Anda di halaman 1dari 21

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 3 TAHUN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Oleh:
Fauziah Nur Sabrina
G99181030

Periode : 21 - 22 November 2019

Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp. B, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


Ilmu Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Presentasi kasus dengan judul :

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 3 TAHUN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Hari, tanggal: Jumat, 22 November 2018.

Disusun oleh:
Fauziah Nur Sabrina
G99181030

Mengetahui dan Menyetujui,

Pembimbing Chief Residen

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA dr. Mia Rachmi Widyaningrum

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : By. Z
Umur : 3 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Karangrejo
Tanggal Masuk : 18 November 2019
Tanggal Periksa : 21 November 2019
No. RM : 0147xxxx

II. Keluhan Utama


Perut kembung

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis ke ibu pasien. Pasien
dibawa oleh orangtuanya ke Poli Bedah Anak Rumah Sakit Dr Moewardi
dengan keluhan perut kembung. Keluhan sudah dirasakan sejak pasien baru
lahir. Saat baru lahir pasien mengeluhkan tidak BAB dalam 24 jam, muntah
(-), kemudian pasien didiagnosis megacolon kongenital. Selama 3 tahun
pasien BAB menggunakan rectal tube. BAB 1x sehari, konsistensi tinja
lunak, warna kuning kecoklatan, darah (-), lemak (-), lendir (-).

3
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit serupa : riwayat tidak bisa BAB (+) sejak lahir
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat mondok : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa: disangkal

VI. Riwayat Kelahiran


Pasien lahir pervaginam dalam keadaan cukup bulan (aterm) dari seorang
ibu P3A0 di rumah sakit dengan ditolong dokter. Pasien lahir dengan berat
badan lahir 3,5 kilogram. Tidak ada keluhan selama hamil. Mual dan
muntah masih dalam batas wajar.

VII. Riwayat Kehamilan


Riwayat ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal

VIII. Riwayat Imunisasi


Hepatitis B : lengkap
Polio : lengkap
BCG : lengkap
Hib : lengkap
PCV : lengkap
Rotavirus : lengkap
Booster : lengkap

4
IX. Riwayat Nutrisi
Pasien meminum ASI eksklusif hingga 2 tahun. Saat usia 6 bulan
sempat mengalami penurunan berat badan dan mengonsumsi susu soya.
Kemudian umum 2 tahun mengganti susu formula ditambah dengan
makanan pendamping. Makanan pendamping ASI sudah dimulai sejak usia
6 bulan dengan porsi cukup.

B. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, buka mata spontan, status
gizi cukup
b. Vital sign :
N : 114 x/menit regular, simetris, isi, tegangan cukup
RR : 27 x/menit
T : 36,6oC
SiO2 : 99%
c. Kulit : Kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit
(-), hiperpigmentasi (-)
d. Kepala : mesocephal, UUB cekung (-)
e. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung
(-/-), reflex cahaya (+/+), pupil isokhor
(2mm/2mm), air mata (+/+)
f. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
g. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-),
keluar darah (-).
h. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-)
i. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
j. Thorak : normochest, retraksi (-), dinding dada simetris
k. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.

5
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
l. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
m. Abdomen
lihat status lokalis
Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

n. Rectal toucher : TMSA (+), mukosa licin, tidak terdapat massa,


feces (+) lunak, warna kecoklatan.

Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : Distensi (+), Darm Contour (-), Darm Steifung (-),
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, defans muscular (-), nyeri tekan sde

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Laboratorium Darah (18/11/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10,1 g/dl 15 – 13,0
Hematokrit 30 % 28 - 42
Leukosit 10,1 ribu/µl 5,0 - 19,5

6
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Trombosit 468 ribu/µl 150 - 450
Eritrosit 4,48 juta/µl 3,10 - 4,30
Golongan Darah O
Golongan Darah Rh Positif
Homeostasis
PT 12,5 detik 10 - 15
APTT 30,1 detik 20 – 40
INR 0,950
Kimia Klinik
GDS 111 mg/dl 60 – 100
Albumin 4,7 g/dl 3,8 – 5,4
Ureum 19 mg/dl <48
Creatinine 0,2 mg/dl 0,3 - 0,7
Elektrolit
Natrium Darah 131 mmol/L 132 – 145
Kalium Darah 4,7 mmol/L 3,1 – 5,1
Klorida Darah 108 mmol/L 98 – 106
Serologi Hepatitis
HbsAg Nonreactive Nonreactive

7
II. Foto Colon in Loop (25/10/2019)

Kesimpulan :
Menyokong gambaran megacolon kongenital

D. ASSESSMENT
Megacolon kongenital

E. PLANNING
1. Mondok bangsal
2. Pro operasi TAERPT
3. Pasang Rectal Tube
4. Wash Out 2x/24 jam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Megakolon kongenital atau lebih dikenal dengan Hirschsprung’s
disease adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon karena tidak adanya
sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal (aganglionosis). Sel-
sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk
mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini
menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal
sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan
Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai
dengan gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi
distensi abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai
72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada rectum dan
kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini adalah
terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta perforasi
pada kolon yang membesar dan tegang atau pada apendiks dengan
peritonitis.1,6,7

Gambar 1. Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada


megakolon kongenital

9
Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-
segment Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon,
dilatasi kolon Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal achalasia.

