. Tempat untuk perlekatan otot.
Di sepanjang medula spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior (motorik) dan posterior (sensorik). Masing-masing radix melekat
pada medula spinalis melalui sederetan radices (radix kecil) yang terdapat di
sepanjang segmen medula spinalis. Setiap radix mempunyai sebuah ganglion
radix posterior yang axon sel-selnya memberikan serabut-serabut saraf perifer
dan pusat. Radix nervus spinalis berjalan dari masing-masing segmen spinalis
foramen intervertebralis yang sesuai tempat keduanya menyatu membentuk
nervus spinalis. Di sini antara saraf sensorik dan motorik bercampur. Karena
pertumbuhan memanjang columna vertebralis tidak sebanding dengan
pertumbuhan medulla spinalis, panjang radix n.spinalis bertambah panjang dari
atas ke bawah. Di daerah cervikal atas, radix nervus spinalis pendek dan
bearjalan hampir horizontal, tetapi di bawah di ujung medula (pada orang
dewasa di L1) membentukl seberkas saraf vertikal di sekitar filum terminal
vertebra yang disebut cauda equina.3

II. LOW BACK PAIN


A. Pendahuluan
Hampir semua orang pernah mengalami nyeri pinggang, hal ini
menunjukan seringnya gejala ini dijumpai pada sebagian besar penderita.
Sakit pinggang merupakan keluhan banyak penderita yang berkunjung ke
dokter. Yang dimaksud dengan istilah sakit pinggang bawah ialah nyeri,
pegal linu, ngilu, atau tidak enak didaerah lumbal berikut sacrum. Dalam
bahasa inggris disebut dengan istilah Low Back Pain (LBP).
Penyebab LBP bermacam-macam dan multifaktorial; banyak yang
ringan, namun ada juga yang berat yang harus ditanggulangi dengan cepat
dan tepat. Mengingat tingginya angka kejadian LBP, maka tidaklah
bijaksana untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang mendalam
secara rutin pada tiap penderita. Hal ini akan memakan waktu yang lama,
dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dan
dibantu oleh pemeriksaan laboratorium yang terarah, maka penyebab LBP
dapat ditegakan pada sebagian terbesar penderita.
Untuk lebih mendalami tentang low back pain, sejenak perlu
diketahui dahulu fungsi dari tulang belakang. Tulang belakang merupakan
daerah penyokong terbanyak dalam fungsi tubuh. Tulang belakang terdiri
atas 33 ruas yang merupakan satu kesatuan fungsi dan bekerja bersama-
sama melakukan tugas-tugas seperti:
1. memperhatikan posisi tegak tubuh
2. menyangga berat badan
3. fungsi pergerakan tubuh
4. pelindung jaringan tubuh
Pada saat berdiri, tulang belakang memiliki fungsi sebagai
penyangga berat badan, sedangkan pada saat jongkok atau memutar, tulang
belakang memiliki fungsi sebagai penyokong pergerakan tersebut. Struktur
dan peranan yang kompleks dari tulang belakang inilah yang seringkali
menyebabkan masalah.
B. Definisi
Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri,
ngilu, pegal yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah. Nyeri pinggang
bawah bukanlah diagnosis tapi hanya gejala akibat dari penyebab yang
sangat beragam. Nyeri punggung bawah atau LBP adalah nyeri yang
terbatas pada regio lumbal, tetapi gejalanya lebih merata dan tidak hanya
terbatas pada satu radiks saraf, namun secara luas berasal dari diskus
intervertebralis limbal (Dachlan, 2009).
Low Back Pain menurut perjalanan kliniknya dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Acute low back pain
Rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba, rentang waktunya
hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa
nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain dapat
disebabkan karena luka traumatic seperti kecelakaan mobil atau terjatuh,
rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat
merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada
kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan
spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal
nyeri pinggang acute terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.
2. Chronic low back pain
Rasa nyeri yang menyerang lebih dari 3 bulan atau rasa nyeri
yang berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki
onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low
back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses
degenerasi discus intervertebralis dan tumor. Disamping hal tersebut
diatas terdapat juga klasifikasi patologi yang klasik yang juga dapat
dikaitkan LBP. Klasifikasi tersebut adalah :
1. Trauma
2. Infeksi
3. Neoplasma
4. Degenerasi
5. Kongenital
C. Epidemiologi
Nyeri pinggang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting pada semua negara. Besarnya masalah yang diakibatkan oleh nyeri
pinggang dapat dilihat dari ilustrasi data berikut. Pada usia kurang dari 45
tahun, nyeri pinggang menjadi penyebab kemangkiran yang paling sering,
penyebab tersering kedua kunjungan kedokter, urutan kelima masuk rumah
sakit dan masuk 3 besar tindakan pembedahan. Pada usia antara 19-45
tahun, yaitu periode usia yang paling produktif, nyeri pinggang menjadi
penyebab disabilitas yang paling tinggi.
Di Indonesia, LBP dijumpai pada golongan usia 40 tahun. Secara
keseluruhan, LBP merupakan keluhan yang paling banyak dijumpai (49 %).
