Anda di halaman 1dari 23

GAMBARAN RESPIRASI RATE PASIEN ASMA

DI RSUD BENDAN

Proposal Penelitian

Skripsi

Vina Aulia Putri

201902030002

PROGRAM STUDI DAN SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit yang menyerang saluran pernafasan dengan inflamasi

kronis. Inflamasi kronis berhubungan dengan berbagai stimulus hiperresponsivitas

saluran pernafasan yang menyebabkan kekambuhan nafas (mengi) batuk-batuk dada

terasa sesak dan kesulitan bernafas (Nukiv Derma Kusenda, 2021). Asma disebabkan

oleh faktor genetik, dimana terdapat adanya gen tertentu pada penderita asma yang bisa

diturunkan baik faktor dari dalam tubuh maupun luar tubuh seseorang. hal ini dapat

menyebabkan terjadinya serangan asma. Salah satu faktor pencetus dari dalam tubuh

yaitu infeksi saluran pernapasan, stress, olahraga, dan emosi yang berlebihan, sedangkan

faktor pencetus dari luar tubuh antara lain debu, serbuk bunga, bulu binatang, zat

makanan, obat, minuman, bau-bauan, bahan kimia, polusi udara, serta perubahan cuaca

dan suhu (Priska Soukotta, 20 C.E.).

Asma merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernafasan

sehingga menimbulkan sesak nafas (Priska Soukotta, 20 C.E.). Penyakit asma pada

umumnya di mulai sejak masa anak-anak terutama pada usia lima tahun. Biasanya anak-

anak yang tinggal di perkotaan mudah terkena asma. Hal ini disebabkan karena

diperkotaan banyak terpapar polusi dan debu dan banyaknya jumlah penduduk.
Penyumbatan saluran nafas penyakit asma menimbulkan gejala seperti batuk, mengi dan

sesak nafas. Penyempitan saluran nafas ini dapat terjadi secara bertahap, perlahan dan

bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi secara mendadak, sehingga

menimbulkan kesulitan bernafas akut (Adhar Arifuddin, Muh Jusman Rau, 2019). Hal ini

disebabkan oleh bronkospasme dan hipersekresi yang kental yang dapat menyebabkan

kekambuhan, berulang dan reversible. Aliran udara yang terbatas dan bersifat reversible

serta gejala pernafasan yang meliputi suara nafas wheezing, dispsnue, batuk, dada terasa

sesak, tachypnue, dan tachycardia merupakan tanda dari hiperesponsivitas dari saluran

pernafasan (Kartikasari & Sulistyanto, 2020).

Gangguan yang terjadi akan berpengaruh pada status respirasi pada pasien asma,

seperti peningkatan respiratory rate, batuk dan sesak. Pada penderita asma, frekuensi

pernapasan atau repirasi rate mengalami peningkatan, upaya pernapasan ini merupakan

upaya bagi pasien asma untuk meningkatkan oksigenasi, tetapi hal ini akan

mengakibatkan penggunaan otot pada pernapasan yang meningkat sehingga

menyebabkan terjadinya kelelahan dan perlu adanya latihan yang mampu mengatur

upaya pernapasan agar tidak terjadi kelelahan (Kartikasari & Sulistyanto, 2020).

Prevalensi asma Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)

memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan

akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Peningkatan prevalensi asma

menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di Negara maju maupun Negara

berkembang. Menurut data dari Global Initiatif for Asthma (GINA) tahun 2018

menyatakan bahwa 300 juta orang diseluruh penduduk di dunia menderita asma

(Ningrum, 2018). Penderita asma diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga
mencapai 400 juta pada tahun 2025. Meskipun dengan pengobatan teratur, angka

mordibitas dan mortalitas asma masih tinggi. Peningkatan prevalensi mordibitas dan

mortalitas asma di seluruh dunia sering terjadi terutama di perkotaan dan industri.

Penderita asma ringan dan periodic tidak menyadari mengidap asma dan berfikir sakit

yang dirasakan di duga hanya penyakit pernafasan atau batuk biasa (Kartikasari &

Sulistyanto, 2020).

Prevalensi asma di asia tenggara menurut Global Intiative for asthma pada tahun

2016 sebesar 3,3%, dimana penderita asma sebanyak 17,5 juta penderita asma dari 529,3

juta penderita. Berdasarkan data riset Kesehatan dasar (Ningrum, 2018). Prevalensi asma

di Indonesia mengalami peningkatan 0,5% dengan presentase tertinggi yaitu di tiga

provinsi, yang pertama DI Yogyakarta mencapai 4,5%, Kalimantan timur 4%, dan Bali

3,9%, sedangkan presentase asma di provinsi jawa tengah sebesar 1,8% yaitu 132.565

kasus. Prevalensi penderita asma pada anak di Indonesia dari usia 1-4 tahun sebanyak

1,6% dan pada anak usia 5-14 tahun sebanyak 1,9% (Riskesdas, 2018).

