Anda di halaman 1dari 21

REFERAT BEDAH SARAF

SYRINGOMYELIA

Oleh :
Nadia Cahya G99182007
Ghina Shabrina Awanis G99181033
Kirana Pawitra Nareswari G991902032
Abdul Fatah Rohadi H G99181001

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH|


FAKULTAS KEDOKTERAAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Syringomyelia adalah kelainan kronis, progresif, degeneratif pada medula


spinalis yang berupa lubang/ kavitasi pada bagian tengah medula spinalis segmen
servikal. Syringomyelia juga menyebabkan deficit motorik dan sensorik yang
khas. Umumnya siring pertama kali terjadi pada medulla spinalis cervical bawah.
Syringomyelia merupakan gangguan degeneratif yang bersifat kronik
progresif dengan gejala awal timbul pada usia dewasa awal (25 - 40 tahun).
Kasus ini sangat jarang ditemukan, insiden pada laki-laki sama dengan
perempuan. Syringomyelia umumnya terjadi pada usia 25-40 tahun dengan
insidensi pada laki-laki sedikit lebih besar daripada perempuan. Pada beberapa
kasus syringomyelia bersifat familial meskipun jarang terjadi. Hanya terdapat
kurang dari 1% kasus syringomyelia dari seluruh pasien yang datang di klinik
saraf.
Gambaran klinis sangat bervariasi tergantung arah pelebaran syrinx ke
arah transversal atau longitudinal. Pelebaran biasanya terjadi ke arah anterior dari
kanalis spinalis daripada ke arah kanan atau kiri. Siringomielia merupakan suatu
gangguan perkembangan dalam pembentukan kanalis sentralis, paling sering
mengenai batang otak dan daerah cervical medulla spinalis (Snell, 2006).
Siringomielia juga bisa diartikan sebuah perkembangan, dimana terdapat
pelebaran secara lambat cervical cord yang menyebabkan mielopati progresif
(Hauser & Ropper, 2006). Prevalensi kejadian siringomielia sekitar 8,4 kasus per
100.000 penduduk, dan tidak terdapat beberapa perbedaan prevalensi di geografis
tertentu. Setengah dari seluruh pasien yang mengalami siringomielia masih dalam
keadaan stabil dalam beberapa tahun, sedangkan penelitian lain menyebutkan
20% pasien meninggal di usia 47 tahun. Rentang usia
pasien yang mengalami siringomielia onsetnya rata-rata 30 tahun dan tersering
terkena pada laki-laki daripada perempuan (Al-shautory,et.al., 2010).
Gejala mulai terjadi biasanya pada usia dewasa atau dewasa muda,
progresnya ireguler, dan bisa berjalan spontan selama beberapa tahun. Lebih dari

