Anda di halaman 1dari 57

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN ASMA DENGAN

MASALAH KEPERAWATAN PENURUNAN SATURASI OKSIGEN MELALUI


PENERAPAN TEKNIK BALLOON BLOWING DI IGD PKM WOHA TAHUN 2023

OLEH :

NAMA : MARINA MAYANGSARI


NPM : 022021089

PROGRAM STUDI (S-1) ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM
2022/2023
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan salah satu penyakit yang paling umum pada sistem

pernapasan manusia. Penyakit ini menyerang orang yang memiliki tanda-tanda

penyempitan saluran udara (bronkus) di dalam tubuh, yang berfungsi membawa

oksigen ke paru-paru dan rongga dada, penyakit radang kronis pada jalan napas. Dasar

dari penyakit ini adalah hiperfungsi bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejalanya

antara lain sesak napas (shortness of breath), dahak terutama pada malam hari atau

dini hari, dan dada terasa sesak. (Khaidir,2019).

Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak menular dan penyakit

ini telah mempengaruhi lebih dari 5% penduduk dunia, dan berapa indikator telah

menunjukan bahwa pravelensinya terus menerus meningkat, khususnya pada anak-

anak. Masalah epidemologi mortalitas dan morbiditas penyakit asma masih cenderung

tinggi, menurut World Health Organization (WHO) yang bekerja sama dengan

organisasi asma di dunia yaitu Global Astma Network (GANT) memprediksikan saat

ini jumlah pasien asma di dunia mencapai 334 juta orang, perkirakan angka ini terus

mengalami peningkatan sebanyak 400 juta orang pada tahun 2025 dan terdapat 250

ribu kematian akibat asma termasuk anak-anak (Marlin & Mariza, 2020).

Asma merupakan masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar 300 juta

orang menderita asma di seluruh dunia. Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini

mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan

mortalitas. Jumlah penderita asma di seluruh dunia telah mencapai 300 juta dan

diperkirakan akan meningkat menjadi 400 juta pada tahun 2025.

1
2

Data GINA 2020, prevalensi asma di dunia 1-18%, tren yang terus meningkat

setiap tahunnya. (Initiative, 2020) Spektrum asma mengenai semua umur, gejala dapat

sangat ringan sampai berat dan dapat menyebabkan kematian. Hal ini dapat

mempengaruhi kualitas hidup serta menjadi beban ekonomi sosial. Data dari Pusat

Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2019 menunjukan

bahwa pada tahun 2018 terdapat sembilan belas provinsi yang mempunyai prevalensi

penyakit asma melebihi angka nasional yaitu DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Bali,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi Tengah, Kep. Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo,

DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan

Sulawesi Tenggara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2019, jumlah kasus

asma di seluruh Indonesia adalah 827.545 kasus. Propinsi yang memiiki jumlah kasus

tertinggi adalah Propinsi Jawa Barat dengan jumlah 374.934 kasus, dan jumlah kasus

terendah adalah Propinsi Papua Barat yaitu 46 kasus (Kementrian Kesehatan RI 2019),

sementara provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di peringkat ke 7 dengan

angka kejadian mencapai 2,5%. Data yang diperoleh dari Puskesmas Woha Kabupaten

Bima didapatkan total pasien asma yang menjalani rawat jalan selama 6 bulan terakhir

2022 sebanyak 21 orang. Jumlah tersebut menunjukkan angka kejadian asma di PKM

Woha Kabupaten Bima masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan kasus di PKM

lain.