Berdasarkan data Riskesdas 2013, penderita asma di Indonesia paling banyak di

derita oleh golongan menengah ke bawah dan tidak mampu dengan presentase golongan

menengah ke bawah sebanyak 4,7% dan presentase golongan tidak mampu sebanyak

5,8% (ISMKI, 2016). Menurut data DINKES kabupaten pekalongan, prevalensi asma

pada tahun 2022 bulan januari-maret terdapat 414 orang menderita asma, pada bulan

April-juni penderita asma menagalami peningkatan dengan jumlah kasus 1012 orang

menderita asma, sedangkan bulan juli prevalensi asma mengalami penurunan dengan

jumlah kasus penderita asma 162 orang, di bulan agustus penderita asma semakin

menurun dengan jumlah kasus penderita asma sebanyak 147 orang (DINKES, 2022).
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran respirasi rate pada pasien asma di RSUD

Bendan?“.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

respirasi rate pada pasien asma di RSUD Bendan.

2. Tujuan Khusus

Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki tujuan khusus untuk mengetahui:

a. Untuk mengidentifikasi karakteristik responden pada penderita asma.

b. Untuk mengidentifikasi respirasi rate penderita asma di RSUD Bendan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan peneliti mendapatkan pengalaman

langsung pada saat melakukan penelitian, serta dapat menerapkan teori-teori

keperawatan.

2. Bagi keluarga
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

kepada keluarga tentang

3. Bagi masyarakat

Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan sebagai peningkatan ilmu pengetahuan

serta dapat dijadikan sebagai bahan belajar khusunya dimasyarakat.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan sebagai sarana untuk acuan belajar

yang relevan terkait gambaran tentang respirasi rate pada penderita asma.

E. Keaslian Penelitian

1. Penelitian mengenai respirasi rate pada penderita asma telah dilakukan oleh beberapa

peneliti. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh kartikasari dan sulistyanto tahun

2020 dengan judul “ Gambaran respirasi rate (RR) pasien asma”. Penelitian ini

merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode analitik observasional.

Penelitian ini dilakukan di RSUD Batang. Populasi pada penelitian ini adalah pasien

asma rawat jalan di RSUD Batang. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 30

responden yang diambil dengan teknik accidental sampling (Kartikasari &

Sulistyanto, 2020). Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu penderita asma

mengalami peningkatan RR 100% dengan jumlah responden 30 orang, dengan teknik

pengambilan data dengan mengobservasi secara langsung dengan menghitung RR.

Perbedaan penelitian ini yaitu pada penelitian sebelumya menggunakan jenis

penelitian kuantitatif dengan metode analitik observasional, sedangkan pada


penelitian yang akan dilakukan yaitu penelitian kuantitatif dengan metode data

demografi, sedangkan yang menjadi persamaan adalah pada sampel penelitian yaitu

menggunakan teknik sampel accidental sampling.

2. Penelitian yang dilakukan oleh osifine, dkk tahun 2022 yang berjudul “Teknik

Pernapasan Butekyo terhadap Penurunan Respirasi Rate dan Saturasi Oksigen pada

Asma Bronchial” metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan

menggunakan desain deskriptif studi kasus dengan subjek 2 pasien asma, berjenis

kelamin sama dan usia yang sama, yang dilaksanakan pada stase KMB minggu ke 3

di RS Bina Husada. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu pasien asma

dilakukan pengelolaan asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi

dengan masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif, diberikan tindakan

keperawatan latihan pernafasan butekyo 1 kali pertemuan selama 3 hari dengan waktu

15 menit dan didapatkan hasil respirasi rate terjadi penurunan, dari 26x/menit menjadi

22x/menit, SpO2 terjadi kenaikan dari 94% menjadi 98%, pada otot bantu pernapasan

dari ada menjadi tidak ada otot bantu pernapasan. Perbedaan pada penelitian ini yaitu

dengan menggunakan kuesioner.


