Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

INFEKSI, KANKER, DAN GANGGUAN NUTRISI


(DEA61074)
SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK B1


ANGGOTA:

Distyshinta Pasha Ardianni Maranda (185070500111002)


Ruben Ero Arief Wijaya (185070500111004)
Atqillah Irbah Alfitri (185070500111008)
Anatasya Ayu Puspita (185070500111010)
Amanda Aghil Pramesti (185070500111014)
Alifia Pratiwi (185070500111036)
Afifah Nuranisya Iftita (185070501111010)
Nadela Cintia Nurtyas (185070501111024)
Ishmatul Hamidah (185070501111028)
Muhammad Amrin Hakim (185070501111034)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2021/2022
INFEKSI MENULAR SEKSUAL

1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
3. ETIOLOGI
4. PATOFISIOLOGI
5. TERAPI NON FARMAKOLOGI
6. TERAPI FARMAKOLOGI
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI
8. PEMBAHASAN KASUS
8.1 SUBJEKTIF
8.2 OBJEKTIF
8.3 ASSESSMENT
8.4 PLAN
8.5 DAFTAR PUSTAKA
1. DEFINISI
a. Gonore
Gonore merupakan suatu infeksi pada mukosa yang disebabkan oleh
bakteri kokus gram negatif Neisseria gonorrhoeae yang dapat ditularkan
melalui hubungan seksual atau perinatal. Gonore merupakan infeksi
menular seksual tersering kedua di seluruh dunia yang berpengaruh besar
terhadap morbiditas dan pengeluaran biaya ekonomi. Hal ini
dimungkinkan karena adanya faktor-faktor penunjang yang dapat
memberikan kemudahan dalam penyebarannya antara lain hubungan
seksual diluar nikah, pemakaian obatobat telarang, dan kurangnya
pengetahuan mengenai IMS (Infeksi Menular Seksual) (Pitasari dan
Martodiharjo, 2019).
b. Herpes Simpleks Genitalis
Herpes simpleks genitalis merupakan infeksi menular seksual yang
disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 2. Gejala klinis herpes
simpleks genitalis khas, berupa vesikel berkelompok, diatas dasar
eritematosa, umumnya bersifat rekurenInfeksi primer HSV-2 dan HSV-1
genital sering ditandai dengan gejala sistemik dan lokal yang lama. Gejala
sistemik muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia
(Bonita dan Murtiastutik, 2017).

2. EPIDEMIOLOGI
a. Gonore
Gonore merupakan suatu infeksi yang terjadi pada mukosa yang
disebabkan oleh bakteri kokus gram negatif Neisseria gonorrhoeae yang
dapat ditularkan melalui hubungan seksual atau perinatal. Gonore
merupakan infeksi menular seksual yang banyak terjadi kedua di seluruh
dunia yang berpengaruh besar terhadap morbiditas dan pengeluaran biaya
ekonomi. Insidensi Gonore semakin meningkat, dimana menurut World
Health Organization (WHO) diperkirakan 78 juta kasus baru ditemukan
setiap tahunnya. Kemudian pada kasus umum diperkirakan 27 juta kasus
terjadi pada tahun 2012, yang menunjukkan prevalensi global gonore
0,8% di antara wanita dan 0,6% di antara laki-laki berusia 15- 49 tahun,
dengan prevalensi tertinggi di Pasifik Barat dan Daerah Afrika. Sedangkan
data dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penyakit
ini menyerang hampir 700.000 orang setiap tahun. Tingginya prevalensi
tersebut dimungkinkan akibat karena adanya faktor-faktor penunjang yang
dapat memberikan kemudahan dalam penyebarannya antara lain hubungan
seksual diluar nikah, pemakaian obatobat telarang, dan kurangnya
pengetahuan mengenai IMS (Infeksi Menular Seksual). Selain itu
beberapa sifat gonokokus, seperti mudah menular, tidak memberikan
kekebalan, dan masa inkubasi yang pendek, serta banyaknya galur
Neisseria gonorrhoeae penghasil Penisillinase (NGPP) yang resisten
terhadap penisilin dan galur yang resisten terhadap antibiotik lain juga
merupakan faktor penunjang. Koinfeksi dengan Chlamydia trachomatis
terdeteksi di 10-40% orang dengan gonore (Pitasari dan Martodiharjo, 2019).

b. Herpes Simpleks Genitalis


Infeksi virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) merupakan infeksi
menular seksual (IMS) yang banyak terjadi di seluruh dunia. Meskipun
proses penularan biasanya asimtomatik, namun sifat kronisnya, dengan
reaktivasi persisten dan pelepasan subklinis, meningkatkan potensi
penularannya, yang menghasilkan prevalensi yang lebih tinggi daripada
penyakit IMS lainnya baik pada populasi umum maupun populasi berisiko
tinggi. Infeksi HSV-2 bermanifestasi dalam bentuk luka terbuka pada kulit
yang ditandai dengan nanah yang menyakitkan, gatal, dan sering berulang
di saluran genital. Infeksi HSV-2 telah dikaitkan dengan peningkatan
hampir 3 kali lipat dalam penularan HIV, yang menunjukkan sinergi
epidemiologis antara kedua infeksi (Almukdad et al, 2021). Data World
Health Organization (WHO) diperkirakan usia 15-49 tahun yang hidup
dengan infeksi HSV-2 di seluruh dunia pada tahun 2003 sejumlah 536
juta. Wanita lebih banyak yang terinfeksi dibanding pria, dengan perkiraan
315 juta. Wanita yang terinfeksi dibandingkan dengan 221 juta pria yang
terinfeksi. Jumlah yang terinfeksi meningkat sebanding dengan usia
terbanyak pada 25-39 tahun. Sedangkan, jumlah infeksi HSV-2 baru pada
kelompok usia 15-49 tahun di seluruh dunia pada tahun 2003 sejumlah
236 juta, di antaranya 12,8 juta adalah wanita dan 10,8 juta adalah pria
(Bonita dan Murtiastutik, 2017).