Pada negara maju prevalensi orang terkena LBP adalah sekitar 70-80 %.
Pada buruh di Amerika, kelelahan LBP meningkat sebanyak 68 % antara
tahun 1971-1981.
Sekitar 80-90% pasien LBP menyatakan bahwa mereka tidak
melakukan usaha apapun untuk mengobati penyakitnya jadi dapat
disimpulkan bahwa LBP meskipun mempunyai prevalensi yang tinggi
namun penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya.
D. Etiologi
Etiologi nyeri punggung bermacam – macam, yang paling banyak
adalah penyebab sistem neuromuskuloskeletal. Disamping itu LBP dapat
merupakan nyeri rujukan dari gangguan sistem gastrointestinal, sistem
genitorinaria atau sistem kardiovaskuler. Proses infeksi, neoplasma dan
inflasi daerah panggul dapat juga menimbulkan LBP. Penyebab sistem
neuromuskuloskeletal dapat diakibatkan beberapa faktor, ialah (a) otot, (b)
discus intervertebralis, (c) sendi apofiseal, anterior, sakroiliaka, (d)
kompresi saraf / radiks, (e) metabolik, (f) psikogenik, (g) umur (Dachlan,
2009).
Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelaianan yang
terjadi pada tulang belakang, otot, discus intervertebralis, sendi, maupun
struktur lain yang menyokong tulang belakang. Kelainan tersebut antara
lain: (1) kelainan kongenital / kelainan perkembangan, seperti spondylosis
dan spondilolistesis, kiposcoliosis, spina bifida, ganggguan korda spinalis,
(2) trauma minor, seperti regangan, cedera whiplash, (3) fraktur, seperti
traumatik misalnya jatuh, atraumatik misalnya osteoporosis, infiltrasi
neoplastik, steroid eksogen, (4) hernia discus intervertebralis, (5)
degeneratif kompleks diskus misalnya osteofit, gangguan discus internal,
stenosis spinalis dengan klaudikasio neurogenik, gangguan sendi vertebra,
gangguan sendi atlantoaksial misalnya arthritis reumatoid, (6) arthritis
spondylosis, seperti artropati facet atau sacroiliaka, autoimun misalnya
ankylosing spondilitis, sindrom reiter, (7) neoplasma, seperti metastasisi,
hematologic, tumor tulang primer, (8) infeksi / inflamasi, seperti osteomyelitis
vertebral, abses epidural, sepsis discus, meningitis, arachnoiditis lumbal. (9)
metabolik osteoporosis – hiperparatiroid, (10) vaskuler aneurisma aorta
abdominalis, diseksi arteri vertebral, (11) lainnya, seperti nyeri alih dari
gangguan visceral, sikap tubuh, psikiatrik, sindrom nyeri kronik.
1. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital tidak merupakan penyebab nyeri pinggang bawah
yang penting. Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan nyeri
pinggang bawah adalah :
a. Spondilolisis dan spondilolistesis
Pada Spondilolisis tampak bahwa sewaktu pembentukan korpus
vertebrae itu ( in utero ) arkus vertebrae tidak bertemu dengan
korpus vertebraenya sendiri. Pada spondilolistesis korpus
vertebrae itu sendiri ( biasanya L5 ) tergeser ke depan.
Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi itu masih berada
dalam kandungan, namun ( oleh karena timbulnya kelinan-
kelainan degeneratif ) sesudah berumur 35 tahun, barulah timbul
keluhan nyeri pinggang. Nyeri pinggang ini berkurang / hilang
bila penderita duduk atau tidur. Dan akan bertambah, bila
penderita itu berdiri atau berjalan. Spondilolitesis dapat
mengakibatkan tertekuknya radiks L5 sehingga timbul nyeri
radikuler.
b. Spina Bifida
Bila di daerah lumbosakral terdapat suatu tumor kecil yang
ditutupi oleh kulit yang berbulu, maka hendaknya kita waspada
bahwa didaerah itu ada tersembunyi suatu spina bifida okulta.
Pada foto rontgen tampak bahwa terdapat suatu hiaat pada arkus
spinosus di daerah lumbal atau sakral. Karena adanya defek
tersebut maka pada tempat itu tidak terbentuk suatu ligamentum
interspinosum. Keadaan ini akan menimbulkan suatu “lumbo-
sakral sarain” yang oleh si penderita dirasakan sebagai nyeri
pinggang.
c. Stenosis kanalis vertebralis
Diagnosis penyakit ini ditegakkan secara radiologis. Walaupun
penyakit telah ada sejak lahir, namun gejala-gejalanya baru
tampak setelah penderita berumur 35 tahun. Gejala yang tampak
adalah timbulnya nyeri radikuler bila si penderita jalan dengan
sikap tegak. Nyeri hilang begitu penderita berhenti jalan atau bila
ia duduk. Untuk menghilangkan rasa nyerinya maka penderita
lantas jalan sambil membungkuk.
d. Spondylosis lumbal
Penyakit sendi degeneratif yang mengenai vertebra lumbal dan
discus intervertebralis, yang menyebabkan nyeri dan kekakuan.
e. Spondylitis.
Suatu bentuk degeneratif sendi yang mengenai tulang belakang .
ini merupakan penyakit sistemik yang etiologinya tidak diketahui,
terutama mengenai orang muda dan menyebabkan rasa nyeri dan
kekakuan sebagai akibat peradangan sendi-sendi dengan osifikasi
dan ankilosing sendi tulang belakang.
2. Trauma dan Gangguan Mekanis
Trauma dan gngguan mekanis merupakan penyebab utam nyeri
pinggang bawah. Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan
pekerjaan otot atau sudah lama tidak melakukan kegiatan ini dapat
menderita nyeri pinggang bawah yang akut. Cara bekerja di pabrik
atau di kantor dengan sikap yang salah lama-lama nenyebabkan nyeri
pinggang bawah yang kronis.
Patah tulang, pada orang yang umurnya sudah agak lanjut sering oleh
karena trauma kecil saja dapat menimbulkan fraktur kompresi pada