DAFTAR PUSTAKA

Adhar Arifuddin, Muh Jusman Rau, N. H. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASMA DI WILAYAH KERJA PUKESMAS
SINGGANI KOTA PALU. Society, 2(1), 1–19.
Amira Tarigan. (2017). Buku Ajar Respirasi.
Annisa Fitrah Umara Dkk. (2021). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Resoirasi.
Brunner&Suddarth. (2013). kEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH.
Djojodibroto, D. (2019). RESPIROLOGI (Respiratory Medicine).
Giri Susilo Adi dkk. (2022). BUKU MODUL STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
KETERAMPILAN KEPERAWATAN.
I Made Sudarma Adiputra. (2021). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Juhana Nasrudin. (2019). METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN (buku ajar praktis cara
membuat penelitian).
Kartikasari, D., & Sulistyanto, B. A. (2020). Gambaran Respirasi Rate (RR) Pasien Asma.
Jurnal Penelitian IPTEKS, 5(2), 277–281. https://doi.org/10.32528/ipteks.v5i2.3669
Mukhtazar. (2020). Prosedur Penelitian Pendidikan.
Ningrum, W. A. C. (2018). Pengetahuan, Sikap Dan Kekembuhan Pasien Asma Di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang. Masker Medika, 6, 417–424.
https://jmm.ikestmp.ac.id/index.php/maskermedika/article/view/248
Nukiv Derma Kusenda, A. P. N. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN ASMA
DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI. 3(2), 6.
Priska Soukotta, Y. (20 C.E.). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ASMA DENGAN
PENERAPAN PERNAPASAN RESPIRATORY MUSCLE STRETCHING UNTUK
MENINGKATKAN STATUS RESPIRASI DI RUANG IGD RSUD TARAKAN. 2021,
1(2).
Shila Wisnasari, Yulian Wiji Utami, Akhiyan Hadi Susanto, E. S. D. (2021). BUKU AJAR
KEPERAWATAN DASAR.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Asma

1. Definisi Asma

Asma adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan global yang
serius dan memengaruhi semua kelompok umur. Prevalensi asma meningkat di
banyak negara, terutama di kalangan anak-anak. Meskipun beberapa negara telah
mengalami penurunan pada pasien rawat inap dan kematian akibat asma, namun
penyakit ini masih menjadi beban karena dapat menyebabkan hilangnya produktivitas
pada keluarga (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021).

Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak di temui baik
pada anak-anak maupun orang dewasa. Kata asma berasal dari bahasa yunani yang
berarti terengah-engah. Menurut Global Intiative for Asma (GINA) tahun 2015, asma
didefinisikan sebagai salah satu penyakit yang heterogen karena adanya inflamasi
kronis pada saluran pernapasan. Hal ini karena adanya riwayat gejala pada gangguan
pernapasan sepetarti mengi, nafas terengah-engah, dada terasa berat, dan batuk.
Inflamasi kronis ini berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran pernapasan
terhadap berbagai stimulus yang menyebabkan kekambuhan sesak nafas (mengi),
kesulitan bernapas, dada terasa sesak, dan batuk-batuk, yang dapat terjadi pada
malam hari maupun siang hari (Anissa Fitrah Umara Dkk 2021).

Menurut pendapat lainnya Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada jalan
nafas yang berhubungan dengan hiperesponsivitas, edema mukosa, dan produksi
mukus. Inflamasi ini berkembang menjadi beberapa gejala asma yang berulang,
seperti batuk, sesak dada, mengi, dan dispnea. Asma menjadi salah satu penyakit
kronik yang paling sering muncul pada masa anak-anak, dan dapat dialami olh
berbagai kelompok usia. Faktor resiko pada asma mencakup riwayat kesehatan
keluarga, alergi (salah satu faktor yang paling kuat), dan terpapar zat iritan atau
allergen dalam waktu yang lama (misalnya: rumput, serbuk sari, jamur, debu, atau
binatang). Pencetus yang paling sering memunculkan gejala asma dan eksaserbasi
mencakup jalan napas (misalnya: polutan, suhu dingin, panas, bau menyengat, asap
dan parfum), latihan fisik, stress atau perasaan marah (Brunner&Suddarth, 2013).

2. Gambaran Klinik

Asma tidak termasuk dalam penyakit yang spesifik, namun termasuk dalam sindrom
yang dihasilkan oleh multipel yang pada akhirnya menghasilkan gejala klinis
termasuk obstruksi jalan nafas reversible. Sebagai salah satu sindrom episodic,
terdapat interval asimtomatik di antara faktor kejadian serangan asma. Ciri-ciri pada
sindrom ini yaitu dispnea, suara mengi, obstruksi jalan nafas reversible terhadap
bronkodilator, bronkus yang hiperresponsif terhadap berbagai stimulus baik yang
spesifik maupun non-spesifik, dan peradangan pada saluran pernapasan. Semua ciri-
ciri ini tidak selalu ada dalam waktu yang bersamaan.