3. ETIOLOGI
a. Gonore
Neisseria gonorrhoeae merupakan salah satu jenis bakteri penyebab
IMS (Infeksi Menular Seksual) yang merupakan bakteri gram negatif
berbentuk diplokokus yang merupakan penyebab infeksi saluran
urogenitalis. Bakteri ini bersifat fastidious dan untuk tumbuhnya perlu
media yang lengkap serta baik. Akan tetapi, ia juga rentan terhadap suhu
panas dan kekeringan sehingga tidak dapat bertahan hidup lama di luar
host-nya. Penularan umumnya terjadi secara kontak seksual dan masa
inkubasi terjadi sekitar 2–5 hari, dengan gejala dan tanda pada laki-laki
dapat muncul 2 hari setelah pajanan dan mulai dengan uretritis, diikuti
oleh secret purulen, disuria dan sering berkemih serta melese. Secara
morfologik gonokok terdiri dari empat tipe, dimana tipe 1 dan 2 yang
mempunyai protein pili yang bersifat virulen, sedangkan pada tipe 3 dan 4
mereka tidak mempunyai protein pili dan bersifat nonvirulen. Protein pili
merupakan alat yang mirip seperti rambut yang menjulur ke luar beberapa
mikrometer dari permukaan gonokokus yang dibentuk oleh tumpukan
protein pilin. Protein pili membantu pelekatan pada sel inang dan
resistensi terhadap fagositosis. (Arjani, 2019).

b. Herpes Simpleks Genitalis


Virus penyebab ensefalitis herpes simpleks adalah virus herpes
simpleks yang termasuk virus golongan DNA. Pada virus herpes simpleks
strain tipe 2 yang dapat menyebabkan penyakit genital. Virus ini
umumnya menyebabkan ensefalitis pada neonatus yang dapat terjadi
selama melalui jalan lahir dari ibu yang menderita herpes genital aktif.
Pada orang dewasa virus herpes simpleks type-2 dapat menyebabkan
aseptic meningitis (Makmur dan Fazidah, 2020). Herpes genitalis
merupakan salah satu penyakit menular seksual yang perlu mendapat
perhatian. Karena selain sifat penyakitnya sukar disembuhkan dan sering
bersifat kambuh, pemindahan (transmisi) virus dapat terjadi dari penderita
yang tanpa gejala/asimptomatik. HSV-2 berperan penting dalam
penyebaran HIV secara heteroseksual. Jangkitan (infeksi) herpes
disebutkan membuat orang lebih mudah terkena jangkitan (infeksi) HIV
dan membuat orang yang telah terjangkiti HIV lebih mudah menularkan
jangkitan HIV tersebut kepada orang lain. Jangkitan HSV di penderita
HIV dapat lebih parah dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan
penderita HIV negatif (Bastian dkk, 2009).

4. PATOFISIOLOGI
a. Gonore
Neisseria gonorrhoeae dapat ditularkan melalui kontak seksual atau
melalui penularan vertikal pada saat melahirkan. Bakteri ini terutama
mengenai epitel kolumnar dan epitel kuboidal manusia. Patogenesis
gonore terbagi menjadi 5 fase. Fase 1 adalah bakteri Neisseria
gonorrhoeae menginfeksi permukaan selaput lendir dapat ditemukan di
uretra, endoserviks dan anus. Fase 2 adalah bakteri ke microvillus sel
epitel kolumnar untuk kolonisasi selama infeksi, bakteri dibantu oleh
fimbriae, pili. Fimbriae terutama terdiri dari protein pilin oligomer yang
digunakan untuk melekatkan bakteri ke sel-sel dari permukaan selaput
lendir. Protein membran luar PII 9 Oppacity associated protein (OPA)
kemudian membantu bakteri mengikat dan menyerang sel inang. Fase 3
adalah masuknya bakteri ke dalam sel kolumnar dengan proses yang
disebut endositosis di mana bakteri yang ditelan oleh membran sel
kolumnar, membentuk vakuola. Fase 4 adalah vakuola ini kemudian
dibawa ke membran basal sel inang, dimana bakteri berkembang biak
setelah dibebaskan ke dalam jaringan subepitel dengan proses eksositosis.
Peptidoglikan dan bakteri LOS (Lipo Oligo Sakharida) dilepaskan selama
infeksi. Gonococcus dapat memiliki dan mengubah banyak jenis antigen
dari Neisseria LOS. LOS merangsang tumor necrosis factor, atau TNF,
yang akan mengakibatkan kerusakan sel. Fase 5 adalah reaksi inflamasi
yang dihasilkan menyebabkan infiltrasi neutrofil. Selaput lendir hancur
mengakibatkan akumulasi Neisseria gonorrhoeae dan neutrofil pada
jaringan ikat subepitel. Respon imun host memicu Neisseria gonorrhoeae
untuk menghasilkan protease IgA ekstraseluler yang menyebabkan
hilangnya aktivitas antibodi dan mempromosikan virulensi (Daili et al.,
2001).

