Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN PENYAKIT-PENYAKIT SISTEMIK

Disusun Oleh :
Hellena Hildegard G991902028
Windy Yuniarti G99172160
Abdul Fatah Rohadi G99181001
Indah Sagistaisna G991902029
Lestari Eliza G99172102
M Yusuf Habibi G991906021

Pembimbing :
drg. Christiane, Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN


MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Makalah dengan judul:

Hubungan Glositis dengan Penyakit-Penyakit Sistemik

Hari, Tanggal : , Juni 2019

Oleh:

Hellena Hildegard G991902028


Windy Yuniarti G99172160
Abdul Fatah Rohadi G99181001
Indah Sagistaisna G991902029
Lestari Eliza G99172102
M Yusuf Habibi G991906021

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Makalah

drg. Christianie, Sp.Perio


NIP. 19660228199203 2 006
BAB I
PENDAHULUAN

Glositis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang
ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang halus dan mengkilat. Glositis bisa terjadi akut atau kronis.
Penyakit ini dapat mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan
cerminan dari penyakit tubuh yang gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini dapat
menyerang pada semua tingkatan usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki-
laki dibandingkan pada wanita.
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun sistemik.
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma (luka bakar)
c. Iritan primer (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen berlebihan)
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. Penyakit kulit (lichen planus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)
d. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
e. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
Pada artikel ini akan dibahas mengenai hubungan glositis dengan beberapa
penyakit sistemik antara lain, infeksi HIV, TB, Anemia defisiensi besi, Anemia
pernisiosa, Diabetes mellitus dan Sjorgen syndrome.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Glositis dengan HIV


Etiologi sistemik dari glositis salah satunya adalah infeksi HIV meskipun
bukan merupakan etiologi paling sering. Infeksi HIV dapat menyebabkan
glositis melalui beberapa cara yaitu, infeksi oportunistik seperti kandidiasis
(Median rhomboid glossitis [MRG]) dan virus herpes simpleks (Herpetic
geometric glossitis) (Stephen et.al, 2019). Namun glositis adalah salah satu
manifestasi kelainan oral yang cukup sering dijumpai pada pasien AIDS (De
Faria et.al, 2005).
1. Oral Kandidiasis
Kandidiasis oral, biasa disebut 'oral trush’, adalah infeksi jamur umum
yang sering menyerang pasien imunokompeten dan immunocompromised.
Ini terkait dengan berbagai kondisi lokal dan sistemik (penggunaan
imunosupresi, infeksi HIV, kemoterapi, diabetes yang tidak terkontrol,
xerostomia, dan stomatitis pada penggunaan gigi tiruan). Kandidiasis oral
dapat menyebabkan rasa sakit saat menelan, pembengkakan lokal,
gangguan atau hilangnya fungsi pengecapan. Kandidiasis oral paling
sering disebabkan oleh jamur Candida albicans, meskipun spesies non-
albicans juga telah dilaporkan. Karena Candida albicans adalah komponen
normal dari flora oral, kandidiasis oral termasuk salah satu 'super-infeksi'
yang dihasilkan dari pertumbuhan berlebih dari organisme jamur.
Kandidiasis oral muncul dalam bentuk akut dan kronis dan terjadi sebagai
akibat dari perubahan flora oral (Cohen-Brown, 2010).
Pasien dengan kekebalan tubuh yang lemah tidak memiliki kekebalan
sistemik dan lokal untuk mencegah konversi jamur dari flora yang tidak
berbahaya menjadi patogen oportunistik atau invasif. Pada pasien
seropositif HIV, kejadian infeksi oportunistik kandida dapat meningkat
dan pasien dengan kandidiasis oral asimptomatik dapat menunjukkan
konversi cepat menjadi infeksi simtomatik. Secara historis, kandidiasis
oral pra-HAART hadir pada 90% pasien seropositif HIV. Ini adalah salah
satu infeksi jamur yang paling umum diamati dalam manifestasi awal
infeksi HIV (Cohen-Brown, 2010).
Kandidiasis oral dapat menjadi indikator infeksi HIV dini dan dapat
memprediksi peningkatan imunodefisiensi. Tanpa pengobatan yang tepat,
kandidiasis dapat menyebar ke kerongkongan yang mengakibatkan
kandidiasis esofagus invasif, dan akhirnya menjadi AIDS (Cohen-Brown,
2010).
Kandidiasis oral biasanya diikuti dengan penurunan jumlah CD4 di
bawah 500 / μl. Kehadiran kandidiasis oral pada pasien seropositif HIV
dapat menjadi penanda klinis yang berguna untuk viral load yang tinggi
dan persentase CD4 yang rendah. Telah disarankan bahwa koinfeksi
dengan HIV dan kandida dapat mempengaruhi tingkat keparahan dan laju
pengembangan penyakit HIV pada orang dengan HIV seropositif.
Beberapa penulis berpendapat bahwa viral load HIV lebih dari 10.000
adalah faktor paling prediktif dalam pengembangan kandidiasis oral
(Cohen-Brown, 2010).
Varian klinis kandidiasis oral terjadi dengan frekuensi yang bervariasi
pada pasien dengan AIDS dan pada orang yang terinfeksi HIV.
Kandidiasis eritematosa adalah yang varian klinis yang paling sering;
diikuti pseudomembran yang hampir sama seringnya dengan tipe
eritematosa. MRG adalah lesi oral lain yang pada awalnya dianggap
sebagai anomali perkembangan yang terkait dengan persistensi struktur
lidah garis tengah embrionik yang dikenal sebagai tuberculum impar. Lesi
ini sekarang diyakini terkait dengan infeksi kronis oleh Candida albicans.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah laporan telah menunjukkan
korelasi positif antara Candida albicans dan lesi MRG dengan mengisolasi
ragi Candida albicans dari permukaan lesi oral atau dengan
mengidentifikasi hifa kandida dalam biopsi dari pasien dengan MRG.
MRG adalah kandidiasis eritematosa yang terletak di dorsum lidah, yang
mendukung pandangan bahwa lesi ini akan dianggap sebagai varian dari
kandidiasis oral (Kolokotronis, 1994).
Gambar 1. Median Rhomboid Glossitis

