Disusun Oleh:
Pembimbing:
Marzarendra Dhion Erlangga, dr., Sp.M
Mata merupakan salah satu indera manusia yang fungsinya sangat penting
sehingga kebutaan menyebabkan kualitas sumber daya manusia menurun.
Diperkirakan ada 285 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan di dunia,
dimana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta orang memiliki penurunan
penglihatan. Berdasarkan hasil survei angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 %.
Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan pertama dalam masalah kebutaan di
Asia dan nomor dua di dunia. Salah satu penyebab kebutaan adalah katarak (78 %
kebutaan disebabkan oleh katarak), di mana sekitar 1,5 % dari jumlah penduduk
Indonesia menderita katarak.1 Besarnya jumlah penderita katarak berbanding lurus
dengan jumlah penduduk usia lanjut. Saat ini diperkirakan 12 orang menjadi buta
setiap menit di dunia. Di Indonesia diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi
buta. Jumlah ini mungkin akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2020.
Kebutaan akibat katarak atau kekeruhan lensa merupakan masalah kesehatan global
yang harus segera diatasi karena kebutaan dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup dan hilangnya produktivitas serta membutuhkan biaya besar untuk
pengobatannya.2
Kebutaan yang terjadi akibat katarak akan terus meningkat karena penderita
tidak menyadarinya. Daya penglihatan terpengaruh setelah katarak berkembang
sekitar 3-5 tahun dan penderita baru menyadari penyakitnya setelah memasuki
stadium kritis. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai gejala katarak.
Oleh karena itu, sangat penting meningkatkan pengetahuan masyarakat dan kesadaran
akan kesehatan mata sehingga kekeruhan lensa dapat segera tertangani dan tidak
mengganggu aktivitas penderita.
1
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Sdr. DK
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Ngepung Rt 02 Rw 13 Alasombo Weru Sukoharjo Jawa
Tengah
Tanggal periksa : 14 Februari 2018
Nomor RM : 01409xxx
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Kedua pandangan mata kabur
2
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat infeksi mata sebelumnya : disangkal
Riwayat trauma kepala : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi obat dan atau makanan : disangkal
Riwayat Operasi mata sebelumnya : disangkal
Riwayat Pemakaian Kacamata : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1. Kebiasaan merokok disangkal
2. Kebiasaan konsumsi alkohol dan minuman keras disangkal
3. Kebiasaan konsumsi jamu (+) ± 2 kali dalam seminggu sejak SMP
karena ibu pasien berjualan jamu
4. Riwayat gizi : pasien makan sehari 2-3 kali dengan nasi putih, sayur dan
gorengan, minum air the dan air putih
3
pasien sebagai penjual jamu. Saat ini pasien berobat dengan menggunakan
fasilitas BPJS
G. Kesimpulan
Anamnesis
OD OS
Proses Katarak Katarak
Lokasi Lensa Lensa
Sebab Penggunaan steroid (jamu) Penggunaan Steroid (jamu)
Perjalanan Kronik progresif Kronik progresif
Komplikasi Pandangan mata kabur Pandangan mata kabur
B. Pemeriksaan subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh 2/60 2/60
a. pinhole 4/60 Tidak Maju
b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes normal Normal
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna normal Normal
4
C. Pemeriksaan obyektif
OD OS
1. Sekitar mata
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. jaringan parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata
dalam orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidak ada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak Ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
e. buftalmos Tidak ada Tidak ada
f. megalokornea Tidak ada Tidak ada
g. mikrokornea Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
5
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 10 mm 10 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Sawo matang
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. Sekitar glandula
lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan intraokular
a. palpasi Kesan normal Kesan normal
b. non-contact tonometry 16 mmHg 21 mmHg
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra
superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva palpebra
inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva forni
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) secret Tidak ada Tidak ada
6
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) pterigium Tidak ada Tidak ada
3.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
4.) secret Tidak ada Tidak ada
5.) injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada
6.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
7.) laserasi Tidak ada Tidak ada
8.) subconjunctival Tidak ada Tidak ada
bleeding
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sklera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 12 mm 12 mm
b. limbus Jernih Jernih
c. permukaan Rata, mengkilap Rata, mengkilap