b. Herpes Simpleks Genitalis


Patogenesis HSV 1 dan HSV 2 menyebabkan infeksi kronik yang
ditandai oleh masa-masa infeksi aktif dan latensi. Pada infeksi aktif
primer, virus menginvasi sel penjamu dan cepat berkembang biak,
menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak virion untuk
menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi primer, virus menyebar
melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan
limfadenopati. Tubuh melakukan respon imun selular dan humoral yang
menahan infeksi tetapi tidak dapa mencegah kekambuhan infeksi aktif.
Setelah infeksi awal, akan timbul masa laten. Selama masa laten ini, virus
masuk ke dalam sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah yang terinfeksi
dan bermigrasi di sepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion
radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau
gejala pada manusia penjamunya. Viron menular dapat dikeluarkan baik
selama fase aktif maupun masa laten pria (Bonita dan Murtiastutik, 2017).

5. TERAPI NON FARMAKOLOGI


- Pasien disarankan menggunakan alat kontrasepsi non obat (kondom)
- Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual elama periode
pelepasan virus aktif yang diketahui (known active viral shedding) yang
ditandai adanya lesi
- Dapat dipertimbangkan menggunakan terapi supresif profilaksis apabila
sering melakukan aktivitas seksual (Mathew J and Sapra, 2021)
- Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman untuk pasien
a. ABCD
 A (Abstinence) : tidak melakukan hubungan seksual sementara
waktu
 B (Be faithful) : setia pada pasangan
 C (Condom) : menggunakan kondom apabila tidak berkenan
melaksanakan cara A dan B, termasuk menggunakan kondom
sebelum IMS yang digunakan sembuh
 D (no Drugs) : tidak menggunakan obat psikotropik atau zat
adiktif yang lainnya
b. Mengganti hubungan seksual penetratif beresiko tinggi (hubungan
seksual anal/vaginal yang tidak terlindungi) dengan hubungan seksual
non-penetratif beresiko rendah (Kemenkes, 2016)

6. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Gonore
Pengobatan gonore diperumit oleh kemampuan N. gonorrhoeae untuk
mengembangkan resistensi terhadap antimikroba. Rekomendasi
pengobatan gonokokal dan telah berkembang karena pergeseran pola
resistensi antimikroba. Pedoman pengobatan merekomendasikan terapi
ganda untuk gonore dengan sefalosporin ditambah azitromisin atau
doksisiklin, bahkan jika NAAT untuk C. trachomatis negatif pada saat
pengobatan

Gambar 1. Rekomendasi Obat untuk Infeksi Gonokokal Tanpa


Komplikasi

Pengobatan efektif gonore urogenital tanpa komplikasi dengan


ceftriaxone membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dari strain MIC
selama kurang lebih 24 jam; meskipun variabilitas individu ada dalam
farmakokinetik ceftriaxone, dosis ceftriaxone 500 mg diharapkan
mencapai sekitar 50 jam MIC> 0,03 g/mL.

Gambar 2 Obat Alternatif Jika Tidak Ada Ceftriaxone

Pengobatan ganda dengan dosis tunggal IM gentamisin 240 mg


ditambah azitromisin oral 2 g menyembuhkan 100% kasus (lebih rendah
satu sisi 95% CI terikat: 98,5%) dan dapat dianggap sebagai alternatif
untuk ceftriaxone untuk orang dengan sefalosporin alergi. Percobaan ini
tidak cukup bertenaga untuk memberikan perkiraan yang dapat diandalkan
tentang kemanjuran rejimen ini untuk pengobatan infeksi dubur atau
faring; namun, rejimen ini menyembuhkan beberapa infeksi ekstragenital
di antara peserta penelitian. Khususnya, efek samping gastrointestinal,
terutama muntah <1 jam setelah pemberian dosis, terjadi di antara 3% -4%
orang yang diobati dengan gentamisin plus azitromisin, yang memerlukan
pengobatan ulang dengan seftriakson dan azitromisin. Percobaan serupa
yang mempelajari gentamisin 240 mg ditambah azitromisin 1 g
menentukan tingkat kesembuhan yang lebih rendah di tempat ekstragenital
(CDC,2021).

b. Herpes Simpleks Genitalis


Obat antivirus sistemik sebagian dapat mengontrol tanda dan gejala
herpes genital ketika digunakan untuk mengobati episode klinis dan
berulang pertama atau ketika digunakan sebagai terapi penekan harian.
Namun, obat ini tidak membasmi virus laten atau mempengaruhi risiko,
frekuensi, atau keparahan kekambuhan setelah obat dihentikan. Percobaan
acak telah menunjukkan bahwa tiga obat antivirus yang disetujui FDA
memberikan manfaat klinis untuk herpes genital: asiklovir, valasiklovir,
dan famsiklovir.

Gambar 3 Rekomendasi Terapi untuk Herpes Simplex type-2

Pengobatan dengan valacyclovir 500 mg setiap hari menurunkan tingkat


penularan HSV-2 untuk pasangan heteroseksual sumbang di mana
pasangan memiliki riwayat infeksi HSV-2 genital (473). Pasangan
tersebut harus didorong untuk mempertimbangkan terapi antivirus supresif
sebagai bagian dari strategi untuk mencegah penularan, selain penggunaan
kondom yang konsisten dan menghindari aktivitas seksual selama
kekambuhan. Terapi antivirus supresif untuk orang dengan riwayat herpes
genital simtomatik juga cenderung mengurangi penularan bila digunakan
oleh mereka yang memiliki banyak pasangan. Orang yang seropositif
HSV-2 tanpa riwayat herpes genital simtomatik memiliki risiko 50% lebih
rendah untuk terjadinya genital shedding, dibandingkan dengan mereka
yang memiliki herpes genital simptomatik (CDC,2021).