korpus vertebra. Hal ini banyak ditemukan pada kaum wanita terutam
yang sudah sering melahirkan. Dalam hal ini tidak jarang osteoporosis
menjadi sebab dasar daripada fraktur kompresi. Fraktur pada salah
satu prosesus transversus terutama ditemukan pada orang-orang lebih
muda yang melakukan kegiatan olahraga yang terlalu dipaksakan.
Pada penderita dengan obesitas mungkin perut yang besar dapat
menggangu keseimbangan statik dan kinetik dari tulang belakang
sehingga timbul nyeri pinggang.
Ketegangan mental terutama ketegangan dalam bidang seksual
atau frustasi seksual dapat ditransfer kepada daerah lumbal sehingga
timbul kontraksi otot-otot paraspinal secara terus menerus sehingga
timbul rasa nyeri pinggang. Analog dengan tension headache maka
nyeri pinggang semacam ini dapat dinamakan “tension backache”.
Tidak jarang seorang pemuda mengeluh tentang nyeri pinggang,
yang timbul karena adanya anggapan yang salah yaitu bahwa karena
seringnya melakukan onani di waktu yang lampau lantas kini sumsum
balakangnya telah menjadi kering dan nyeri.
3. Radang ( Inflamasi )
Artritis rematoid dapat melibatkan persendian sinovial pada
vertebra. Artritis rematoid merupakan suatu proses yang melibatkan
jaringan ikat mesenkimal.
Penyakit Marie-Strumpell. Penyakit Marie-Strumpell, yang
juga dikenal dengan nama spondilitis ankilosa atau bamboo spine
terutama mengenai pria dan teruta mengenai kolum vertebra dan
persendian sarkoiliaka. Gejala yang sering ditemukan ialah nyeri lokal
dan menyebar di daerah pnggang disertai kekakuan ( stiffness ) dan
kelainan ini bersifat progresif.
4. Tumor ( Neoplasma )
Tumor vertebra dan medula spinalis dapat jinak atau ganas.
Tumor jinak dapat mengenai tulang atau jaringan lunak. Contoh gejala
yang sering dijumpai pada tumor vertebra ialah adanya nyeri yang
menetap. Sifat nyeri lebih hebat dari pada tumor ganas daripada tumor
jinak. Contoh tumor tulang jinak ialah osteoma osteoid, yang
menyebabkan nyeri pinggang terutama waktu malam hari. Tumor ini
biasanya sebesar biji kacang, dapat dijumpai di pedikel atau lamina
vertebra. Hemangioma adalah contoh tumor benigna di kanalis spinal
yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah. Meningioma adalah
tumor intradural dan ekstramedular yang jinak, namun bila ia tumbuh
membesar dapat mengakibatkan gejala yang besar seperti kelumpuhan
5. Gangguan Metabolik
Osteoporosis akibat gangguan metabolik yang merupakan
penyebab banyak keluhan nyeri pada pinggang dapat disebabkan
oleh kekurangan protein atau oleh gangguan hormonal
(menopause,penyakit cushing). Sering oleh karena trauma ringan
timbul fraktur kompresi atau seluruh panjang kolum vertebra
berkurang karena kolaps korpus vertebra. Penderita menjadi bongkok
dan pendek denga nyeri difus di daerah pinggang.
6. Psikis
Banyak gangguan psikis yang dapat memberikan gejala nyeri
pinggang bawah.misalnya anksietas dapat menyebabkan tegang otot
yang mengakibatkan rasa nyeri,misalnya dikuduk atau di
pinggang;rasa nyeri ini dapat pula kemudian menambah
meningkatnya keadaan anksietas dan diikuti oleh meningkatnya
tegang otot dan rasa nyeri.kelainan histeria,kadang-kadang juga
mempunyai gejala nyeri pinggang bawah.
E. Faktor Resiko
Faktor resiko nyeri pinggang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan,
etnis, merokok sigaret, pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat
yang berulang-ulang, membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal
spinal dan faktor psikososial. Pada laki-laki resiko nyeri pinggang
meningkat sampai usia 50 tahun kemudian menurun, tetapi pada wanita
tetap terus meningkat. Peningkatan insiden pada wanita lebih 50 tahun
kemungkinan berkaitan dengan osteoporosis.
F. Diagnosa
1. Anamnesa
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam menganamnesa pasien
dengan kemungkinan diagnosa Low Back Pain.
a. Apakah terasa nyeri ?
b. Dimana terasa nyeri ?
c. Sudah berapa lama merasakan nyeri ?
d. Bagaimana kuantitas nyerinya? (berat atau ringan)
e. Apa yang membuat nyeri terasa lebih berat atau terasa lebih
ringan?
f. Adakah keluhan lain?
g. Apakah dulu anda ada menderita penyakit tertentu?
h. Bagaimana keadaan kehidupan pribadi anda?
i. Bagaimana keadaan kehidupan sosial anda?
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik secara komprehensif pada pasien dengan nyeri
pinggang meliputi evaluasi sistem neurologi dan muskuloskeltal.
Pemeriksaan neurologi meliputi evaluasi sensasi tubuh bawah, kekuatan
dan refleks-refleks
a. Motorik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
1) Berjalan dengan menggunakan tumit.
2) Berjalan dengan menggunakan jari atau berjinjit.
3) Jongkok dan gerakan bertahan ( seperti mendorong tembok )
b. Sensorik.
Nyeri dalam otot dan rasa gerak.
c. Refleks.
Refleks yang harus di periksa adalah refleks di daerah Achilles dan
Patella, respon dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mengetahui lokasi terjadinya lesi pada saraf spinal.
d. Test-Test Provokasi Nyeri
1) Test Lassegue
Pada tes ini, pertama telapak kaki pasien ( dalam posisi 0° )
didorong ke arah muka kemudian setelah itu tungkai pasien
diangkat sejauh 40° dan sejauh 90°.