a. Terapi
Pada pasien HIV dengan Kandidiasis oral selain mendapat terapi
antiviral, pasien juga diobati dengan obat antijamur sistemik atau
topikal. Modalitas terapi yang berbeda lebih berhasil dalam mengobati
manifestasi klinis spesifik penyakit ini. Untuk menentukan mana yang
digunakan, baik presentasi klinis dan tingkat infeksi harus
diperhitungkan, karena agen yang berbeda mungkin memiliki
aktivitas preferensial untuk setiap penampilan klinis. Terapi topikal
diindikasikan untuk penyakit pada derajat ringan hingga sedang dan
infeksi kandida superfisial. Terapi sistemik akan sesuai dan efektif
untuk pasien dengan kandidiasis sedang hingga berat dan / atau infeksi
jamur invasif (Cohen-Brown, 2010).
Rekomendasi terkini dari pedoman Infectious Diseases Society of
America (IDSA) 2009 tentang pengobatan kandidiasis orofaringeal
pada orang dewasa dipilih agen topikal sebagai obat pilihan untuk
terapi awal pada pasien dengan jumlah CD4 lebih besar dari 200 sel /
mm3. Saat menggunakan agen topikal, tingkat konsentrasi obat dan
waktu kontak harus dipertimbangkan untuk memungkinkan obat
menembus biofilm oral. Kemanjuran obat antijamur tergantung pada
banyak kondisi oral dan sistemik. Faktor yang ada bersamaan seperti
xerostomia, hipofungsi kelenjar ludah, periodontitis, viral load HIV
yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah dapat menurunkan
kemanjuran pengobatan dan dapat mempengaruhi hasil klinis. Terapi
sistemik dengan flukonazol, ketokonazol, atau itrakonazol dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan awal penyakit kandidiasis
orofaringeal derajat sedang sampai berat. Untuk penyakit yang
resisten flukonazol, larutan itrakonazol atau suspensi posaconazole,
vorikonazol atau suspensi oral amfoterisin B dapat diberikan (Cohen-
Brown, 2010).
2. Infeksi Virus Herpes Simpleks
Virus herpes simpleks (HSV) bertanggung jawab atas infeksi primer
dan infeksi berulang pada mukosa mulut. Infeksi ini didapat pada masa
kanak-kanak dan setelah lesi pustular awal. Virus tetap tidak aktif, tetapi
pada tahap imunosupresi seperti pada pasien HIV, virus dapat aktif
kembali dan dapat menyebabkan berbagai manifestasi (Bajpai & Pazare,
2010).
Salah satu gejala yang dapat dijumpai adalah glossitis geometris, juga
disebut herpetic geometric glossitis (Frank et.al, 2012), merupakan istilah
yang digunakan oleh beberapa orang untuk merujuk pada lesi kronis yang
terkait dengan infeksi virus herpes simpleks (HSV) tipe I (Cohen et.al,
1995), di mana terdapat celah yang dalam di garis tengah lidah, yang
menyebabkan banyak cabang (Neville, 2002). Lesi ini biasanya sangat
menyakitkan, dan mungkin ada erosi di kedalaman celah. Lesi rekahan
serupa yang tidak berhubungan dengan HSV, seperti yang mungkin terjadi
pada fissured tongue yang penyebab terbanyaknya adalah malnutrisi, tidak
cenderung menyakitkan (Cohen et.al, 1995). Namun, hubungan antara
herpes simpleks dan geometris glossitis masih diperdebatkan karena
kurangnya teknik standar emas untuk diagnosis lesi herpes intraoral, dan
tingginya prevalensi pelepasan virus asimptomatik pada individu yang
mengalami gangguan kekebalan (Neville, 2002).

Gambar 2. Herpetic geometric glossitis

a. Terapi
Analog nukleosida asiklovir, valasiklovir, dan famciclovir
menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2 melalui penghambatan
spesifik dari timidin kinase yang dikodekan oleh virus. Lebih dari 2
dekade pengalaman dengan asiklovir (sekarang tersedia dalam
formulasi generik) telah menunjukkan bahwa senyawa ini aman dan
efektif untuk pengobatan reaktivasi HSV. Semua memiliki
bioavailabilitas oral yang baik; terapi topikal menawarkan sedikit
manfaat klinis dan tidak dianjurkan. Penelitian di antara orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan bahwa obat-obatan ini ditoleransi
dengan baik dalam populasi ini dan, yang penting, tidak menunjukkan
interaksi dengan obat antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan
HIV. Terapi antivirus memberikan manfaat klinis baik sebagai
pengobatan episodik pasien simtomatik dan sebagai terapi penekan
untuk pencegahan penyakit berulang (CDC, 2006).
Terapi supresif efektif di antara orang dengan infeksi HIV-1, dan,
karena reaktivasi HSV yang simtomatik dan asimptomatik adalah
umum di antara orang dengan HIV-1, terapi antivirus supresif jangka
panjang terhadap HSV harus dipertimbangkan untuk orang koinfeksi
dengan HSV dan HIV- 1. Perawatan dosis tinggi (misalnya, asiklovir
800 mg 3 kali per hari, dan dosis bioequivalen serupa untuk
famciclovir dan valacyclovir) dapat digunakan untuk mereka yang
sering mengalami wabah HSV walaupun telah menerima terapi
supresif standar (Strick, 2006).
B. Glositis dengan tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) dengan berbagai manifestasi klinis.
Dalam bentuk primer, spektrum klinis berkisar dari keterlibatan paru-paru
hingga kejadian yang sangat jarang di rongga mulut. Pada TB sekunder, lesi
oral disertai dengan lesi di paru-paru, kelenjar getah bening, atau sistem organ
tubuh lainnya. Meskipun lesi TB pada rongga mulut jarang terjadi terutama
pada bentuk primer, apabila terjadi dapat menimbulkan masalah diagnostik
(Sumanth et al., 2015).
Kasus TB pada lidah pertama kali ditemukan pada 1761 oleh Morgagni.
Rongga mulut dapat menjadi lokasi target untuk lesi TB sekunder akibat TB
paru terutama dari autoinokulasi oleh sputum yang terinfeksi. Penyebaran
hematogen dan limfatik dari TB ekstra paru juga dapat menyebabkan lesi oral
sekunder (Vishwakarma et al., 2006).
Lidah adalah struktur yang paling sering terkena di rongga mulut. TB lidah
lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Tiga bentuk tuberkulosis oral
telah dijelaskan: miliaria akut, ulseratif kronis, dan lupus vulgaris. Jenis
ulserasi kronis melibatkan lidah di dekat apeks, berupa ulkus dangkal, lonjong,
memiliki margin yang ireguler dan menyakitkan karena ujung saraf yang utuh
(Koksal et al., 2000). Lesi tuberkulosis lain — glositis difus, fisura, atau
tuberkuloma — juga telah dilaporkan tetapi sangat jarang (Arinç et al., 2003).
Diagnosis banding lesi tuberkulosis lidah termasuk keganasan, penyakit
granulomatosa, sifilis, ulkus traumatis dan aphthous, dan infeksi mikotik.
Untuk menunjukkan spesifisitas lokasi munculnya TB di rongga mulut, dari
total 29 kasus yang ditinjau Sumanth et al. (2015), sebanyak 12 (41,3%) adalah
lesi TB oral primer dan dalam 7 kasus (58,3%) melibatkan lidah sebagai situs
primer. Situs lain di rongga mulut dengan lesi TB adalah dasar mulut, alveoli,
gingiva, mukosa palatal, daerah vestibular (Sumanth et al., 2015).
Dalam ulasan 15 kasus TB oral yang didiagnosis secara histologis, Eng et
al. mengungkapkan bahwa dasar lidah dan gingiva sebagai situs yang paling
sering terlibat (Eng et al., 2006). Soni et al. dalam ulasan kerja mereka
menunjukkan batas lateral lidah sebagai lokasi yang paling umum ditemukan
lesi (Soni et al., 2008). Juga, beberapa penulis telah menetapkan bahwa bibir
dan uvula sebagai lokasi yang paling tidak terpengaruh dalam rongga mulut
(Kumar et al., 2011). Lokasi pada lidah yang sering ditemukan lesi TB dapat
dilihat di Gambar 1.
Menurut Sumanth et al. (2015), sebanyak 21 (84%) dari 25 (17 artikel) kasus
lesi TB sekunder rongga mulut menunjukkan keterlibatan lidah. Secara klasik,
ulkus TB lidah terjadi pada apeks, batas lateral, dorsum, menuju garis tengah
dan radix lingua. Pembersihan mukosa mulut secara terus-menerus dengan
saliva dan adanya flora normal yang bervariasi selain adanya antibodi
submukosa memberikan resistensi normal pada jaringan oral dan membuat TB
oral jarang terjadi (Sezer et al., 2004). Selain itu, lidah tidak mengandung
jaringan limfoid yang signifikan dimana organisme M.Tb memiliki afinitas
yang besar. Semua faktor ini, relatif menghambat pertumbuhan mikobakteri di
mukosa mulut pada umumnya dan lidah pada khususnya. Meskipun demikian
lidah lebih sering terkena daripada jaringan mulut lainnya (Sumanth et al.,
2015)
Glositis TB hampir selalu muncul sebagai ulkus atau ulserasi kronis (Sareen
et al., 2006). Ulkus tersebut iregular, nodular dengan dasar indurasi.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran berupa lesi granulomatosa
dengan sentral yang dikelilingi oleh sel epiteloid dan sel raksasa jenis Langhans
(Sumanth et al., 2015; Gambar 2). Ulserasi memiliki berbagai presentasi klinis:
dapat bersifat nyeri hingga tidak nyeri, berupa bisul atau pembengkakan,
margin yang ireguler, pucat, dengan granulasi di dasar dan kadang-kadang
dengan slough atau eritema yang tipis (Kumar et al., 2011; Gambar 3).
Gambar 3. Lokasi dan presentasi klinis lesi TB pada lidah (Sumanth et al., 2015).