2
setengah kasusnya dihubungkan dengan malformasi chiari tipe I dimana tonsil
serebelar menonjol melalui foramen magnum dan ke dalam kanal spinal segmen
servikal. Patofisiologinya masih kontroversial. Beberapa pendapat menyatakan
ada gangguan pada aliran Cerebrospinal fluid (CSF). Adanya kavitasi pada
medulla spinalis, bisa akibat trauma, myelitis, aracnoiditis kronis akibat
tuberculosis atau akibat etiologi lain, mungkin juga bisa akibat necrotic spinal
cord tumor.Kelainan ini dapat meluas ke arah kaudal menuju segmen torakal dan
lumbal, atau ke arah rostral menuju batang otak (syringobulbia). Kelainan ini
menyebabkan gangguan-gangguan neurologis secara progresif, biasanya sebagai
amiotrofi brakhial dan disosiasi sensorik segmental. Kelainan ini jarang
ditemukan. Kelainan ini sering terdapat atau mengikuti kelainan kongenital
seperti misalnya malformasi Arnold-Chiari. Oleh karena itu, manifestasi kelainan
ini bisa beragam, tergantung dari letak lesi, perluasan lesi, dan kelainan yang
mendasarinya. Namun, secara garis besar kelainan ini dapat didiagnosis karena
adanya gejala yang khas seperti amiotrofi dan disosiasi sensibilitas.
Secara patologis, syringomyelia dikarakteristikkan dengan adanya kavitas
yang memanjang secara longitudinal dan gliosis. Patofisiologi syringomyelia
sampai saat ini belum ada persesuaian. Hal ini mengakibatkan beragamnya
metode penatalaksanaan. Kelainan ini berkembang secara lambat. Bahkan
seorang penderita syringomyelia dapat berada dalam kondisi yang tetap sama
selama beberapa tahun atau bahkan berpuluh tahun.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Syringomyelia
Syringomyelia adalah kelainan berupa lubang atau kavitas (syrinx)
yang terdapat pada bagian tengah medula spinalis. Kavitas ini berisi cairan
dan tidak berhubungan secara anatomis maupun fisiologis dengan kanalis
sentralis medula spinalis. Kavitas tersebut bisa terletak sentral atau eksentris,
dilapisi oleh sel glia dan tidak berhubungan dengan ventrikel keempat
(siringomielia non-komunikata). Oleh karena itu, cairan kista siringomielia
bukan berasal dari cairan serebrospinal dalam kanalis sentralis medula
spinalis. Walaupun begitu, dalam perkembangannya kista siringomielia ini
dapat mencapai kanalis sentralis medula spinalis sehingga terjadi suatu
hubungan dengan kanalis sentralis yang memungkinkan cairan
serebrospinalis mengisi kista siringomielia dan juga terjadi hubungan antara
kista siringomielia dengan ventrikel keempat. Hal ini disebut sebagai
siringomielia komunikan. Hidromyelia adalah keadaan di mana terdapat
dilatasi kanalis sentralis medula spinalis. Kanal yang berdilatasi dilapisi oleh
ependim dan berhubungan dengan ventrikel keempat melalui obex.
Menurut Satyanegara, siringohidromielia didefinisikan sebagai suatu
kavitasi tubuler berisi cairan di dalam sumsum tulang belakang (dapat
melibatkan sampai beberapa segmen). Istilah ini merupakan istilah yang
umum di mana dalam hal ini tidak dapat menunjukkan lokasi kavitas tersebut,
hubungannya dengan kanalis sentralis, dan juga tidak menjelaskan mengenai
histologi dinding kista maupun ciri-ciri cairan di dalamnya. Dengan kata lain,
siringomielia dapat merupakan segala macam kista termasuk kista
paskatrauma yang berisi cairan likuor, kista akibat abnormalitas bawaan
daerah kranio-vertebra atau kista tumor-tumor intramedular. Hidromielia yang
merupakan istilah yang lebih spesifik, adalah terminologi dari kavitas
intramedular yang merupakan pelebaran dari kanalis sentralis, dindingnya
adalah lapisan ependim, dan mengandung cairan yang identik dengan likuor.

4
Siringobulbia adalah sebutan bagi kasus yang kavitasnya meluas sampai ke
batang otak. Akumulasi cairan di dalam medula spinalis sendiri adalah bukan
merupakan suatu manifestasi primer dari proses penyakit, ia merupakan
proses sekunder dengan mekanisme yang bervariasi satu penyakit dengan
lainnya. Kavitas yang berisi cairan mirip dengan likuor disebut sebagai
siringomielia komunikans (siringohidromielia), dan kerap berkaitan dengan
malformasi Chiari atau disgrafisme spinal okulta. Sedangkan yang berisi
cairan pekat yang proteinkaseosa, yang merupakan proses sekunder dari
neoplasma, anomali vaskuler, arakhnoiditis, dan trauma, diistilahkan sebagai
siringomielia nonkomunikans.

B. Anatomi Medulla Spinalis


Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk
silindris memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas
superior atlas (C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian
medulla spinalis akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi
lahir, panjang medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla
spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum
tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua
bagian tubuh dan bergerak refleks.

