Anda di halaman 1dari 21

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 23 HARI DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Oleh:
Fadlan Akhyar Fauzi G99181026

Periode: 22 November – 23 November 2018

Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


Ilmu Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Presentasi kasus dengan judul :

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 23 HARI DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Hari, tanggal : Jumat, 23 November 2018.

Disusun oleh :
Fadlan Akhyar Fauzi
G99181026

Mengetahui dan Menyetujui,

Pembimbing Chief Residen

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA dr. Fandi

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas pasien
Nama : An. MF
Umur : 23 Hari
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. RM : 01439xxx
Alamat : Manyaran, Sragen, Jawa Tengah
Agama : Islam
Berat Badan : 4,1 Kg
Tinggi Badan : 80 cm
MRS : 11 November 2018
Tanggal Periksa : 22 November 2018

2. Keluhan Utama
Tidak bisa BAB

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 5 hari SMRS, pasienterlihat kuning, tidak ada demam,
minum asi seperti biasa, BAK banyak, BAB tidak ada keluhan, 2-3x/hari,
warna kuning, darah (-), lendir (-), pasien dibawa orangtuanya ke bidan,
dikatakan kondisi baik dan diminta menjemur bayi setiap pagi.
Sejak 1 hari SMRS, pasien tidak bisa BAB, perut terlihat
kembung, masih terlihat kuning, tidak demam, BAK tidak ada keluhan.
Di HMRS, keluhan belum membaik sehingga orangtua membawa pasien
ke IGD RSDM. Di IGD RSDM, pasien tampak tenang, perut tampak
bulat, tidak muntah, tidak demam, BAK tidak ada keluhan. Tidak ada
BAB darah atau lendir.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

3
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

5. Status Ibu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat jantung : disangkal

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di bidan, umur kehamilan 39 minggu, BB
3400 gram. Presentasi kepala, saat lahir menangis kuat gerak aktif.

8. Riwayat Kehamilan dan ANC


Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal
Riwayat ANC : pasien rutin kontrol kehamilan di bidan

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. KeadaanUmum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, BB: 4,1 Kg, PB: 80 cm
b. Kesadaran : Composmentis
c. Vital sign :
N : 140 x/menit, regular
RR : 30 x/menit
T : 36.6oC

4
SiO2 : 99%

2. General Survey
a. Kulit : ikterik (+), kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal, old man face (-), ubun-ubun cekung (-)
c. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+), cekung (-/-), air mata (+/+),
d. Telinga : sekret (-/-)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-),
darah (-/-)
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-), tonsil
T1-T1 hiperemis (-/-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)
h. Thorak : normochest, simetris, retraksi (-/-)
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).

j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : distended (+) supel, nyeri tekan (-), massa (-), defans
muscular (-), undulasi (-), hepar dan lien sulit
dievaluasi, turgor kulit sulit dievaluasi
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

m. Rectal toucher : TMSA (+), ampula longgar, mukosa licin, tidak


terdapat massa, feces menyemprot (+) sarung
tangan lendir darah (-)

5
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HOMEOSTASIS (19 November 2018)
PT 14.0 Detik 10.0 – 15.0
APTT 33.0 detik 20.0 - 40.0
INR 1.130 -
KIMIA KLINIK (20 November 2018)
Creatinin 0.3 mg/dl 0.2-0.4
Ureum 8 Mg/dl <48
Albumin 3.5 g/dl 3.8-5.4
Glukosa Darah 68 Mg/dl 50-80
Sewaktu
Bilirubin Total 8.16 Mg/dl 0.0 – 1.0
Bilirubin Direk 0.32 Mg/dl 0.0 – 1.20
Bilirubin Indirek 7.84 Mg/dl 0.0 – 0.7
CRP 0.1 Mg/dl <5
ELEKTROLIT (19 November 2018)
Natrium darah 138 mmol/L 129-147
Kalium darah 4.6 mmol/L 3.6-6.1
Chlorida darah 111 mmol/L 98 – 106

2. Baby Gram (19 November 2018)

6
Kesimpulan : 1. Meteorismus
2. Terpasang gastric tube dengan tip terproyeksi pada gaster

7
D. ASSESSMENT
Megacolon kongenital

E. PLANNING
1. Rawat bangsal HCU Neonatus
2. Infus D5 ¼ NS 16ml/jam
3. Injeksi Ampicilin Sulbactam (50mg/kg/12 jam)
4. Tunggu hasil Colon in Loop
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

8
Megakolon kongenital atau lebih dikenal dengan Hirschsprung’s
disease adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon karena tidak adanya
sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal (aganglionosis).
Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan
untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari
segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang
normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi
menyebabkan Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah
lahir ditandai dengan gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium
sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah dalam
waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic
terdapat pada rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang
utama pada kelainan ini adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan
cairan dan elektrolit serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang
atau pada apendiks dengan peritonitis.1,6,7

Gambar 1. Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada


megakolon kongenital
Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-
segment Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon,
dilatasi kolon Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal
achalasia.