Serangan asma ditandai dengan batuk, mengi, serta sesak nafas.gejala yang sering
terlihat adalah penggunaan otot napas tambahan, timbulnya pulsus paradoksus. Pada
kondisi seperti ini biasanya pasien akan mencari posisi duduk yang enak, yaitu duduk
tegak dengan tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, biasanya pasien
akan berpegangan pada lengan kursi sehingga otot nafas tambahan akan bekerja
dengan lebih baik. Takikardia akan timbul di awal serangan, kemudian diikuti
sianosis sentral (Djojodibroto, 2019).

3. Patogenesis

Asma adalah suatu penyakit inflamasi dari saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma (Amira Tarigan, 2017).

1) Inflamasi Akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain diantaranya yaitu: alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi
respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah
kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

a. Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen terikat pada IgE yang menempel pas sel mast yang menyebabkan
degranulasi. Degranulasi mengeluarkan preformed mediator (histamin),
protease dan newly generated mediator (leukotrin, prostaglandin dan PAF
yang menimbulkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.

b. Reaksi Asma Tipe Lambat

Reaksi timbul antara 6 – 9 jam setelah terpapar alergen melibatkan


pengerahan eosinopil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

2) Inflamasi Kronik
Berbagai macam sel terikat dan selalu aktif pada inflamasi kronik seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.

a. Inflamasi Saluran Napas pada Asma

Peradangan terjadi mulai dari saluran napas bagian atas dan banyak yang
menyatakan radang terjadi di bronkus. Sel-sel struktural dari saluran napas
juga memproduksi mediator-mediator peradangan dan menimbulkan
kelanjutan peradangan akibat mediator-mediator dengan cara yang bervariasi.
Lebih dari 100 aneka ragam mediator yang menyebabkan peradangan saluran
napas yang kompleks.

b. Perubahan struktur saluran nafas

Perubahan struktur saluran napas Perubahan struktur saluran napas dikenal


sebagai perubahan model saluran napas pada pasien asma. Sebagian dari
perubahan tersebut berhubungan dengan keparahan dari penyakit ini dan
menyebabkan penyempitan saluran napas yang menetap. Perubahan tersebut
mungkin menimbulkan perbaikan sebagai responsi pada inflamasi kronis.

Perubahan struktur yang terjadi :

a) Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.

b) Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.

c) Penebalan membran retikular basal.

d) Pembuluh darah meningkat.

e) Matriks ekstraselular fungsinya meningkat.

f) Perubahan struktur parenkim.

g) Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis.

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan


tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan
jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling
bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari
proses tersebut.

c. Hiperesponsif Saluran Napas


Saluran napas yang menyempit mengarahkan pada suatu keterbatasan saluran
napas secara variatif dan gejala-gejala penyerta. Hiperesponsif saluran napas
dikaitkan pada peradangan dan perbaikan pada saluran napas dan sebagian
dapat disembuhkan dengan terapi. Mekanisme-mekanisme tersebut belum
dimengerti sepenuhnya.

d. Sel-Sel Radang

Sel radang yang ditemukan pada penyakit alergi terlihat pada asma, yaitu sel
mast yang teraktifasi, penambahan jumlah sel eosinofil yg teraktifasi, dan
penambahan jumlah reseptor sel T. Asma sulit dikontrol mengakibatkan
gangguan yang lebih sering dan perawatan di rumah sakit dan menyebabkan
penurunan fungsi paru yang lebih cepat dan peningkatan resiko kematian.
Pasien asma yang merokok mengkin mengalami inflamasi akibat predominan
netrofil pada saluran napas dan tidak respon dengan pemberian
glukokortikosteroid.

e. Serangan Asma

Serangan asma terjadi karena paparan faktor-faktor resiko sehingga timbul


gejala-gejala asma, atau munculnya pemicu seperti misalnya olah raga dan
polusi udara, dan perubahan cuaca misalnya, hujan dan petir. Hal lain yang
memicu serangan asma biasanya dipicu oleh infeksi virus saluran napas
bagian atas (terutama rhinovirus dan respiratory syncytial virus) atau paparan
allergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran bagian bawah yang
bertahan beberapa hari atau beberapa minggu.

