Anda di halaman 1dari 12

REFERENSI ARTIKEL

LEUKOPLAKIA

Oleh :

Abdul Fatah R H G99181001

Pembimbing :

drg. Vita Nirmala Ardanari, Sp.Pros, Sp.KG

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi Artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi. Referensi artikel dengan judul:

LEUKOPLAKIA

Hari, tanggal: , Juni 2019

Oleh:
Abdul Fatah R H G99181001

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi

drg. Vita Nirmala Ardanari, Sp.Pros, Sp.KG


1. LEUKOPLAKIA
a. Definisi
Dalam beberapa tahun terakhir definisi Leukoplakia menurut WHO
telah mengalami perubahan. Sejak dipaparkan sejak tahun 1978,
leukoplakia didefiniskan sebagai bercak atau plak berwarna putih yang
tidak bisa dikategorikan secara klinis maupun patologis sebagai penyakit
lain (WHO, 1978). Kemudian hampir setiap dekade terdapat definisi baru,
hingga pada tahun 1997 definisi Leukoplakia menurut WHO adalah
sebuah lesi putih pada mulut yang dominan yang tidak dapat
dekategorikan sebagai lesi definitif lainnya (WHO, 1997). Menurut
Warnakulasuriya (2007) leukoplakia adalah sebuah plak putih dengan
risiko peningkatan kanker mulut dipertanyakan setelah menyingkirkan
penyakit atau kelainan yang telah diketahui tidak meningkatkan resiko
kanker.

b. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi leukoplakia sampai saat ini belum diketahui secara pasti.


Tetapi beberapa studi menjelaskan bebarapa faktor predisposisi untuk
terjadinya leukoplakia meliputi,:
1. Faktor lokal
Faktor lokal biasanya berhubungan dengan iritasi kronis, antara lain:
a. Trauma, trauma dapat merupakan gigitan pada tepi atau akar gigi yang
tajam, iritasi dari gigi yang malposisi, pemakaian protesa yang kurang
baik, serta adanya kebiasaan yang jelek seperti menggigit-gigit
jaringan mulut, bukal, maupun lidah sehingga menyebabkan iritasi
kronis pada mulut.
b. Kemikal atau termal, iritan mekanis lokal dan berbagai iritan kimia
akan menimbulkan hiperkeratosis dengan atau tanpa disertai
perubahan displastik. Penggunaan bahan- bahan kaustik kemungkinan
akan menyebabkan terjadinya leukoplakia dan terjadinya keganasan.
Bahan- bahan kaustik tersebut antara lain alkohol dan temabakau.
Terjadinya iritasi pada rongga mulut tidak hanya karena asap rokok
dan panas yang terjadi pada waktu merokok, akan tetapi dapat juga
disebabkan karena zat- zat didlama tembakau yang ikut terkunyah.
Sedangkan alkohol merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya leukoplakia. Menurut sebuah studi,
penggunaan alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
iritasi mukosa.
c. Faktor lokal yang lain.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah infeksi bakteri, penyakit
periodontal serta higienen mulut yang kurang baik, seperti kandida
yang terdapat dalam preparat histologis, leukoplakia dan sering
dihubungkan dengan leukoplakia noduler.
2. Faktor sistemik
a. Penyakit sistemik
Penyakit sistemik yang dapat menyebabkan pembentukan leukoplakia
adalah sifilis tersier, anemia hidrofenik, dan xerostomia yang
diakibatkan oleh penyakit kelenjar saliva.
b. Bahan- bahan yang diberikan secara sistemik, misalnya alkohol, obat-
obat anti metabolit, serum antilimfosit spesifik yang mampu
mempermudah timbulnya leukoplakia.
c. Defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin A diperkirakan dapat
meningkatkan metaplasia dan keratinisasi dari susunan epitel,
terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa respiratorius.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari
dua tahap. Yaitu tahap praleukoplakia dan tahap leukoplakia. Pada tahap
praleukoplakia mulai terbentuk warna plaque abu-abu tipis, bening,
translusen, permukaannya halus dengan konsistensi lunak dan datar. Tahap
leukoplakia ditandai dengan pelebaran lesi ke arah lateral dan membentuk
keratin yang tebal sehingga warna menjadi lebih putih, berfisura dan
permukaan kasar sehingga mudah membedakannya dengan mukosa
sekitarnya.
(Patterson, 2004).