d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. keratoskop (placido) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluoresin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Hitam Hitam
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak
15. Pupil
a. ukuran 3 mm 3 mm
b. bentuk Bulat Bulat
c. letak Sentral Sentral
d. reflek cahaya langsung Positif Positif
dan tidak langsung
e. reflek konvergensi Normal normal
16. Lensa
7
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Keruh tipis Keruh tipis
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test Positif Positif
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Reflek fundus cemerlang Cemerlang
OD OS
Visus Sentralis Jauh 2/60 2/60
Pinhole 4/60 Tidak Maju
Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal
Supercilia dalam batas normal dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam
dalam batas normal dalam batas normal
orbita
Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Tekanan Intra Okuler kesan normal kesan normal
Konjungtiva palpebra dalam batas normal dalam batas normal
Konjungtiva forniks dalam batas normal dalam batas normal
Konjungtiva bulbi dalam batas normal dalam batas normal
Sklera dalam batas normal dalam batas normal
Kornea dalam batas normal dalam batas normal
Kamera okuli anterior kesan normal kesan normal
Iris bulat, warna hitam bulat, warna hitam
diameter 3 mm, bulat, diameter 3 mm, bulat,
Pupil
sentral sentral
Keruh tipis, shadow test Keruh tipis, shadow test
Lensa
(+) (+)
Corpus vitreum Dalam batas normal Dalam batas normal
8
V. GAMBAR KLINIS
9
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Katarak komplikata (steroid induced)
2. Katarak Juvenile ODS
VII.DIAGNOSIS
(ODS) Katarak komplikata (Steroid induced)
VIII. TERAPI
Medikamentosa
- Catarlent eye drop satu tetes sebanyak tiga kali dalam sehari ODS
Non-medikamentosa :
- Gejala dapat dikurangi dengan kacamata, penerangan ditambah saat membaca,
kacamata anti glare, dan kaca pembesar.
Rencana pembedahan :
- (OS) Pro phacoemulsifikasi + IOL
IX. PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam bonam bonam
Ad sanam bonam bonam
Ad fungsionam bonam bonam
Ad kosmetikum bonam bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
Gambar 4. Anatomi Mata3
A. ANATOMI LENSA
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh
darah (avaskular), tembus pandang, dengan diameter 9 mm dan tebal 5 mm
yang memiliki fungsi untuk mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan
memberikan akomodasi.Ke arah depan, lensa berhubungan dengan cairan
bilik mata, sedangkan ke arah belakang berhubungan dengan badan kaca.
Lensa mata digantung oleh zunula zinii (ligamentum suspensorium lentis)
yang menghubungkannya dengan korpus siliaris. Permukaan posterior lensa
lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa diliputi oleh kapsula
lentisyang bekerja sebagai membran yang semipermeabel, yang akan
memperbolehkan air dan elektrolit untuk masuk.
Di sebelah depan lensa terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus
lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan pertambahan usia, serat-
serat lamelar subepitel terus diproduksisehingga lensa lama-kelamaan menjadi
12
lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dengan
persambungan lamela ini, sehingga dari ujung ke ujung berbentuk (Y) bila
dilihat dengan slitlamp. Bentuk (Y) tegak di anterior dan terbalik di posterior.
Lensa ditahan berada ditempatnya oleh ligamen yang dikenal sebagai zonula
zinii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliaris dan
menyisip ke dalam ekuator lensa.
Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein (kandungan tertinggi
diantara jaringan-jaringan tubuh yang lain), serta sedikit sekali mineral yang
biasa berada di dalam jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi
di lensa daripada kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation
terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serabut nyeri,
pembuluh darah, atau saraf di lensa (Gambar 5.).3,4,5
Gambar 5. Lensa4
B. FISIOLOGI LENSA
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris akan
berelaksasi, menegangkan serat zonula zinii, dan memperkecil diameter
anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil. Dalam posisi ini daya
13
refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel akan terfokus ke
retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris akan
berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik
kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan
daya biasnya. Kerjasama fisiologis antar zonula, korpus siliaris, dan lensa
untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi.
Pada orang dewasa lensa mata lebih padat dan bagian posterior lebih
konveks. Proses sklerosis bagian sentral lensa dimulai pada masa kanak-kanak
dan terus berlangsung perlahan-perlahan sampai dewasa dan setelah ini proses
bertambah cepat, dimana nukleus menjadi besar dan korteks bertambah tipis.