4. Riwayat penyakit / gejala

Menurut (Amira Tarigan, 2017), riwayat penyakit/gejala asma adalah, sbb:

a. Bersifat episodic, seringkali revesibel dengan atau tanpa pengoobatan.

b. Gejala berupa batuk, terkadang berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

c. Gejala timbul atau memburuk terutama pada malam hari / pagi hari.

d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.

e. Respon terhadap pembeian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:

a. Riwayat keluarga

b. Riwayat alergi
c. Penyakit lain yang memberatkan

d. Perkembangan penyakit dan pengobatan

5. Klasifikasi Asma

Asma adalah penyakit heterogen, dengan proses penyakit yang berbeda-beda.

(Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021), mengklasifikasikan asma menjadi beberapa jenis:

a. Asma alergi

Merupakan salah satu tipe asma yang paling mudah dikenali, yang sering dimulai
pada masa kanak-kanak dan sering dikaitkan dengan riwayat penyakit alergi di
masa lalu atau keluarga seperti eksim, rinitis alergi, atau alergi makanan maupun
obat. Pemeriksaan dahak yang dinduksi dari pasien ini sebelum pengobatan sering
mengungkapkan peradangan saluran nafas eosinofilik. Pasien dengan tipe asma
ini biasanya merespon dengan baik dengan pengobatan inhaled Corticosteroid
(ICS).

b. Asma non-alergi

Beberapa pasien memiliki asma yang tidak berhubungan dengan alergi. Sputum
pada pasien non-alergi hanya mengandung sedikit sel inflamasi dan sering
menunjukkan respons jangka pendek yang kurang terhadap ICS.

c. Asma onset dewasa (onset lambat)

Beberapa orang dewasa, terutama wanita, didiagnosis asma untuk pertama kalinya
saat dewasa. Pasien ini cenderung tidak mempunyai riwayat alergi, dan sering
membutuhkan dosis ics yang lebih tinggi atau relative refrakter terhadap
pengobatan kortikosteroid.

d. Asma dengan keterbatasan aliran udara persisten

Beberapa pasien dengan asma yang berlangsung lama mengalami keterbatasan


aliran udara yang persisten atau reversible sepenuhnya.

e. Asma dengan obesitas

Pada pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang menonjol dan
sedikit disertai peradangan saluran napas eosinofilik.

6. Etiologi asma
Menurut (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021), asma disebut sebagai Reactive Airway
Disease (RAD), yaitu suatu penyakit obstruksi jalan nafas secara reversible yang
ditandai dengan inflamasi, dan peningkatan reaksi jalan nafas terhadap berbagai
stimulan.

Secara garis besar asma disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya:

a. Faktor Ekstrinsik

Merupakan suatu reaksi antigen antibody karena inhalasi allergen (bulu-bulu


binatang, debu dan serbuk-serbuk).

b. Faktor Intrinsik

Infeksi pada influenza virus, pneumonia mycoplasma.

c. Fisik

Cuaca dingin, perubahan temperatur/suhu, polusi udara (asap rokok, parfum).

d. Emosional

Takut, cemas, tegang, aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor
pencetus.

7. Patofisiologi Asma

Puspasari, (2019), menjelaskan bahwa obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyebabkan terjadinya
penyempitan jalan napas, pembengkakan memberan yang melapisi bronkus dan
pengisian bronkus dengan mukus yang kental, keterbatasan aliran udara disebabkan
oleh berbagai perubahan jalan.

a. Bronkokontriksi pada asma, kejadian fisiologis yang dominan menyebabkan


gejala klinis adalah penyempitan saluran nafas dan gangguan pada aliran udara.
Pada eksaserbasi asma akut, kontraksi otot polos bronchial terjadi dengan cepat
mempersempit jalan nafas sebagai respon terhadap paparan berbagai rangsangan
allergen atau iritasi.

b. Edema jalan nafas, terjadi karena proses peradangan berupa peningkatan


permeabilitas vascular, edema akan mempersempit diameter bronkus dan
membatasi aliran udara selain itu perubahan structural termasuk hipertropi dan
hyperplasia pada otot polos saluran nafas dapat berpengaruh.

c. Hipersekresi mukus, sekresi mukus terjadi sebagai mekanisme fisiologis dari


masuknya iritan.
8. Faktor risiko asma

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor host

1) Genetic

2) Gender

3) Obesitas

2. Faktor lingkungan

1) Allergen didalam ruangan (tungau, debu, kucing, jamur)

2) Allergen diluar ruangan (jamur)

3) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,


makanan laut, susu sapi)

4) Obat-obatan tertentu seperti golongan aspirin, NSAID

5) Bahan yang mengiritasi misalnya parfum

6) Ekspresi emosi yang berlebihan

7) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

8) Polusi udara diluar dan didalam ruangan

9) Perubahan cuaca.