c. Klasifikasi
Berdasarkan bentuk klinisnya Bucket dalam Patterson (2004)
menggolongkan leukoplakia dalam 3 jenis:
1) Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks)
Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan suatu
pola yang relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak dengan
pola garis-garis halus, keriput atau papilomatous.
2) Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik
yang kecil tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplaqueik) dari
mukosa.Dua pertiga dari kasus menunjukkan tanda-tanda displasia
epitel atau karsinoma pada pemeriksaan histopatologik.
3) Verrucous leukoplakia
Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak
tonjolan seperti papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan
suatu lesi pada dorsum lidah.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap,
pemeriksaan klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna,
predileksi tempat dan perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan
dengan jaringan sekitar) dan yang terakhir dengan pemeriksaan biopsi.
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum,
kebiasaan sehari-hari misalnya merokok, minum alkohol, mengunyah
sirih dan menyuntil tembakau. Dahulu, penderita leukoplakia
didominasi oleh usia lanjut akibat penurunan daya tahan tubuh.
Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda akibat konsumsi
rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah seimbang karena
sudah banyak wanita yang merokok.
b. Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan
putih keruh. Selanjutnya plaque meninggi dengan tipe yang
berkembang tidak teratur. Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi
menjadi tebal, berwarna putih, menunjukkan adanya pengerasan,
membentuk fisura-fisura dan terakhir adalah pembentukan ulser.
Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen (kecuali yang didasar
mulut) cenderung mempunyai risiko displasia rendah, namun nodular,
speckled dan erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya jika
mempunyai displasia berat. Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang
kemudian berubah menjadi ganas adalah bentuk verukosa dan bentuk
nodular.
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan
penegakan diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan
histopatologi dan sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi
sel epitelium, terutama pada bagian superfisial. Secara mikroskopis,
perubahan ini dapat dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu hiperkeratosis,
hiperparakeratosis, akantosis, diskeratosis atau displasia, carcinoma
in situ.

Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu


peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum
corneum, dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas.
Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang
normal maka akan menyebabkan permukaan epitel rongga mulut
menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi.

Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan


melihat timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin
dalam keadaan normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di
dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di daerah yang
biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan
parakeratin disebut sebagai parakeratosis. Dalam pemeriksaan
histopatologis, adanya ortokeratin, parakeratin, dan
hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang
lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi
akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan
granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan
hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-
kasus yang parah.

Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang


abnormal dari lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang
kemudian dapat menjadi parah disertai pemanjangan, penebalan,
penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau hanya kelihatannya
saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama
atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga
mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat
dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa
dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak
berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun
parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada
perubahan jaringan yang ada di atasnya.

Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk


mendiagnosis suatu displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada
perbedaan yang jelas antara displasia ringan, displasia parah, dan
atipia yang mungkin dapat menunjukkan adanya suatu keganasan atau
berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria yang digunakan untuk
mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya peningkatan
yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu;
adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan spinosum; perubahan
perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya polaritas
dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran
inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan “giant
nuclei”; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta
adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma
in situ.

Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan


granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat
dilihat. Hal ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang
dalam pemeriksaan intra oral kelainan tersebut tampak jelas. Pada
umumnya, antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki
perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang luas dan
menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai
dasar.

d. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif


Digunakan untuk menegakkan diagnosis keganasan. Pemeriksaan
sitologik eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi
keadaan keganasan sedini mungkin dan merupakan kontrol pada false
negatif biopsi serta menghindari biopsi yang tidak perlu. Faktor yang
mempengaruhi ketepatan pemeriksaan adalah lokasi dan jenis lesi,
ketebalan lapisan keratin atau keadaan hiperkeratotik akan
menyebabkan sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit untuk ikut
teridentifikasi karena tersembunyi.
(Amin, 2010).

f. Diagnosis Banding
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa
kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya “diferensial diagnosis” atau
diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi
leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat
dibedakan dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa
dilakukan biopsy. Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah
dengan pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga
terdapat dalam rongga mulut, yang memerlukan diagnosis banding dengan
leukoplakia. Lesi tersebut antara lain: syphililitic mucous patches; “lupus
erythematous” dan ” white sponge nevus”; infeksi mikotik, terutama
kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa
mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau
makanan yang pedas.

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan


yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara
klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen
plannus” dan“white sponge naevus”.

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan


yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara
klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen
plannus” dan “white sponge naevus”.

(Amin, 2010)

g. Terapi
Manajemen penanganan leukoplakia adalah untuk mendeteksi dan
mencegah transformasi menjadi keganasan. Pertama-tama dengan
penghentian aktivitas beresiko seperti merokok hingga dibutuhkannya
evaluasi secara histologis. Derajat displasia dapat membantu dalam
pemilihan terapi. Leukoplakia resiko keganasan rendah (tidak ada displasia
atau displasia sederhana) dapat dilakukan pembuangan lesi baik secara
keseluruhan ataupun tidak. Pilihannya tergantung faktor lain seperti lokasi,
ukuran, dan keterlibatan pasien dengan merokok. Keberadaan displasia
epitel sedang atau berat disarankan dengan penanganan operatif (Napier,
2008).
Penanganan operatif dapat mengunakan bedah konvensional,
elektrokauterisasi, atau cryosurgery. Leukoplakia kambuhan setelah
penangan bedah eksisi dapat terjadi pada lebih dari 10% kasus. Cryotherapy
tidak dianggap sebagai terapi lini pertama dari leukoplakia sebab memiliki
resiko timbulnya jaringan parut pascaoperasi dan menyebabkan kontraksi
jaringan. Perawatan medis menggunakan agen kemopreventif lokal dan
sistemik seperti vitamin A dan retinoid, beta karoten, likopen, ketorolac
(obat kumur), bleomycin lokal dan campuran teh yang digunakan secara
topikal atau sistemik bermanfaat dapat mengurangi lesi. Pilihan lain adalah
pengamatan terhadap leukoplakia secara klinis dan histologis tanpa
pengobatan lain. Pilihan ini digunakan untuk mengamati transformasi
keganasan dan memperkirakan pengobatan spesifik berikutnya (Lodi,
2008).
h. Prognosis
Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara
klinis menunjukkan hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi,
bila telah menunjukkan proses diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel
atipia maka prognosisnya kurang menggembirakan, karena diperkirakan
akan berubah menjadi suatu keganasan.
DAFTAR PUSTAKA