Gambar 4. Histopatologi jaringan lidah yang mengalami glositis TB (Sumanth et


al., 2015).
Gambar 5. Gambaran ulserasi pada glositis TB, di bagian ventral lingua
(Sumanth et al., 2015).

Kecenderungan lidah diinfeksi oleh TB membuat kita membahas


patogenesis di balik keterlibatan lidah secara singkat. Basil tuberkel dapat
berkoloni di lidah dengan cara berikut:
1. Implantasi langsung (teori basiler / sputogenik): Terlihat pada TB paru.
Sputum yang mengandung bakteri tuberkulum saat sedang dikeluarkan
akan menginvasi lidah dan menghasilkan lesi pada lidah. Dalam kasus
seperti itu, kuman dapat ditemukan dalam dahak (Al-Rikabi et al., 2011).
2. Inokulasi langsung: Dalam hal ini bakteri akan langsung diinokulasi pada
membran mukosa mulut tanpa lesi TB primer lainnya. Dalam kasus
tersebut, pada apusan langsung yang diambil dari lesi lidah akan
ditemukan bakteri. Penularan selama praktik gigi juga dimungkinkan
(Leslie et al., 2008).
3. Kemungkinan penyebaran hematogen: Bacilli dapat mencapai jaringan
mulut melalui rute hematogen (Yigit et al., 2004).
5. Fenomena anachoretic: Fenomena anachoretic yang memungkinkan,
tempat peradangan akan menarik kolonisasi bakteri dari darah, mungkin
karena peningkatan permeabilitas kapiler (Sivapathasundaram, 2012).
Teori anachoresis ini telah didukung oleh Leslie et al. yang dalam penelitian
mereka mengatakan bahwa area iritasi atau peradangan kronis dapat
mendukung lokalisasi mikobakterium yang terkait dengan penyakit ini. TB
sekunder dari rongga mulut dapat timbul pada orang yang sebelumnya peka
dan berhubungan dengan lesi paru (Leslie et al., 2008).
Lidah tampaknya menjadi lokasi yang menjadi target bakteri TB,
patogenesis yang perlu dipahami secara lebih mendalam pada tingkat
molekuler. Lesi TB lidah harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding lesi
lidah kronis, bahkan tanpa adanya TB paru. Lidah adalah jaringan di rongga
mulut, yang berada di antara gigi dan selalu di bawah tekanan traumatis. Kita
dapat melihat bahwa batas lateral lidah adalah tempat yang sering ditemukan
ulkus TB primer, mungkin karena bersandar pada gigi yang kasar, tajam, patah
atau merupakan tempat yang bersentuhan dengan lebih banyak iritan. Namun,
lesi pada lidah memberikan respon cepat dengan terapi anti-tuberkulosis karena
kaya vaskularisas (Vishwakarma et al., 2006).
Terapi anti-tuberkulosis yang digunakan adalah regimen Kategori-3 WHO
(2H3R3Z3 / 4H3R3). Rejimen ini diberikan tiga kali seminggu dan termasuk
isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan pertama; setelah itu
pirazinamid dihentikan sementara dua obat lain (isoniazid dan rifampisin)
dilanjutkan selama 4 bulan. Terapi ini menunjukkan respon yang baik
(Sumanth et al., 2015; Gupta et al., 2007).
C. Glossitis dengan Anemia Defisiensi Besi
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin
dalam tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu protein yang
mengandung zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sehingga apabila
seseorang kekurangan zat besi, dapat terjadi anemia yang disebut anemia
defisiensi besi (Fitriany et ak, 2018). Anemia defisiensi besi adalah anemia
yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoietik, karena
cadangan besi kosong, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia
defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang
ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi
transferin yang rendah, dan onsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang
menurun. Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling
banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk di indonesia
(Bakta, 2006).
Patofisiologi
Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin. Proses absorbsi besi
dibagi menjadi tiga fase (Bakta, 2006), yaitu:
1) Fase Luminal Besi
Makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan , besi non-
heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi
dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non- heme berasal dari sumber
nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam
makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannyadengan
senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi
reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap
di duodenum.
2) Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan
jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses
yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan
dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush
border dari sel absorptif (teletak pada 8 puncak vili usus, disebut
sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim
ferireduktase mungkin -dimediasi oleh protein duodenal cytochrome
b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh
vfdivalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam
sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian
diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada
proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase
(antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh
apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di lumen
usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks
transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa
dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan
apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus (Zulaicha, 2009)

Gambar 6. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C.,


2005.Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke
basolateral diatur oleh “set point” yang sudah diatur saat enterosit
berada pada dasar kripta (Gambar 2.3). Kemudian pada saat
pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap
menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari
absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator simp.anan,
dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006).
Gambar 7. Regulasi Absorbsi Besi (sumber: Andrews, N.C., 1999.
Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
3) Fase Korporeal Besi
Setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler
usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi
transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua
molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan
berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang
terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas Kompleks Fe2-
Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin
(clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga
membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam
endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi
dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT
1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami
siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
Gambar 8. Siklus Transferin (sumber: Andrews, N. C., 1999.
Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk
feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan
protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu
tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan
hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi
ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme
sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu
kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom
besi fero ditengahnya.
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan
besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin
menurun (Bakta, 2006)
Gambar 9. Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C.,
1999. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95)
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi
yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus,
serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut
sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc
protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat
besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai
anemia defisiensi besi (“iron deficiency anemia).
Tabel 1. Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita ( mg/Kg)

