Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Batuk merupakan sebuah gejala penyakit yang paling umum dimana prevalensinya
dijumpai pada sekitar 15 % pada anak-anak dan 20% pada orang dewasa. Satu dari sepuluh
pasien yang berkunjung ke praktek dokter setiap tahunnya memiliki keluhan utama batuk.
Batuk dapat menyebabkan perasaan tidak enak, gangguan tidur, mempengaruhi aktivitas
sehari-hari dan menurunkan kwalitas hidup. Batuk dapat juga menimbulkan berbagai macam
komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, sakit kepala, pingsan, herniasi
diskus, hernia inguinalis, patah tulang iga, perdarahan subkonjungtiva, dan inkontinensia
urin.
Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang alamiah
untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan :
1. Mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas.
2. Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas.
Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam itu
sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang-kadang
merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat berarti pada penularan penyakit
melalui udara (air borne infection). Batuk merupakan salah satu gejala penyakit saluran nafas
disamping sesak, mengi, dan sakit dada. Sering kali batuk merupakan masalah yang dihadapi
para dokter dalam pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat beragam dan pengenalan
patofisiologi batuk akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanggulangan
penderita batuk.
Menurut KKM (2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan jenis obat batuk
yang benar. Menurut Beers (2003) pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan
berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak.
Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak berdahak
yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan batuk ?
2. Bagaimana cara pengobatan batuk ?
3. Bagaimana cara kerja obat batuk ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian batuk
2. Untuk mengetahui bagaimana cara pengobatan batuk
3. Untuk mengetahui cara kerja obat batuk
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Batuk
Menurut Weinberger (2005) batuk merupakan ekspirasi eksplosif yang menyediakan
mekanisme protektif normal untuk membersihkan cabang trakeobronkial dari sekret dan zat-
zat asing. Masyarakat lebih cenderung untuk mencari pengobatan apabila batuknya
berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas seharian atau mencurigai kanker.
2.2. Etiologi batuk
Menurut McGowan (2006) batuk bisa terjadi secara volunter tetapi selalunya terjadi
akibat respons involunter akibat dari iritasi terhadap infeksi seperti infeksi saluran pernafasan
atas maupun bawah, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama kucing. Antara lain penyebab
akibat penyakit respiratori adalah seperti asma, postnasal drip, penyakit pulmonal obstruktif
kronis, bronkiektasis, trakeitis, croup, dan fibrosis interstisial. Batuk juga bisa terjadi akibat
dari refluks gastro-esofagus atau terapi inhibitor ACE (angiotensin-converting enzyme).
Selain itu, paralisis pita suara juga bisa mengakibatkan batuk akibat daripada kompresi
nervus laryngeus misalnya akibat tumor.
2.3. Jenis-jenis Batuk
Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa diklasifikasikan mengikut
waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut
yang berlangsung selama tiga hingga delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama
lebih dari delapan minggu.
2.3.1. Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan merupakan simptom
respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter. Kebanyakan kasus batuk akut
disebabkan oleh infeksi virus respiratori yang merupakan self-limiting dan bisa sembuh
selama seminggu (Haque, 2005). Dalam situasi ini, batuk merupakan simptom yang
sementara dan merupakan kelebihan yang penting dalam proteksi saluran pernafasan dan
pembersihan mukus. Walau bagaimanapun, terdapat permintaan yang tinggi terhadap obat
batuk bebas yang kebanyakannya mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang
diambil untuk konsultasi ke dokter tentang simptom batuk (Dicpinigaitis, 2009).
2.3.2. Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang berlangsung secara
berterusan akan menyebabkan kualitas hidup menurun yang akan membawa kepada
pengasingan sosial dan depresi klinikal (Haque, 2005). Penyebab sering dari batuk kronis
adalah penyakit refluks gastro-esofagus, rinosinusitis dan asma. Terdapat juga golongan
penderita minoritas yang batuk tanpa dengan diagnosis dan pengobatan diklasifikasikan
sebagai batuk idiopatik kronis. Batuk golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa
sebenarnya penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).
2.4. Mekanisme Batuk
Pola dasar batuk bisa dibagi kepada empat komponen yaitu inspirasi dalam yang
cepat, ekspirasi terhadap glotis yang tertutup, pembukaan glotis secara tiba-tiba dan terakhir
relaksasi otot ekspiratori (McGowan, 2006).
Menurut Weinberger (2005) batuk bisa diinisiasi sama ada secara volunter atau
refleks. Sebagai refleks pertahanan, ia mempunyai jaras aferen dan eferen. Jaras aferen
termasuklah reseptor yang terdapat di distribusi sensori nervus trigemineus,
glossopharingeus, superior laryngeus, dan vagus. Jaras eferen pula termasuklah nervus
laryngeus dan nervus spinalis. Batuk bermula dengan inspirasi dalam diikuti dengan
penutupan glotis, relaksasi diafragma dan kontraksi otot terhadap penutupan glotis. Tekanan
intratorasik yang positif menyebabkan penyempitan trakea. Apabila glotis terbuka, perbedaan
tekanan yang besar antar atmosfer dan saluran udara disertai penyempitan trakea
menghasilkan kadar aliran udara yang cepat melalui trakea. Hasilnya, tekanan yang tinggi
dapat membantu dalam mengeliminasi mukus dan benda asing.
2.5. Jenis-jenis Obat Batuk
Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak dan
membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak umumnya tidak
disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan kausa seperti infeksi, cairan di dalam
paru, atau asma. Misalnya, antibiotik akan diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi
kepada penderita asma. Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai
variasi jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak yang memerlukan batuknya
disupresikan pada waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan tidur. Menurut KKM
(2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan jenis obat batuk yang benar. Menurut
Beers (2003) pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
batuknya berdahak atau tidak.
Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak berdahak
yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.
2.5.1. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran
pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari
sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas
sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik
yang terdapat di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas,
2008).

