Anda di halaman 1dari 14

PRESENTASI KASUS

SEORANG PEREMPUAN USIA 70 TAHUN


DENGAN SUBKONJUNGTIVAL BLEEDING

DISUSUN OLEH :

ABDUL FATAH R. G99181001


FHANY GRACE LUBIS G99171053
KHOIRUNNISA G99181038
NURUL HIDAYAH G99172130
ZAHRA ADDINA G99181071

PENGUJI :
dr. RETNO WIDIATI, SP. M.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
Diagnosis Banding Perdarahan Subkonjungtiva:
- Konjungtivitis
- Skleritis

1. Konjungtivitis
a. Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah
penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang
mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia
ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret
purulen kental (Hurwitz, 2009).
Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada
mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan
topical dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien
dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan
menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).
b. Pembagian Konjungtivitis
Konjungtivitis Bakteri
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan
oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan
mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut
biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N
meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada
bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia
coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis
sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla,
2009).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang
lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak
dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti
streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada
mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal
tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal
dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ
sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu
penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotik (Visscher, 2009).
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel
yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya
adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan
oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva
(Amadi, 2009).
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya
dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu
sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada
konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema
pada kelopak mata (AOA, 2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret
dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal.
Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi
hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena
mungkin saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh
pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu
dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada
pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat
penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan,
penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-
obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri,
kecuali pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di
konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal
aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat
mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis
dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka
parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan
trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan
menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal
spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan
oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan
sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus
konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan
sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan
oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,
2010).
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan
herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga
dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70,
Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita
dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda
yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang
terkontaminasi (Ilyas, 2008).
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada
setiap jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz,
2009). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada
etiologi.
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh
adenovirus biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair
berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat
subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan
selama lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini
biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan
gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam (Senaratne &
Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi
unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai
keratitis herpes.
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,
karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan
tipe-tipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan
gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-
faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis
konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk
ditanyakan onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang
terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis
bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan
pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena
menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi,
namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah
terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi
hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering
dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh
sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering
terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1
(Majmudar, 2010).
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu
konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan
yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan,
2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda
sesuai dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan
tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu
hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu
tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema
dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan
riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna
lensa-kontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-
kategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan
keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva,
dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis
vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang
berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di
konjungtiva tarsalis inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia
merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.
Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak
putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan
pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip
konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien
serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis
alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah
rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan
fotofobia (Weissman, 2010).
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin
topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal
jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).

Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans
dan merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan
adanya bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan
keadaan sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga
dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan
Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
2. Skleritis
Merupakan suatu radang kronis granulomatosa pada sclera. Kelainan ini
ditandai dengan infiltrasi seluler, destruksi kolagen, dan remodeling vascular.
Perubahan-perubahan ini diperantarai oleh proses imunologis atau akibat infeksi.
Sebagian besar disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV yang berkaitan
dengan penyakit sistemik. Kelainan ini jarang dijumpai, biasanya terjadi bilateral
(pada sepertiga kasus), lebih banyak diderita oleh wanita, dan khas timbul pada
dekade kelima atau keenam kehidupan.

Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan :
1. Nyeri hebat pada bola mata, konstan, dan tumpul. Nyeri dapat menyebar ke
dahi, alis, dan dagu.
2. Intensitas nyeri sangat berat hingga membuat pasien terbangun pada malam hari
3. Ketajaman penglihatan berkurang
4. Mata merah berair
5. Fotofobia
- Penyebab skleritis :
1. Penyakit Autoimun
a. Arthritis Rheumatoid
b. Poliathritis Nodosa
c. Polikondritis berulang
d. Granulomatosis Wegener
e. Lupus Eritematosus sistemik
f. Pioderma Gangrenosum
g. Kolitis Ulseratif
h. Nefropati IgA
i. Arthritis Psoariatika
2. Penyakit Granulomatosa dan Infeksiosa
a. Tuberculosis
b. Sifilis
c. Sarkoidosis
d. Toksoplasmosis
e. Herpes Simpleks
f. Herpes Zooster
g. Infeksi Pseudomonas
h. Infeksi Streptokokus
i. Aspergilosis
j. Lepra
3. Lain-lain
a. Fisik (radiasi, luka bakar termal)
b. Kimia (luka bakar asam atau basa)
c. Penyebab mekanis (trauma tembus, pembedahan)
d. Limfoma
e. Rosacea
4. Tidak diketahui

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


- Pemeriksaan fisik :
1. Bola mata sangat nyeri bila ditekan
2. Injeksi hebat pada pembuluh darah skleral dan episkleral (Bola mata berwarna
ungu gelap akibat dilatasi pleksus vaskular profunda di sclera dan episklera,
yang mungkin nodular, sektoral, atau difus)
3. Tekanan intra okuler meningkat
4. Dengan penetesan fenilefrin 10% tidak akan terjadi vasokonstriksi.
- Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi penyakit sistemik yang
terkait.
a. Hitung darah lengkap dan laju endap darah
b. Faktor Rheumatoid Serum (RF)
c. Antibodi Antinukleus Serum (ANA)
d. PPD, Rontgen toraks
e. FTA-ABS, VDRL-serum
f. Kadar asam urat serum
g. Urinalisis
2. Pemeriksaan rontgen orbita untuk menyingkirkan kemungkinan adanya benda
asing.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


- Klasifikasi :
1. Skleritis anterior difus dan nodular
2. Skleritis posterior
- Diagnosis Klinis :
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
- Komplikasi :
1. Keratitis perifer
2. Glaucoma
3. Granuloma subretina
4. Uveitis
5. Ablasi retina eksudatif
6. Proptosis katarak
7. Hipermetropia
8. Keratitis sklerotikan
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
- Penatalaksanaan :
1. Obat anti-inflamasi non-steroid sistemik :
a. Indometasin 100 mg sekali sehari selama 4 hari, kemudian turunkan menjadi
75 mg per oral sekali sehari sampai peradangan hilang, atau
b. Ibuprofen 600 mg/hari
2. Terapi antimikroba spesifik harus diberikan jika diketahui terdapat penyebab
infeksi
- Konseling & Edukasi :
Menjelaskan etiologi dari penyakit ini adalah suatu proses autoimun atau
berhubungan dengan kondisi sistemik

Prognosis
- Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan : dubia ad
bonam
- Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi
manusia dalam melakukan tugasnya : dubia ad bonam
- Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat
beraktivitas seperti biasa : dubia ad bonam
Tabel Perbedaan pada Masing-Masing Diagnosis Banding
Perdarahan
Konjungtivitis Skleritis
Subkonjungtiva
Etiologi - Minor trauma - Bakteri - Penyakit sistemik
- Hipertensi tidak - Virus - Pembedahan mata
terkontrol - Alergi - Glaukoma
- Penggunaan obat
anti koagulan
- Manuver valsava
Kemerahan Berwarna merah Berwarna merah Berwarna merah
pada mata menyala atau merah muda keunguan
tua bila sudah lama
Sekret Tidak ada Ada, konsistensi Tidak ada
sesuai dengan
etiologi
Mata berair Tidak ada Ada Ada
Nyeri Tidak ada Ada (+) Ada (+++)
Gatal Tidak ada Ada, terutama Tidak ada
konjungtivitis
alergi
Fotofobia Tidak ada Ada Bisa ada, bias tidak
ada
Tajam Tidak terganggu Tidak terganggu Tidak terganggu
Penglihatan

Anda mungkin juga menyukai