Seorang yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian


menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu
1) Stadium I
Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot.
Keadaan ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik
kadar besi di dalam serum maupun kadar hemoglobin masih normal.
Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan
sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Disamping itu kadar
feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan
kadar besi di dalam depot.
2) Stadium II
Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam
serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah
masih normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.
3) Stadium III
Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai oleh
penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping
penurunan kadar feritin dan kadar besi di dalam serum.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan kurangnya jumlah besi atau
bioavailabilitas ( kualitas ) besi dalam asupan makanan seperti makanan
banyak serat, rendah daging, rendah vitamin C , kebutuhan besi meningkat (
prematuritas, anak dalam masa petumbuhan dan kehamilan), gangguan
absorbsi besi . Defisiensi zat besi pada bayi disebabkan oleh prematuritas atau
bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang menderita defisiensi zat besi. Pada
anak – anak biasanya disebabkan karena diit yang kurang mengandung Fe.
Sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah pendarahan kronis
yang berulang contohnya perdarahan kronik pada saluran cerna (tukak peptic,
konsumsi NSAID, salisilat, kanker kolon, kanker lambung, divertikulosis,
infeksi cacing tambang, hemoroid), pendarahan kronik pada saluran genitalia
wanita (menoraghia, mtroraghia),pendarahan kronik pada saluran kemih
(hematuria) dan pendarahan kronik pada saluran nafas (hemoptoe. Malabsorbsi
(gastrektomi, colitis kronik) dan malnutrisi juga dapat menyebabkan defisiensi
zat besi.( Brightman,1994; , Sonis,1995)
Pemeriksaan histologi mukosa lidah pada anemia defisiensi besi
menunjukan berkurangnya ketebalan lapisan epitel dari sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh karena penurunan jumlah sel. Selain itu juga terjadi atrofi pada
mukosa lidah(Brightman,1994)
Prevalens anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia
sekitar 40-45%.7 Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak
balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.8 Penelitian kohort
terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan
insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%.9 Pada usia balita, prevalens tertinggi
DB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan
besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama
(WHO,2001) Rekomendasi terbaru menyatakan suplementasi besi sebaiknya
diberikan mulai usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan,
dengan dosis tunggal 2-4 mg/kg/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir
(Rao,2009;Berglund,2010). Remaja perempuan perlu mendapat perhatian
khusus karena mengalami menstruasi dan merupakan calon ibu. Ibu hamil
dengan anemia mempunyai risiko 3 kali lipat melahirkan bayi anemia, 2 kali
lipat melahirkan bayi prematur, dan 3 kali lipat melahirkan bayi berat lahir
rendah sehingga suplementasi besi harus diberikan pada remaja perempuan
sejak sebelum hamil ( Meinzen Der,2006).
Gambaran karakteristik di rongga mulut pada penderita anemia defisiensi
besi adalah adanya mukosa yang pucat dan sel epitel mulut mengalami atrofi
dengan hilangnya keratinisasi yang normal. Lidah menjadi licin karena adanya
atrofi pada papilla filiformis dan papilla fungiformis. Atrofi pada lidah
biasanya mulai dari ujung lidah kemudian kebagian distal.
Tanda-tanda oral anemia defisiensi besi termasuk beberapa kondisi seperti
mukosa pucat, atrofi mukosa, stomatitis, atrofik glossitis, cheilosis, varicosities
lingual, angular cheilitis, lichen planus oral, berbagai bentuk kandidiasis, dan
aphthous ulcers, glosodyniam dan atrofi mukosa lingual. Anemia defisiensi
besi seperti yang terjadi pada saat menstruasi atau perdarahan pada
gastrointestinal dapat menyebabkan depapilasi dan atrofi pada papil lidah,
sehingga menyebabkan lidah menjadi terlihat halus dan berkilau, disertai
dengan pucat pada bibir (Treister dan Bruch, 2010).
Atrophic glossitis ( Hunter’s Glossitis ) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena degenerasi ujung papila.
Pada glossitis atrofik, lidah akan terlihat licin dan mengkilat baik seluruh
bagian lidah maupun hanya sebagian kecil. Lidah yang halus dan kemerahan
yang mungkin menyerupai geographic tounge atau glossitis migratory.
Tampakan mengkilap/pendatara dari dorsum lidah merupakan hasil dari atrofi
atau hilangnya papilla filliformis pada awalnya, karena papilla ini paling rentan
untuk defisiensi nutrisi diikuti oleh papillae fungiformis. Kondisi ini bersifat
reversibel, pada suplementasi nutrisi yang tepat dan regenerasi papila yang
hilang akan terjadi. Dalam kasus yang lebih parah, lidah mungkin akan menjadi
lunak. Penyebab yang paling sering biasanya adalah kekurangan zat besi
sehingga keadaan ini ditemukan pada penderita anemia (Ghom, 2005).
Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis) ditandai dengan kondisi lidah yang
kehilangan rasa karena degenerasi ujung papil (bagian menonjol pada selaput
yang berlendir di bagian atas lidah).Perasaan lidah terbakar yang menyebar ke
bagian mulut lain yang biasanya dipicu oleh adanya ulserasi. Lidah terlihat
licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun hanya sebagian kecil.
Penyebab yang paling sering biasanya adalah kekurangan zat besi.Jadi banyak
didapatkan pada penderita anemia
Gambar 10. Atrophic Glositis pada anemia defisiensi besi
Perubahan atrofi dapat terjadi karena defisiensi satu atau lebih sistem enzim
oksidase. Kekurangan besi atau ketidakmampuan menggunakan besi akan
mengganggu enzim sitokhrom. Ariboflavinosis atau defsiensi nicotinic acid
akan menghambat sistem ensim flavine dan pyridine. Pada anemia defsiensi
besi, akan terjadi lidah yang memerah (mulanya pada pinggir lidah) kemudian
papila akan mengalami atrofi sehingga warna lidah menjadi lebih pucat. Lidah
mengalami atrofi dan berwarna merah magenta terjadi pada defsiensi
riboflavin. Atrofi lidah berwarna merah terang diduga terdapat hiponutrisi
nicotinic acid atau pellagra. Mekanisme defisiensi mikronutrient (contoh : zat
besi) akan menghambat proliferasi mukosa. Hal ini disebabkan karena sel-sel
pada papila lidah memiliki kemampuan turn over yang cukup tinggi, defisiensi
terhadap mikronutrien yang digunakan untuk proliferasi dan stabilisasi
membran sel akan menyebabkan depapilasi lidah. Defisiensi nutrisi juga akan
mengubah keadaan flora mikrobial yang berkontribusi menyebabkan
terjadinya glossitis (Dennis dan Bowen, 2012).
Semua efek fisiologis defisiensi besi tergantung pada tingkat keparahan
anemia, penurunan kemampuan pengangkutan oksigen darah dan protein yang
mengandung besi. Pasien dengan defisiensi besi memiliki gejala sistemik
gejala seperti kelelahan, kelemahan, sakit kepala ringan, sesak napas, dan
jantung berdebar (Wu et al. 2014). Perubahan oral adalah yang paling umum
dan signifikan, dengan glossitis atrofik, angular cheilitis, dan sindrom Plummer
Vinson yang ditandai adanya disfagia postkrikoid (Song, 2015). Penurunan
kadar besi yang terus di dalam darah mengakibatkan penurunan kadar
hemoglobin yang membawa pasokan oksigen yang tidak adekuat ke jaringan