Gambar 2. Lasseque test


2) Test Patrick
Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan di pinggang dan
pada sendi sakro iliaka. Tindakan yang dilakukan adalah fleksi,
abduksi, eksorotasi dan ekstensi.

Gambar 3. Patrick test


3) Test Kontra Patrick
Dilakukan gerakan gabungan dinamakan fleksi, abduksi,
endorotasi, dan ekstensi meregangkan sendi sakroiliaka. Test
Kebalikan Patrick positif menunjukkan kepada sumber nyeri di
sakroiliaka.
G. Pemriksaan Penunjang
1. Radiologi
X-ray adalah gambaran radiologi yang mengevaluasi
tulang,sendi, dan luka degeneratif pada spinal.Gambaran X-ray
sekarang sudah jarang dilakukan, sebab sudah banyak peralatan
lain yang dapat meminimalisir waktu penyinaran sehingga efek
radiasi dapat dikurangi.X-ray merupakan tes yang sederhana, dan
sangat membantu untuk menunjukan keabnormalan pada tulang.
Seringkali X-ray merupakan penunjang diagnosis pertama untuk
mengevaluasi nyeri punggung, dan biasanya dilakukan sebelum
melakukan tes penunjang lain seperti MRI atau CT scan. Foto X-
ray dilakukan pada posisi anteroposterior (AP), lateral, dan bila
perlu oblique kanan dan kiri.
Myelografi adalah pemeriksan X-ray pada spinal cord dan
canalis spinal. Myelografi merupakan tindakan infasif, yaitu
cairan yang berwarna medium disuntikan ke kanalis spinalis,
sehingga struktur bagian dalamnya dapat terlihat pada layar
fluoroskopi dan gambar X-ray. Myelogram digunakan untuk
diagnosa pada penyakit yang berhubungan dengan diskus
intervertebralis, tumor spinalis, atau untuk abses spinal.
Computed Tornografi Scan ( CT- scan ) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). CT-scan merupakan tes yang tidak
berbahaya dan dapat digunakan untuk pemeriksaan pada otak,
bahu, abdomen, pelvis, spinal, dan ekstemitas. Gambar CT-scan
seperti gambaran X-ray 3 dimensi. MRI dapat menunjukkan
gambaran tulang belakang yang lebih jelas daripada CT-scan.
Selain itu MRI menjadi pilihan karena tidak mempunyai efek
radiasi. MRI dapat menunjukkan gambaran tulang secara
sebagian sesuai dengan yang dikehendaki. MRI dapat
memperlihatkan diskus intervertebralis, nerves, dan jaringan
lainnya pada punggung.
Electro Miography ( EMG ) / Nreve Conduction Study (
NCS). EMG / NCS merupakan tes yang aman dan non invasif
yang digunakan untuk pemeriksaansaraf pada lengan dan kaki.
Hasil dari EMG dan MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi
kondisi fisik pasien dimana mungkin perlu dilakukan tindakan
selanjutnya yaitu pambedahan.
H. Pengobatan
Farmakologi
1. Obat-obat analgesik
Obat-obat analgesik umumya dibagi menjadi dua golongan besar :
a. Analgetik narkotik
Obat-obat golongan ini terutama bekerja pada susunan saraf
digunakan untuk menghilangkan rasa sakit yang berasal dari
organ viseral. Obat golongan ini hampir tidak digunakan
untuk pengobatan LBP karena bahaya terjadinya adiksi pada
penggunaan jangka panjang. Contohnya : Morfin, heroin, dll.
b. Analgetik antipiretik
Sangat bermanfat untuk menghilangkan rasa nyeri
mempunyai khasiat anti piretik, dan beberapa diantaranya
juga berkhasiat antiinflamasi. Kelompok obat-obat ini dibagi
menjadi 4 golongan :
1) Golongan salisilat
2) Golongan Paraaminofenol
3) Golongan pirazolon
4) Golongan asam organik yang lain seperti derivat asam
fenamat, asam propionat, asam asetat, dan Oksikam
Non Farmakologi
1. Edukasi pola hidup sehat
2. Fisioterapi