2.5.1.1. BROMHEKSIN
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine merupakan suatu zat
aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan kepada penderita bronkitis atau kelainan
saluran pernafasan yang lain. Obat ini juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di
bronkus untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien. Menurut Estuningtyas (2008) data
mengenai efektivitas klinis obat ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian yang lebih
mendalam pada masa akan datang. Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral
adalah mual dan peninggian transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan dengan
hati-hati pada pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti yang dianjurkan adalah
tiga kali, 4-8 mg sehari. Obat ini rasanya pahit sekali.

2.5.1.2. AMBROKSOL
Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki mekanisme kerja
yang sama dengan bromheksin. Ambroksol sedang diteliti tentang kemungkinan manfaatnya
pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada anak lahir
prematur dengan sindrom pernafasan (Estuningtyas, 2008).

2.5.1.3. ASETILSISTEIN
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit bronkopulmonari
kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus, penyakit bronkopulmonari akut,
penjagaan saluran pernafasan dan kondisi lain yang terkait dengan mukus yang pekat sebagai
faktor penyulit (Estuningtyas, 2008). Ia diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat
tetes hidung. Asetilsistein menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Kerja
utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan
viskositasnya dan seterusnya memudahkan penyingkiran sekret tersebut. Ia juga bisa
menurunkan viskositas sputum. Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai
aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7 hingga 9. Sputum akan
menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5 hingga
10 menit setelah diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung pada
trakea.
Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama pada pasien
asma. Selain itu, terdapat juga timbul mual, muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan
terbentuknya sekret berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini
diberikan, hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya, larutan yang digunakan
adalah asetilsistein 10% hingga 20%.

2.5.2. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran
pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan pengalaman empiris.
Tidak ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum
digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan
selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus
vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang
termasuk golongan ini ialah ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).