Gambar 3 Rekomendasi Terapi Supresif untuk Recurrent HSV-2

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI


Seorang pria berusia 35 th datang ke klinik tempat anda bekerja
dengan keluhan nyeri rektal saat defekasi, disertai dengan adanya
discharge dan sedikit perdarahan waktu defekasi. Gejala dialami sekitar 4
hari terakhir. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit radang usus.
Awalnya pasien berobat di klinik lain namun diberikan terapi
hidrokortison rektal namun gejalanya semakin memburuk dan ditambah
gejala demam dan lemas sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke
klinik ini. Pasien menyebutkan bahwa dua minggu yang lalu memulai
mengkonsumsi tenofovir disopropil 300 mg dan emtricitabine 200 mg
sebagai post-exposure prophylaxis (PEP) karena memiliki perilaku seksual
berisiko tinggi. Hubungan seksual terakhir yang dilakukannya tanpa
pengaman adalah seminggu sebelum kedatangannya ke klinik ini dengan pria
lain yang baru dikenalnya.
Berdasarkan pemeriksaan, abdomen tidak tegang dan tidak ada
inguinal linfadenopati. Pemeriksaan genetalia eksternal normal. Hasil
prostoskopi menunjukkan adanya mukosa anus yang mengalami inflamasi
dan kemerahan, disertai adanya luka berdarah dan pus. Spesimen dari
anus diambil dan berdasarkan pewarnaan Gram menunjukkan adanya
bakteri gram negatif diplokokus. Kemudian pasien diterapi dengan
seftriakson 500 mg IM dan azitromisin oral 1 gram ditambah dengan
doksisiklin 200 mg per hari. Tiga hari setelah pengobatan, pasien
menyatakan gejalanya masih terasa, sehingga dilakukan pemeriksaan
nucleic acid amplification test (NAAT) dari spesimen dari anus. Hasil
NAAT menunjukkan positif HSV-2. Selanjutnya pasien diberikan terapi
berupa valaciclovir 500 mg dua kali sehari selama 10 hari .
Pasien diminta untuk tidak berhubungan seksual sementara waktu dan
menghubungi semua pasangan seksual dalam dua bulan terakhir. Selanjutnya
pasien melaporkan bahwa gejala sudah hilang dan berdasarkan
pemeriksaan serologi 4 minggu kemudian dinyatakan sembuh.

8. PEMBAHASAN KASUS
8.1 SUBJEKTIF
a. Hubungan seksual beresiko tinggi
Faktor yang mempengaruhi hubungan seksual (sexual
intercourse) berisiko tinggi apabila memiliki pasangan seksual lebih
dari satu, pernah mengalami infeksi menular seksual, dan perilaku
seksual berisiko tinggi. Perilaku seksual yang berisiko yaitu hubungan
seks anogenital tanpa kondom, orogenital dan serosorting. hubungan
seks anogenital tanpa kondom, menjadi salah satu cara transmisi
terjadinya IMS dan HIV yang paling efisien karena lapisan rektum
sangat rentan, tipis, dan mudah robek, sehingga jika terdapat mikrolesi
saja sudah memungkinkan menjadi jalan masuk infeksi. LSL (Laki–
laki berhubungan Seksual dengan Laki-laki) merupakan salah satu
kelompok risiko tinggi untuk tertular IMS dan HIV. Hal ini berkaitan
dengan aktivitas seks yang mereka lakukan umumnya adalah seks anal
dan oral. Berhubungan seksual per anal mempunyai risiko perlukaan
pada daerah tersebut dikarena daerah anal/anus bersifat tidak elastis,
sehingga ketika ada luka di daerah anus dan pasangan seksual terkena
IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan (Wahdah et al.,
2020).

b. Discharge
Adanya discharge dapat menjadi penanda infeksi pada pasien
ini. Discharge dapat dikaitan dengan urethritis dengan gejala pada
gonococcal urethritis maupun non gonococcal urethritis berupa disuria
atau gatal-gatal pada alat kelamin yang berhubungan dengan keluarnya
cairan dari uretra. Sekitar 75% pria dengan GCU memiliki sekret
purulen, sedangkan NGU lebih mungkin bermanifestasi dengan sekret
mukoid atau jernih. Organisme penyebab utama adalah Neisseria
gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis . Gonokokus menyerang
membran mukosa terutama mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng
yang belum berkembang (imatur) dari saluran genitourinaria, mata,
rektum dan tenggorokan. Gonokokus akan melakukan penetrasi
permukaan mukosa dan berkembang biak dalam jaringan subepitelial
serta menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel. (Harningtyas, 2017). Selain itu,
berdasarkan pewarnaan gram yang telah dilakukan pasien
menunjukkan adanya bakteri gram negatif diplokokus, sehingga dapat
diketahui pasien mengalami gonorrhoeae akibat bakteri Neisseria
gonorrhoeae

c. Nyeri rektal saat defekasi


Pasien mengalami keluhan nyeri pada bagian rektal. Adanya
gejala nyeri perut di bagian bawah (rektal) merupakan anamnesis dari
pasien Infeksi Menular Seksual (IMS) (Sjaiful., 2007). Nyeri rektal
merupakan gejala dari proktitis. Proktitis merupakan inflamasi pada
daerah rektum yang mana pada pasien ini dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri gram negatif diplokokus. Patogen penyebab proktitis
umumnya ditularkan melalui hubungan seks melalui anus tanpa
pelindung kepada pasangan seks yang bersifat reseptif (Kemenkes RI,
2016).