Gambar 2.1 Segmen – segmen Medulla spinalis

5
Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di
foramen magnum. Pada dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1
berakhir menjadi konus medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda
equina yang lebih tahan terhadap cedera. Dari berbagai traktus di medulla
spinalis, ada 3 traktus yang telah dipelajari secara klinis, yaitu traktus
kortikospinalis, traktus sphinotalamikus, dan kolumna posterior. Setiap
pasang traktus dapat cedera pada satu sisi atau kedua sisinya.
Traktus kortikospinalis, yang terletak dibagian posterolateral medulla
spinalis, mengatur kekuatan motorik tubuh ipsilateral dan diperiksa dengan
melihat kontraksi otot volunter atau melihat respon involunter dengan
rangsangan nyeri. Traktus spinotalamikus, yang terletak di anterolateral
medula spinalis, membawa sensasi nyeri dan suhu dari sisi kontralateral
tubuh. Diameter bilateral medulla spinalis bila selalu lebih panjang
dibandingkan diameter ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen
medulla spinalis yang melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke
arah bilateral ini disebut intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 dan
segmen L2-S3 (intumesens lumbosakral). Pada permukaan medulla spinalis
dapat dijumpai fisura mediana ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus
medianus dorsalis, sulkus dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus
ventrolateralis.
Pada penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian
sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray
matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau
huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan
dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak
berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal
inilah yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih gelap. Gray
matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu :
1. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik,
terdiri atas lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.

6
2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf
sensorik, terdiri atas lamina I-IV.
3. Kornu intermedium, yang membawa serat-serat asosiasi, terdiri
atas lamina VII.
4. Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang
terdapat pada segmen torakal dan lumbal yangmembawa serat
saraf simpatis.

Gambar 2.2 Anatomi medulla spinalis

Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix


ventralis dan sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan.
Radix saraf ini keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina
intervetebralis. Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas
kolumna vertebralis, sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati
bagian bawah korpus vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus
motoris yang keluar dari medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat

7
sensoris terhadap struktur superfisial dan profunda tubuh. Perjalanan serabut
saraf dalam medulla spinalis terbagi menjadi dua jalur, jalur desenden dan
asenden. Jalur desenden terdiri dari:
a. Traktus kortikospinalis lateralis
b. Traktus kortikospinalis anterior,
c. Traktus vestibulospinalis,
d. Traktus rubrospinalis,
e. Traktus retikulospinalis,
f. Traktus tektospinalis,
g. Fasikulus longitudinalis medianus
Jalur Asenden terdiri dari :
a. Sistem kolumna vertebralis
b. Traktus spinothalamikus
c. Traktus spinocerebellaris dorsalis
d. Traktus spinocerebellaris ventralis
e. Traktus spinoretikularis.
Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur gerakan
motorik, baik yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur asenden
lebih merupakan pembawa informasi pada otak seperti rasa nyeri, suhu,
getaran, raba, dan posisi tubuh.

C.
D.

Gambar 2.3 Traktus medulla spinalis

8
Vaskularisasi Medulla Spinalis
Medulla spinalis diperdarahi oleh susunan arteri yang memiliki
hubungan yang erat. Arteri-arteri spinal terdiri dari arteri spinalis anterior dan
posterior serta arteri radikularis.

Gambar 2.4 vaskularisasi medulla spinalis servikalis


Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis sebelum membentuk menjadi arteri
basilaris. Di peralihan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, kedua
cabang tersebut menjadi satu dan meneruskan perjalanan sebagai arteri
spinalis anterior. Sebagai arteri yang tunggal, arteri tersebut berjalan di sulkus
anterior sampai bagian servikal atas saja. Arteri spinalis posterior kanan dan
kiri juga berasal dari kedua arteri vertebralis juga, tetapi pada tempat yang
terletak agak kaudal dan dorsal daripada tempat arteri spinalis berpangkal.
Kedua arteri spinalis posterior bercabang dua. Yang satu melewati lateral
medial, dan yang lain disamping lateral dari radiks dorsalis. Arteri radikularis
dibedakan menjadi arteri radikularis posterior dan anterior. Kedua arteri
tersebut merupakan cabang dorsal dan ventral dari arteria radkularis yang
dikenal juga dengan ramus vertebromedularis arteri interkostalis. Jumlah pada
orang dewasa berbeda-beda. Arteri radikularis posterior berjumlah lebih
banyak, yaitu antara 15 sampai 22, dan paling sedikit 12. Ke atas pembuluh
darah tersebut ber anastomose dengan arteria spinalis posterior dan ke kaudal
sepanjang medulla spinalis mereka menyusun sistem anastomosis arterial
posterior. Sistem anastomosis anterior adalah cabang terminal arteria