Pada orang tua lensa lebih besar, lebih gepeng, warnanya kekuningan, kurang
jernih, dan tampak seperti “gray reflek” atau “senil reflek”, yang sering
disangka sebagai katarak. Karena proses sklerosis ini, lensa menjadi kurang
elastis dan daya akomodasinya perlahan akan semakin berkurang. Keadaan ini
disebut presbiopia, dimana pada orang Indonesia dimulai kebanyakan pada
usia 40 tahun.4,6
C. PEMERIKSAAN LENSA
Pemeriksaan yang dilakukan pada penyakit yang melibatkan lensa
adalah pemeriksaan tajam penglihatan dan melihat lensa melalui slitlamp,
oftalmoskop, penlight, dan loop. Sebaiknya pemeriksaan lensa dilakukan
dengan keadaan pupil dilatasi.5
14
ion kalium dan keluar melalui pompa aktif Na-K ATPase, sedangkan kadar
kalsium tetap dipertahankan didalam oleh Ca-ATPase.
Metabolisme lensa melalui glikolisis anaerob (95%) dan HMP-shunt
(5%). Jalur HMP-shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak
dan ribosa, juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase.
Aldose reduktase adalah enzim yang mengubah glukosa menjadi sorbitol dan
sorbitol akan diubah menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase.4
15
Gambar 6. Gambaran Katarak5
16
III. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 90% kejadian katarak merupakan katarak senilis. Sebanyak
20-40% orang yang berusia 60 tahun ke atas mengalami penurunan ketajaman
penglihatan akibat kekeruhan lensa. Sementara itu, pada usia 80 tahun ke atas
insidensinya mencapai 60-80%. Prevalensi katarak kongenital pada negara
maju berkisar antara 2-4 setiap 10.000 kelahiran. Frekuensi katarak laki-laki
dan perempuan sama besar. Di seluruh dunia, setiap tahun ada 20 juta orang
mengalami kebutaan akibat katarak.7
17
Tabel 1. Faktor Risiko katarak
18
V. PATOFISIOLOGI
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya
transparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang
memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia
dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan
hambatan jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori juga menyebutkan
terjadi kondisi terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam
lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu
transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran
dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan
bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita
katarak.3,5
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori
hidrasi dan sklerosis:
1. Teori hidrasi di mana terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitel
lensa yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapat
dikeluarkan dari lensa. Air yang banyak ini akan
19
menimbulkan bertambahnya tekanan osmotik yang menyebabkan
kekeruhan lensa.
2. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana serabut
kolagen pada lensa terus bertambah, sehingga terjadi pemadatan
serabut kolagen di tengah lensa. Makin lama serabut tersebut semakin
bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus lensa.8
Perubahan yang terjadi pada lensa usia lanjut:
1. Kapsula
a. Menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak)
b. Mulai presbiopia
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
d. Terlihat bahan granular
2. Epitel semakin tipis
a. Sel epitel (sel germinatif padaekuator bertambah besar dan berat)
b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa
a. Serat iregular
b. Pada korteks jelas terlihat kerusakan serat sel
c. Brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet lama - kelamaan
merubah proteinnukleus lensa, di mana warna coklat protein
lensa nucleus pada penderita katarakmengandung lebih banyak
histidin dan triptofan dibandingkan lensa normal
d. Korteks tidak berwarna karena kadar asam askorbat tinggi dan
menghalangi foto oksidasi.
Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat kolagen muda.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi.
Perubahan pada serabut halus multipel yang memanjang dari badan siliar ke
sekitar daerah di luar lensa akan menyebabkan penglihatan mengalami distorsi
(Gambar 8). Perubahan protein lensa menyebabkan koagulasi, sehingga
mengakibatkan pandangan dengan penghambatan jalannya cahaya ke retina.5
20
Gambar 8. Perbandingan Penglihatan Normal (kiri) dan Penglihatan Katarak
(kanan)5
VI. KLASIFIKASI
Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan usia, morfologi, maturitas, dan
penyebabnya.9
A. Usia
1. Katarak kongenital (katarak yang muncul pada usia < 1 tahun)
Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi.
Digolongkan menjadi katarak kapsulolentikular (kapsular/polaris) dan
katarak lentikular (korteks/nukleus). Untuk mengetahui penyebab
katarak ini, perlu dilakukan pemeriksaan riwayat prenatal infeksi pada
ibu seperti rubella pada kehamilan trimester pertama dan pemakaian
obat selama kehamilan.