2.5.2.1. AMMONIUM KLORIDA


Menurut Estuningtyas (2008) ammonium klorida jarang digunakan sebagai terapi obat
tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering dalam bentuk campuran
dengan ekspektoran lain atau antitusif. Apabila digunakan dengan dosis besar dapat
menimbulkan asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
insufisiensi hati, ginjal, dan paru-paru. Dosisnya, sebagai ekspektoran untuk orang dewasa
ialah 300mg (5mL) tiap 2 hingga 4 jam. Obat ini hampir tidak digunakan lagi untuk
pengasaman urin pada keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal dan
menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit.

2.5.2.2. GLISERIL GUAIAKOLAT


Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan kesan subyektif pasien dan
dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat pada dosis yang diberikan. Efek samping
yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah. Ia tersedia
dalam bentuk sirup 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan 2 hingga 4 kali, 200-400 mg
sehari.

2.5.3. Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat batuk yang
menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan menekan respirasi.
Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat juga
analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Menurut Husein (1998) antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya
termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Kebanyakannya berpotensi untuk
menghasilkan efek samping termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga terdapat
penyalahgunaan.
Antitusif adalah obat yang menekan refleks batuk, digunakan pada gangguan saluran
nafas yang tidak produktif dan batuk akibat teriritasi. Secara umum berdasarkan tempat kerja
obat antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang berkerja di
sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan narkotik dan non-narkotik.

2.5.3.1.Antitusif yang bekerja di perifer.


Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di saluran nafas, yaitu
pada reseptor iritan perifer dengan cara anastesi langsung atau secara tidak langsung
mempengaruhi lendir saluran nafas.
 Obat-obat anestesi
Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol, fenol dan garam fenol digunakan
dalam pembuatan lozenges . Obat ini mengurangi batuk akibat rangsang reseptor iritan di
faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi batuk akibat kelainan salauran nafas
bawah. Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain
sangat bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan bronkoskopi.
Beberapa hal harus diperhatikan dalam pemakaian obat anestesi topikal yaitu :
1. Resiko aspirasi beberapa jam sesudah pemakaian obat.
2. Diketahui kemungkinan reaksi alergi terhadap obat anestesi.
3. Peningkatan tekanan jalan nafas sesudah inhalasi zat anestesi.
4. Resiko terjadinya efek toksis sistemik termasuk aritmia dan kejang terutama pada
penderita penyakit hati dan jantung.
 Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah kekeringan selaput lendir. Obat
ini digunakan sebagai pelarut antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu,
akasia, gliserin dan anggur. Secara objektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini
mempunyai efek antitusif yang bermakna, tetapi karena aman dan memberikan perbaikan
subjektif obat ini banyak dipakai.

2.5.3.2.Antitusif yang bekerja sentral.


Obat ini berkerja menekan batuk dengan meninggikan ambang rangsangan yang
dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk dibagi atas golongan narkotik dan non-narkotik.
 Golongan narkotik
Opiat dan derivatnya mempunyai berbagai macam efek farmakologi sehingga digunakan
sebagai analgesik, antitusif, sedatif, menghilangkan sesak karena gagal jantung dan anti diare.
Diantara alkaloid ini morfin dan kodein sering digunakan. Efek samping obat ini adalah
penekanan pusat nafas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah, serta efek adiksi. Opiat
dapat menyebabkan terjadinya brokospasme karena pelepasan histamin. Tetapi efek ini
jarang terlihat pada dosis terapi untuk antitusif.
Kodein merupakan antitusif narkotik yang paling efektif dan salah satu obat yang paling
sering diresepkan. Pada orang dewasa dosis tunggal 20-60 mg atau 40-160 mg per hari
biasanya efektif. Kodein ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan
ketergantungan. Disamping itu obat ini sangat sedikit sekali menyebabkan penekanan pusat
nafas dan pembersihan mukosiliar.