B. Epidemiologi
Megakolon kongenital mempunyai prevalensi kejadian 1,65 dari
10.000 kelahiran hidup dan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah
2:1. Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko
terjadinya megakolon kongenital. Penyakit ini lebih sering terjadi diturunkan
oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Risiko tertinggi terjadinya
megakolon kongenital biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga yang sama dan pada penderita down syndrome.4,5,6

C. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital
pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang
merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan
jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal
(Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan
kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini,
mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum
diketahui.7
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang
apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu
ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah
satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari
neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan
bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast
untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal
aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-
komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara

10
neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule
(NCAM), dan faktor-faktor neurotropik.1
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal
(Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih
kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala
aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan
dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat
adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk,
sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik
kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik
(excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor)
sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves
inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak
tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot
polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.6

D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik megakolon kongenital dibagi menjadi:
1. Megakolon kongenital segmen pendek : apabila segmen aganglionik
meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang : apabila segmen aganglionik
lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total : apabila segmen aganglionik
mengenai seluruh kolon (5-11%).
4. Kolon aganglionik universal : apabila segmen aganglionik
meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)1

11
E. Manifestasi Klinik
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yaitu pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Keterlambatan pengeluaran
mekonium sangat penting dimana hampir setengah kejadian megakolon
kongenital tidak dapat mengeluarkan mekonium dalam 36 jam sejak lahir.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera.1,2,8
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa. Dapat pula
terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Pada anak-anak sering
terjadi abdominal discomfort dan distensi abdomen karena efek dari
konstipasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan berat badan dan gizi
buruk.1,2

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Pada neonatus :
a. Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jam
b. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
c. Terdapat distensi abdomen
d. Muntah
Pada anak :
a. Konstipasi kronis

12
b. Mungkin terdapat distensi abdomen
c. Berat badan tidak bertambah
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan
perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang.
Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang
sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar
dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang
untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit
untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang
merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
 Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
 Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
 Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses.
Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang membaur dengan
feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
megakolon namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium
terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.9
b. Pemeriksaan patologi anatomi

13
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan pleksus
submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan serabut saraf
parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika
menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase
dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin
eosin. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli
patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat
memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya
perdarahan. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan
5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
auerbach.9
c. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang
melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya, manometri
anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis,
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2
komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti
balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph
atau komputer.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan
pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar
dibandingkan pada neonatus. Beberapa hasil manometri anorektal
yang spesifik untuk megakolon kongenital:
 Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
 Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;
 Sampling refleks tidak berkembang;

14
 Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi spontan.1,5

G. Diagnosis Banding
1. Megacolon akut
2. Megacolon kronik
3. Konstipasi
4. Hipotiroid
5. Intestinal Motility Disorders
6. Irritable Bowel Syndrome
7. Toxic Megacolon

H. Penatalaksanaan
1. Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum
penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan
non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa, dan
mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya
perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan
nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan infus, pemasangan
pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase
kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.1
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri atas
tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah
sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian
distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita
megakolon kongenital.

15
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik. Saat
ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan pada
saat penderita masih neonatus.1
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum
dibalikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar
anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didorong
ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson.
Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru dilakukan
setelah anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Banyak
anak laki-laki yang impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf
yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang untuk
memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang ditinggalkan.
Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi 2-3 hari
sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini mudah terjadi
residif.
c. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian
proksimalnya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke
bagian berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal,
disambungkan tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi
belakang rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side, dengan
ini sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang
aganglioner tidak dipakai.

16
Saraf-saraf yang melekat pada prostat tidak terganggu, trauma
operasi kecil, sehingga dapat dilakukan pada bayi-bayi usia 8-9 bulan,
bahkan 4 bulan.

d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak
tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan
bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal
yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas.

I. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah pada megakolon kongenital dapat
digolongkan menjadi kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi
terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi,
kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik serta perawatan pasca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang
tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan angka
kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur
Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel
modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami
kebocoran.

17
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan
suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat
dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis
dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat
kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur
Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan
yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari
businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian
akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5%
dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan
Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur
Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.

18
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur
operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi
posterior untuk spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang
stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat
sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur
Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan
septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang
yang lebih panjang.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil
pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan
penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital,
mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena
obstruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis
anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik.
Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan
berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling
parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada
megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau
kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu
untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal
tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces
lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-
sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca
operasi sangatlah menentukan. Swenson memperoleh angka 13,3%
terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2%

19
dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk
prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%. Pembedahan
dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.

J. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi antara
lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur Duhamel
6,2%.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan


Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
2. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
3. Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprung’s disease: congenital
megacolon. In: Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease:
Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Saunders,
2002:2131-5.
4. Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North
ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res
AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.
5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON
TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia.
Page 2113-2114.
6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
7. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.
8. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77.
9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
10. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

21

Anda mungkin juga menyukai