DI RSUD BENDAN
Proposal Penelitian
Skripsi
201902030002
2022
BAB I
PENDAHULUAN
terasa sesak dan kesulitan bernafas (Nukiv Derma Kusenda, 2021). Asma disebabkan
oleh faktor genetik, dimana terdapat adanya gen tertentu pada penderita asma yang bisa
diturunkan baik faktor dari dalam tubuh maupun luar tubuh seseorang. hal ini dapat
menyebabkan terjadinya serangan asma. Salah satu faktor pencetus dari dalam tubuh
yaitu infeksi saluran pernapasan, stress, olahraga, dan emosi yang berlebihan, sedangkan
faktor pencetus dari luar tubuh antara lain debu, serbuk bunga, bulu binatang, zat
makanan, obat, minuman, bau-bauan, bahan kimia, polusi udara, serta perubahan cuaca
sehingga menimbulkan sesak nafas (Priska Soukotta, 20 C.E.). Penyakit asma pada
umumnya di mulai sejak masa anak-anak terutama pada usia lima tahun. Biasanya anak-
anak yang tinggal di perkotaan mudah terkena asma. Hal ini disebabkan karena
diperkotaan banyak terpapar polusi dan debu dan banyaknya jumlah penduduk.
Penyumbatan saluran nafas penyakit asma menimbulkan gejala seperti batuk, mengi dan
sesak nafas. Penyempitan saluran nafas ini dapat terjadi secara bertahap, perlahan dan
bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi secara mendadak, sehingga
menimbulkan kesulitan bernafas akut (Adhar Arifuddin, Muh Jusman Rau, 2019). Hal ini
disebabkan oleh bronkospasme dan hipersekresi yang kental yang dapat menyebabkan
kekambuhan, berulang dan reversible. Aliran udara yang terbatas dan bersifat reversible
serta gejala pernafasan yang meliputi suara nafas wheezing, dispsnue, batuk, dada terasa
sesak, tachypnue, dan tachycardia merupakan tanda dari hiperesponsivitas dari saluran
Gangguan yang terjadi akan berpengaruh pada status respirasi pada pasien asma,
seperti peningkatan respiratory rate, batuk dan sesak. Pada penderita asma, frekuensi
pernapasan atau repirasi rate mengalami peningkatan, upaya pernapasan ini merupakan
upaya bagi pasien asma untuk meningkatkan oksigenasi, tetapi hal ini akan
menyebabkan terjadinya kelelahan dan perlu adanya latihan yang mampu mengatur
upaya pernapasan agar tidak terjadi kelelahan (Kartikasari & Sulistyanto, 2020).
memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan
akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Peningkatan prevalensi asma
menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di Negara maju maupun Negara
berkembang. Menurut data dari Global Initiatif for Asthma (GINA) tahun 2018
menyatakan bahwa 300 juta orang diseluruh penduduk di dunia menderita asma
(Ningrum, 2018). Penderita asma diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga
mencapai 400 juta pada tahun 2025. Meskipun dengan pengobatan teratur, angka
mordibitas dan mortalitas asma masih tinggi. Peningkatan prevalensi mordibitas dan
mortalitas asma di seluruh dunia sering terjadi terutama di perkotaan dan industri.
Penderita asma ringan dan periodic tidak menyadari mengidap asma dan berfikir sakit
yang dirasakan di duga hanya penyakit pernafasan atau batuk biasa (Kartikasari &
Sulistyanto, 2020).
Prevalensi asma di asia tenggara menurut Global Intiative for asthma pada tahun
2016 sebesar 3,3%, dimana penderita asma sebanyak 17,5 juta penderita asma dari 529,3
juta penderita. Berdasarkan data riset Kesehatan dasar (Ningrum, 2018). Prevalensi asma
provinsi, yang pertama DI Yogyakarta mencapai 4,5%, Kalimantan timur 4%, dan Bali
3,9%, sedangkan presentase asma di provinsi jawa tengah sebesar 1,8% yaitu 132.565
kasus. Prevalensi penderita asma pada anak di Indonesia dari usia 1-4 tahun sebanyak
1,6% dan pada anak usia 5-14 tahun sebanyak 1,9% (Riskesdas, 2018).
derita oleh golongan menengah ke bawah dan tidak mampu dengan presentase golongan
menengah ke bawah sebanyak 4,7% dan presentase golongan tidak mampu sebanyak
5,8% (ISMKI, 2016). Menurut data DINKES kabupaten pekalongan, prevalensi asma
pada tahun 2022 bulan januari-maret terdapat 414 orang menderita asma, pada bulan
April-juni penderita asma menagalami peningkatan dengan jumlah kasus 1012 orang
menderita asma, sedangkan bulan juli prevalensi asma mengalami penurunan dengan
jumlah kasus penderita asma 162 orang, di bulan agustus penderita asma semakin
menurun dengan jumlah kasus penderita asma sebanyak 147 orang (DINKES, 2022).