2. Katarak juvenil (katarak yang muncul setelah > 1 tahun)
Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai
terbentuknya kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Biasanya
merupakan kelanjutan dari katarak kongenital.
3. Katarak senil (katarak yang muncul setelah > 50 tahun)
Katarak senilis merupakan tipe katarak didapat yang timbul karena
proses degeneratif dan umum terjadi pada pasien di atas 50 tahun. Pada
usia 70 tahun, lebih dair 90% individu mengalami katarak senilis.
21
Umumnya mengenai kedua mata dengan salah satu mata terkena lebih
dulu.3 Komposisi lensa sebagian besar berupa air dan protein yaitu
kristalin. Kristalin α dan β adalah chaperon, yang merupakan heat
shock protein. Heat shock protein berguna untuk menjaga keadaan
normal dan mempertahankan molekul protein agar tetap inaktif
sehingga lensa tetap jernih. Lensa orang dewasa tidak dapat lagi
mensintesis kristalin untuk menggantikan kristalin yang rusak,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan lensa.6,8
B. Morfologi
1. Katarak Kapsular
2. Katarak Subkapsular
3. Katarak Kortikal
4. Katarak Supranuklear
5. Katarak Nuklear
6. Katarak Polar
C. Maturitas
1. Katarak Insipien
Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan
adanya area yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari
ekuator ke arah sentral (kuneiform) atau dapat dimulai dari sentral
(kupuliform) (Gambar 9).3,7
2. Katarak Immatur
Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian lensa.
Volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik,
bahan lensa yang degeneratif, dan dapat terjadi glaukoma sekunder
(Gambar 9).3,7
3. Katarak Matur
Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa.
Deposisi ion kalsium dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada
22
derajat maturasi ini. Bila terus berlanjut, dapat menyebabkan
kalsifikasi lensa (Gambar 9).3,7
4. Katarak Hipermatur
Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah
mencair. Cairan keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi
mengkerut (Gambar 9).3,7
5. Katarak Morgagni
Merupakan kelanjutan dari katarak hipermatur, di mana nukleus lensa
menggenang bebas di dalam kantung kapsul. Pengerutan dapat
berjalan terus dan menyebabkan hubungan dengan zonula Zinii
menjadi longgar.3,7
A B
C D
23
Tabel 2. Perbedaan stadium katarak9
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Normal Bertambah Normal Berkurang
lensa (air masuk) (air keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka/ tertutup
mata lisis
Shadow - + - Pseudops
test
Penyulit - Glaukoma - Uveitis
fakomorfik fakotoksik,
glaukoma
fakolitik
D. Penyebab
1. Katarak komplikata
Penyakit intraokular atau ekstraokular seperti infeksi mata, glaukoma,
Diabetes Mellitus, Hipoparatiroid, penyakit dengan penggunaan
steroid jangka panjang.
a. Katarak steroid induced
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan terapi
steroid meningkatkan risiko terjadinya katarak. Insidensinya
bervariasi dari 14% hingga 51%. Terdapat banyak hipotesis yang
menjelaskan mengenai pembentukan katarak oleh steroid.
Beberapa literatur menyatakan bahwa steroid masuk ke dalam
serabut sel pada crystalline (sel pembentuk lensa) yang kemudian
akan bereaksi dengan kelompok asam amino spesifik di dalam
crystalline. Akan terjadi perubahan protein bebas kelompok
sulfhydryl dari ikatan disulfida yang memicu agregasi protein dan
opasifikasi lensa. Posterior Subcapsular Cataract (PSC) akibat
penggunaan steroid berhubungan dengan aktivitas glukokortikoid,
diperkirakan bahwa reseptor glukokortikoid mengalami aktivasi
24
sehingga terjadi perubahan transkripsi gen spesifik. Aktivasi
reseptor glukokortikoid berhubungan dengan proliferasi sel,
mensupresi proses diferensiasi, menurunkan kemampuan
apoptosis, perubahan transpor antar-membran, dan pengikatan
aktivitas oksigen reaktif. Hal tersebut memicu terjadinya migrasi
sel epitelial lensa.10
b. Katarak diabetes
Katarak diabetes merupakan katarak yang terjadi akibat adanya
penyakit Diabetes Mellitus. Katarak ini dapat terjadi dalam tiga
bentuk yaitu;
1) Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia
nyata. Pada lensa akan terlihat kekeruhan berupa garis akibat
kapsul lensa berkerut. Bila terjadi dehidrasi lama akan
terbentuk kekeruhan lensa. Kekeruhan akan kembali normal
bila penderita terrehidrasi dan kadar glukosa kembali normal.