Penyakit asma dapat dialami terus menerus pada anak oleh sebab itu perlunya

pemberian terapi baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Salah satu

intervensi mandiri perawat dalam penanganan asma dapat dilakukan dengan terapi non

farmakologi yaitu teknik relaksasi pernapasan. Salah satu teknik relaksasi pernapasan
3

yang dapat dilakukan adalah balloons blowing yang merupakan analogi dari teknik

relaksasi pernapasan pursed lips breathing dan napas dalam. Balloons blowing

merupakan teknik relaksasi pernapasan dengan prinsip inspirasi yang dalam dan

ekspirasi memanjang serta mulut dimonyongkan dengan tujuan untuk membantu

pasien meningkatkan transportasi oksigen, mengontrol pola napas, menurunkan sesak,

meningkatkan kekuatan otot pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap diparu-

paru dan memperbaiki kelenturan rongga dada sehingga fungsi paru menjadi

meningkat (Sumartini et al, 2020; Warti Ningsih, 2019). Menurut penelitian Agina et

al, 2021 blowing ballon efektif untuk menstabilkan frekuensi pernafasan pasien asma.

Terapi asma dapat dilakukan dengan teknik permainan balloon blowing

karena merupakan permainan meniup balon yang membutuhkan inspirasi dalam dan

ekspirasi yang memanjang. Tujuan terapi ini untuk melatih pernapasan yaitu ekspirasi

menjadi lebih panjang dari pada inspirasi untuk memfasilitasi pengeluaran

karbondioksida dari tubuh yang tertahan karena obstruksi jalan napas (Irfan et al.,

2019). Dalam penelitian Sumartini (2020) pengaruh terapi balloon blowing terhadap

anak asma berusia 3-5 tahun memiliki hasil mengalami perubahan fungsi paru yang

dilakukan selama 3 kali sehari dalam 4 hari.

Penelitian terhadap penyakit asma ini terus berkembang, ada beberapa faktor

risiko umum yang menjadi pencetus terjadinya kekambuhan asma yaitu udara dingin,

debu, asap rokok, stress, infeksi, kelelahan, alergi obat dan alergi makanan (Riskesdas,

2019). Pencetus-pencetus serangan asma ditambah dengan pencetus lainnya dari

internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibody. Reaksi

antigen dan antibody ini akan mengeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya

merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan. Zat yang dikeluarkan

dapat berupa histamine, bradikinin, dan anafilaktoksin. Hasil ini dari reaksi tersebut
4

adalah timbulnya tiga gejala, yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan

permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekret mukus. Hal tersebut menyebabkan

tekanan parsial oksigen di alveoli menurun (Nurarif & Kusuma, 2020).

Proses inflamasi kronik yang berlangsung di saluran pernapasan pasien asma

melibatkan banyak sel inflamasi dan elemen sehingga hiperresponsivitas saluran napas

terhadap berbagai stimulus dan menimbulkan episode mengi berulang, sesak napas,

dan kesulitan bernapas, dada tertekan atau terasa sesak dan batuk-batuk, terutama pada

malam hari atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan jalan napas

yang luas namun bervariasi bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan

pengobatan (Global Initiative for Asthma, 2019). Paru-paru yang tidak dapat

berkembang secara optimal akan terjadi penurunan kapasitas vital paru, peningkatan

residu fungsional dan volume residu paru-paru. Hal ini menyebabkan perbedaan

tekanan parsial gas antara tekanan parsial gas yang berada dalam tekanan parsial gas

dalam alveoli dengan tekanan parsial gas dalam pembuluh kapiler paru.

Mengakibatkan penurunan difusi oksigen sehingga konsentrasi oksigen dalam darah

akan berkurang yang ditandai dengan penurunan saturasi oksigen (Warti Ningsih,

Lestyani, 2019). Oleh karena itu perlu dilakukan latihan terhadap paru-paru. Intervensi

meniup balon menurut (Junaidin, 2020) dapat memperbaiki saturasi oksigen, hasil

sebelum dilakukan terapi relaksasi meniup balon rata-rata saturasi oksigen klien

93,77% dan setelah dilakukan terapi rata-rata nilai saturasi oksigen klien menjadi

97,9%. Terapi ini efektif dalam biaya pengobatan dan dapat memperbaiki respirasi

pasien gangguan pernapasan.