d. Adanya mukosa anus yang mengalami inflamasi, kemerahan,


sedikit terjadi perdarahan ketika defekasi disertai pus
Pendarahan dan nyeri di anus saat defekasi (BAB) merupakan
gejala dari proktitis (inflamasi daerah rektum).Pendarahan disebabkan
oleh gesekan pada saat berhubungan seksual. Timbulnya bercak-
bercak darah setelah berhubungan seks merupakan bagian dari tanda
dan gejala penyakit menular seksual. Pus merupakan gejala yang
terjadi dengan ditandai adanya mukosa anus yang mengalami
inflamasi dan kemerahan. Adanya gejala tersebut merupakan gejala
yang biasa terjadi oleh proktitis yang menyebabkan IMS. Pus ini berisi
sel darah putih dan disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae
(Kemenkes RI, 2016).

e. Demam
Demam adalah kondisi ketika suhu tubuh berada di atas angka
38 derajat celsius. Demam merupakan bagian dari proses kekebalan
tubuh yang sedang melawan infeksi akibat virus, bakteri, atau parasit.

8.2 OBJEKTIF

Data Objektif Keterangan


Proktoskopi Hasil: adanya mukosa anus yang
mengalami inflamasi dan kemerahan,
disertai adanya luka berdarah dan pus.

Proktoskopi digunakan sebagai alat


penunjang pemeriksaan untuk melihat
mukosa anorektum dan memeriksa
kemungkinan terdapat ulkus, inflamasi,
duh tubuh (pus yaitu nanah) atau
perdarahan (Kemenkes RI, 2016).

Pewarnaan gram Hasil: Terdapat bakteri gram negatif


diplokokus

Hasil pemeriksaan tersebut


menunjukkan bahwa pasien terdapat
penyakit infeksi gonore. Pada
pewarnaan gram tersebut menunjukkan
bahwa bakteri gram negatif diplokokus
merupakan manifestasi dari adanya
infeksi akibat Neisseria gonorrhoeae.
Manifestasi klinis dari gonore juga
sesuai dengan yang dirasakan pasien
yaitu adanya duh/pus (Kemenkes RI,
2016).

NAAT (Nucleic Acid Hasil: Positif HSV-2


Amplification Test)
Pemeriksaan nucleic acid amplification
testing (NAAT) paling sensitif untuk
menegakkan diagnosis infeksi
gonokokus dan klamidiasis.
Keuntungan NAAT yaitu tidak
membutuhkan spesimen yang banyak
karena bertujuan mendeteksi RNA atau
DNA pada sampel, namun diperlukan
peralatan laboratorium khusus dan
mahal.