B. Rumusan Masalah
penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran respirasi rate pada pasien asma di RSUD
Bendan?“.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki tujuan khusus untuk mengetahui:
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
keperawatan.
2. Bagi keluarga
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
3. Bagi masyarakat
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan sebagai peningkatan ilmu pengetahuan
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan sebagai sarana untuk acuan belajar
yang relevan terkait gambaran tentang respirasi rate pada penderita asma.
E. Keaslian Penelitian
1. Penelitian mengenai respirasi rate pada penderita asma telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh kartikasari dan sulistyanto tahun
2020 dengan judul “ Gambaran respirasi rate (RR) pasien asma”. Penelitian ini
Penelitian ini dilakukan di RSUD Batang. Populasi pada penelitian ini adalah pasien
asma rawat jalan di RSUD Batang. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 30
Sulistyanto, 2020). Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu penderita asma
demografi, sedangkan yang menjadi persamaan adalah pada sampel penelitian yaitu
2. Penelitian yang dilakukan oleh osifine, dkk tahun 2022 yang berjudul “Teknik
Pernapasan Butekyo terhadap Penurunan Respirasi Rate dan Saturasi Oksigen pada
Asma Bronchial” metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan
menggunakan desain deskriptif studi kasus dengan subjek 2 pasien asma, berjenis
kelamin sama dan usia yang sama, yang dilaksanakan pada stase KMB minggu ke 3
di RS Bina Husada. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu pasien asma
dengan masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif, diberikan tindakan
keperawatan latihan pernafasan butekyo 1 kali pertemuan selama 3 hari dengan waktu
15 menit dan didapatkan hasil respirasi rate terjadi penurunan, dari 26x/menit menjadi
22x/menit, SpO2 terjadi kenaikan dari 94% menjadi 98%, pada otot bantu pernapasan
dari ada menjadi tidak ada otot bantu pernapasan. Perbedaan pada penelitian ini yaitu
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Asma
1. Definisi Asma
Asma adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan global yang
serius dan memengaruhi semua kelompok umur. Prevalensi asma meningkat di
banyak negara, terutama di kalangan anak-anak. Meskipun beberapa negara telah
mengalami penurunan pada pasien rawat inap dan kematian akibat asma, namun
penyakit ini masih menjadi beban karena dapat menyebabkan hilangnya produktivitas
pada keluarga (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021).
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak di temui baik
pada anak-anak maupun orang dewasa. Kata asma berasal dari bahasa yunani yang
berarti terengah-engah. Menurut Global Intiative for Asma (GINA) tahun 2015, asma
didefinisikan sebagai salah satu penyakit yang heterogen karena adanya inflamasi
kronis pada saluran pernapasan. Hal ini karena adanya riwayat gejala pada gangguan
pernapasan sepetarti mengi, nafas terengah-engah, dada terasa berat, dan batuk.
Inflamasi kronis ini berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran pernapasan
terhadap berbagai stimulus yang menyebabkan kekambuhan sesak nafas (mengi),
kesulitan bernapas, dada terasa sesak, dan batuk-batuk, yang dapat terjadi pada
malam hari maupun siang hari (Anissa Fitrah Umara Dkk 2021).
Menurut pendapat lainnya Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada jalan
nafas yang berhubungan dengan hiperesponsivitas, edema mukosa, dan produksi
mukus. Inflamasi ini berkembang menjadi beberapa gejala asma yang berulang,
seperti batuk, sesak dada, mengi, dan dispnea. Asma menjadi salah satu penyakit
kronik yang paling sering muncul pada masa anak-anak, dan dapat dialami olh
berbagai kelompok usia. Faktor resiko pada asma mencakup riwayat kesehatan
keluarga, alergi (salah satu faktor yang paling kuat), dan terpapar zat iritan atau
allergen dalam waktu yang lama (misalnya: rumput, serbuk sari, jamur, debu, atau
binatang). Pencetus yang paling sering memunculkan gejala asma dan eksaserbasi
mencakup jalan napas (misalnya: polutan, suhu dingin, panas, bau menyengat, asap
dan parfum), latihan fisik, stress atau perasaan marah (Brunner&Suddarth, 2013).