9
radikularis anterior. Cabang terminal tersebut berjumlah dua, satu menuju
rostral dan yang lain menuju ke kaudal dan kedua nya berjalan di garis
terngah permukaan ventral medulla spinalis. Dibawah tingkat servikal kedua
cabang terminal tiap arteri radikularis anterior beranastomose satu dengan
yang lain. Anastomose ini merupakan daerah dengan vaskularisasi yang
rawan

C. Etiologi Syringomyelia
Kelainan ini bisa terjadi akibat sebab kongenital dan acquired.
Penyebab kongenital yang sering terkait dengan kelainan ini adalah
malformasi Arnold-Chiari. Sedangkan sebab dapatan kelainan ini antara lain
karena prosedur pembedahan, trauma, peradangan, dan tumor.
a. Kongenital
Syringomyelia dapat terjadi karena suatu gangguan pada
waktu kanalis sentralis dibentuk; atau karena terjadi penyusupan
spongioblas (kelainan deferensiasi sel otak) di kanalis sentralis pada
tahap embrional; atau karena terjadi perdarahan pada tahap
embrional. Syringomyelia yang tampak pada masa dewasa sering
menyertai malformasi Chiari tipe I. Sedangkan malformasi Chiari tipe
II dan III sering terdapat pada syringomyelia infantil.
b. Acquired
o Trauma: kavitasi paska trauma medula spinalis adalah kelainan
progresif di mana kerusakan medula spinalis menyebabkan
gangguan pada hidrodinamik cairan serebrospinal dan
arakhnoiditis, sehingga terjadi ekspansi progresif dari syrinx.
Kasus tersering terdapat pada kecelakaan kendaraan bermotor dan
mengenai bagian bawah segmen servikal medula spinalis.
o Pembedahan: pembedahan spinal intradural, misalnya pada reseksi
tumor medula spinalis, dapat menyebabkan Syringomyelia.
o Peradangan: Syringomyelia paska peradangan dapat terjadi
sesudah suatu infeksi (misalnya tuberkular, jamur, parasit) atau

10
dari meningitis, dan biasanya berhubungan dengan pembentukan
parut arakhnoidal.
o Tumor: beberapa tumor, misalnya ependimoma dan
hemangioblastoma memiliki insidens 50 % disertai dengan
syringomyelia.

D. Klasifikasi Syringomyelia
Terdapat beberapa jenis syringomyeliai diantaranya:
 Communicating syringomyelia
Communicating syringomyelia adalah dilatasi kanalis spinalis yang
bersifat primer dan hampir selalu dihubungkan dengan abnormalitas dari
foramen magnum seperti Chiari malformation tipe I
 Non-communicating
Non-communicating syringomyelia kista terbentuk pada substansi dari
medula spinalis dan tidak berhubungan langsung dengan kanalis sentralis
atau spatium subarachnoid. Tipe ini kemungkinan disebabkan oleh
trauma, idiopatik, neoplasma (kebanyakan glioma) atau arachnoiditis,
tanpa keterlibatan fossa posterior atau foramen magnum
Berdasarkan gambaran patologi dan postulat tentang mekanisme
perkembangan syringomyelia, maka syringomyelia dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Hankey dan Wardlaw, 2002; Minagar dan Alexander, 2003;
Galhom, 2005):
 Tipe I. Syringomyelia dengan obstruksi foramen magnum dan dilatasi
kanal sentralis, dapat disertai dengan malformasi Chiari tipe I, atau
disertai dengan lesi obstrukstif foramen magnum yang lain.
 Tipe II. Syringomyelia tanpa obstruksi foramen magnum (idiopatik).
 Tipe III. Syringomyelia dengan penyakit medula spinalis yang lain
(tumor medula spinalis, mielopati traumatik, arakhnoiditis spinal dan
pakimeningitis, myelomalasia sekunder).
 Tipe IV. Hidromyelia murni dengan atau tanpa hidrosefalus.