2) Pasien diabees juvenil dan tua yang tidak terkontrol. Katarak
berbentuk snow flake atau bentuk piring subkapsular.
3) Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara
histologis dan kimia sama dengan gambaran katarak non-
diabetik.
2. Katarak sekunder
Katarak muncul beberapa bulan setelah ekstraksi katarak
ekstrakapsular atau setelah phacoemulsifikasi akibat proliferasi sel-sel
radang yang membentuk suatu jaringan fibrosis.
3. Katarak trauma
Katarak yang disebabkan oleh adanya ruda paksa atau trauma tumpul
maupun tajam. Biasanya terjadi monokular atau terjadi katarak pada
satu mata.
25
VII. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak
terjadi secara progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan
penglihatan bervariasitergantung pada jenis dari katarak yang diderita
pasien.3,7
Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut:
a. Penurunan visus
b. Silau
c. Perubahan miopik
d. Diplopia monokular
e. Halo berwarna
f. Bintik hitam di depan mata
Tanda pada penderita katarak adalah sebagai berikut:3
a. Pemeriksaan visus berkisar antara 6/9 sampai hanya persepsi
cahaya
b. Pemeriksaan iluminasi oblik
c. Shadow test positif pada katarak imatur
d. Oftalmoskopi direk menunjukkan gejala katarak
e. Pemeriksaan slitlamp menunjukkan gejala katarak
26
VIII. DIAGNOSA
Diagnosa katarak dapat ditegakkan dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium pre-operasi dilakukan untuk
mendeteksi adanya penyakit-penyakit yang menyertai, seperti diabetes
mellitus, hipertensi, dan kelainan jantung.5,8
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk
mengetahui kemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak
subkapsuler posterior dapat membaik dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan
adneksa okuler dan struktur intraokuler dapat memberikan petunjuk terhadap
penyakit pasien dan prognosis penglihatannya.
Pemeriksaan slitlamp sebaiknya tidak hanya difokuskan untuk
evaluasi opasitas lensa tetapi dapat juga struktur okuler lain, misalnya
konjungtiva, kornea, iris, dan bilik mata depan. Ketebalan kornea harus
diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum
dan sesudah pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat
zonular juga dapat diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi
adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak hipermatur.
Pemeriksaan shadow test dilakukan untuk menentukan stadium pada katarak
senilis. Selain itu, pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi
dari intergritas bagian belakang mata harus dilakukan.8
X. TATALAKSANA
Terapi untuk katarak yang masih tipis dapat dibantu dengan
menggunakan kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau
27
kacamata yang dapat meredamkan cahaya. Operasi katarak perlu dilakukan
jika kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam penglihatan, sehingga
mengganggu pekerjaan sehari-hari. Operasi katarak dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan jika katarak terjadi bersamaan dengan penyakit mata lainnya,
seperti uveitis, glaukoma, dan/atau retinopati diabetikum. Selain itu, operasi
harus dilakukan jika hasil yang didapat setelah operasi jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan risiko operasi yang mungkin terjadi.
Pembedahan lensa dengan katarak dilakukan bila mengganggu kehidupan
sosial atau atas indikasi medis lainnya.3
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi
visus, medis, dan kosmetik.5
a. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda
pada tiap individu, tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh
katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
b. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan
kekeruhan pada lensa matanya, namun beberapa indikasi medis
dilakukan operasi katarak seperti glaukoma imbas lensa (lens-induced
glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina
misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
c. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur
meminta ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan untuk
mengembalikan visus) untuk memperoleh pupil yang hitam.
Persiapan pre-operasi katarak meliputi
a. Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit semalam sebelum operasi
b. Pemberian informed consent
c. Bulu mata dipotong dan mata dibersihkan dengan larutan Povidone-
Iodine 5%
d. Pemberian tetes antibiotik setiap 6 jam
e. Pemberian sedatif ringan (diazepam5 mg) pada malam harinya bila
pasien cemas
28
f. Pada hari operasi, pasien dipuasakan
g. Pupil dilebarkan dengan midriatikum tetes sekitar 2 jam sebelum
operasi. Tetesan diberikan setiap 15 menit
h. Obat-obat yang diperlukan dapat diberikan, misalnya obat asma,
antihipertensi, atau anti glaukoma. Akan tetapi, untuk pemberian obat
antidiabetik sebaiknya tidak diberikan pada hari operasi untuk
mencegah hipoglikemia dan obat antidiabetik dapat diteruskan sehari
setelah operasi.