2. Gambaran Klinik
Asma tidak termasuk dalam penyakit yang spesifik, namun termasuk dalam sindrom
yang dihasilkan oleh multipel yang pada akhirnya menghasilkan gejala klinis
termasuk obstruksi jalan nafas reversible. Sebagai salah satu sindrom episodic,
terdapat interval asimtomatik di antara faktor kejadian serangan asma. Ciri-ciri pada
sindrom ini yaitu dispnea, suara mengi, obstruksi jalan nafas reversible terhadap
bronkodilator, bronkus yang hiperresponsif terhadap berbagai stimulus baik yang
spesifik maupun non-spesifik, dan peradangan pada saluran pernapasan. Semua ciri-
ciri ini tidak selalu ada dalam waktu yang bersamaan.
Serangan asma ditandai dengan batuk, mengi, serta sesak nafas.gejala yang sering
terlihat adalah penggunaan otot napas tambahan, timbulnya pulsus paradoksus. Pada
kondisi seperti ini biasanya pasien akan mencari posisi duduk yang enak, yaitu duduk
tegak dengan tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, biasanya pasien
akan berpegangan pada lengan kursi sehingga otot nafas tambahan akan bekerja
dengan lebih baik. Takikardia akan timbul di awal serangan, kemudian diikuti
sianosis sentral (Djojodibroto, 2019).
3. Patogenesis
Asma adalah suatu penyakit inflamasi dari saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma (Amira Tarigan, 2017).
1) Inflamasi Akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain diantaranya yaitu: alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi
respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah
kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Alergen terikat pada IgE yang menempel pas sel mast yang menyebabkan
degranulasi. Degranulasi mengeluarkan preformed mediator (histamin),
protease dan newly generated mediator (leukotrin, prostaglandin dan PAF
yang menimbulkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.
2) Inflamasi Kronik
Berbagai macam sel terikat dan selalu aktif pada inflamasi kronik seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
Peradangan terjadi mulai dari saluran napas bagian atas dan banyak yang
menyatakan radang terjadi di bronkus. Sel-sel struktural dari saluran napas
juga memproduksi mediator-mediator peradangan dan menimbulkan
kelanjutan peradangan akibat mediator-mediator dengan cara yang bervariasi.
Lebih dari 100 aneka ragam mediator yang menyebabkan peradangan saluran
napas yang kompleks.
d. Sel-Sel Radang
Sel radang yang ditemukan pada penyakit alergi terlihat pada asma, yaitu sel
mast yang teraktifasi, penambahan jumlah sel eosinofil yg teraktifasi, dan
penambahan jumlah reseptor sel T. Asma sulit dikontrol mengakibatkan
gangguan yang lebih sering dan perawatan di rumah sakit dan menyebabkan
penurunan fungsi paru yang lebih cepat dan peningkatan resiko kematian.
Pasien asma yang merokok mengkin mengalami inflamasi akibat predominan
netrofil pada saluran napas dan tidak respon dengan pemberian
glukokortikosteroid.
e. Serangan Asma
b. Gejala berupa batuk, terkadang berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
c. Gejala timbul atau memburuk terutama pada malam hari / pagi hari.
a. Riwayat keluarga
b. Riwayat alergi
c. Penyakit lain yang memberatkan
5. Klasifikasi Asma
(Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021), mengklasifikasikan asma menjadi beberapa jenis:
a. Asma alergi
Merupakan salah satu tipe asma yang paling mudah dikenali, yang sering dimulai
pada masa kanak-kanak dan sering dikaitkan dengan riwayat penyakit alergi di
masa lalu atau keluarga seperti eksim, rinitis alergi, atau alergi makanan maupun
obat. Pemeriksaan dahak yang dinduksi dari pasien ini sebelum pengobatan sering
mengungkapkan peradangan saluran nafas eosinofilik. Pasien dengan tipe asma
ini biasanya merespon dengan baik dengan pengobatan inhaled Corticosteroid
(ICS).
b. Asma non-alergi
Beberapa pasien memiliki asma yang tidak berhubungan dengan alergi. Sputum
pada pasien non-alergi hanya mengandung sedikit sel inflamasi dan sering
menunjukkan respons jangka pendek yang kurang terhadap ICS.
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, didiagnosis asma untuk pertama kalinya
saat dewasa. Pasien ini cenderung tidak mempunyai riwayat alergi, dan sering
membutuhkan dosis ics yang lebih tinggi atau relative refrakter terhadap
pengobatan kortikosteroid.