Dari uraian diatas, peneliti ingin menggali keefektifan yang lebih

berpengaruh dari intervensi tersebut dalam meningkatkan Saturasi Oksigen dilihat dari

adanya penurunan Saturasi Oksigen pada pasien anak dengan asma. Sehingga, peneliti
5

tertarik untuk mengambil tema “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Anak Asma

Dengan Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen Melalui Penerapan Teknik

Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Anak Asma Dengan

Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen Melalui Penerapan Teknik Balloon

Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023 ?

C. Tujuan Studi Kasus

a. Tujuan Umum

Menerapkan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Anak Asma Dengan

Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen Melalui Penerapan Teknik

Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023.

b. Tujuan Khusus

1) Menerapkan pengkajian keperawatan pada Asuhan Keperawatan Gawat

Darurat Pada Anak Dengan Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen

Melalui Penerapan Teknik Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023.

2) Menerapkan diagnosa keperawatan pada Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Pada Anak Dengan Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen Melalui

Penerapan Teknik Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023.

3) Menerapkan intervensi keperawatan pada Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Pada Anak Dengan Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen Melalui

Penerapan Teknik Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023.

4) Menerapkan implementasi keperawatan pada Asuhan Keperawatan Gawat

Darurat Pada Anak Dengan Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen

Melalui Penerapan Teknik Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023.
6

5) Menerapkan evaluasi keperawatan pada Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Pada Anak Dengan Masalah Keperawatan Penurunan Saturasi Oksigen Melalui

Penerapan Teknik Balloon Blowing Di IGD PKM Woha Tahun 2023.

D. Manfaat Studi Kasus

a. Manfaat Teoritis

Studi kasus ini diharapkan dapat menambah refrensi ilmiah untuk pengembangan

ilmu pengetahuan dan penelitian dalam pengelolaan pasien anak dengan asma.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi perawat

Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,

khususnya studi kasus tentang penerapan Ballon Blowing pada pasien anak

dengan penyakit asma.

2) Bagi institusi pelayanan

Menerapkan intervensi berbasis evidence based untuk pengelolaan pasien

penyakit asma.

3) Bagi instansi pendidikan

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam

pengelolaan penurunan saturasi oksigen pada pasien penyakit asma khususnya

ilmu keperawatan kegawat daruratan.

4) Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan Peneliti selanjutnya dalam pengelolaan penurunan

Frekuensi Pernapasan pada kasus penyakit asma.


7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Asma Bronkhial

1. Pengertian

Asma bronkhiale merupakan salah satu penyakit kronik dengan serangan

intermiten. Serangan ditandai dengan adanya spasme dari saluran bronkial,

pembengkakan dinding bronkial dan banyaknya sekresi lendir. Semua keadaan

tersebut mengakibatkan timbulnya batuk, bunyi ngik, sesak napas dan rasa

kontriksi pada dada (Wara Kushartanti, 2015).

Menurut Sylvia Anderson (2016) asma adalah keadaan klinis yang

ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa

dimana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. Asma Bronkhiale adalah

suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel

netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas,

batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan

(Cris Sinclair, 2009). Samsuridjal dan Bharata Widjaja (2013) menjelaskan asma

bronkhiale adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap

rangsangan atau hiperreaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu

tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil. Asma

merupakan suatu keadaan gangguan/kerusakan bronkus yang ditandai dengan

spasme bronkus yang reversibel atau spasme dan kontriksi yang lama pada jalan

nafas (Joyce M. Black, 2016).

Menurut Crocket (2007) asma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit

dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dengan gejala

8
9

bronkospasme yang reversibel.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ASMA merupakan

penyakit paru kronis yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang

resisten dan bersifat progresif serta terjadinya peningkatan respon inflamasi

kronis saluran napas yang disebebkan oleh iritan tertentu.

2. Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi

Gambar 2.1 Bronkus Normal dan Bronkus Dengan Asma

a) Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)

Asma timbul karena alergen seperti serbuk sari, serangan binatang, jamur

atau debu. Sering dibarengi dengan rhenitis alergik dan eksem ini akan

ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC)

(Mary digiulio, 2014). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh

sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan

interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-

2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal berproliferasi

menjadi sel plasma dan membentuk IgE.

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam

jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh

karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel

eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi
10

dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan

basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belum menunjukkan gejala.

Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.

Bila orang sudah rentan terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen

yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada

pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk

Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar

cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel.

Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah

mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam

sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil

Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF),

trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah

obstruksi oleh histamin.

Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah mengkerut

(konstriksi) bila terpapar bahan/faktor dengan kadar rendah yang di

kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen

(inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan

lainnya baik yang iritan maupun bukan iritan. Dewasa ini diketahui bahwa

hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel

inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas

bronkus pasien asma bronkial sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper

reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit. Hiperreaktifitas

bronkhus dibuktikan dengan uji provokasi menggunakan metakolin atau

histamin.
11

Ditemukan pada pasien asma bronkiale adanya penyumbatan saluran

nafas oleh mukus terutama di cabang-cabang bronchus, Akibat bronkospasme,

oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi

penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa

sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.

b) Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)

Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan

alelgen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran

nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau

Cemas psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom

terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan

hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik

beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma

aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho

konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.

Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada

dalam membran sel yang dikenal dengan adenylcyclase dan disebut juga

messengner kedua. Menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan

menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta

maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus

sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade

adrenergik beta (baratawidjaja, 1990).

c) Asma Bronkiale Campuran (Mixed)

Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun

ekstrinsik. Pada tabel 2.1 dijelaskan bahwa National Asyhma Education and
12

Prevention Program (2007) membagi asma menjadi 4 klasifikasi keparahan

asma pada anak yang tidak mengonsumsi obat pengendali asma jangka

panjang.

Tabel 2.1 Klasifikasi Keparahan Asma pada Anak yang Tidak Mengonsumsi
Obat Pengendali Asma Jangka Panjang (Kyle dan Carman, 2019)
Penggunaan
Gangguan Agonis-ß2 Kerja
Klasifikasi Gejala Fungsi Paru Aktivitas Singkat untuk
Normal Pengendalian
Gejala
Intermiten  1 atau 2 kali per FEV 80% atau Tidak ada 1 atau 2 hari per
minggu lebih dari minggu
 Gejala di malam hari perkiraan
1 atau 2 kali per
bulan
Menetap  Gejala lebih dari dua FEV 80% atau Hambatan Lebih dari dua kali
ringan kali per minggu, lebih dari minor per minggu, tetapi
tetapi kurang dari perkiraan, tidak lebih dari
sekali sehari. variabilitas sekali sehari
 Gejala di malam hari
3 atau 4 kali per
bulan.
Menetap  Gejala setiap hari. FEV 60% Beberapa Setiap hari
sedang  Gejala di malam hari sampai 80% hambatan
>1 kali per minggu, perkiraan
tetapi tidak setiap
malam.
Menetap  Sepanjang hari. FEV <60% Sangat Beberapa kali per
berat  Gejala di malam hari perkiraan terhambat hari
sering kali 7 kali per
minggu.
Sumber: NAEPP 2007 dikutip dari Kyle dan Carman (2019)

Penilaian derajat serangan asma pada anak menurut Global Initiative for

Asthma (GINA) terdapat pada tabel 2.2 dibawah ini :

Tabel 2.2 Penilaian Derajat Serangan Asma pada Anak


Parameter klinis, Berat
fungsi paru, Ringan Sedang Tanpa ancaman Ancaman henti
Laboratorium henti napas napas
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat Bayi:
Bayi : Bayi : tidak mau
menangis  Tangis minum / makan
keras pendek dan
lemah
 Kesulitan
menyusu
dan lemah
Posisi Bisa Lebih suka Duduk
berbaring duduk bertopang lengan
13