III. SPONDILOLISTHESIS
A. Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas
kata spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang
berarti “bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk
pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang
dibawahnya. Kelainan terjadi akibat hilangnya kontinuitas-pars
intervertebralis sehingga menjadi kurang kuat untuk menahan pergeseran
tulang berakang. (Joong, 2004)

B. Epidemiologi

Spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita.


Karena gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering
ditandai dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada
paha dan tungkai. (www.emedicine.com). Spondilolisthesis degeneratif
memiliki frekuensi tersering karena secara umum populasi pastinya akan
mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4-L5. Sampai 5,8%
pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini. (Joong, 2004)

C. Etiopatofisiologi
Etiologi spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Konsep umum masih terfokus pada faktor predisposisi yakni konginetal dan
trauma. (Japardi, 2002)
Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan
lumbosakral (kecil bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang
kecil, sendi facet tidak kompeten, yang dapat bersifat kongenital (bawaan),
disebut sebagai spondilolisthesis displastik, atau mungkin terjadi selama
masa remaja karena patah tulang atau cedera pada salah satu tulang-tulang
belakang dari kegiatan olahraga terkait seperti angkat berat, berlari,
berenang, atau sepak bola yang menyebabkan seseorang memiliki
spondilolisthesis isthmic. (Joong. 2004)
Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis dikategorikan oleh sistem
klasifikasi Wiltse:
1. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sacrum bagian atas atau neral arch
L5. Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang
disertai dengan spina bifida.
2. Isthmic atau spondilolitik
Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis.
Tipe ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini
mempunyai tiga sub:
- Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena
fatique fracture dan paling sering ditemukan pada usia dibawah 50 tahun
- Elongated pars interarticularis: terjadi oleh karena mikro fraktur dan
tanpa pemisahan pars
- Acute pars fracture: terjadi setelah suatu trauma yang hebat.
3. Degenerative
Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada
level L4-L5 daripada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun. Pada
wanita terjadi empat kali lebih sering dibandingkan pria. Pada kulit hitam
terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan kulit putih.
4. Traumatic
Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses trauma pada
vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis.
Tipe ini terjadi sesudah periode satu minggu atau lebih dari trauma. Acute
pars fracture tidak termasuk tipe ini.
5. Pathologis
Jenis terakhir Spondilolisthesis, yang juga yang paling langka, disebut
spondilolisthesis patologis. Jenis Spondilolisthesis terjadi karena kerusakan
pada elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke
bagian lain dari tubuh dan menyebabkan tumor) atau penyakit tulang
metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget
tulang (dinamai Sir James Paget, seorang ahli bedah Inggris yang
menggambarkan gangguan kronis yang biasanya menghasilkan tulang
membesar dan cacat), tuberkulosis (penyakit menular mematikan yang
biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyebar ke bagian lain dari
tubuh), tumor sel raksasa, dan metastasis tumor.
Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori
Spondilolisthesis adalah penting untuk memahami serta keparahan dari
pergeseran yang terbagi menjadi 5 kelas sebelum pengobatan yang tepat
untuk kondisi tersebut dapat disarankan.(www.spondylolisthesis.org )