11
E. Patofisiologi Syringomyelia
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya Syringomyelia masih belum
diketahui. Belum ada kesepakatan tentang patofisiologi Syringomyelia,
khususnya yang terjadi pada malformasi Chiari I (Hankey dan Wardlaw,
2002; Minagar dan Alexander, 2002; Minagar dan Alexander, 2003; Galhom,
2005).
Salah satu dari postulat yang dikemukakan untuk menerangkan
patofisiologi syringomyelia adalah teori Hidrodinamik dari Gardner. Aliran
normal cairan serebrospinal dari ventrikel keempat dapat terganggu oleh
kegagalan pembukaan saluran keluar dari ventrikel keempat secara
kongenital. Sebagai akibatnya, pulsasi tekanan cairan serebrospinal, yang
ditimbulkan oleh pulsasi sitolik dari pleksus choroideus, disalurkan melalui
ventrikel keempat menuju kanal sentralis medula spinalis, kemudian
menyebabkan pembentukan kavitas sentral yang meluas sepanjang substansi
kelabu dan serat-serat lintasan saraf (Hankey dan Wardlaw, 2002; Minagar
dan Alexander, 2002; Galhom, 2005).
Teori ini didukung oleh seringnya dijumpai syringomyelia bersama-
sama dengan malformasi kongenital pada tautan kranioservikal yang dapat
mengganggu aliran normal cairan serebrospinal, misalnya pada malformasi
Arnold-Chiari, dan sindrom Klippel-Feil (fusi antara satu atau lebih vertebra
servikal), dan abnormalitas kongenital lainnya seperti spina bifida dan
hidrosefalus (Hankey dan Wardlaw, 2002; Minagar dan Alexander, 2002;
Minagar dan Alexander, 2003).
Bendungan sirkulasi cairan serebrospinal secara anatomis maupun
fisiologis, yang terjadi sebagai respon terhadap ekspansi otak selama sistol
jantung, menyebabkan terjadinya aliran dari tengkorak menuju ke ruangan
subarakhnoid spinal dan mendorong tonsil serebelar masuk ke dalam ruang
subarakhnoid. Kemudian terbentuk pulsasi bertekanan, yang mendorong
cairan serebrospinal dari ruang subarakhnoid menuju ke medula spinalis

12
melalui ruang Virchow-Robin (Hankey dan Wardlaw, 2002; Minagar dan
Alexander, 2002).
Pada pasien dengan syringomyelia paska trauma, dapat terjadi
nekrosis dan pembentukan kista pada tempat terjadinya cedera yang
disebabkan oleh cairan yang dihasilkan oleh akson yang rusak (Minagar dan
Alexander, 2002;).
Syringomyelia yang terjadi pada arakhnoiditis spinal dapat
disebabkan oleh mekanisme vaskular. Pada syringomyelia yang terkait
dengan tumor, pertumbuhan tumor dapat mengganggu suplai darah medula
spinalis dan mengakibatkan iskemia, nekrosis, dan pembentukan kavitas
(Minagar dan Alexander, 2002;).

F. Manifestasi Klinis Syringomyelia


Manifestasi klinis syringomyelia beragam terkait dengan empat jenis
klasifikasi syringomyelia. Perbedaannya tidak hanya karena letak dan
perluasan syrinx, tapi juga berkaitan dengan perubahan patologik yang
berhubungan dengannya, seperti misalnya malformasi Chiari.