9. Penatalaksanaan Asma

Faktor utama yang berperan pada angka sakit dan kematian pada asma tidak
terdiagnosanya penyakit dan pengobatan pada asma yang cukup. Penatalaksanaan
asma yang paling mudah adalah dengan mencegah atau mengurangi inflamasi kronik
dan mencegah faktor penyebab asma. Hal yang harus dilakukan agar asma dapat
terkontrol yaitu dengan melakukan penanganan dan meliputi beberapa tahapan. Asma
merupakan suatu penyakit yang kronis dan bersifat dinamis, dengan bervariasi dan
individual. Pengobatan pada asma hanya bersifat sebagai bantuan penatalaksanaan
yang bisa disesuaikan dengan kondisi penderita asma tersebut. Tujuan penatalaksaan
asma sendiri yaitu menyembuhkan dan mengendalikan asma, mencegah kekambuhan,
mempertahankan fungsi paru, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya
obstruki saluran nafas, dan mencegah kematian akibat asma.

Penatalaksanaan asma dapat dikatakan terkontrol jika:

a. Tidak adanya gejala, termasuk gejala saat malam

b. Tidak ada keterbatasan aktivitas

c. Tidak ada efek samping obat

d. Tidak ada kunjungan ke UGD

Komponen penatalaksanaan asma salah satunya yaitu dengan merencanakan dan


memberikan pengobatan asma dalam jangka panjang dengan tujuan untuk mencapai
dan mempertahankan asma yang terkontrol. Pengobatan asma diberikan berdasarkan
klasifikasi yang sudah ditetapkan berdasarkan etiologi penyakit dan pola keterbatasan
udara. Obat asma dibagi menjadi 2 golongan, yaitu obat pelega nafas dan obat
pengontrol asma. Obat pelega nafas berupa bronkodilator, diberikan pada penderita
asma yang bertujuan untuk mengatasi serangan asma, sedangkan obat pengontrol
asma berupa obat anti inflamasi bronkodilator kerja lama serta anti alergi.

a. Pengontrol

Pengontrol adalah terapi obat asma yang diberikan dalam jangka panjang untuk
menngontrol asma, diberikan setiap hari agar tercapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol juga disebut sebagai
pencegah. Contoh obat pengontrol asma, yaitu: kortikosteroid inhalasi,
kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat, nedrokomil sodium, metilsantin,
inhalasi leukotrietn modifiers, anti histamine, dll. Pada pasien asma yang sudah
diberikan obat pengontrol harus mengetahui peningkatan dosis dalam jangka
waktu 2-4 minggu kedepan.

b. Pelega

Pelega bertujuan untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan menghambat bronkokontriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti: mengi, rasa berat didada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan
nafas atau menurunkan hiperresponsif jalan nafas. Salah satu contoh pelega
adalah kortikosteroid sistemik digunakan sebagai obat pelega apabila penggunaan
bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, antikolinergik,
aminofilin, adrenalin.

c. Add-on terapi untuk pasien dengan asma berat


Pengobatan ini dapat dipertimbangkan ketika pasien asma memiliki gejala
persisten atau eksaserbasi meskipun pengobatan dioptimalkan dengan obat
pengontrol dosis tinggi, dan pengobatan faktor risiko yang dimodifikasi.

Beberapa pengobatan yang diberikan pada penderita asma, yaitu:

1) Antibiotik

Belum ada bukti yang mendukung antibiotic pada asma eksaserbasi kecuali
jika ditemukan adanya bukti yang kuat mengenai infeksi paru, misalnya
demam dan spuum purulen atau dengan bukti radiografi pneumonia.
Pengobatan dengan kortikosteroid harus dilakukan sebelum
mempertimbangkan pemberian antibiotic.

2) Terapi Oksigen

Terapi oksigen harus disamakan dengan pilse oximetry (jika tersedia) untuk
mempertahankan saturasi oksigen. Pemberian oksigen yang sesuai dapat
memberikan hasil yang lebih baik. Oksigen sebaiknya jangan dikurangi jika
oximetry tidak tersedia, tetapi pasien harus dipantau jika muncul keadaan
mengantuk atau kelelahan.

3) Terapi SABA

Terapi SABA inhalasi harus diberikan lebih sering pada pasien dengan
serangan asma akut. Belum ada bukti yang kuat pada SABA dengan gejala
asma berat. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada fungsi paru-
paru.