D. Manifestasi Klinis
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis
pergeseran dan usia pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi
klinis dapat berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan
pada panggul dan paha posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang
berkorelasi dengan tingkat pergeseran, meskipun mereka disebabkan
ketidakstabilan segmental. Tanda neurologis seringkali berkorelasi dengan
tingkat selip dan melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang
sesuai untuk pelampiasan akar saraf (biasanya S1). (Syaiful, 2008)

Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah:


1. Nyeri punggung bawah.
Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan
ekstensi tulang belakang lumbal.
2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan, atau
kelemahan pada kaki karena kompresi saraf. Kompresi parah dari
saraf dapat menyebabkan hilangnya kontrol dari usus atau fungsi
kandung kemih.
3. Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak dari
punggung bawah.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan
datang dengan nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah
di L4-5 dan kurang umum di L3-4. Gejala-gejala radikuler sering hasil dari
stenosis recessus lateral dari facet dan ligamen hipertrofi dan/ atau disk
herniasi. Akar saraf L5 dipengaruhi paling sering dan menyebabkan
kelemahan ekstensor halusis longus. Stenosis pusat dan klaudikasio
neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin tidak ada.
E. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan radiologis.
1. Gambaran klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan
gejala khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan
aktivitas. Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat
akan dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam
pergerakan tulang belakang merupakan ciri spesifik.
Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring
tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi
vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang
belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi
lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi
bersifat ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk
postur. Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan
terdapatnya spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan
rasa nyeri pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana
terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa
segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul.
Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja
pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi
ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang
belakang.
Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada
banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah
diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki
mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position). Defek dapat diketahui
pada posisi tersebut.
Fleksi tulang belakang seperti itu membuat massa otot paraspinal
lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa pasien, palpasi pada
defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin dilakukan.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis
biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal,
terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan
dengan lesi derajat tinggi.
3. Pemeriksaan radiologis
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal
dalam diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien
dengan spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri.
Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan
posisi lateral persendian lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan
radiologis.
Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada
dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars
interartikularis, karena defek lebih terbuka pada posisi tersebut
dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri.
Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan
atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan
defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik
dengan foto polos.
Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah
dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang
definitif akan terjadi.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan
baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain
dapat mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan
lunak (diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik
dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya dilakukan pada
pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi.
Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajatnya berdasarkan
persentase pergeseran vertebra dibandingkan dengan vertebra di
dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100%
5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas
dari tempatnya.( www.emedicine.medscape.com )

Gambar 1. Pengukuran Derajat Spondilolisthesis


Gambar 2. Spondilolisthesis Grade I

Gambar 3. Spondilolisthesis Traumatik Grade IV.

F. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondilolisthesis:
1. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot
view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat
memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto
lumbal dapat memberikan gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi
tidak selalu membuktikan adanya isolated spondilolistesis.
2. SPECT
SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT positif maka
lesi tersebut aktif secara metabolik.
3. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat
memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan
juga dapat membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih
serius.
4. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI
juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis
dadri kanalis sentralis.
5. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.
G. Penatalaksanaan
1. Non operative
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative.
Pengobatan non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa
defisit neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat
merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian
brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen
pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien. (Japardi, 2002)
Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga
termasuk:
 Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.
 Analgetik (misalnya NSAIDs).
 Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
 Bracing
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada
pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low
grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat
digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan.
Beberapa penelitian menunujukkan bahwa fisioterapi menggunakan
TENS mampu mengurangi nyeri dan spasme otot pada kondisi low back
pain akibat spondilolisthesis, serta terapi latihan William flexion mampu
meningkatkan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot penggerak trunk.
2. Operative
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu
aktifitas, yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan
untuk operasi.
Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan
serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip
menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi
untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala fusi
harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien
dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen
operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda maka fusi harus
dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila
dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda,
progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran
3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi
level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual
tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi
menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union)
rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat
dilakukan dengan beberapa approach:
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
(Japardi, 2002)
H. Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada
pasien yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk
menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root
injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan
melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari prosedur
pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk
terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi ialah (>50%). Pasien yang
berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi
serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini. (Japardi, 2002)

I. Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik.
Pasien dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative
kemungkinan akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk
terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30%
pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan
semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression)
atau sciatica hal ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi. (Japardi,
2002)