Bicara Kalimat Penggal kalima Kata-kata


Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
irritable irritable irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, Nyaring, Sangat nyaring, Sulit / tidak
sering sepanjang terdengar tanpa terdengar
hanya pada ekspirasi ± stetoskop
akhir inspirasi sepanjang
ekspirasi ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan paradox
bantu respiratorik tidak torako-abdominal

Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, ditambah Dangkal / hilang


retraksi ditambah napas cuping
interkosta retraksi hidung
suprasternal
Frekuensi napas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
< 2 bulan : < 60x/menit
2-12 bulan : < 50x/menit
1-5 tahun : < 40x/menit
6-8 tahun : < 30x/menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:
2-12 bulan : < 160x/menit
1-2 tahun : < 120x/menit
3-8 tahun : < 110x/menit
Pulsus paradox Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
(pemeriksaan tidak <10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg kelelahan otot napas
praktis)
PEFR atau FEVI
(% nilai prediksi
/ % nilai terbaik)
Prabronkodilator >60% 40-60% 60- <40%
Pascabronkodilator >80% 80% <60%
Respon <
2jam
SaO2 % >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal >60 mmH <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
Sumber: Buku Ajar Respirologi Anak (dikutip dari Nurarif dan Kusuma, 2015)

3. Faktor Pencetus Serangan Asma Bronkial

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkial atau disebut

sebagai faktor pencetus adalah :

a) Alergen

Alergen adalah zat – zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat

menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah tangga, debu rumah


14

(Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu

binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.

b) Infeksi saluran nafas

Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah

satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkiale.

Diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asma ditimbulkan

oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 2010).

c) Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan sebagai penyebab asma tetapi sebagai pencetus asma,

karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi

penderita asma bronkiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma

terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol

pada wanita dan anak-anak (Yunus, 2013).

d) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat

Sebagian penderita asma bronkiale akan mendapatkan serangan asma bila

melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan

bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena

kegiatan jasmani (Exercise induced asma/EIA) terjadi setelah olah raga atau

aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam

setelah olah raga.

e) Obat-obatan

Beberapa pasien asma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu

seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.

f) Polusi udara

Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap
15

rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal,

serta bau yang tajam.

g) Lingkungan

Faktor risiko asma terdiri dari penyebab pengembangan asma (terutama

host) dan faktor pencetus asma (faktor lingkungan) seperti terlihat pada

tabel dibawah ini (Dahlan, 2012).

Tabel 2.3 Faktor Risiko dan Pencetus Asma


No. Faktor Penyebab Asma
1. Faktor Host:
Genetik
- Gen predisposisi untuk atopi
- Gen predisposisi untuk hiperresponsif bronkus
Obesitas
Gender
2. Faktor Lingkungan
Alergen:
- Dalam rumah: kutu, debu rumah, bulu binatang piaraan, kecoak, jamur
- Di luar rumah: serbuk sari, jamur
Infeksi
Asap rokok: perokok pasif, perokok aktif
Bahan di tempat bekerja
Polusi Udara
Obat, makanan, bahan pengawet
Sumber: Dahlan (2012)

4. Manifestasi Klinis

Penderita asma biasanya keluhan bisa dirasakan pada saat serangan. Tanda

dan gejala yang jelas terlihat pada saat serangan adalah sesak napas. Sesak napas

sangat menyiksa, anak akan terlihat gelisah, cemas, labil, dan kadang bisa

terjadi perubahan tingkat kesadaran. Jika anak di ajak komunikasi, anak akan

terlihat sulit berbicara, dan akan menjawab sepatah dua patah kata (Marni, 2014).