4) Epinefrin

Epinefrin intramuscular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan terhadap


terapi standar untuk asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan
angioderma. Hal ini diindikasikan untuk eksaserbasi asma lainnya.

5) Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid oral harus diberikan segera pada kondisi pasien yang


memburuk, atau memerlukan peningkatan dosis dari pereda dan pengontrol.

10. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostic asma menurut (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021), antara lain,
sbb:

a. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
b. Uji revibilitas (dengan bronkodilator), uji provokasi bronkus untuk menilai ada
atau tidaknya hiperaktivitas bronkus

c. Uji alergi, untuk menilai ada atau tidaknya alergi

d. Foto toraks untuk menyingkirkan penyakit selain asma

e. Tes nitrit oksida ekshalasi (FENO) untuk mengukur konsentrasi fraksi nitrit
oksida ekshalasi.

11. Komplikasi Asma

Pada penderita asma yang tidak ditangani dengan baik akan berpengaruh pada
kualitas hidup penderita asma, dimana pada orang tersebut dapat timbul keluhan-
keluhan seperti kelelahan, kinerja menurun, masalah psikologis, stress, kecemasan
dan depresi, beberapa komplikasi yang mungkin muncul pada penderita asma adalah
gangguan pernafasan serius, yaitu: pneumonia, kerusakan sebagian atau seluruh paru-
paru, gagal nafas dimana kadar oksigen dalam darah menjadi sangat rendah, serangan
asma berat yang tidak merespon pengobatan (Annisa Fitrah Umara Dkk, 2021).

B. Respirasi Rate

1. Konsep Respirasi Rate

Secara umum pengertian dari respirasi adalah suatu proses menghirup atau
pergerakan udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh dan masuk ke
paru-paru serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida
sebagai sisa dari oksidasi ke luar tubuh. Pada saat terjadi mekanisme respirasi, otot
antar tulang rusuk luar berkontraksi dan terjadi pengerutan, tulang rusuk akan
terangkat ke atas dan rongga dada membesar, hal ini akan mengakibatkan tekanan
udara dalam dada kecil sehingga udara masuk ke dalam tubuh. Setiap manusia jumlah
mekanisme respirasi yang berlangsung srlama waktu tertentu (respirasi rate) berbeda-
beda (Ardiyanto dkk, 2018).

Alat ukur yang digunakan pada laju pernapasan adalah alat yang digunakan untuk
menghitung jumlah frekuensi pernapasan dalam waktu 1 menit. Pengukuran ini biasa
dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit. Dari hasil pengukuran frekuensi
pernapasan ada 3 tingkat pengelompokkan, untuk frekuensi pernapasan normal
disebut eupnea, sedangkan jumlah pernapasan yang melebihi rata-rata disebut
tachypnea dan lebih rendah dari rata-rata jumlah pernapasan biasa disebut bradypnea
(Ardiyanto dkk, 2018).
Ada berbagai metode untuk mengukur laju pernapasan, metode yang paling
sederhana untuk menentukan laju pernapasan adalah dengan menghitung langsung
atau secara manual, gerak naik turun dinding rongga dada, atau dengan mendengar
bunyi nafas (breathing) dengan stetoskop. Metode ini sangat bergantung pada
konsentrasi pikiran serta kepekaan indra pengukuran atau pengamatan. Hal ini
dikarenakan sifat manusia yang mudah lupa, lelah dan bosan, hal ini tentu saja akan
berdampak pada keakurasian hasil dari pengukuran yang berdampak dalam
mendiagnosa suatu pasien. Maka dari itu di era ini banyak dikembangkan metode
pengukuran/pengamatan laju pernapasan secara elektronik (Ardiyanto dkk, 2018).

2. Nilai Respirasi Rate

Pengkajian respirasi yang mendukung Ph darah arteri, pernapasan normal dapat


diobservasi, hal ini dapat diobservasi ekspansi dinding dada dan pergerakan dinding
dada yang simetris atau dengan menempatkan punggung tangan didepan hidung dan
mulut pasien untuk merasakan udara yang keluar. ketika mengkaji pernapasan yang
termasuk di dalamnya adalah rate, kedalaman dan ritme pergerakan ventilasi. Kriteria
pernafasan normal adalah rate dalam rentang 12-20 pernapasan permenit. Dalam
mengamati kenaikan dan penurunan dinding dada dan mengitung rate dengan
menempatkan punggung tangan padadada untuk merasakan kenaikan dan penurunan
dinding dada. Jika pernapasan regular, maka hitung jumlah pernapasan selama 30
detik kemudian dikali 2. Jika pasien mengalami kesulitan bernapas, hitung satu menit
penuh (Shila Wisnasari, Yulian Wiji Utami, Akhiyan Hadi Susanto, 2021).