9
B. Epidemiologi
Megakolon kongenital mempunyai prevalensi kejadian 1,65 dari
10.000 kelahiran hidup dan perbandingan laki-laki dengan perempuan
adalah 2:1.Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko
terjadinya megakolon kongenital. Penyakit ini lebih sering terjadi diturunkan
oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Risiko tertinggi terjadinya
megakolon kongenital biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga yang sama dan pada penderita down syndrome.4,5,6

C. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital
pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang
merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal
dengan jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal
(Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan
kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini,
mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum
diketahui.7
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang
apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada
minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12
kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya
gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun
etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada
kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi
di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus
dan komponen-komponennya membutuhkan pertumbuhan dan
perkembangan secara neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell
adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor neurotropik.1
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal
(Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih
kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala

10
aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran
darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan
dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan
serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk,
sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi,
baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem
adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik
(inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya
nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak
tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot
polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.6

D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik megakolon kongenital dibagi menjadi:
1. Megakolon kongenital segmen pendek : apabila segmen aganglionik
meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang : apabila segmen aganglionik
lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total : apabila segmen aganglionik
mengenai seluruh kolon (5-11%).
4. Kolon aganglionik universal : apabila segmen aganglionik
meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)1
E. Manifestasi Klinik
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yaitu pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Keterlambatan pengeluaran
mekonium sangat penting dimana hampir setengah kejadian megakolon
kongenital tidak dapat mengeluarkan mekonium dalam 36 jam sejak

11
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang
manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.1,2,8
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa. Dapat
pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Pada anak-anak sering
terjadi abdominal discomfort dan distensi abdomen karena efek dari
konstipasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan berat badan dan gizi
buruk.1,2

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Pada neonatus :
a. Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jam
b. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
c. Terdapat distensi abdomen
d. Muntah
Pada anak :
a. Konstipasi kronis
b. Mungkin terdapat distensi abdomen
c. Berat badan tidak bertambah
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan
perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang.
Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum
yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot
keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut
menghilang untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi

12
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:

Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;

Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;

Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda
khas megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto
retensi barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feses. Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang membaur
dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita
yang bukan megakolon namun disertai dengan obstipasi kronis,
maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.9
b. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan pleksus
submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan serabut saraf
parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika
menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase
dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin
eosin. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli
patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan
dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya
perdarahan. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan
5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap
meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk
menilai pleksus auerbach.9
c. Manometri anorektal

13
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang
melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya, manometri
anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis,
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2
komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti
balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti
poligraph atau komputer.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan
pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar
dibandingkan pada neonatus. Beberapa hasil manometri anorektal
yang spesifik untuk megakolon kongenital:

Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;

Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;

Sampling refleks tidak berkembang;

Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi spontan.1,5

G. Diagnosis Banding
1. Megacolon akut
2. Megacolon kronik
3. Konstipasi
4. Hipotiroid
5. Intestinal Motility Disorders
6. Irritable Bowel Syndrome
7. Toxic Megacolon

H. Penatalaksanaan
1. Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat

14
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi
elektrolit serta penjagaan nutrisi.1
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri atas
tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah
sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal
bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita
megakolon kongenital.
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan
pada saat penderita masih neonatus.1
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum
dibalikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar
anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali
didorong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through
Swenson.
Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru dilakukan
setelah anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Banyak
anak laki-laki yang impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf
yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.
b. Metode Rehbein / State

15
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang
untuk memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang
ditinggalkan.
Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi 2-3 hari
sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini mudah terjadi
residif.
c. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian
proksimalnya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke
bagian berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal,
disambungkan tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi
belakang rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side, dengan
ini sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang
aganglioner tidak dipakai.
Saraf-saraf yang melekat pada prostat tidak terganggu,
trauma operasi kecil, sehingga dapat dilakukan pada bayi-bayi usia
8-9 bulan, bahkan 4 bulan.

d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan
Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi
anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan
untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon
proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah
dikupas.

I. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah pada megakolon kongenital dapat
digolongkan menjadi kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan

16
gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi
terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi,
kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik serta perawatan pasca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang
tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses
sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi
yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan
angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan
prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur
Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun
mengalami kebocoran.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda
dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur
Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.

17
Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis,
mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian
akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5%
dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan
Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur
Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-
tanda enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung
penyebab/prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis,
sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani dapat juga dilakukan
reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter
ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada
prosedur Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah
pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan
pemotongan ulang yang lebih panjang.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil
pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan
penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital,
mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena
obstruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis
anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik.
Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair
dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling
parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada

18
megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau
kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu
untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal
tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces
lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-
sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca
operasi sangatlah menentukan. Swenson memperoleh angka 13,3%
terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2%
dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk
prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%. Pembedahan
dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.

J. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi antara
lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur Duhamel
6,2%.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan


Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
2. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
3. Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprung’s disease:
congenital megacolon. In: Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.:
Saunders, 2002:2131-5.
4. Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North
ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res
AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.

20
5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114.
6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
7. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.
8. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77.
9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
10. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

21

Anda mungkin juga menyukai