Gejala lain adalah takipnea, takikardi, othopnea disertai wheezing,

diaphoresis, dan bisa muncul nyeri abdomen karena penggunaan otot abdomen

dalam pernapasan. Gejala diperberat apabila mengalami dyspnea dengan lama


16

ekspirasi: penggunaan otot-otot asesori pernapasan, cuping hidung, retraksi dada,

dan stridor. Keadaan tersebut menandakan adanya pneumonia, disertai batuk

berdahak dan demam tinggi. Pada saat serangan seperti ini pasien tidak toleran

terhadap aktivitas, baik makan, bermain, berjalan, bahkan berbicara (Marni,

2014).

5. Patofisiologi

Proses terjadinya asma diawali berbagai faktor pencetus seperti allergen,

stress, cuaca, dan berbagai macam faktor pencetus lain. Adanya faktor pencetus

menyebabkan antigen yang terikat Imunoglobulin E pada permukaan sel basofil

mengeluarkan mediator berupa histamine sehingga terjadi peningkatan

permiabilitas kapiler dan terjadinya edema mukosa. Adanya edema menyebabkan

produksi sekret meningkat dan terjadi kontriksi otot polos. Adanya obstruksi pada

jalan nafas menyebabkan respon tubuh berupa spasme otot polos dan peningkatan

sekresi kelenjar bronkus. Otot polos yang spasme menyebabkan penyempitan

proksimal dari bronkus pada tahap ekspirasi dan inspirasi sehingga timbul adanya

tanda dan gejala berupa mukus berlebih, batuk, wheezing, dan sesak nafas.

Keluhan tersebut merupakan bentuk adanya hambatan dalam proses respirasi

sehingga tekanan partial oksigen di alveoli menurun.

Adanya penyempitan atau obstruksi jalan nafas meningkatkan kerja otot

pernafasan sehingga penderita asma mengalami masalah ketidakefektifan pola

nafas. Peningkatan kerja otot pernafasan menurunkan nafsu makan sehingga

memunculkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Asma di

akibatkan beberapa faktor pencetus yang berikatan dengan Imunoglobulin E (IgE)

pada permukaan sel basofil yang menyebabkan degranulasi sel mastocyte. Akibat
17

dari itu mediator mengeluarkan histamin yang menyebabkan kontriksi otot polos

meningkat dan juga konsentrasi O2 dalam darah menurun, Apabila konsentrasi

O2 dalam darah menurun maka terjadi hipoksemia. Adanya hipoksemia

menyebabkan gangguan pertukaran gas dan gelisah yang menyebabkan ansietas.

Selain, akibat berkurangnya suplai darah dan oksigen ke jantung terjadi

penurunan cardiac output yang menyebabkan penurunan curah jantung.

Bagan 2.1 Pathway Asma


18

Sumber: Nurarif (2015; 76)


19

6. Komplikasi

Apabila penderita asma tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat,

akan timbul komplikasi yang membahayakan kondisi pasien, diantaranya adalah

terjadinya status asmatikus, gangguan asam-basa, gagal napas, bronkhiolitis,

hipoksemia, hipoksia, pneumonia, pneumothoraks, emphysema, chronic

persistent bronkhitis, atelektasis, dan bahkan kematian (Marni, 2014).

Menurut Ratcliffe dan Kiechefer (2010), komplikasi jangka panjang,

remodeling jalan napas kronik, dapat terjadi akibat perburukan dan radang asma

berulang. Anak penderita asma lebih rentan terhadap infeksi pernapasan berat

akibat bakteri dan virus (dikutip dari Kyle dan Carman, 2019). Remodeling jalan

napas terjadi akibat radang kronik jalan napas. Setelah respons akut terhadap

pemicu, respons kontinu terhadap alergen mengakibatkan fase kronik. Selama

fase ini, sel epitel menggundul dan influks sel radang ke dalam jalan napas

berlanjut. Hal tersebut menyebabkan perubahan struktur jalan napas yang

ireversible dan kehilangan fungsi paru lebih lanjut dapat terjadi (Kyle dan

Carman, 2019).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada anak dengan asma adalah: (Marni, 2014)

a. Foto rontgen, menyingkirkan infeksi atau penyebab lain yang memperburuk

status pernapasan;

b. Pemeriksaan fungsi paru akan terjadi penurunan volume tidal, penurunan

kapasitas vital, kapasitas bernapas maksimum juga menurun;

c. Jumlah eosinofil biasanya meningkat dalam darah dan sputum

d. Jumlah leukosit akan meningkat pada infeksi;