8.2 ASSESSMENT

OBAT INDIKASI KOMENTAR


Hidrokortiso Mengatasi hemoroid Berdasarkan indikasinya,
n rektal (wasir, pembengkakan hidrokortison rektal dapat
pembuluh darah di anus), mengatasi gejala awal
kolitis ulseratif (radang yang dirasakan pasien
usus besar), proktitis, karena kemungkinan
proktosigmoiditis. (BNF, diagnosis awal pasien
2019) mengalami haemoroid.
Namun, pemberian
hidrokortison rektal pada
pasien tidak tepat karena
tidak terjadi perbaikan
gejala dan justru
memperburuk gejala dan
menambah gejala demam
dan lemas.
Hal tersebut dapat
disebabkan karena
kemungkinan pasien
memiliki faktor lain yang
memicu gejala-gejala dan
kemungkinan pasien tidak
hanya mengalami
haemoroid, sehingga
hidrokortison rektal tidak
dapat mengatasi gejala
pasien.
Tenofovir Tenofovir termasuk Penggunaan antiretroviral
disopropil kedalam golongan obat tenofovir pada pasien
300 mg acyclic nucleoside sudah sesuai. Karena
phosphonate (nucleotide) Pria yang berhubungan
analog dari adenosine 5’- seks dengan pria tetap
monophosphate. Golongan berisiko tinggi terinfeksi
obat ini bekerja dengan HIV. Menargetkan
menghambat enzim intervensi pencegahan
reverse-transcriptase virus untuk LSL dengan risiko
dan dieliminasi terutama serokonversi tertinggi
melalui urin, melalui adalah tujuan penting dari
filtrasi glomerulus dan intervensi pencegahan
tubulus proksimal. kombinasi. Penggunaan
Tenofovir disoproxil antiretroviral tenofovir
fumarate (TDF) merupakan telah terbukti terkait
prodrug dari tenofovir, dengan penurunan 44%
yang telah dipakai luas secara keseluruhan dalam
untuk mengobati infeksi perolehan HIV pada LSL
HIV dan Hepatitis B pada berisiko tinggi. Pada
pasien dewasa (Hustini, orang-orang dengan
2019). tingkat obat terdeteksi,
manfaatnya setinggi 90%
pengurangan risiko
(Grennan, 2019).
Emtricitabine Emtricitabine adalah Berdasarkan guidelines
200 mg nucleoside reverse CDC (2016), kombinasi
transcriptase inhibitor tenofovir disoproxil
(NRTI) digunakan dalam fumarate (TDF) dan
kombinasi dengan terapi emtricitabine (FTC) (300
antiretroviral (ART) mg / 200 mg) oral 28 hari
lainnya dalam pengobatan sekali sehari ditambah
HIV-1, HIV-2, dan virus raltegravir (RAL) 400 mg
hepatitis B (HBV). atau dolutegravir (DTG)
Emtricitabine juga 50 mg dua kali sehari
digunakan dalam terapi untuk orang dewasa dan
kombinasi untuk pre- remaja merupakan
exposure prophylaxis rejimen lini pertama
(PrPP) untuk mencegah occupational dan non-
infeksi HIV. Indikasi lain occupational PEP untuk
untuk emtricitabine adalah HIV. Antiretroviral
sebagai post-exposure golongan NRTI yang
prophylaxis (PEP) setelah digunakan untuk infeksi
kemungkinan terpapar HIV, Penggunaan tidak
infeksi HIV (Muller and Al tepat karena seharusnya
Khalili, 2021). dimulai dengan
melakukan tes HIV
terlebih dahulu
Seftriakson Seftriakson adalah Pada pemeriksaan kultur
500 mg IM antibiotik golongan bakteri pada sampel anus,
1x1 sefalosporin generasi ketiga ditemukan koloni bakteri
dengan aktivitas gram gram negatif diplokokus
negatif spektrum luas. (Neisseria gonorrhoeae).
Seftriakson diindikasikan Oleh karena itu, diberikan
untuk infeksi gonococcal, terapi antibiotik yang
endocarditis, meningitis, sesuai untuk gram negatif,
dan pneumonia. (DIH, Seftriakson 500 mg IM
2009) 1x1. hal tersebut sudah
sesuai dengan
guideline/weekly report
terbaru dari CDC pada
tahun 2020 yang
merekomendasikan dosis
tunggal 500 mg IM
ceftriaxone untuk
pengobatan gonore
urogenital, anorektal, dan
faring tanpa komplikasi.
Hal tersebut bertujuan
untuk mencegah resistensi
ceftriaxone dan
mengobati kemungkinan
koinfeksi dengan
Chlamydia trachomatis.
(CDC, 2020)
Azitromisin 1 Azitromisin adalah Seperti mengacu pada
gram oral antibiotik golongan guideline CDC terbaru,
makrolida generasi dua penatalaksaan untuk
spektrum luas. Secara oral infeksi gonokokal tanpa
digunakan untuk komplikasi pada serviks,
pengobatan otitis media uretra, dan rektum terbaru
akut akibat H. influenzae, tahun 2020, menghapus 1
M. catarrhalis, atau S. g dosis oral azitromisin
pneumoniae; Pengobatan yang sebelumnya
infeksi saluran pernapasan digunakan sebagai
atas dan bawah ringan kombinasi dengan
sampai sedang, infeksi kulit ceftriaxone hingga pada
dan struktur kulit, penyakit tahun 2015. Hal tersebut
yang didapat dari karena, terjadi
masyarakat pneumonia, peningkatan insiden
penyakit radang panggul resistensi azitromisin dan
(PID), penyakit menular kehati-hatian akan
seksual (uretritis/servisitis), dampak potensial dari
dan penyakit ulkus genital terapi ganda pada
(chancroid) karena strain organisme komensal dan
seperti C. trachomatis, M. patogen bersamaan.
catarrhalis, H. influenzae, Sehingga, penggunaan
S. aureus, S. Azitromisin pada kasus
pneumoniae, Mycoplasma ini adalah tidak tepat
pneumoniae, dan C. (CDC, 2020).
psittaci; eksaserbasi bakteri
akut penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK).
(DIH, 2009)
Doksisiklin Mengatasi infeksi yang Pasien mengalami gonore
200 mg/hari rentan (Rickettsia, dan terdapat duh tubuh
Chlamydia, dan anus, sehingga terapi
Mycoplasma), Epididimo- yang perlu diberikan
orkitis, Uretritis non- adalah terapi proktitis
gonokokal, Penyakit gonokokus dan klamidia.
menular seksual, Neisseria Pilihan terapi untuk
gonorrhoeae tanpa klamidia yaitu:
komplikasi. (DIH, 2009) Azitromisin 1 gram atau
doksisiklin 2x100 mg/hari
po selama 7 hari.
(Kemenkes RI, 2016)
Namun, pasien
mendapatkan azitromisin
oral 1 gram ditambah
dengan doksisiklin 200
mg per hari, sehingga
terdapat duplikasi obat
untuk indikasi yang sama.
Valaciclovir Mengatasi herpes zoster, Valasiklovir dapat
500 mg dua infeksi herpes simpleks diberikan untuk
kali sehari pada kulit dan selaput pengobatan proktitis
(selama 10 lendir, herpes genital, akibat infeksi menular
hari) herpes labialis, profilaksis seksual dengan patogen
infeksi sitomegalovirus penyebab yaitu Herpes
pada pasien simplex virus. (Kemenkes
immunocompromised, RI, 2016)
Penekanan herpes simpleks Sehingga penggunaan
berulang. (BNF, 2019) valasiklovir sudah tepat,
namun dalam pedoman
kemenkes pemberian
valasiklovir digunakan
selama 7 hari, sehingga
durasi penggunaannya
dikurangi yaitu 7 hari
mengikuti pedoman
kemenkes.