mukosa mulut dan akhirnya menyebabkan atrofi mukosa (Wu et al. 2014).
Tatalaksana Glossitis pada anemia defisiensi besi
Yaitu dengan perawatan pada penderita anemia defisiensi besi adalah
dengan memberikan tambahan zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Sedangkan untuk menghilangkan simptomatis dapat diberikan kumur – kumur
dengab xylocain viscous, dyclone,Benadryl dan kaopectate dan Rujuk ke
dokter spesialis gigi untuk tatalaksana lebih lanjut
Terapi Anemia Defisiensi Besi ( Bakta,2006) :
1. Terapi kausal : tergantung penyebabnya misal pengobatan cacing tambang ,
pengobatan hemorrhoid, pengobatan menorrhagia. Terapi kausal harus
dilakukan jika tidak maka anemia akan kambuh kembali
2. pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
- besi per oral : a. ferrous sulfat ( 3x 200 mg )
b. ferrous gluconate, ferrous fummarat, ferrous lactate,
ferrous succinate
- besi parenteral ( indikasi : intoleransi oral berat, kepatuhan obat kurang,
kolitis ulserative , perlu peningkatan HB secara cepat misal pre op dan
hamil trimester akhir ) : iron dextrann compleks, iron sorbitol citric acid
kompleks dengan kebutuhan besi (mg)= ( 15- hb sekarang) x BB x 3
3. pengobatan lain :
a. diet : makanan bergizi dengan tinggi protein terutama protein
hewani
b. Vit C : 3 x 100 mg/ hari untuk meningkatkan absorbs besi
c. Transfusi darah ( PRC )
Pencegahan
1. kesehatan lingkungan
2. pemyuluhan gizi
3. pemberanrasan infesi cacing tambang sebagai sumber pendarahan kronik
paling sering di daerah tropic
4. sumplementasi besi
5. forifikasi bahan makanan dengan besi
6. kontrol dokter gigi setiap 6 bulan sekali
D. Glossitis dengan Anemia Pernisiosa
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah.
Menurut kriteria WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada
pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/
kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah
14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk
evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan. Anemia merupakan tanda
adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus
dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita anemia (Oehadian,
2012).
Anemia pernisiosa adalah penyakit autoimun yang menyebabkan atropi
mukosa lambung yang meliputi fundus dan corpus lambung, atrofi ini
menyebabkan berkurangnya jumlah sel parietal yang mampu memproduksi
faktor intrinsik yang dibutuhkan tubuh untuk membantu absorpsi vitamin B12.
Keadaan ini bersifat kronik yang menyebabkan tubuh pada akhirnya akan
mengalami keaadan defisiensi vitamin B12 (Bizaro & Antico, 2014).
Faktor intrinsik yang dihasilkan oleh sel parietal lambung berfungsi
mengikat vitamin B12 yang ada di dalam duodenum lalu mentransport vitamin
B12 ini menuju ilium distal. Pada ilium distal ini terdapat reseptor spesifik yang
mampu berikatan dengan kompleks B12-intrinsic factor yang menghasilkan
proses absorpsi B12. Pada orang dengan anemia pernisiosa terjadi atrofi gaster
akibat kelainan immun yaitu terbentuknya autoantibodi yang menyerang
mucosa gaster dan menurunkan jumlah sel parietal sehingga terjadi
malabsorpsi B12 (Greenberg, 1981).
Gambaran klinis secara umum pasien pucat, mudah lelah, kehilangan berat
badan, gangguan sensasi gerak dan pati rasa dari alat gerak, sedangkan
gambaran klinis di rongga mulut berupa glositis yang ditandai lidah berwarna
merah terang dan permukaan lidah licin.
Atrofik glositis adalah istilah yang digunakan untuk “papila lidah yang rata”
yang mengarah ke lidah yang halus dan kemerahan yang mungkin menyerupai
geographic tounge atau glossitis migratory. Tampakannya
mengkilap/pendataran dari dorsum lidah akibat dari atrofi atau hilangnya
papilla filliformis, karena papilla ini paling rentan untuk defisiensi nutrisi
diikuti oleh papillae fungiformis. Kondisi ini bersifat reversibel, pada
suplementasi nutrisi yang tepat dan regenerasi papila yang hilang akan terjadi.
Dalam kasus yang lebih parah, lidah mungkin akan menjadi lunak.
Orang dengan anemia pernisiosa akan rentan mengalami glositis akibat
defisiensi B12 yang dialaminya. Walaupun zat besi berperan penting untuk
menjaga fungsi normal sel epitel rongga mulut namun B12 juga mempunyai
peran penting yaitu dalam mensintesa dan membantu pembelahan sel. Sel-sel
epitel rongga mulut mengalami perubahan keseimbangan yang sangat tinggi
apabila terjadi defisiensi salah satu nutrisi yang dibutuhkan seperti B12 maka
akan terjadi perubahan bentuk pada organ-organ rongga mulut. Defisiensi B12
juga menyebabkan kenaikan kadar homosistein pada darah karena B12
bertugas sebagai koenzim yang mengkonversi homosistein menjadi methionin.
Kadar homosistein yang tinggi dapat menyebabkan stres oksidatif, merusak
endotel dan memicu trombosis. Secara spesifik tingginya kadar homosistein
dalam darah menyebabkan kenaikan tingkat kejadian trombosis di arteriol yang
mensuplai nutrisi bagi sel-sel di rongga mulut. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya atrofi lidah karena kerusakan arteriol yang mensuplai nutrien pada
sel-sel rongga mulut (Chang et al., 2015).
Sebagai tatalaksana yang paling tepat adalah mengobati glossitis dari cara
mengatasi penyebabnya. Apabila glositis disebabkan oleh anemia pernisosa
maka yang dapat dilakukan adalah memberikan suplemen vitamin B12
cyanocobalamin atau hydroxocobalamin. Modifikasi diet tinggi vitamin B12
seperti telur, daging maupun susu. Untuk mengatasi rasa nyeri akibat glossitis
bisa diberikan antiinflamasi atau kortikosteroid topikal, jika ada tanda-tanda
infeksi bisa diberikan antibiotik.
E. Patofisiologi Glositis pada Diabetes
Mukosa mulut biasanya dilindungi oleh air liur dalam jumlah dan kualitas
yang memadai. Air liur memberikan pelumasan, pembersihan, buffer pH,
protein antimikroba seperti sekresi IgA, dan agregasi dan pembersihan bakteri.
Epitel dan kelenjar air liur minor di mukosa berkontribusi pada imunitas
bawaan melalui α- and β-defensins, histatin, dan peptida maupun protein
antimikroba lainnya. Kedua fitur utama ini memengaruhi kemampuan jaringan
lunak oral untuk menjadi kenyal ketika ditantang oleh mikroba yang merusak;
paparan berlebihan terhadap trauma mekanis, yang dapat terjadi jika terdapat
tepi bergerigi dari gigi yang rusak, restorasi gigi yang rusak, atau gigi palsu
yang tidak pas; atau trauma kimia seperti yang disebabkan oleh tembakau dan
penggunaan alkohol yang berlebihan. Kesehatan mukosa mulut juga dijaga
oleh status gizi yang baik dan praktik kebersihan mulut yang memadai.
(Humphrey dan Williamson, 2001)
Karena fungsi kelenjar ludah dan fungsi kekebalan tubuh dipengaruhi secara
negatif oleh diabetes, pasien diabetes berisiko lebih tinggi untuk lesi mukosa
dan gangguan lainnya. Ini telah didukung oleh penelitian terbaru yang
menunjukkan bahwa penyakit jaringan lunak oral terjadi hingga 10 kali lebih
sering pada pasien dengan diabetes dibandingkan pada pasien non-diabetes.
(Gandara dan Morton, 2011)
Diabetes dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada baik secara
periodontal dan non-periodontal. Komplikasi tersebut terjadi akibat beberapa
mekanisme yang mengganggu lingkungan fisiologis dalam mulut. Gandara dan
morton (2011) merangkum beberapa mekanisme tersebut yaitu penyakit
vaskuler, efek dari hormon reproduksi, defisiensi sistem imun, efek samping
dari obat anti diabetes dan neuropati perifer. Berbagai mekanisme tersebut
dapat memicu terjadinya disfungsi kelenjar air liur, pertumbuhan pathogen
pada mulut maupun dapat menyebabkan suatu penyakit secara langsung.