20

e. Pemeriksaan alergi (radioallergosorbent test; RAST) untuk mencari faktor

alergi dengan berbagai alergen yang menimbulkan reaksi positif pada asma;

f. Analisa gas darah pada kasus berat akan meningkatkan pH, PaCO2 dan

PaO2 turun, keadaan ini disebut alkalosis respiratori ringan akibat

hiperventilasi; kemudian penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan

PaCO2, keadaan ini disebut asidosis respiratori;

g. Pada pemeriksaan pulse oxymetry, jika hasilnya VEP1 < 50% dari

perkiraan : Asma berat, VEP1 50-70% : Asma sedang, VEP1 71-80% :

Asma ringan.

8. Penatalaksanaan Asma Bronkial

Tujuan utama penatalaksanaan asma meningkatkan dan mempertahankan

kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari (Nurarif dan Kusuma, 2015). Pedoman Nasional

Asma Anak (PNAA) membagi penanganan serangan asma menjadi dua,

tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Pada panduan pengobatan di rumah,

disebutkan terapi awal berupa inhalasi-agonis kerja pendek hingga 3x dalam satu

jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons

untuk penentuan derajat serangan kemudian ditindaklanjuti sesuai derajat.

Terdapat 2 jenis penatalaksanaan penderita asma bronkial (Smeltzer, 2018),

yaitu :

1. Penatalaksaan Farmakologi

a. Agonis adrenergik – beta 2 kerja – pendek

b. Antikolinergik

c. Kortikosteroid : inhaler dosis – terukur (MDI)


21

d. Inhibitor pemodifikasi leukotrien / antileukotrien

e. Metilxantin

2. Penatalaksanaan Non Farmakologi

a. Penyuluhan : Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan

klien tentang penyakit asma

b. Pola hidup sehat : Meningkatkan kebugaran fisik

c. Berhenti atau tidak merokok : Lingkungan yang berpotensi dalam

menimbulkan asma.

d. Penerapan Teknik Balloon Blowing Dan Deep Breathing Exercise

Menurut Kusuma (2016), ada program penatalaksanaan asma meliputi 7

komponen, yaitu : Edukasi, Menilai dan monitor berat asma secara berkala,

Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus, Merencanakan dan memberikan

pengobatan jangka panjang, Menetapkan pengobatan pada serangan akut, Kontrol

secara teratur, Pola hidup sehat.

9. Komplikasi

Adapun kompilasi Stroke Hemoragik menurut Sudoyo, (2009) yaitu:

a. Hipoksi Serebral : Diminimalkan dengan memberikan oksigenasi darah

adekuat di otak

b. Penurunan aliran darah serebral : Tergantung pada tekanan darah curah

jantung, dan integritas pembuluh darah.

c. Embolisme Serebral : Dapat terjadi setelah infrak miokard atau fibrilasi

atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik.

d. Distritmia : Dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan

penghentian trombus lokal.


22

B. Konsep Asuhan Keperawatan Asma Bronkial

Proses keperawatan merupakan suatu panduan untuk memberikan asuhan

keperawatan profesional menurut Nuraruf & Kusuma (2015), meliputi :

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan

dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari

berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan

klien (Iyer,et.al.,1995 dalam Hasanudin, M. A 2018)

a. Anamnesis

Serangan asma usia dini memberikan implikasi bahwa sangat mungkin

terdapat status atopik. Serangan asma usia dewasa memungkinkan ada faktor

non-atopik. Tempat tinggal menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien

berada. Status perkawinan dan gangguan emosional yang timbul dalam

keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asma. Suku

bangsa juga perlu dikaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan alergen.