KODEIN
Menurut Corelli (2007) kodein bertindak secara sentral dengan meningkatkan nilai
ambang batuk. Dalam dosis yang diperlukan untuk menekan batuk, efek aditif adalah rendah.
Banyak kodein yang mengandung kombinasi antitusif diklasifikasikan sebagai narkotik dan
jualan kodein sebagai obat bebas dilarang di beberapa negara. Bagaimanapun menurut Jusuf
(1991) kodein merupakan obat batuk golongan narkotik yang paling banyak digunakan. Dosis
bagi dewasa adalah 10-20 mg setiap 4-6 jam dan tidak melebihi 120 mg dalam 24 jam.
Beberapa efek samping adalah mual, muntah, konstipasi, palpasi, pruritus, rasa mengantuk,
hiperhidrosis, dan agitasi (Jusuf, 1991).
2.5.3.3.Antitusif Non-Narkotik

DEKSTROMETORFAN
Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan atau D-3-metoksin-N-metilmorfinan tidak
berefek analgetik atau bersifat aditif. Zat ini meningkatkan nilai ambang rangsang refleks
batuk secara sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein,
zat ini jarang menimbulkan mengantuk atau gangguan saluran pencernaan. Dalam dosis
terapi dekstrometorfan tidak menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusifnya
bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin
menimbulkan depresi pernafasan. Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan
sebagai sirup dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5mL. dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4 kali
sehari. Dekstrometorfan sering dipakai bersama antihistamin, dekongestan, dan ekspektoran
dalam produk kombinasi (Corelli, 2007). Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan
ketergantungan. Obat ini juga efektif bila diberikan dengan dosis 30 mg setiap 4-8 jam, dosis
dewasa 10-20 mg setiap 4 jam. Anak-anak umur 6-11 tahun 5-10 mg. Sedangkan anak umur
2-6 tahun dosisnya 2,5 – 5 mg setiap 4 jam.

BUTAMIRAT SITRAT
Obat ini bekerja pada sentral dan perifer. Pada sentral obat ini menekan pusat refleks
dan di perifer melalui aktifitas bronkospasmolitik dan aksi antiinflamasi. Obat ini ditoleransi
dengan baik oleh penderita dan tidak menimbulkan efek samping konstipasi, mual, muntah
dan penekanan susunan saraf pusat. Butamirat sitrat mempunyai keunggulan lain yaitu dapat
digunakan dalam jangka panjang tanpa efek samping dan memperbaiki fungsi paru yaitu
meningkatkan kapasitas vital dan aman digunakan pada anak. Dosis dewasa adalah 3×15 ml
dan untuk anak-anak umur 6-8 tahun 2×10 ml sedangkan anak berumur lebih dari 9 tahun
dosisnya 2×15 ml.

DIFENHIDRAMIN
Obat ini tergolong obat antihistamin, mempunyai manfaat mengurangi batuk kronik
pada bronkitis. Efek samping yang dapat ditimbulkan ialah mengantuk, kekeringan mulut dan
hidung, kadang-kadang menimbulkan perangsangan susunan saraf pusat. Obat ini
mempunyai efek antikolinergik karena itu harus digunakan secara hati-hati pada penderita
glaukoma, retensi urin dan gangguan fungsi paru. Dosis yang dianjurkan sebagai obat batuk
ialah 25 mg setiap 4 jam, tidak melebihi 100 mg/ hari untuk dewasa. Dosis untuk anak
berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 50 mg/ hari. Sendangkan
untuk anak 2-5 tahun ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25 mg / hari.