Gambar 11. Manifestasi Oral disertai Mekanismenya yang disebabkan oleh


Diabetes
Selain jaringan periodontal, tempat oral yang paling sering terkena diabetes
adalah mukosa lidah. Biasanya, permukaan dorsal lidah memiliki distribusi
papilla filiform dan fungiform yang merata, memberikan tampilan bertekstur
yang berwarna pink muda. Permukaan ventral dan lateral lidah normal halus,
bebas papilla, dan berwarna pink gelap, kadang-kadang dengan vena menonjol.
Pada lidah yang pecah-pecah, tekstur halus dorsum terganggu dengan satu atau
lebih celah yang sebagian besar sejajar sepanjang lidah. (Gandara dan Morton,
2011)
Lidah yang pecah pecah tersebut mungkin merupakan hasil dari rendahnya
laju aliran air liur yang secara kronis, yang mengubah lingkungan di rongga
mulut sehingga penyembuhan jaringan lunak lebih lambat dan lebih mudah
mengalami trauma daripada pada pasien nondiabetes. Atropi papilla lidah yang
lengkap atau tidak merata, juga lebih sering terjadi pada pasien diabetes. Atropi
papilla lidah secara menyeluruh telah dikaitkan dengan defisiensi nutrisi,
terutama jika penampilannya sangat merah. Atrofi yang terfokus dapat
mengindikasikan infeksi organisme candida. (Gandara dan Morton, 2011)
Kondisi lain dari lidah yang lebih umum pada diabetes daripada pada pasien
nondiabetik adalah lidah geografis, atau glositis migrasi jinak . Kondisi ini
menampilkan atropi fokus papila lidah dalam pola "geografis" tidak teratur
dengan ciri khas yang menonjol. perbatasan putih atau kekuningan yang
“bermigrasi” seiring waktu. Kondisi ini tidak disebabkan oleh infeksi kandida
tetapi ditandai sebagai peradangan dan mungkin juga dikaitkan dengan gejala
nyeri, gatal, dan terbakar pada mukosa yang serupa. (Gandara dan Morton,
2011)
Tatalaksana
Secara umum, tidak ada perawatan yang diperlukan untuk kasus median
rhomboid glossitis dan athrophic glossitis yang disebabkan oleh candida akibat
diabetes. Bagi mereka yang memiliki gejala (rasa sakit atau sensasi terbakar),
obat antijamur dapat diresepkan untuk membunuh ragi dan dengan demikian
mengurangi gejalanya. Untuk kasus-kasus glositis romboid median yang tidak
berespon terhadap terapi antijamur, dokter dapat merekomendasikan untuk
dilakukan biopsi. Sementara lesi dapat sembuh sepenuhnya setelah
menggunakan obat antijamur, lesi mungkin kambuh setelah obat dihentikan.
(Chi et al, 2010)
Sampai saat ini masih belum ada obat yang pasti untuk benign migratory
glossitis yang simptomatis. Kortikosteroid dianggap efektif di antara opsi yang
tersedia. Triamcinolone acetonide lebih disukai daripada kortikosteroid lain
karena mengandung natrium bersama dengan fitur yang mirip dengan
kortikosteroid lain. Asam retinoat dapat merangsang respons imun termasuk
aktivitas makrofag dan mekanisme imun seluler. Karena asam retinoat dan
kortikosteroid topikal memiliki efek terapi dan perbaikan pada lidah geografis,
kombinasi keduanya mungkin memiliki dampak yang lebih besar. (Nafaji et al,
2016)
Terapi utama pada glositis yang disebabkan oleh diabetes adalah melakukan
kontrol terhadap diabetes pasien dan melakukan oral higene yang baik. Selain
memberikan tatalaksana diabetes pada pasien edukasi bagi penderita diabetes
juga harus dilakukan dan mencakup penjelasan tentang implikasi diabetes,
khususnya diabetes yang tidak terkontrol, khususnya untuk kesehatan mulut.
Higenitas oral juga harus dijaga kebersihannya dengan menyikat gigi dua kali
sehari selama 2 menit dengan sikat gigi lembut dan pasta gigi berfluoride,
Bersihkan atau usapkan sela-sela gigi sekali sehari untuk menghilangkan
makanan dan plak, Bersihkan atau gosok lidah setiap hari, Hindari berkumur
dengan alkohol, karena cenderung membuat mulut kering semakin parah,
Lepas dan bersihkan gigi palsu setiap hari. (Kaur et al, 2015)
F. Glositis dengan Sjorgen Syndrome
Sindrom Sjögren atau autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun
dan inflamasi kronik yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar endokrin akibat
infiltrasi limfosit pada glandula sekretori dan pembentukan autoantibodi.
Prevalensinya kurang lebih 0.5 – 1% dari populasi dan lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria dengan perbandingan 9:1, pada usia 20 – 30 tahun (Carr
et al, 2012).
Sindrom Sjögren dibagi menjadi dua, yaitu primary Sjögren Syndrome,
apabila berdiri sendiri, dan secondary Sjögren Syndrome, apabila co-exist
dengan penyakit autoimun yang lain seperti systemic lupus erythematosus
(SLE) dan rheumatoid arthritis. Manifestasi klinis yang khas dari sindrom
Sjögren adalah sicca syndrome yand ditandai dengan kekeringan pada mata,
rongga mulut (xerostomia), faring, laring, dan juga vagina. Manifestasi klinis
ekstraglandular dapat ditemukan, tergantung apa penyakit co-exist nya
(Hernanández-Molina et al, 2009).
Manifestasi klinis oral dari penyakit ini, yaitu xerostomia, merupakan salah
satu tanda yang paling mengganggu. Adanya infiltrasi limfosit dan
autoantibodi pada glandula saliva menyebabkan hipofungsi kelenjar tersebut,
sehingga terjadi hiposalivasi. Padahal, fungsi dari saliva itu sendiri adalah
sebagai pelumas alami dan proteksi terhadap bakteri dan jamur (Both et al,
2017; Mathews et al, 2008; Mays et al, 2012).
Saliva sangat berperan dalam mencegah terjadinya infeksi oportunistik
C.albicans. Protein pada saliva akan membentuk salivary-derived pellicle yang
terdapat pada enamel dan epitel oral. Salah satu komponen terbesar dari pellicle
adalah mucin, suatu glikoprotein yang berperan sebagai proteksi epitel
terhadap enzim mikroba. Selain itu, pellicle juga terdiri dari sIgA, cystatin S,
basic proline-rich proteins (PRPs), statherins, dan carbonic anhydrase yang
berperan dalam pencegahan pertumbuhan C. albicans (Salvatori et al, 2016).
Hiposalivasi dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi oportunistik C.
albicans sehingga terjadi candidiasis oral. Candidiasis oral sendiri dapat
menyebabkan glossitis; median-rhomboid glossitis atau atrophic glossitis.
Faktor virulensi dari candida adalah adherence, evasion, invasion, dan
destruction dari sel inang. Hifa candida akan berpenetrasi secara perpendicular
hingga ke lapisan spinosu oleh bantuan enzim proteinase, lipase, dan enzim
lainnya. Ketika C. albicans berhasil menginvasi lapisan epitel, langkah terakhir
dalam proses infeksi adalah kerusakan, yang ditandai dengan hilangnya epitel
superfisial (Tang et al, 2016). C. albicans menginduksi apoptosis dan nekrosis
pada sel epitel oral (Villar dan Zhao, 2010). Komponen hifa akan menyebabkan
disorganisasi dari epitel. Karena hiposalivasi juga, proses dinamik seperti
pergerakan lidah dan otot dalam rongga mulut dapat menyebabkan lepasnya
lapisan keratin (Silva et al, 2011).
Gambar 11. Mekanisme komponen saliva sebagai protektor
rongga mulut.