8.4 PLAN
a. Terapi Farmakologi

Terapi Obat METO MESO

Seftiakson 250 Tidak menunjukkan Pemberian secara IM


mg IM gejala gonore dan dapat menyebabkan
infeksi bakteri indurasi, rasa panas,
berkurang, dilakukan sesak.
monitoring hingga 7
● Dermatologi: Ruam
hari, apabila masih
● GI: Diare
terdapat bakteri/hasil uji
● Hematologi:
positif maka dapat
Eosinophilia,
dilakukan pengujian
trombositosis,
resistensi bakteri.
leukopenia
● Hepatic: peningkatan
transaminase
(Aberg et al,2009)

Valciclovir 500 Gejala yang dirasakan Sakit kepala, mual, sakit


mg pasien mereda, tidak perut (Aberg et al.,
terjadi infeksi virus 2009).
pada pasien
(pemeriksaan HSV
menjadi negatif)

Paracetamol 500 Mengatasi gejala Sakit kepala, mual, dan


mg demam dan lemas yang muntah
dirasakan pasien
sebagai analgesik
antipiretik

b. Terapi non farmakologi


 Disarankan untuk melakukan tes HIV.
 Penggunaan antibiotik harus patuh dengan anjuran dokter,
secara paripurna, dan tuntas untuk menghindari resistensi.
Etiket dapat dibuat dengan menuliskan “diminum setiap
(berapa) jam”, tergantung t1/2 dari masing-masing obat.
 Menyarankan kepada pasien untuk tidak mengobati sendiri
penyakit yang dialami (swamedikasi) dan segera berkonsultasi
kepada dokter.
 Pasangan dari pasien tersebut juga sebaiknya diberikan edukasi
untuk segera memeriksakan diri ke dokter karena adanya
kemungkinan terdapat infeksi juga.
 Edukasi agar pasien tidak mengulangi perbuatannya kembali
dikarenakan terapi obat saja tidak cukup apabila tidak disertai
perubahan perilaku dan gaya hidup termasuk tidak melakukan
hal tersebut dengan sesama jenis, menunda aktivitas seksual
terlebih dahulu, tidak melakukan seks bebas, tidak berganti -
ganti pasangan, serta dapat menginformasikan manfaat dan
cara penggunaan kondom yang benar.
8.5 ANALISIS FARMAKOKINETIKA & FARMAKODINAMIKA
UNTUK ANTIBIOTIK YANG DIBERIKAN PADA PASIEN

Antibiotik Analisis Analisis


Farmakokinetika Farmakodinamika

Seftriakson 500 Absorbsi: seftriakson baik Merupakan antibiotik


mg IM diserap ketika diberikan golongan sefalosporin.
secara IM. Seftriakson Aktivitas bakterisida
terikat protein plasma 85 seftriakson dihasilkan
hingga 95%. dari penghambatan
sintesis dinding sel
Distribusi: Volume
dan dimediasi melalui
distribusi dosis intravena
pengikatan ceftriaxone
atau intramuskular
ke protein pengikat
seftriakson pada pasien
penisilin (PBPs).
sehat adalah 6-14 L.
Seftriakson
Eliminasi waktu paruh: mempunyai stabilitas
Fungsi ginjal dan hati yang tinggi terhadap
normal: 5-9 jam; beta-laktamase, baik
Gangguan ginjal (ringan terhadap penisilin
hingga berat): 12-16 jam maupun
Waktu puncak, serum: IM: sefalosporinase yang
2-3 jam dihasilkan oleh bakteri

Eliminasi: Rute eliminasi gram-negatif dan

seftriakson sekitar 33-67 % gram-positif


diekskresikan dalam urin, (Drugbank, 2021).
terutama oleh filtrasi
glomerulus.

Eksresi: sisanya
diekskresikan dalam
empedu dan pada tahap
akhirnya ditemukan dalam
feses.

(Aberg et al., 2009).

Azitromisin Oral Absorpsi: Terabsorpsi Merupakan antibiotik


1g cepat melalui rute per oral golongan makrolida.
Antibiotik makrolida
Distribusi: Terdistribusi
menghentikan
pada jaringan luas dan
pertumbuhan bakteri
terdistribusi dengan baik
dengan menghambat
ke kulit, paru-paru
sintesis dan translasi
Metabolisme: Hepatik protein, mengobati

Bioavailabilitas: Oral: infeksi bakteri.

38%, (Drugbank, 2021).


Mekanisme kerja nya
Eliminasi waktu paruh:
yaitu ·
68 jam pada rute per oral
Menghambat
Waktu puncak: Oral : 2-3 sintesis protein yang
jam bergantung pada RNA
berada pada tahap
Ekskresi: Oral: Biliary
pemanjangan rantai;
(rute utama); urin (6%)
mengikat subunit
(Aberg et al., 2009)
ribosom 50S yang
mengakibatkan
penyumbatan
transpeptidasi (Aberg
et al.,2009).
Doksisiklin 200 Absorbsi: Oral: Hampir Merupakan antibiotik
mg per hari sempurna golongan tetrasiklin.
Menghambat sintesis
Distribusi: Secara luas ke
protein dengan
dalam jaringan dan cairan
mengikat 30S dan
tubuh termasuk sinovial,
mungkin subunit
pleura, prostat, cairan
ribosom 50S dari
mani, dan sekresi bronkial;
bakteri yang rentan;
air liur, aqueous humor,
juga dapat
dan CFS berpenetrasi
menyebabkan
dengan buruk
perubahan pada
Pengikatan protein: 90% membran sitoplasma