Pada pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang menonjol dan
sedikit disertai peradangan saluran napas eosinofilik.
6. Etiologi asma
Menurut (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021), asma disebut sebagai Reactive Airway
Disease (RAD), yaitu suatu penyakit obstruksi jalan nafas secara reversible yang
ditandai dengan inflamasi, dan peningkatan reaksi jalan nafas terhadap berbagai
stimulan.
a. Faktor Ekstrinsik
b. Faktor Intrinsik
c. Fisik
d. Emosional
Takut, cemas, tegang, aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor
pencetus.
7. Patofisiologi Asma
Puspasari, (2019), menjelaskan bahwa obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyebabkan terjadinya
penyempitan jalan napas, pembengkakan memberan yang melapisi bronkus dan
pengisian bronkus dengan mukus yang kental, keterbatasan aliran udara disebabkan
oleh berbagai perubahan jalan.
1. Faktor host
1) Genetic
2) Gender
3) Obesitas
2. Faktor lingkungan
9) Perubahan cuaca.
9. Penatalaksanaan Asma
Faktor utama yang berperan pada angka sakit dan kematian pada asma tidak
terdiagnosanya penyakit dan pengobatan pada asma yang cukup. Penatalaksanaan
asma yang paling mudah adalah dengan mencegah atau mengurangi inflamasi kronik
dan mencegah faktor penyebab asma. Hal yang harus dilakukan agar asma dapat
terkontrol yaitu dengan melakukan penanganan dan meliputi beberapa tahapan. Asma
merupakan suatu penyakit yang kronis dan bersifat dinamis, dengan bervariasi dan
individual. Pengobatan pada asma hanya bersifat sebagai bantuan penatalaksanaan
yang bisa disesuaikan dengan kondisi penderita asma tersebut. Tujuan penatalaksaan
asma sendiri yaitu menyembuhkan dan mengendalikan asma, mencegah kekambuhan,
mempertahankan fungsi paru, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya
obstruki saluran nafas, dan mencegah kematian akibat asma.
a. Pengontrol
Pengontrol adalah terapi obat asma yang diberikan dalam jangka panjang untuk
menngontrol asma, diberikan setiap hari agar tercapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol juga disebut sebagai
pencegah. Contoh obat pengontrol asma, yaitu: kortikosteroid inhalasi,
kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat, nedrokomil sodium, metilsantin,
inhalasi leukotrietn modifiers, anti histamine, dll. Pada pasien asma yang sudah
diberikan obat pengontrol harus mengetahui peningkatan dosis dalam jangka
waktu 2-4 minggu kedepan.
b. Pelega
Pelega bertujuan untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan menghambat bronkokontriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti: mengi, rasa berat didada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan
nafas atau menurunkan hiperresponsif jalan nafas. Salah satu contoh pelega
adalah kortikosteroid sistemik digunakan sebagai obat pelega apabila penggunaan
bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, antikolinergik,
aminofilin, adrenalin.
1) Antibiotik
Belum ada bukti yang mendukung antibiotic pada asma eksaserbasi kecuali
jika ditemukan adanya bukti yang kuat mengenai infeksi paru, misalnya
demam dan spuum purulen atau dengan bukti radiografi pneumonia.
Pengobatan dengan kortikosteroid harus dilakukan sebelum
mempertimbangkan pemberian antibiotic.
2) Terapi Oksigen
Terapi oksigen harus disamakan dengan pilse oximetry (jika tersedia) untuk
mempertahankan saturasi oksigen. Pemberian oksigen yang sesuai dapat
memberikan hasil yang lebih baik. Oksigen sebaiknya jangan dikurangi jika
oximetry tidak tersedia, tetapi pasien harus dipantau jika muncul keadaan
mengantuk atau kelelahan.
3) Terapi SABA
Terapi SABA inhalasi harus diberikan lebih sering pada pasien dengan
serangan asma akut. Belum ada bukti yang kuat pada SABA dengan gejala
asma berat. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada fungsi paru-
paru.
4) Epinefrin
5) Kortikosteroid Sistemik
Pemeriksaan diagnostic asma menurut (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021), antara lain,
sbb:
a. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
b. Uji revibilitas (dengan bronkodilator), uji provokasi bronkus untuk menilai ada
atau tidaknya hiperaktivitas bronkus
e. Tes nitrit oksida ekshalasi (FENO) untuk mengukur konsentrasi fraksi nitrit
oksida ekshalasi.