Pemberian tindakan anestesi pada pasien8
a. Anestesi umum
Digunakan pada orang dengan kecemasan yang tinggi, tuna rungu, atau
retardasi mental, juga diindikasikan pada pasien dengan penyakit
Parkinson, dan reumatik yang tidak mampu berbaring tanpa rasa nyeri.
b. Anestesi lokal :
i. Peribulbar block
Paling sering digunakan. Diberikan melalui kulit atau konjungtiva
dengan jarum 25 mm. Efek : analgesia, akinesia, midriasis,
peningkatan tekanan intra okuler, serta hilangnya refleks oculo-
cardiac (stimulasi pada nervus vagus yang diakibatkan stimulus
rasa sakit pada bola mata, yang mengakibatkan bradikardia dan bisa
menyebabkan cardiac arrest)
Komplikasi :
a) Perdarahan retrobulbar
b) Rusaknya saraf optik
c) Perforasi bola mata
d) Injeksi nervus opticus
e) Infeksi
ii. Subtenon Block
29
Memasukkan kanula tumpul melalui insisi pada konjungtiva dan
kapsul tenon 5 mm dari limbusdan sepanjang area subtenon.
Anestesi diinjeksikan diantara ekuator bola mata.
iii. Topical-intracameral anesthesia
Anestesi permukaan dengan obat tetes atau gel (proxymetacaine
0.5%, lidocaine 2%) yang dapat ditambah dengan injeksi
intrakamera atau infus larutan lidokain 1%, biasanya dilakukan
selama hidrodiseksi.
Berikut ini akan dideskripsikan secara umum tentang prosedur operasi pada
ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu :
a. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama
kapsul. Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake
dan dipindahkan dari mata melalui insisi korneal superior yang lebar.
Sekarang metode ini hanya dilakukan pada keadaan subluksasi dan
dislokasi lensa. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder dan
merupakan tindakan pembedahan yang popular untuk waktu yang sangat
lama.ICCE tidak boleh dilakukan atau merupakan kontraindikasi pada
pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen
hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini
adalah astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.3,5,9
30
Gambar 10. Teknik ICCE5
31
Gambar 11. Teknik ECCE8
c. Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan
memindahkan kristal lensa. Pada teknik ini hanya diperlukan irisan yang
sangat kecil (sekitar 2-3mm) di kornea. Getaran ultrasonik akan digunakan
untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin PHACO akan menyedot
massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah IOL yang dapat
32
dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Karena insisi yang kecil maka
tidak diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan
pasien dapat dengan cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Teknik ini
bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak
senilis.3,5,8
33
Tabel 4. Perbandingan keuntungan dan kerugian teknik bedah katarak
Jenis teknik Keuntungan Kerugian
bedah katarak
Extra capsular Insisi kecil Kekeruhan pada kapsul
cataract Tidak ada komplikasi vitreus posterior
extraction (ECCE) Kejadian endophtalmodonesis Dapat terjadi perlengketan
lebih sedikit iris dengan kapsul
Edema sistoid makula lebih
jarang
Trauma terhadap endotelium
kornea lebih sedikit
Retinal detachment lebih
sedikit
Lebih mudah dilakukan
Intra capsular Semua komponen lensa Insisi lebih besar
cataract diangkat Edema sistoid pada makula
extraction (ICCE) Komplikasi pada vitreus
Sulit pada usia < 40 tahun
Endopthalmitis
Fakoemulsifikasi Insisi paling kecil Memerlukan dilatasi pupil
Astigmatisma jarang terjadi yang baik
Pendarahan lebih sedikit Pelebaran luka jika ada
Teknik paling cepat IOL
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi operasi dapat berupa komplikasi preoperatif, intraoperatif,
postoperatif awal, postoperatif lanjut, dan komplikasi yang berkaitan dengan
lensa intra okular.8
A. Komplikasi preoperatif
1. Ansietas; beberapa pasien dapat mengalami kecemasan (ansietas)
akibat ketakutan akan operasi. Agen anxiolytic seperti diazepam 2-5
mg dapat memperbaiki keadaan.