Metabolisme: Tidak (Aberg et al., 2009).


melalui hati; sebagian
tidak aktif di saluran GI
oleh pembentukan khelat

Waktu paruh eliminasi:


12-15 jam (meningkat
menjadi 22-24 jam dengan
beberapa dosis); pada
penyakit ginjal stadium
akhir: 18-25 jam

Waktu puncak, serum:


1,5-4 jam

Ekskresi: Feses 30%, Urin


23%
(Aberg et al., 2009)

8.5 DAFTAR PUSTAKA


Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L.
2009. Drug Information Handbook, 17 edition. Lexi-Comp for the
American Pharmacists Association.
Almukdada, S., Manale, H., Anja, W., Laith, J.A.R. 2021. Epidemiology of
herpes simplex virus type 2 in Asia: A systematic review, meta-
analysis, and meta-regression. The Lancet Regional Health - Western
Pacific, 12 : 1-12.
Arjani, Ida Ayu Made Sri. 2019. Identifikasi Agen Penyebab Infeksi
Menular Seksual. Jurnal Skala Husada, 12(1): 15 - 21
Bastian, Endang, E.K., Erwin, A.T. 2009. Perhitungan Jumlah Sel Cd4
Dengan Seropositif Igm Herpes Simpleks Tipe-2 Di Pasien HIV (CD4
Cell Counts With IgM Herpes Simplex-type 2 In HIV Patients).
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 15
(3): 73-77
Bonita, L., Murtiastutik, D. 2017. Penelitian Retrospektif: Gambaran Klinis
Herpes Simpleks Genitalis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology, 29(1): 30 –
35
BNF. 2019. British National Formulary 76th Edition. BMJ Publishing
Group. London.
CDC. 2016. Guidelines for Antiretroviral Postexposure Prophylaxis After
Sexual, Injection Drug Use, or Other Nonoccupational Exposure to
HIV. United State : Centers for Disease Control and Prevention
CDC. 2020. Post-Exposure Prophylaxis (PEP) (Online)
https://www.cdc.gov/hiv/clinicians/prevention/pep.html. Diakses 28
Oktober 2021.
CDC. 2020. Update to CDC’s Treatment Guidelines for Gonococcal
Infection 2020. Morbidity and Mortality Weekly Report CDC US
Department of Health and Human Services/Centers for Disease
Control and Prevention. 69 (50) : 191-196
CDC. 2021. Gonorrhea Adult. https://www.cdc.gov/std/treatment-
guidelines/gonorrhea-adults.htm Di akses pada 3 November 2021
pukul 16.30 WIB
CDC. 2021. Herpes. https://www.cdc.gov/std/treatment-
guidelines/herpes.htm . Diakses pada 3 November 2021 pukul 16.35
Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Penyakit Menular Seksual Edisi kedua.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Drugs, 2021. Emtricitabine (Online)
https://www.drugs.com/mtm/emtricitabine.html. Diakses 28 Oktober
2021
Drugs. 2021. Hydrocortisone (Online)
https://www.drugs.com/mtm/hydrocortisone.html Diakses 28 Oktober
2021
Drugs. 2021. Tenefovir (Online)
https://www.drugs.com/mtm/tenofovir.html. Diakses 28 Oktober
2021.
Drugbank. 2021. Ceftriaxone. https://go.drugbank.com/drugs/DB01212
(Online). Diakses pada 27 Oktober 2021.
DrugBank, 2021. Azithromycin (Online)
https://go.drugbank.com/drugs/DB002074. Diakses 28 Oktober 2021
DrugBanks, 2021. Doxycycline (Online)
https://go.drugbank.com/drugs/DB00254. Diakses 28 Oktober 2021.
Grennan, Jonathan Troy. 2019. Tenofovir/Emitricitabine With Doxycycline
for Combination HIV and Syphilis Pre-exposure Prophylaxis in HIV-
negative MSM (DuDHS). British Columbia Center for Disease
Control. https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT02844634/. Diakses
pada tanggal 28 Oktober 2021
Harningtyas, C.D.. 2017. Pemberian Terapi Oral Untuk Pasien Uretritis
Gonore Dengan Komplikasi Lokal Pada Pria: Laporan Kasus
Administration of Oral Therapy For Gonorrheal Urethritis Patients
With Local Complications In Men. Journal of Agromedicine and
Medical Sciences. 3(3)
Hustrini, N.M., 2019. Tenofovir dan Gangguan Fungsi Ginjal pada HIV.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 6(3), pp.106-108.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Pedoman Nasional
Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Kemenkes RI.
Makmur, Tri dan Fazidah, Agustina Siregar. 2020. Ensefalitis Virus Herpes
Simplex. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan - Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utar, 19 (2): 69-80.
Matthew, J., Sapra, A. 2021. Herpes Simplex Type 2. Online. Diakses 3
November 2021. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554427/
Pitasari, D A., Martodiharjo, S. 2019. Studi Retrospektif: Profil Infeksi
Gonore. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of
Dermatology and Venereology, 31(1), 41-45
Wahdah, R.A., Setyowatie, L., & Aslam, A.B.N. 2020. Pengaruh Tingkat
Pengetahuan Hubungan Seksual Berisiko Tinggi Terhadap Kejadian
Infeksi Gonore di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Majalah
Kesehatan, 7(4): 251-262.

Anda mungkin juga menyukai