2.6. Mekanisme Kerja Obat


2.6.1 Obat Batuk Antitusif
Antitusif yaitu obat bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat batuk dan
menaikan ambang rangsang batuk. Mekanisme kerjanya menekan batuk dengan mengurangi
iritasi lokal pada reseptor iritan perifer. Contoh antitusif antara lain Dekstrometorfan, Kodein,
Noskapin, Prometazin dan Difenhidramin.
Dekstrometorfan HBr (Bisoltussin®)
Dekstrometorfan HBr (Bisoltussin®) adalah obat batuk antitusif (menekan respon
batuk), digunakan untuk batuk tidak berdahak. Meringankan gejala-gejala flu seperti demam,
sakit kepala, hidung tersumbat, dan bersin-bersin yang disertai batuk.
Mekanisme kerja : aksi sentral pada pusat batuk di medulla. Dextrometorphan
merupakan antitusif non narkotik penekan batuk non opiate yang bekerja secara sentral
dengan jalan meningkatkan ambang rangsang refleks batuk. Dextromethorphan disbsorpsi
dengan baik melalui saluran cerna, dimetabolisme dalam hati dan diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk tidak berubah ataupun bentuk demilated morfinon.
Jangan digunakan pada wanita hamil trimester ketiga, anak < 1 tahun, kerusakan ginjal parah.
Efek samping: pusing, gangguan saluran cerna.
Codeine (Codipront®)
Codeine (Codipront®) selain digunakan sebagai antitusif, juga dapat digunakan utk
analgesik serta antidiare. Mekanisme kerja: aksi sentral pada pusat batuk di medulla. Efek
samping: ketergantungan, mual, muntah, konstipasi, mulut kering, sakit kepala.
Difenhidramin
Mengatasi gejala alergi pernapasan dan alergi kulit, memberi efek mengantuk bagi
orang yang sulit tidur, mencegah mabuk perjalanan dan sebagai antitusif, anti mual dan
anestesi topikal. Mekanisme Kerja Difenhidramin ini memblokir aksi histamin, yaitu suatu
zat dalam tubuh yang menyebabkan gejala alergi. Difenhidramin menghambat pelepasan
histamin (H1) dan asetilkolin (menghilangkan ingus saat flu). Hal ini memberi efek seperti
peningkatan kontraksi otot polos vaskular, sehingga mengurangi kemerahan, hipertermia dan
edema yang terjadi selama reaksi peradangan. Difenhidramin menghalangi reseptor H1 pada
perifer nociceptors sehingga mengurangi sensitisasi dan akibatnya dapat mengurangi gatal
yang berhubungan dengan reaksi alergi. Efek samping adalah pusing, mengantuk, mulut
kering
Noskapin
Noskapin merupakan pereda batuk tetapi tidak sekuat kodein dan tidak
mengakibatkan depresi pernapasan atau obstipasi, sedangkan efek sedatifnya dapat diabaikan.
Risiko adiksinya ringan sekali. Mekanisme kerjanya adalah pembebas histamine yang kuat
dengan efek bronchokonstriksi dan hipotensi (selewat) pada dosis besar. Efek samping
berupa nyeri kepala dan reaksi kulit.
Prometazin
Sebagai antihistamin berdaya meredakan rangsangan batuk akibat sifat sedatif dan
kolinergiknya yang kuat. Obat ini terutama digunakan pada batuk malam yang menggelitik
pada anak-anak. Mekanisme kerjanya adalah daya kerjanya menekan SSP. Efek sampingnya
adalah antikolinergiknya dapat menyebabkan gangguan buang air kecil dan akomodasi pada
manula.

2.6.2. Mukolitik
Mukolitik = penghancur dahak. Produksi dahak meningkat antara lain pada kondisi
alergi, merokok, dan infeksi. Beberapa penyakit yg meningkatkan produksi dahak antara lain
pneumonia, asma, dan bronkhitis akut. Mukolitika berdaya mengurangi kekentalan dahak dan
mengeluarkannya melalui batuk. Zat ini bekerja memutuskan jembatan disulfida.
Distribusinya dalam tubuh baik dengan mencapai kadar tinggi, antara lain di saluran
pernapasan dan sekret bronchi, sedangkan ekskresinya berlangsung melalui kemih. Contoh
obat mukolitik antara lain: Bromheksin dan Ambroxol.
Mekanisme Kerja Mukolitik