Tatalaksana
Karena pasien cenderung hiposalivasi, harus diedukasi untuk menjaga
kebersihan oral untuk mencegah infeksi. Tatalaksana dari glossitis yang
diakibatkan oleh xerostoma pada sindrom Sjögren yaitu dapat diberikan saliva
buatan atau obat antikolinergik. Untuk candidiasisnya dapat diberikan
antifungal seperti nystatin atau flukonazol. Konsultasikan terlebih dahulu
kepada dokter gigi (Villa, Christopher, dan Silvio, 2015).
Untuk penyakit dasarnya sendiri, yaitu Sindrom Sjögren, bisa diberikan
steroid tetapi harus dilakukan pemantauan ketat terhadap efek sampingnya,
mengingat bahwa steroid sendiri memiliki efek immunosupresan.
Konsultasikan pasien dengan ahli reumatologi untuk diagnosis dan
penatalaksanaan (Both et al, 2017).
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Glositis merupakan kondisi peradangan akut atau kronis pada lidah ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang halus dan mengkilat.
2. Penyebab glositis dapat terjadi karena penyebab lokal (infeksi, trauma,
iritan) maupun sistemik (malnutrisi, anemia, penyakit kulit, HIV, obat-
obatan).
3. Berbagai penyakit sistemik dapat memiliki hubungan dengan glositis,
dimana hubungan yang terjadi adalah glossitis merupakan salah satu
manifestasi yang dapat terjadi karena perkembangan dari suatu penyakit
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rikabi AC, Arafah MA. Tuberculosis of the tongue clinically masquerading as