Gangguan respirasi menyebabkan perubahan warna kulit, yaitu tampak kebiruan


pada kuku, bibir, dan kulit. Warna kebiruan (sianosis) disebabkan karena kurangnya
kadar oksigen dalam darah arteri. Perubahan kesadaran (susah istirahat, ansietas,
dispnea) juga terjadi karena penurunan kadar oksigen (Shila Wisnasari, Yulian Wiji
Utami, Akhiyan Hadi Susanto, 2021).

3. Pengukuran Respirasi Rate

Bernafas adalah suatu tindakan involunter atau tidak disadari, diatur oleh batang
otak dan dilakukan dengan bantuan otot-otot pernapasan. Laju pernapasan adalah
jumlah nafas permenit, dihitung setiap satu gerakan inhalasi dan ekshalasi. Tingkat
pernapasan normal adalah sekitar 12-20 kali/menit pada orang dewasa. Parameter
penting dalam pengukuran laju pernapasan adalah kecepatan dan kedalaman
pernapasan (Giri Susilo Adi dkk, 2022).

a. Takipnea

Takipnea adalah frekuensi pernapasan lebih dari 20 kali/menit. Hal tersebut dapat
terjadi pada kondisi fisiologis seperti olahraga, perubahan emosi, kehamilan,
sedangkan pada kondisi patologis seperti nyeri, pneumonia, emboli paru, asma,
aspirasi benda asing, kecemasan, sepsis, dan ketoasidosis diabetic.

b. Bradibnea

Bradibnea adalah frekuensi pernapsan kurang dari 12 kali/menit. Hal yang


mendasari terjadinya gagal pernapasan adalah karena penggunaan depresan sistem
saraf pusat seperti alkohol dan narkotika.

c. Apnea

Apnea adalah penghentian total aliran udara ke paru-paru selama 15 detik. Hal
tersebut dapat terjadi pada kasus henti jantung dan paru, obstruksi jalan napas,
overdosis narkotika.

Table 1. Nilai laju pernapasan normal

Usia Laju pernapasan

Bayi 30-53 kali/menit

Balita 22-37 kali/menit

Pra sekolah 20-28 kali/menit

Sekolah 18-25 kali/menit

Remaja 12-20 kali/menit


BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI


OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan suatu keterkaitan terhadap konsep-konsep


yang akan diukur dan dilihat melalui penelitian yang akan dilakukan. Penjelasan
kerangka konsep berbentuk diagram menunjukkan hubungan antar variabel yang akan
diteliti. Penyusunan kerangka konsep yang baik akan memberikan informasi yang
jelas pada peneliti serta memberikan gambaran pemilihan desain penelitian yang akan
digunakan (I Made Sudarma Adiputra, 2021).

Gangguan Respirasi Rate:

1. Perubahan warna
Pengukuran Respirasi Rate:
kulit
1. Takipnea
2. Penurunan
kesadaran 2. Bradibnea
3. Penurunan kadar 3. Apnea
oksigen

Keterangan:

:Tidak diteliti

:Diteliti

Skema 3.1 Kerangka Konsep


B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah konsep atau hal yang akan diteliti, dikontrol atau
diobservasi oleh seorang peneliti dalam sebuah penelitian yang akan
dilakukannya (Mukhtazar, 2020). Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan
variabel independen yaitu resiprasi rate.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan pada sifat-sifat yang


didefinisikan dan dapat diamati (Juhana Nasrudin, 2019). Pada penelitian ini yaitu
respirasi rate sebagai variabel independen.

Tabel 3.1

Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur

Usia Usia Menanyakan Dinyatakan Skala


responden usia dalam tahun rasio
sejak lahir responden
sampai
sekarang
menjadi
responden

Jenis Jenis Menanyakan Laki-laki dan Skala


Kelamin kelamin identitas perempuan Nominal
responden responden
sesuai
kartu
identitas

Status Status Menanyakan 1. Kawin Skala


perkawinan yang status Nominal
tercatat perkawinan 2. Tidak
dikartu
identitas responden kawin
seperti
KTP 3.
Janda/duda

Pendidikan Tingkat Menanyakan Tidak Skala


pendidikan pendidikan sekolah Ordinal
terakhir terakhir
responden responden SD

SMP

SMA

Perguruan
tinggi

Anda mungkin juga menyukai