Amagasa T, Yamashiro M, Uzawa N. (2011). Oral premalignant lesion: from a


clinical perspective. International Journal of Clinical Oncology, 16: 5-14.
Arruda JAA, Alvares PR, Sobral APV, Mesquita RA. (2016). A review of the
surgocical and nonsurgical treatment of oral leukoplakia. Journal of
Dentistry & Oral Disorder, 2(2): 1-7.
Banoczy J. (1983). Oral leukoplakia and other white lesions of the oral mucosa
related to dermatological disorders. Journal of Cutaneous Pathology, 10:
238-256.
Blaggana A, Blaggana V, Vohra P. (2011). Oral leukoplakia: A therapeutic
challenge – An update. J Innov Dent. 1:1-5
Brouns ER, Baart JA, Bloemena E, Karagozoglu H, van der Waal I. (2013). The
relevance of uniform reporting in oral leukoplakia: Definition, certainty
factor and staging based on experience with 275 patients. Medicina Oral,
Patologia Oral y Cirugia Bucal, 18: 19-26.
Caldeira K, Davis SJ, Peters GP. (2011). The supply chain of CO2 emission.
Proceedings of National Academy of Sciences, 108(45): 1-5.
Chandu A, Smith AC (2005). The use of CO2 laser in the treatment of oral white
patches: outcomes and factors affecting recurrence. International Journal of
Oral & Maxillofacial Surgery, 34: 396-400.
Downer MC, Petti S. (2005). Leukoplakia prevalence estimate lower than expected.
Evidence-Based Dental Practice, 6:12.
Feller L, Lemmer J. (2012). Oral leukoplakia as it relates to HPV infection: A
review. International Journal of Dental Hygiene, 2: 540-561.
Kawanishi S, Murata M. (2006). Mechanism of DNA damage induced by bromate
differs from general types of oxidative stress. Toxicology, 221(2): 172-178.
Kuribayashi Y, Tsushima F, Sato M, Morita K, Omura K. (2012). Recurrence
patterns of oral leukoplakia after curative surgical resection: important
factors that predict the risk of recurrence and malignancy. Journal of Oral
Pathology & Medicine, 41: 682-688.
Lodi G, Porter S (2008). Management of potentially malignant disorders: evidence
and critique. J Oral Pathol Med 37:63-69
Martorell-Catalayud A, Botella-Estrada R, Bagan-Sebastian JV, Sanmartin-
Jimenez O, Guillen-Baronaa C. (2009). Oral leukoplakia: Clinical,
histopatologic, and molecular features and therapeutic approach. Actas
Dermosifiliogr. 100:669-84
Morse DE, Psoter WJ, Cleveland D, Cohen D, Mohit-Tabatabai M, Kosis DL, et
al. (2007). Smoking and drinking in relation to oral cancer and oral epithelial
dysplasia. Cancer Causes Control. 18:919-29
Napier SS, Speight PM (2008) Natural history of potentially malignant oral lesions
and conditions: an overview of the literature. J Oral Pathol Med 37:1-10
Patterson Dental Supply (2004). Leukoplakia.
http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf
Reibel J. (2003). Prognosis of oral premalignant lesions: significance of clinical,
histopathological, and molecular biological characteristics. Critical Reviews
in Oral Biology & Medicine, 14(1): 47-62.
Schepman JV, Bezemer PD, van der Meij EH, Smeele LE, van der Waal I. (2001).
Tobacco usage in relation to the anatomical site of oral leukoplakia. Oral
Disease. 7:25-7
Soames JV, Southam JC. (1999). Oral Pathology. Oxford: Oxford University Press.
p. 139-140.
Thomson PJ, Hamadah O.(2007). Cancerisation within the oral cavity: The use of
'field mapping biopsies' in clinical management. Oral Oncology, 43: 20-26.
Torres-Rendon A, Stewart R, Craig GT, Wells M, Speight PM. (2009). DNA ploidy
analysis by image cytometry helps to identify oral epithelial dysplasias with
a high riskof malignant progression. Oral Oncology, 45: 468-473.
Warnakulasuriya S, Johnson NW, can der Waal I. (2007). Nomenclature and
classification of potentially malignant disorders of oral mucosa. Journal of
Oral & Pathology Medicine, 36: 575-580.
Wu L, Feng J, Shi L, Shen X, Liu W, Zhou Z. (2013). Candidal infection in oral
leukoplakia: A clinicopathologic study of 396 patients from eastern China.
Ann Diagn Pathol 17:37-40
World Health Organization Collaborating Centre for Oral Precancerous
lesions. Definition of leukoplakia and related lesions: an aid to studies on
oral precancer. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1978; 46: 518–39.

Anda mungkin juga menyukai