IV. FISIOTERAPI
Tujuan tindakan fisioterapi antara lain (Rahayu, 2011):
1. Jangka panjang: mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional
berjalan pasien.
2. Jangka pendek:
a. Mengurangi nyeri
b. Mengurangi spasme m.piriformis dan gastroknemius
c. Mengurangi kontraktur m.hamstring
d. Melepaskan jepitan pada nervus spinalis
Tindakan fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Short Wave Diathermy (SWD)
Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan
frekuensi tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas
dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan
efek-efek nontermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi
terdiri atas Short Wave Diathermy (SWD) dan Microwave Diathermy
(Rahayu, 2011).
SWD adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi
elektromagnetik dengan arus bolak-balik frekuensi tinggi. Federal
Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang
digunakan pada SWD, yaitu:
a. Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter, frekuensi
ini paling sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan.
b. Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
c. Frekuensi 40,68 MHz dengan panjang gelombang 7,5 meter, frekuensi
ini jarang digunakan.
Efek terapi yang ditimbulkan antara lain (Peng et.al., 2005):
a. Perubahan panas/ temperatur
1) Meningkatkan metabolisme sel-sel sekitar 13% setiap
kenaikan 1o C.
2) Meningkatkan vasomotion sphinter sehingga timbul
homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi
lokal.
b. Reaksi general
Mengaktifkan sistem termoregulator di hipotalamus
yang mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk
mempertahankan temperatur tubuh secara general.
c. Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat secara lebih
baik seperti jaringan kolagen kulit, tendon, ligamen dan
kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan.
d. Otot
1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot
2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi
nosisensorik, kecuali hiertoni akibat emosional dan
kerusakan sistem saraf pusat.
e. Saraf
1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf
2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan
ambang rangsang (theshold).
2. Elektro Stimulus
a. Acupunture
Menggunakan jarum untuk memproduksi rangsangan yang ringan tetapi
cara ini tidak terlalu efisien karena ditakutkan resiko komplikasi akibat
ketidaksterilan jarum yang digunakan sehingga menyebabkan infeksi.
b. Ultra Sound
Ultrasound berfungsi untuk efek menghangatkan.
c. Radiofrequency Lesioning
Dengan menggunakan impuls listrik untuk merangsang saraf
d. Spinal Endoscopy
Dengan memasukkan endoskopi pada kanalis spinalis untuk
memindahkan atau menghilangkan jaringan scar.
e. Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (PENS)
f. Elektro Thermal Disc Decompression
g. Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation ( TENS )
Menggunakan alat dengan tegangan kecil.
3. Traction
Helaan atau tarikan pada badan ( punggung ) untuk kontraksi otot.
4. Pemijatan atau massage
Dengan terapi ini bisa menghangatkan, merileksi otot belakang dan
melancarkan perdarahan.
5. William flexion exercise
William flexion exercise dikenalkan oleh dr Paul Williams pada tahun
1937 yang ditujukan untuk pasien kronik Low Back Pain (LBP) dengan
kondisi degenerasi korpus vertebra sampai pad adegenerasi diskus. Program
ini telah berkembang dan banyak ditujukan pada laki-laki di bawah usia 50-
an dan wanita di bawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal
berlebihan, penurunan segmen diskus antara segmen lumbal dan gejala-gejala
kronik LBP (Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).
William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri dari 7
macam gerakan yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi
fleksi lumbal). William flexion exercise telah menjadi dasar dalam
mananjemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk mengobati
beberapa problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis.
Program ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint
(kapsul ligament), otot serta degenerasi korpus dan diskus (Kassem, 2010)
Metode latihan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan memberikan
stabilisasi lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot
abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring sehingga terjadi peningkatan
fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back
(sacrospinal). Selain itu, latihan ini berguna untuk
mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot
postural fleksor dan ekstensor (Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).
Adapun prosedur pelatihannya adalah:
a. Latihan I
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kaki datar
diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua
tungkai mendorong ke bawah. kemudian pertahankan 5-10 detik.
Gerakan ini bertujuan untuk penguluran otot-otot ekstensor trunk,
mobilisasi sendi panggul dan penguatan otot perut (Fajrin, 2008; Rahayu,
2011).

Gambar 4. Teknik William flexion exercise I


b. Latihan II
Posisi awal sama dengan nomor 1. Pasien diminta untuk
mengkontraksikan otot perut dan memfleksikan kepala sehingga dagu
menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Kemudian tahan 5-10
detik. Ulangi sebanyak 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk penguluran
otot-otot ekstensor trunk, penguatan otot-otot perut, dan otot
sternocleidomastoideus (Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).

Gambar 5. Teknik William flexion exercise II


c. Latihan III
Posisi awal sama dengan nomer I. Pasien diminta untuk
memfleksikan salah satu lutut ke arah dada sejauh mungkin kemudian
kedua tangan mencapai paha belakang dan menariknya ke dada. Pada
waktu bersamaan fleksikan kepala hingga menyentuh dagu menyentuh
dada dan bahu lepas dari matras. Tahan selama 5 detik. Latihan diulangi
pada tungkai yang lain kemudian gerakan diulang sebanyak 10 kali.
Gerakan ini bertujuan untuk merapatkan lengkungan pada lumbal,
penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka
dan otot-otot hamstring (Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).