13
Gambar 2.5 Manifestasi Klinis Syringomyelia

Secara umum kelainan ini menyebabkan gejala-gejala neurologis


progresif, biasanya amyotrofi brakhial dan kelumpuhan sensorik segmental,
sesuai bagian yang terkena. Gejala-gejalanya biasanya muncul pada umur 35
– 45 tahun, tapi bisa juga muncul pada masa akil balik atau remaja. Gejala
yang pertama kali muncul dapat berupa nyeri dan rasa tebal pada tangan,
kekakuan pada kaki, skoliosis, vertigo, osilopsia, diplopia, disfonia, disfagia,
stridor laringeal, gangguan pada kelenjar keringat, tortikolis, dan artropati
neurogenik. Manifestasi klinis syringomyelia yang dapat digunakan sebagai
petunjuk diagnosis adalah: a) kelemahan otot segmental dan antrofi otot-otot
tangan dan lengan; b) hilangnya sebagian atau seluruh refleks tendon,
terutama pada lengan; dan c) hipo atau anestesia segmental secara disosiatik.

Kelemahan dan atrofi otot

Akibat dari rusaknya kornua anterius dan kornu laterale berikut


serabut-serabut spinotalamik maka terjadi kelumpuhan LMN (akibat
runtuhnya motoneuron), adanya disosiasi sensibilitas (akibat hancurnya

14
serabut-serabut spinotalamik di komisura alba ventralis), dan hilangnya
reaksi neurovegetatif (akibat musnahnya neuron-neuron di kornu laterale)
pada bagian tubuh yang merupakan kawasan sensorik dan motorik segmen-
segmen yang diduduki syringomyelia. Oleh karena sering berlokasi di
intumesensia servikalis, maka daerah tubuh yang terkena adalah kedua
lengan. Dalam hal ini ditemukan kelumpuhan LMN yang melanda otot-otot
tenar, hipotenar, dan interosea. Kulit yang menutupi otot-otot tersebut
menunjukkan disosiasi sensibilitas/ sensorik dan gangguan neurovegetatif.
Sebagai tanda perluasan lubang patologik itu dapat ditemukan fasikulasi di
otot-otot bahu, lengan bawah dan lengan atas. Gambaran penyakit tersebut
dikenal sebagai sindroma syringomyelia. Kemudian, kelemahan anggota
gerak bawah dapat terjadi berkaitan dengan kompresi jaras kortikospinal,
menyebabkan paraparesis spastik.

Perubahan refleks

Hilang refleks dapat terjadi pada anggota gerak atas karena gangguan
pada busur refleks pada segmen yang terlibat. Pada kaki dapat terjadi
peningkatan tonus otot dan refleks halus (kekakuan tungkai merupakan
gejala yang sering ditemukan) jika jaras kortikospinal lateral tertekan,
menyebabkan paraparesis spastik atau kuadriparesis, di bawah tingkat
segmen.

Disfungsi sensorik segmental

 Hilang rasa nyeri dan sensasi suhu terdapat pada satu atau dua
dermatom pada lengan atas bilateral, sering dengan distribusi melintasi
punggung dan bahu (pola selendang). Hal ini terjadi berhubungan
dengan perluasan kavitas ke arah anterior (dan lebih dari satu atau dua
segmen) setinggi daerah dermatom, dan juga menekan serat nyeri dan
temperatur yang menyilang. Jika syrinx meluas secara lateral, hal ini
dapat menyebabkan nyeri dan hilang sensasi suhu kontralateral di

15
bawah tingkat lesi. Akibatnya, pasien sering terluka karena terbakar
dan mengalami cedera sendi karena tidak bisa merasakan nyeri.
 Rasa raba dan posisi masih ada (disosiasi sensorik), tapi gangguan
proprioseptif selanjutnya juga terjadi pada anggota gerak karena
kompresi pada kolumna posterior.
 Nyeri dapat juga ditemukan. Biasanya nyeri didapatkan pada
syringomyelia tipe I dan II.1 Nyeri biasanya pada satu sisi tubuh atau
lebih nyata pada satu sisi leher, bahu, dan lengan. Nyeri ini bersifat
membakar, terutama pada daerah perbatasan dengan daerah yang
mengalami gangguan sensorik.

Gambar 2.6 Manifestasi Syringomyelia

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk membantu


menegakkan diagnosa syringomyelia. Pemeriksaan cairan serebrospinal tidak
dianjurkan untuk dilakukan karena resiko terjadinya herniasi sangat besar.
Seringkali terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya blokade
total dari rongga subarakhnoid. Bisa didapatkan peningkatan ringan dari
jumlah protein. Pada kasus blokade total rongga subarakhnoid bisa
didapatkan jumlah protein sekitar 100 mg/dl.