2. Nausea dan gastritis; akibat efek obat preoperasi seperti
asetazolamid dan/atau gliserol. Kasus ini dapat ditangani dengan
pemberian antasida oral untuk mengurangi gejala.
34
3. Konjungtivitis iritatif atau alergi; disebabkan oleh tetes antibiotik
topikal preoperatif, ditangani dengan penundaan operasi selama dua
hari.
4. Abrasi kornea; akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata
dengan menggunakan tonometer Schiotz. Penanganannya berupa
pemberian salep antibiotik selama satu hari dan diperlukan
penundaan operasi selama dua hari.
B. Komplikasi intraoperatif
1. Laserasi m. rectus superior; dapat terjadi selama proses penjahitan.
2. Perdarahan hebat; dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap
atau selama insisi ke bilik mata depan.
3. Cedera pada kornea (robekan membrane Descement), iris, dan
lensa; dapat terjadi akibat instrumen operasi yang tajam seperti
keratom.
4. Cedera iris dan iridodialisis (terlepasnya iris dari akarnya)
5. Lepas atau hilangnya vitreous; merupakan komplikasi serius yang
dapat terjadi akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture)
selama teknik ECCE.
C. Komplikasi postoperatif awal
Komplikasi yang dapat terjadi segera setelah operasi termasuk hifema,
prolaps iris, keratopati striata, uveitis anterior postoperatif, dan
endoftalmitis bakterial.
D. Komplikasi postoperatif lanjut
Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic postoperative
endophtalmitis, Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK),ablasio
retina, dan katarak sekunder merupakan komplikasi yang dapat terjadi
setelah beberapa waktu paska operasi.
E. Komplikasi yang berkaitan dengan IOL
35
Implantasi IOL dapat menyebabkan komplikasi seperti uveitis-
glaucoma-hyphema syndrome (UGH syndrome), malposisi IOL, dan
sindrom lensa toksik (toxic lens syndrome).
XIII. PROGNOSIS
Tindakan pembedahan secara definitif pada katarak senilis dapat
memperbaiki ketajaman penglihatan pada lebih dari 90% kasus. Sedangkan
prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan
tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis. Adanya ambliopia dan
kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat
pencapaian pengelihatan pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk
perbaikan ketajaman penglihatan setelah operasi paling buruk pada katarak
kongenital unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral
inkomplit yang progresif lambat.9
36
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi, pasien didiagnosa
dengan ODS katarak komplikata (steroid-induced). Pada kasus ini diberikan
penatalaksanaan medikamentosa Catarlent eye drop sebanyak 3 x 1 tetes pada
mata kanan dan kiri setiap hari. Penatalaksanaan non-medikamentosa yaitu
edukasi kepada pasien tentang penyakit dan pengobatannya serta rujuk ke dokter
spesalis mata untuk mendapatkan pemeriksaan dan penatalaksanaan lebih lanjut.
Pasien juga dianjurkan untuk melakukan tindakan pembedahan phacoemulsifikasi
+ IOL.
B. SARAN
1. Edukasi pasien bahwa gejala dapat dikurangi dengan kacamata,penerangan
ditambah saat membaca, kacamata antiglare, dan kaca pembesar.
2. Edukasi pasien bahwa katarak perlu diangkat bila telah mengganggu
kehidupan sehari-hari, seperti gangguan membaca maupun mengendarai
kendaraan.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
2. Arimbi, A.T. Faktor-faktor yang berhubungan dengan katarak degeneratif di
RSUD Budhi Asih. 2014
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
4. Scanlon VC, Sanders T. Indra. In. : Komalasari R, Subekti NB, Hani A, editors.
Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2007.
5. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000.
6. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia :
W.B. Saunders Company ; 2006.
7. Ocampo VVD. Cataract, Senile : Differential Diagnosis and Workup. 2009.
Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview, tanggal
19 Juni 2017.
8. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment:2010. BR J
Ophthalmol. 2011.
9. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 7th ed.
China: Elsevier : 2011. (e-book)
10. Olonan, LR, Catherine AGP., Mario MY. Steroid induced cataract and glaucoma
in pediatric patients with nephrotic syndrome. Philipp J Ophthalmol; 2009;
34(2): 59-62
38