Pada penderita asma yang tidak ditangani dengan baik akan berpengaruh pada
kualitas hidup penderita asma, dimana pada orang tersebut dapat timbul keluhan-
keluhan seperti kelelahan, kinerja menurun, masalah psikologis, stress, kecemasan
dan depresi, beberapa komplikasi yang mungkin muncul pada penderita asma adalah
gangguan pernafasan serius, yaitu: pneumonia, kerusakan sebagian atau seluruh paru-
paru, gagal nafas dimana kadar oksigen dalam darah menjadi sangat rendah, serangan
asma berat yang tidak merespon pengobatan (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021).
B. Respirasi Rate
Secara umum pengertian dari respirasi adalah suatu proses menghirup atau
pergerakan udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh dan masuk ke
paru-paru serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida
sebagai sisa dari oksidasi ke luar tubuh. Pada saat terjadi mekanisme respirasi, otot
antar tulang rusuk luar berkontraksi dan terjadi pengerutan, tulang rusuk akan
terangkat ke atas dan rongga dada membesar, hal ini akan mengakibatkan tekanan
udara dalam dada kecil sehingga udara masuk ke dalam tubuh. Setiap manusia jumlah
mekanisme respirasi yang berlangsung srlama waktu tertentu (respirasi rate) berbeda-
beda (Ardiyanto dkk, 2018).
Alat ukur yang digunakan pada laju pernapasan adalah alat yang digunakan untuk
menghitung jumlah frekuensi pernapasan dalam waktu 1 menit. Pengukuran ini biasa
dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit. Dari hasil pengukuran frekuensi
pernapasan ada 3 tingkat pengelompokkan, untuk frekuensi pernapasan normal
disebut eupnea, sedangkan jumlah pernapasan yang melebihi rata-rata disebut
tachypnea dan lebih rendah dari rata-rata jumlah pernapasan biasa disebut bradypnea
(Ardiyanto dkk, 2018).
Ada berbagai metode untuk mengukur laju pernapasan, metode yang paling
sederhana untuk menentukan laju pernapasan adalah dengan menghitung langsung
atau secara manual, gerak naik turun dinding rongga dada, atau dengan mendengar
bunyi nafas (breathing) dengan stetoskop. Metode ini sangat bergantung pada
konsentrasi pikiran serta kepekaan indra pengukuran atau pengamatan. Hal ini
dikarenakan sifat manusia yang mudah lupa, lelah dan bosan, hal ini tentu saja akan
berdampak pada keakurasian hasil dari pengukuran yang berdampak dalam
mendiagnosa suatu pasien. Maka dari itu di era ini banyak dikembangkan metode
pengukuran/pengamatan laju pernapasan secara elektronik (Ardiyanto dkk, 2018).
Bernafas adalah suatu tindakan involunter atau tidak disadari, diatur oleh batang
otak dan dilakukan dengan bantuan otot-otot pernapasan. Laju pernapasan adalah
jumlah nafas permenit, dihitung setiap satu gerakan inhalasi dan ekshalasi. Tingkat
pernapasan normal adalah sekitar 12-20 kali/menit pada orang dewasa. Parameter
penting dalam pengukuran laju pernapasan adalah kecepatan dan kedalaman
pernapasan (Giri Susilo Adi dkk, 2022).
a. Takipnea
Takipnea adalah frekuensi pernapasan lebih dari 20 kali/menit. Hal tersebut dapat
terjadi pada kondisi fisiologis seperti olahraga, perubahan emosi, kehamilan,
sedangkan pada kondisi patologis seperti nyeri, pneumonia, emboli paru, asma,
aspirasi benda asing, kecemasan, sepsis, dan ketoasidosis diabetic.
b. Bradibnea
c. Apnea
Apnea adalah penghentian total aliran udara ke paru-paru selama 15 detik. Hal
tersebut dapat terjadi pada kasus henti jantung dan paru, obstruksi jalan napas,
overdosis narkotika.
A. Kerangka Konsep
1. Perubahan warna
Pengukuran Respirasi Rate:
kulit
1. Takipnea
2. Penurunan
kesadaran 2. Bradibnea
3. Penurunan kadar 3. Apnea
oksigen
Keterangan:
:Tidak diteliti
:Diteliti
Variabel penelitian adalah konsep atau hal yang akan diteliti, dikontrol atau
diobservasi oleh seorang peneliti dalam sebuah penelitian yang akan
dilakukannya (Mukhtazar, 2020). Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan
variabel independen yaitu resiprasi rate.
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
SMP
SMA
Perguruan
tinggi