Ambroxol (Epexol®)
Ambroxol (Epexol®) digunakan sebagai mukolitik pada batuk berdahak. Merupakan
metabolit dari bromheksin Hendaknya digunakan bersama makanan. Efek samping: efek
samping ringan pada saluran pencernaan, reaksi alergi. Selain utk obat batuk, ambroxol juga
memiliki sifat pereda nyeri pada sakit tenggorokan/faringitis, shg dikembangkan tablet hisap
ambroxol. Memperlancar pengeluaran sekret yang kental dari kelenjar mukosa dalam saluran
pernapasan sehingga melegakan pernapasan. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi batuk
dan volume dahak sehingga sekresi lendir akan menjadi normal kembali.
Erdosteine (Edotin®)
Erdosteine (Edotin®) sifat mukolitik lebih baik daripada bromheksin. Efek samping
ringan, biasanya hanya di saluran cerna.
Asetilsistein (Fluimucil®)
Asetilsistein (Fluimucil®) digunakan sebagai mukolitik, dan mencegah keracunan
parasetamol. Mekanisme kerja Asetilsistein adalah memecah ikatan disulfida pada dahak.
Efek samping: bronkospasme, gangguan saluran cerna. Asetilsistein memecah ikatan
disulfida pada dahak.
Bromheksin (Bisolvon®)
Bromheksin (Bisolvon®) digunakan sebagai mukolitik. Efek samping: diare, mual, muntah.
Juga memiliki efek antioksidan. Mekanisme kerjanya adalah Bromheksin bekerja dengan
mengencerkan sekret pada saluran pernafasan dengan jalan menghilangkan serat-serat
mukoprotein dan mukopolisakarida yang terdapat pada sputum/dahak sehingga lebih mudah
dikeluarkan.

2.6.3. Obat Batuk Ekspektoran


Obat yang dapat membantu mengeluarkan mukus dan bahan lain dari paru, bronchi,
dan trachea. Salah satu contoh ekspektoran adalah guaifenesin yang menaikan pembuangan
mukus dengan mengencerkannya dan juga melubrikasi. Untuk menunjang kerjanya harus
disertai banyak minum air. Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan
selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran nafas lewat N. Vagus,
sehingga menurunka viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Contoh ekspektoran
antara lain: Gliseryl Guaikolat, dan Amonium Chlorida.
Guaifenesin/gliseril guaiakolat/GG
Guaifenesin/gliseril guaiakolat/GG digunakan sebagai ekspektoran pd batuk
berdahak, dan pengobatan simptomatik batuk yang produktif akibat alergi atau etiologi
lainnya. Mekanisme kerjanya dengan cara meningkatkan volume dan menurunkan viskositas
dahak di trakea dan bronki, kemudian merangsang pengeluaran dahak menuju faring. Efek
samping : mual, muntah, batu ginjal.
Ammonium Chlorida
Ammonium Chlorida merupakan pengobatan untuk gejala batuk berdahak atau batu
kering. Mekanisme Kerja Ammonium Chloride yaitu bekerja sebagai ekspektoran yang
mengurangi kepekatan lendir. Efek samping adalah terjadi pada dosis tinggi berupa acidosis
dan gangguan lambung, seperti mual dan muntah karena sifatnya yang merangsang mukosa.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Meskipun batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan sekret
dan benda asing dari saluran napas, tetapi bila gejala ini berlangsung lama dan terus menerus,
akan sangat menggagu bahkan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Untuk itu perlu
ditanggulangi dengan baik.
Pengobatan batuk yang paling baik adalah dengan menghilangkan faktor penyebabnya
yaitu dengan mengatasi berbagai macam gangguan atau penyakit yang merangsang reseptor
batuk. Batuk kronik pada perokok paling baik ditanggulangi dengan menghentikan kebiasaan
merokok.
Pengobatan simptomatik diberikan apabila penyebab batuk tidak dapat ditentukan
dengan tepat, bila batuk tidak berfungsi dengan baik atau sangat mengganggu serta
dikhawatirkan akan menimbulkan komplikasi.
N-Asetilsistein adalah mukolitik yang sangat efektif untuk mengencerkan sputum.
Mempunyai manfaat pada penyakit saluran napas akut dan kronik. Obat ini mempunyai efek
lain, yaitu antioksidan, sehingga bermanfaat mencegah kerusakan paru oleh oksidan dalam
asap rokok.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai