Disusun Oleh :
Hellena Hildegard G991902028
Windy Yuniarti G99172160
Abdul Fatah Rohadi G99181001
Indah Sagistaisna G991902029
Lestari Eliza G99172102
M Yusuf Habibi G991906021
Pembimbing :
drg. Christiane, Sp.Perio
Oleh:
Glositis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang
ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang halus dan mengkilat. Glositis bisa terjadi akut atau kronis.
Penyakit ini dapat mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan
cerminan dari penyakit tubuh yang gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini dapat
menyerang pada semua tingkatan usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki-
laki dibandingkan pada wanita.
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun sistemik.
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma (luka bakar)
c. Iritan primer (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen berlebihan)
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. Penyakit kulit (lichen planus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)
d. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
e. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
Pada artikel ini akan dibahas mengenai hubungan glositis dengan beberapa
penyakit sistemik antara lain, infeksi HIV, TB, Anemia defisiensi besi, Anemia
pernisiosa, Diabetes mellitus dan Sjorgen syndrome.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Terapi
Pada pasien HIV dengan Kandidiasis oral selain mendapat terapi
antiviral, pasien juga diobati dengan obat antijamur sistemik atau
topikal. Modalitas terapi yang berbeda lebih berhasil dalam mengobati
manifestasi klinis spesifik penyakit ini. Untuk menentukan mana yang
digunakan, baik presentasi klinis dan tingkat infeksi harus
diperhitungkan, karena agen yang berbeda mungkin memiliki
aktivitas preferensial untuk setiap penampilan klinis. Terapi topikal
diindikasikan untuk penyakit pada derajat ringan hingga sedang dan
infeksi kandida superfisial. Terapi sistemik akan sesuai dan efektif
untuk pasien dengan kandidiasis sedang hingga berat dan / atau infeksi
jamur invasif (Cohen-Brown, 2010).
Rekomendasi terkini dari pedoman Infectious Diseases Society of
America (IDSA) 2009 tentang pengobatan kandidiasis orofaringeal
pada orang dewasa dipilih agen topikal sebagai obat pilihan untuk
terapi awal pada pasien dengan jumlah CD4 lebih besar dari 200 sel /
mm3. Saat menggunakan agen topikal, tingkat konsentrasi obat dan
waktu kontak harus dipertimbangkan untuk memungkinkan obat
menembus biofilm oral. Kemanjuran obat antijamur tergantung pada
banyak kondisi oral dan sistemik. Faktor yang ada bersamaan seperti
xerostomia, hipofungsi kelenjar ludah, periodontitis, viral load HIV
yang tinggi dan jumlah CD4 yang rendah dapat menurunkan
kemanjuran pengobatan dan dapat mempengaruhi hasil klinis. Terapi
sistemik dengan flukonazol, ketokonazol, atau itrakonazol dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan awal penyakit kandidiasis
orofaringeal derajat sedang sampai berat. Untuk penyakit yang
resisten flukonazol, larutan itrakonazol atau suspensi posaconazole,
vorikonazol atau suspensi oral amfoterisin B dapat diberikan (Cohen-
Brown, 2010).
2. Infeksi Virus Herpes Simpleks
Virus herpes simpleks (HSV) bertanggung jawab atas infeksi primer
dan infeksi berulang pada mukosa mulut. Infeksi ini didapat pada masa
kanak-kanak dan setelah lesi pustular awal. Virus tetap tidak aktif, tetapi
pada tahap imunosupresi seperti pada pasien HIV, virus dapat aktif
kembali dan dapat menyebabkan berbagai manifestasi (Bajpai & Pazare,
2010).
Salah satu gejala yang dapat dijumpai adalah glossitis geometris, juga
disebut herpetic geometric glossitis (Frank et.al, 2012), merupakan istilah
yang digunakan oleh beberapa orang untuk merujuk pada lesi kronis yang
terkait dengan infeksi virus herpes simpleks (HSV) tipe I (Cohen et.al,
1995), di mana terdapat celah yang dalam di garis tengah lidah, yang
menyebabkan banyak cabang (Neville, 2002). Lesi ini biasanya sangat
menyakitkan, dan mungkin ada erosi di kedalaman celah. Lesi rekahan
serupa yang tidak berhubungan dengan HSV, seperti yang mungkin terjadi
pada fissured tongue yang penyebab terbanyaknya adalah malnutrisi, tidak
cenderung menyakitkan (Cohen et.al, 1995). Namun, hubungan antara
herpes simpleks dan geometris glossitis masih diperdebatkan karena
kurangnya teknik standar emas untuk diagnosis lesi herpes intraoral, dan
tingginya prevalensi pelepasan virus asimptomatik pada individu yang
mengalami gangguan kekebalan (Neville, 2002).
a. Terapi
Analog nukleosida asiklovir, valasiklovir, dan famciclovir
menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2 melalui penghambatan
spesifik dari timidin kinase yang dikodekan oleh virus. Lebih dari 2
dekade pengalaman dengan asiklovir (sekarang tersedia dalam
formulasi generik) telah menunjukkan bahwa senyawa ini aman dan
efektif untuk pengobatan reaktivasi HSV. Semua memiliki
bioavailabilitas oral yang baik; terapi topikal menawarkan sedikit
manfaat klinis dan tidak dianjurkan. Penelitian di antara orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan bahwa obat-obatan ini ditoleransi
dengan baik dalam populasi ini dan, yang penting, tidak menunjukkan
interaksi dengan obat antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan
HIV. Terapi antivirus memberikan manfaat klinis baik sebagai
pengobatan episodik pasien simtomatik dan sebagai terapi penekan
untuk pencegahan penyakit berulang (CDC, 2006).
Terapi supresif efektif di antara orang dengan infeksi HIV-1, dan,
karena reaktivasi HSV yang simtomatik dan asimptomatik adalah
umum di antara orang dengan HIV-1, terapi antivirus supresif jangka
panjang terhadap HSV harus dipertimbangkan untuk orang koinfeksi
dengan HSV dan HIV- 1. Perawatan dosis tinggi (misalnya, asiklovir
800 mg 3 kali per hari, dan dosis bioequivalen serupa untuk
famciclovir dan valacyclovir) dapat digunakan untuk mereka yang
sering mengalami wabah HSV walaupun telah menerima terapi
supresif standar (Strick, 2006).
B. Glositis dengan tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) dengan berbagai manifestasi klinis.
Dalam bentuk primer, spektrum klinis berkisar dari keterlibatan paru-paru
hingga kejadian yang sangat jarang di rongga mulut. Pada TB sekunder, lesi
oral disertai dengan lesi di paru-paru, kelenjar getah bening, atau sistem organ
tubuh lainnya. Meskipun lesi TB pada rongga mulut jarang terjadi terutama
pada bentuk primer, apabila terjadi dapat menimbulkan masalah diagnostik
(Sumanth et al., 2015).
Kasus TB pada lidah pertama kali ditemukan pada 1761 oleh Morgagni.
Rongga mulut dapat menjadi lokasi target untuk lesi TB sekunder akibat TB
paru terutama dari autoinokulasi oleh sputum yang terinfeksi. Penyebaran
hematogen dan limfatik dari TB ekstra paru juga dapat menyebabkan lesi oral
sekunder (Vishwakarma et al., 2006).
Lidah adalah struktur yang paling sering terkena di rongga mulut. TB lidah
lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Tiga bentuk tuberkulosis oral
telah dijelaskan: miliaria akut, ulseratif kronis, dan lupus vulgaris. Jenis
ulserasi kronis melibatkan lidah di dekat apeks, berupa ulkus dangkal, lonjong,
memiliki margin yang ireguler dan menyakitkan karena ujung saraf yang utuh
(Koksal et al., 2000). Lesi tuberkulosis lain — glositis difus, fisura, atau
tuberkuloma — juga telah dilaporkan tetapi sangat jarang (Arinç et al., 2003).
Diagnosis banding lesi tuberkulosis lidah termasuk keganasan, penyakit
granulomatosa, sifilis, ulkus traumatis dan aphthous, dan infeksi mikotik.
Untuk menunjukkan spesifisitas lokasi munculnya TB di rongga mulut, dari
total 29 kasus yang ditinjau Sumanth et al. (2015), sebanyak 12 (41,3%) adalah
lesi TB oral primer dan dalam 7 kasus (58,3%) melibatkan lidah sebagai situs
primer. Situs lain di rongga mulut dengan lesi TB adalah dasar mulut, alveoli,
gingiva, mukosa palatal, daerah vestibular (Sumanth et al., 2015).
Dalam ulasan 15 kasus TB oral yang didiagnosis secara histologis, Eng et
al. mengungkapkan bahwa dasar lidah dan gingiva sebagai situs yang paling
sering terlibat (Eng et al., 2006). Soni et al. dalam ulasan kerja mereka
menunjukkan batas lateral lidah sebagai lokasi yang paling umum ditemukan
lesi (Soni et al., 2008). Juga, beberapa penulis telah menetapkan bahwa bibir
dan uvula sebagai lokasi yang paling tidak terpengaruh dalam rongga mulut
(Kumar et al., 2011). Lokasi pada lidah yang sering ditemukan lesi TB dapat
dilihat di Gambar 1.
Menurut Sumanth et al. (2015), sebanyak 21 (84%) dari 25 (17 artikel) kasus
lesi TB sekunder rongga mulut menunjukkan keterlibatan lidah. Secara klasik,
ulkus TB lidah terjadi pada apeks, batas lateral, dorsum, menuju garis tengah
dan radix lingua. Pembersihan mukosa mulut secara terus-menerus dengan
saliva dan adanya flora normal yang bervariasi selain adanya antibodi
submukosa memberikan resistensi normal pada jaringan oral dan membuat TB
oral jarang terjadi (Sezer et al., 2004). Selain itu, lidah tidak mengandung
jaringan limfoid yang signifikan dimana organisme M.Tb memiliki afinitas
yang besar. Semua faktor ini, relatif menghambat pertumbuhan mikobakteri di
mukosa mulut pada umumnya dan lidah pada khususnya. Meskipun demikian
lidah lebih sering terkena daripada jaringan mulut lainnya (Sumanth et al.,
2015)
Glositis TB hampir selalu muncul sebagai ulkus atau ulserasi kronis (Sareen
et al., 2006). Ulkus tersebut iregular, nodular dengan dasar indurasi.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran berupa lesi granulomatosa
dengan sentral yang dikelilingi oleh sel epiteloid dan sel raksasa jenis Langhans
(Sumanth et al., 2015; Gambar 2). Ulserasi memiliki berbagai presentasi klinis:
dapat bersifat nyeri hingga tidak nyeri, berupa bisul atau pembengkakan,
margin yang ireguler, pucat, dengan granulasi di dasar dan kadang-kadang
dengan slough atau eritema yang tipis (Kumar et al., 2011; Gambar 3).
Gambar 3. Lokasi dan presentasi klinis lesi TB pada lidah (Sumanth et al., 2015).
Tatalaksana
Karena pasien cenderung hiposalivasi, harus diedukasi untuk menjaga
kebersihan oral untuk mencegah infeksi. Tatalaksana dari glossitis yang
diakibatkan oleh xerostoma pada sindrom Sjögren yaitu dapat diberikan saliva
buatan atau obat antikolinergik. Untuk candidiasisnya dapat diberikan
antifungal seperti nystatin atau flukonazol. Konsultasikan terlebih dahulu
kepada dokter gigi (Villa, Christopher, dan Silvio, 2015).
Untuk penyakit dasarnya sendiri, yaitu Sindrom Sjögren, bisa diberikan
steroid tetapi harus dilakukan pemantauan ketat terhadap efek sampingnya,
mengingat bahwa steroid sendiri memiliki efek immunosupresan.
Konsultasikan pasien dengan ahli reumatologi untuk diagnosis dan
penatalaksanaan (Both et al, 2017).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Glositis merupakan kondisi peradangan akut atau kronis pada lidah ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang halus dan mengkilat.
2. Penyebab glositis dapat terjadi karena penyebab lokal (infeksi, trauma,
iritan) maupun sistemik (malnutrisi, anemia, penyakit kulit, HIV, obat-
obatan).
3. Berbagai penyakit sistemik dapat memiliki hubungan dengan glositis,
dimana hubungan yang terjadi adalah glossitis merupakan salah satu
manifestasi yang dapat terjadi karena perkembangan dari suatu penyakit
DAFTAR PUSTAKA