Gambar 6. Teknik William flexion exercise III


d. Latihan IV
Posisi awal sama dengan latihan I. Pasien diminta untuk melakukan
yang sama dengan nomer 3, tetai kedua lutut dalam posisi menekuk,
dinaikan ke atas dan ditarik dengan kedua tangan ke arah dada. Fleksikan
kepala dan naikan bahu dari matras, tahan 5-10 detik dan ulangi 10 kali.
Gerakan ini bertujuan untuk merapatkan lengkungan pada lumbal,
penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka
dan otot-otot hamstring(Fajrin, 2008; Rahayu, 2011).

Gambar 7. Teknik William flexion exercise IV


e. Latihan V
Gerakan berupa latihan dimulai dengan posisi awal seperi seorang
pelari cepat pada titik startnya yaitu satu tungkai dalam fleksi maksimal
pada sendi lutut dan paha, sedang tungkai yang lain dalam keadaan lurus di
belakang. Kemudian pada posisi tersebut tekan badan ke depan dan ke
bawah, tahan 5 hitungan dan rileks. Ulangi hingga 10 kali. Gerakan ini
bertujuan mengulur / streching otot-otot fleksor hip dan fascia latae (Fajrin,
2008; Rahayu, 2011).

Gambar 8. Teknik William flexion exercise V


f. Latihan VI
Posisi awal berdiri menempel dan membelakangi dinding dengan
tumit 10-15 cm di depan dinding, lumbal rata dengan dinding. Kemudian
satu tungkai melangkah ke depan tanpa merubah posisi lumbal pada dinding,
tahan 10 hitungan dan rileks. Ulangi hingga 10 kali. Bila latihan terlalu
berat, lamanya penahanan dapat dikurangi. Gerakan ini bertujuan untuk
penguatan otot quadriceps, otot perut dan ekstensor trunk (Fajrin, 2008;
Rahayu, 2011).

Gambar 9. Teknik William flexion exercise VI

6. Latihan Low Back Pain dapat dilakukan sebagai berikut :


1. Lying supine hamstring stretch

2. Knee to chest stretch

3. Pelvic Tilt

4. Sitting leg stretch


5. Hip and quadriceps stretch

1. Alat Bantu
1. Back corsets. Penggunaan penahan pada punggung sangat membantu
untuk mengatasi Low Back Pain yang dapat membungkus punggung
dan perut.
2. Tongkat Jalan
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A Graham dan Louis Solomon. 1994. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley ; Edisi Ketujuh, Alih Bahasa Edi Nugroho, Widya Medika.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih bahasa:
Setiawan, I. dan Santoso, A. EGC: Jakarta
Harsono dan Soeharso. 2005. Nyeri punggung Bawah (Harsono). Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hodges, P. W. Dan Richardson P. A. 2006. Inefficient Muscular Stabilization of the
Lumbar Spine Associated with Low Back Pain a Motor Control Evaluation
Of Transversus Abdominis; Diakses tanggal Januari 2018.
http://www.lowbackpain.com.au/rese arch-page4new.htm.
Irani,Z. Spondylolisthesis Imaging http://emedicine.medscape.com/article/396016-
overview#showall diakses pada 18 Desember 2013
Japardi, I. 2002. Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas Kedokteran,
Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara
Moore, K. L, Arthur F, Dalley II, Anne M. R. Agur. 2013. Anatomi Berorientasi
Klinis. Dialihbahasakan oleh Hartanto H. Jakarta: Erlangga.
Mujianto. 2013. Cara Cepat Mengatasi 10 Besar Kasus Muskuloskeletal dalam
Praktik Klinik Fisioterapi. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 80tahun 2013 Tentang
penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Fisioterapi. Lembar Negara.
Peng, B., et al. 2005. The Pathogenesis of Discogenic Low Back Pain. Vol 87: 62-67.
Journal of Bone and Joint Surgery.
Price, Sylvia A. Dan Lorraine M.Wilson. 2006. Herniasi Diskus Intervertebralis
Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta.
Prescher, Andreas. 2002. Anatomy and Pathology of the Aging Spine. Vol 23:181-
195. European Journal of Radiology.
Simanjuntak, charles A. 2008. Sudah Perlukah Dilakukan Skrining Skoliosis pada
Anak Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jambi: Dexa Medica.
http://www.spondylolisthesis.org diakses pada 18 Desember 2013
Suhadi, Irwan. 2006. Gambaran Klinis dan Radiologi kasus Low Back Pain Di
Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode 2002-2005. Karya Tulis Ilmiah:
Universitas Maranatha.
Sujanto. 2007. Sumber Fisis. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta.
Syaanin, Syaiful. 2008. Neurosurgery of Spondylolisthesis. Padang: RSUP. Dr. M.
Djamil/FK-UNAND Padang.
Vookshor A. 2007. Spondilolisthesis, spondilosis and spondylisis.
www.eMedicine.com diakses pada 18 Desember 2013.

Anda mungkin juga menyukai