16
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk saat ini oleh para
klinikus adalah pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Alat ini
dapat mengambil gambaran dari struktur tubuh seperti otak dan medula
spinalis dengan terperinci. Dalam pemeriksaan akan didapatkan gambaran
kista didalam medula spinalis dengan kondisi yang sama baik seperti pada
gambaran adanya tumor. Pemeriksaan ini juga aman, kurang invasif, serta
memberikan informasi yang sangat mendukung diagnosis syringomyelia.

Gambar 2.7 MRI Syringomyelia yang menyertai Malformasi Chiari I

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah :

 X-ray Photo
 CT-scan
 Myelography
 CT-myelography
 MRA (Magnetic Resonance Angiography)
 USG

G. Penatalaksanaan Hidrosefalus
Farmakologi
Obat-obatan yang dapat digunakan dibagi menjadi 3 tipe:
a. Analgetik: pada kasus yang ringan, nyeri dapat dikendalikan
dengan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID). Untuk

17
kasus yang lebih berat, antikonvulsan (yang memiliki efek
neuromodulasi pada hipereksitabilitas dari neuron) dapat
digunakan (contoh gabapentin). Opioid oral (contoh petidine atau
metadone) juga dapat menjadi alternatif.
b. Obat yang mengurangi produksi CSF: Proton pump inhibitor
(contoh omeprazole) dapat menghambat pembentukan CSF dan
sehingga dapat berguna untuk mengurangi tekanan dari CSF,
tetapi data klinis pada penggunaan dan keefektifannya saat ini
masih kurang. Karbonik anhidrase inhibitor (contoh
acetazolamide) juga dapat menurunkan aliran CSF serta
membantu dalam pengobatan syringomyelia, tetapi efek samping
berupa nyeri perut, letargi dan kelemahan dapat menghalangi
dalam penggunaan jangka panjang. Furosemide juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan sehingga membantu dalam
penanganan syringomyelia. Efek furosemide, bagaimanapun,
dapat menyebabkan dieresis dan penurunan dari volume darah
c. Kortikosteroid: kortikosteroid efektif dalam mengurangi nyeri dan
deficit neurologi, walaupun mekanisme pasti dari hal tersebut
belum diketahui. Kortikosteroid dapat menurunkan tekanan CSF,
namun bukti klinis dari efek tersebut masih kurang. Kortikosteroid
kemungkinan memiliki efek langsung pada mediator nyeri.
Walaupun kostikosteroid efektif untuk mengurangi gejala dan
progresifitas namun penggunaan jangka panjang menyebabkan
imunosupresi, kenaikan berat badan dan perubahan kulit.
Pembedahan
Jika tanda dan gejala syringomyelia mengganggu kehidupan sehari-
hari atau memburuk, biasanya dianjurkan untuk melakukan operasi. Tujuan
operasi adalah untuk menghilangkan tekanan akibat syrinx pada sumsum
tulang belakang dan menormalkan aliran cairan serebrospinal. Jenis operasi
yang dibutuhkan tergantung pada penyebab yang mendasari syringomyelia.
Pada pasien dengan malformasi Chiari, dekompresi cranio-cervical
adalah pilihan yang paling baik. Prosedur ini termasuk craniectomy

18
suboksipital dan pengangkatan arkus posterior C1, membuka dura dan
arachnoid, dan reseksi kelainan pada arachnoid jika ada. Prosedur ini
membentuk cisterna magna yang secara artifisial lebih besar. USG
intraoperative dapat dilakukan untuk memastikan dekompresi tonsil dan
aliran pusatil CSF di sekitar craniovertebral junction. Lamanya defisit
sensorik setelah operasi menentukan perkembangan kondisi.
Pada pasien dengan syringomyelia posttraumatic dan scarring arachnoid
postinflamasi, prosedur operasi dilakukan untuk melakukan rekonstruksi
aliran CSF subarachnoid dengan reseksi scar arachnoid dan rekonstruksi
dura.
Pembuatan shunt diindikasikan untuk syringomyelia dan pasien yang
tidak merespon dengan terapi lainnya. Shunt yang sering digunakan adalah
syringosubarachnoid shunt (SSAS). Apabila prosedur ini gagal, maka
dilakukan syringoperitoneal shunt (SPS).