a neoplasm: A case report and literature review. Oman Med J 2011;26:267-8.
Arinç S, Arinç B, Bayal I, et al. Secondary lingual tuberculosis: a case report.
Turkish Respir J 2003;4:25-6.
Bajpai, S., & Pazare, A. R. 2010. Oral manifestations of HIV. Contemporary
clinical dentistry, 1(1), 1–5. doi:10.4103/0976-237X.62510
Bakta, I Made dkk.2006 Anemia Defisiensi Besi. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta,
Berglund S, Westrup B, Domellof M.2010. Iron supplements reduce the risk of
iron deficiency anemia in marginally low birth weight infants. Pediatrics.
126:e874-e88
Bizzaro, N. and Antico, A., 2014. Diagnosis and classification of pernicious
anemia. Autoimmunity reviews, 13(4-5), pp.565-568.
Both T et al (2017). Reviewing primary Sjögren’s syndrome: beyond the dryness -
From pathophysiology to diagnosis and treatment. International Journal of
Medicine, 14(3): 191-200.
Brightman V, J.1994. Diseases of the Tongue; in Lynch M.A,. Burket’s oral
Medicine Diagnosis and Treatment.9 edition. JB Lippincott Co;Philadelphia
Carr AJ et al (2012). Sjögren's syndrome – an update for dental practitioners.
British Dental Journal, 7:353–57
Centers for Disease Control and Prevention. 2006. Sexually transmitted diseases
treatment guidelines 2006. MMWR, 55(11), 38-42.
Chang, J.Y.F., Wang, Y.P., Wu, Y.C., Cheng, S.J., Chen, H.M. and Sun, A., 2015.
Hematinic deficiencies and pernicious anemia in oral mucosal disease patients
with macrocytosis. Journal of the Formosan Medical Association, 114(8),
pp.736-741.
Chi, A., Neville, B., Krayer, J. And Gonsalves, W. (2010). Oral Manifestations of
Systemic Disease. Am Fam Physician, 82(11), pp.1381-1388.
Cohen, PR; Kazi, S; Grossman, ME, 1995. "Herpetic geometric glossitis: a
distinctive pattern of lingual herpes simplex virus infection". Southern Medical
Journal. 88 (12): 1231–35. doi:10.1097/00007611-199512000-00009. PMID
7502116.
Cohen-Brown, G., 2010. Oral Lesions and Treatment Recommendations for the
HIV-infected Patient. CME and dental-accredited self-study module. Albany
Medical College and NY/NJ AIDS Education & Training Center.
De Faria, P.R., Vargas, P.A., Saldiva, P.H.N., Böhm, G.M., Mauad, T. and De
Almeida, O.P., 2005. Tongue disease in advanced AIDS. Oral diseases, 11(2),
pp.72-80.
Dennis M., Bowen WT, Cho L. 2012. Mechanisms of Clinical Signs, elsevier,
Australia
Eng HL, Lu SY, Yang CH, Chen WJ. Oral tuberculosis. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod 2006;81:415-20.
Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018. Anemia Defisiensi Besi. Averrous, 4(2), 1-14.
Frank J. Domino (editor-in-chief), Robert A. Baldor, associate editors, eds. 2012.
The 5-minute clinical consult 2012 (20th ed.). Philadelphia, Pa.: Wolters
Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. pp. 532–33. ISBN 978-
1451103038.
Gandara, B. dan Morton, T. (2019). Non-Periodontal Oral Manifestations of
Diabetes: A Framework for Medical Care Providers. Diabetes Spectrum; 24(4):
199-205.
Ghom, 2005, Textbook of Oral Medicine, Jaype Medical Brothers Publisher, New
Delhi, h. 479
Greenberg, M.S., 1981. Clinical and histologic changes of the oral mucosa in
pernicious anemia. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, 52(1), pp.38-
42.
Gupta Prem P, Sanjay Fotedar, Dipti Agarwal, Pradeep Sansanwa. Primary
tuberculous glossitis in an immunocompetent patient: case report. Hong Kong
Med J Vol 13 No 4 2007: 330-1.
Hernanández-Molina G et al (2009). Similarities and differences between primary
and secondary Sjögren's syndrome. Journal of Reumatology, 37:800–8.
Humphrey, Williamson. 2001. A review of saliva: Normal composition, flow, and
function, Journal of Prosthetic Dentistry, 85(2) 162 – 169
Kaur S, Kaur K, Rai S, Khajuria R. Oral health management considerations in
patients with diabetes mellitus. Arch Med Health Sci 2015;3:72-9
Koksal D, Acican T, Kanat F, Durmaz G, Ataoglu O, Cobanli B.
Tuberculous ulcer of the tongue secondary to pulmonary tuberculosis. Aust
NZ J Med 2000;30:518-9.
Kolokotronis, A., Kioses, V., Antoniades, D., Mandraveli, K., Doutsos, I. and
Papanayotou, P., 1994. Median rhomboid glossitis: an oral manifestation in
patients infected with HIV. Oral surgery, oral medicine, oral pathology, 78(1),
pp.36-40.
Kumar V, Singh AP, Meher R, Raj A. Primary tuberculosis of oral cavity: A rare
entity revisited. Indian J Pediatr 2011;78:354-6.
Leslie D, Nancy WB. In: Koger B, Dietz K, Bradshaw N, Aiello G, editors.
General and Oral Pathology for the Dental Hygienist. Philadelphia, PA:
Lippincotte Williams and Wilkins; 2008. p. 243-5
Mathews et al (2008). Oral manifestations of Sjögren's syndrome. Journal of
Dental Research, 87(4): 308-318.
Mays J et al (2012). Oral manifestations of systemic autoimmune and
inflammatory diseases: diagnosis and clinical management. J Evidence-Based
Dental Practice,12:265–82.
Meinzen-Derr JK, Guererro ML, Altaye M, Ortega-Gallegos H, Ruiz-Palacios
GM, Morrow AL dkk.2006 Risk of infant anemia is associated with exclusive
breast-feeding and maternal anemia in Mexican cohort. J Nutr. 136:452-8.
Najafi S, Gholizadeh N, Akhavan Rezayat E, Kharrazifard MJ. Treatment of
Symptomatic Geographic Tongue with Triamcinolone Acetonide Alone and in
Combination with Retinoic Acid: A Randomized Clinical Trial. J Dent
(Tehran). 2016;13(1):23–28.
Neville BW, Damm DD, Allen CA, Bouquot JE. 2002. Oral & maxillofacial
pathology (2nd ed.). Philadelphia: W.B. Saunders. pp. 169, 170. ISBN
0721690033.
Oehadian, A., 2012. Pendekatan klinis dan diagnosis anemia. Continuing Medical
Education, 39(6), pp.407-412.
Rao R, Geogieff MK.2009.Iron therapy for preterm infants. Clin Perinal.;36:27-
42.
Salvatori et al (2016). Innate Immunity and Saliva in Candida albicans–mediated
Oral Diseases. Journal of Dental Research, 95(4): 365-371.
Sareen D, Sethi A, Agarwal AK. Primary tuberculosis of the tongue: A rare
nodular presentation. Br Dent J 2006;200:321-2
Sezer B, Zeytinoglu M, Tuncay U, Unal T. Oral mucosal ulceration: A
manifestation of previously undiagnosed pulmonary tuberculosis. J Am Dent
Assoc 2004;135:336-40.
Silva S et l (2011). Candida glabrata and Candida albicans co-infection of an in
vitro oral epithelium. J Oral Pathology Med, 40(5):421–427.
Sivapathasundaram B. Diseases of the pulp and periapical tissues. In: Rajendran
R, Sivapathasundaram B, editors. Shafer’s Textbook of Oral Pathology. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier Health sciences; 2012. p. 475-501.
Soni NK, Chatterji P, Nahata SK. Tuberculosis of the tongue. Indian J Tub
2008;28:22-5
Sonis S.T, Fazio R.C, Fang L.1995.Principles and Practice of Oral Medicine, 9
edition.W.B Sounders Company Philadelphia. Page 231-5
Stephens, Mark B., et al., editors. "Glossitis." 5-Minute Clinical Consult, 27th ed.,
Wolters Kluwer, 2019. 5minute, www.unboundmedicine.com/5minute/view/5-
Minute-Clinical-Consult/116247/all/Glossitis.
Strick, L. B., Wald, A., & Celum, C. 2006. Management of herpes simplex virus
type 2 infection in HIV type 1–infected persons. Clinical infectious diseases,
43(3), 347-356.
Sumanth Kanjikar, K Shyamala, Rajkamal Malige , V V Nagaraj, Chandrakanth
Chillargi, Pramod Manthalkar. Primary Tuberculous Glossitis: Report of a
Case and Review. Journal of Advanced Oral Research 2015 Vol. 6 No.2: 44-
48.
Tang SX et al (2016). Epithelial discrimination of commensal and pathogenic
Candida albicans. Oral Disease, 22(1):114–119.
Treister NS, Bruch JM. 2010. Clinical oral medicine and pathology. New York:
Humana Press. p. 149. ISBN 978-1-60327-519-4.
Villa A, Christopher LC, dan Silvio A (2015). Diagnosis and management of
xerostomia and hyposalivation. Therapeutics and Clinical Risk Management,
11: 45-51.
Villar CC dan Zhao XR (2010). Candida albicans induces early apoptosis
followed by secondary necrosis in oral epithelial cells. Molecular Oral
Microbiology, 25(3):215–225.
Vishwakarma SK, Jain S, Gupta M. Primary lingual tuberculosis presenting as
cold -Abscess tongue: A case report. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg
2006;58:87.
Vishwakarma SK, Jain S, Gupta M. Primary lingual tuberculosis presenting as
cold -Abscess tongue: A case report. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg
2006;58:87-8.
World Health Organization.2001. Iron deficiency anemia: assessment, prevention,
and control. A guide for programme managers. Geneva: WHO
Wu YC, Wang YP, Chang JYF, Cheng SJ, Chen HM, Sun A. 2014. Oral
manifestations and bloodprofile in patients with iron deficiency anaemia. J
Formos Med Assoc 113:83–87
Yigit O, Cinar U, Uslu Coskun B, Basak T. Tuberculous ulcer of the tongue: A
case report. Kulak Burun Bogaz Ihtis Derg 2004;13:98-101

Anda mungkin juga menyukai