H. Prognosis
Syringomyelia yang tidak diterapi akan berkembang lambat, dan
hampir separuh dari semua pasien tetap tidak memiliki gejala yang spesifik
selama lebih dari 10 tahun. Indikator prognosis yang buruk termasuk
terdapatnya gejala selama lebih dari 2 tahun dan terdapatnya ataksia,
nistagmus, atrofi otot, atau disfungsi kolumna dorsalis.
Secara umum, prognosis siringomyelia sulit ditentukan. Prognosis
berkaitan erat dengan etiologi penyakit. Pembedahan yang dilakukan lebih
awal meminimalisasi defisit dan memiliki outcome yang lebih baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Advance Trauma Life Support for Doctor, ATLS Student Course Manual, Eight
Edition. Trauma Medulla Spinalis
Alireza Minagar, J. Steven Alexander. 2003. Arnold-Chiari Malformation and
Syringomyelia. dalam Randolph W. Evans. Saunder’s Mannual of Clinical
Practice. pp 903 – 909. WB Saunders
Allan H. Ropper, Robert H. Brown. 2005. Diseases of the Spinal Cord. dalam
Adams and Victor’s Principles of Neurology, Eight Edition. pp 1084 –
1087. McGraw-Hill Publishing
G.B Tjokorda. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan tulang belakang.
Jakarta 2009.
Galhom AA. Syringomyelia. 2005. Available from : http://www.emedicine.com
Galhom, Ayman Ali. 2015. Syringomyelia. http://www.emedicine.medscape..com
Goetz, L. Posttraumatic Syringomyelia. 2007. Available from :
http://www.emedicine.com
Graeme J. Hankey, Joanna M. Wardlaw. 2002. Syringomyelia. dalam Clinical
Neurology. pp: 541 – 533. Manson Publishing
Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta : EGC; 1997.
Hankey GJ, and Wardlaw JM. Syringomyelia. dalam Clinical Neurology. Manson
Publishing. pp: 541 – 533. 2002
Hankey GJ, and Wardlaw JM. Syringomyelia. dalam Clinical Neurology. Manson
Publishing. pp: 541 – 533. 2002.
Mardjono M, dan Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. hal
40 – 41. 2004.
Mardjono M, dan Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta:
Dian Rakyat. hal 518. 2004
Mark Mumenthaler & Heinrich Mattle. 2006. Diseases of the Spinal Cord. dalam
Fundamentals of Neurology. pp 141 – 155. New York: Georg Thieme
Verlag
Minagar JA, and Alexander S. Arnold-Chiari Malformation and Syringomyelia.
dalam Randolph W. Evans. Saunder’s Mannual of Clinical Practice. WB
Saunders. . pp 903 – 909. 2003.

20
Minagar JA, and Alexander S. Arnold-Chiari Malformation and Syringomyelia.
dalam Randolph W. Evans. Saunder’s Mannual of Clinical Practice. WB
Saunders. . pp 903 – 909. 2003.
Mumenthaler M, and Mattle H. Diseases of the Spinal Cord. dalam Fundamentals
of Neurology. New York: Georg Thieme Verlag. pp 141 – 155. 2006
Ropper AH, and Brown RH. Diseases of the Spinal Cord. dalam Adams and
Victor’s Principles of Neurology, Eight Edition. McGraw-Hill Publishing.
pp 1084 – 1087. 2005
Ropper AH, and Brown RH. Diseases of the Spinal Cord. dalam Adams and
Victor’s Principles of Neurology, Eight Edition. McGraw-Hill Publishing.
pp 1084 – 1087. 2005
Shenoy VS, Sampath R. Syringomyelia. [Updated 2019 Mar 19]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537110/

21

Anda mungkin juga menyukai