1) Identitas

Identitas pasien berisikan nama pasien, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,

tanggal masuk sakit, rekam medis.

2) Keluhan utama

Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada dada, sulit

bernapas, dispnea (sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk,

dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksimal).

3) Riwayat kesehatan dahulu


23

Terdapat data yang menyatakan adanya faktor prediposisi timbulnya

penyakit ini, di antaranya riwayat alergi dan riwayat penyakit saluran nafas

bagian bawah (rhinitis, utikaria), dan apakah klien pernah menderita

penyakit asma bronkial sebelumnya.

4) Riwayat kesehatan sekarang

Beberapa hal yang harus diungkapkan pada setiap gejala yaitu dada

mengeluh sesak nafas, mengi dan batuk.

5) Riwayat kesehatan keluarga

Klien dengan asma sering kali didapatkan adanya riwayat penyakit

turunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak ditemukan adanya

penyakit yang sama pada anggota keluarganya.

6) Pola Fungsi Kesehatan

Menurut Doenges (2018) :

a. Aktivitas atau istirahat

Gejala : pada klien dengan asma gejala yang dapat ditimbulkan antara

lain keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan untuk melakukan

aktivitas seharihari karena sulit bernafas, ketidakmampuan untuk tidur,

perlu tidur dalam posisi tinggi, dispnea pada saat istirahat atau respon

terhadap aktivitas/latihan.

Tanda : keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum atau kehilangan

massa otot.

b. Sirkulasi

Gejala : pembengkakan pada ekstremitas bawah.

Tanda : peningkatan Tekanan Darah, peningkatan frekuensi jantung

atau takikardi berat, disritmia, distensi vena leher, odema dependen,


24

tidak berhubungan dengan penyakit jantung, bunyi jantung redup

(berkaitan dengan peningkatan diameter AP dada), warna kulit atau

membrane mukosa normal atau abu-abu (sianosis), tubuh kaku, pucat

dapat menunjukkan anemia.

c. Integritas ego

Gejala : peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup.

Tanda : ansietas, ketakutan, peka rangsang.

d. Makanan atau cairan

Gejala : mual, muntah, nafsu makan buruk atau anoreksia, kemampuan

untuk makan menurun karena distress pernapasan, penurunan BB

menetap (emfisema), peningkatan BB menunjukkan edema (bronkitis).

Tanda : turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat, penurunan

berat badan, penurunan massa otot (emfisema).

e. Higiene

Gejala : penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan

melakukan aktivitas sehari-hari.

Tanda : kebersihan buruk, bau badan

f. Pernapasan

Gejala : napas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea sebagai

gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau

episode berulangnya sulit napas (asma), riwayat pneumonia berulang,

terpajan pada polusi kimia atau iritan pernapasan dalam jangka panjang

atau debu atau asap, faktor atau keturunan.

Tanda : pernapasan biasanya cepat atau lambat, fase ekspirasi

memanjang dengan mendengkur, napas bibir (emfisema), penggunaan


25

otot bantu pernapasan, barelchest, gerakan diafragma minimal, bunyi

napas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar,

lembut, crackles atau ronchi, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi

dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak

adanya bunyi napas (asma), hipersonan pada area paru, kesulitan bicara

kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus, pucat dengan sianosis

bibir dan pada dasar kuku; abu-abu keseluruhan; warna merah.

g. Keamanan

Gejala : riwayat reaksi alergi atau sensitif, terhadap zat/faktor

lingkungan, adanya/berulangnya infeksi, kemerahan/berkeringat (asma).

h. Interaksi sosial

Gejala : hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung,

kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat,

penyakit lama atau ketidakmampuan membaik.

Tanda : ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara

distress pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelainan hubungan

dengan anggota keluarga lain.

i. Pola nutrisi dan metabolik.

Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,

ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan berat

badan.

Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.

7) Pemeriksaan fisik

a. Pernafasan (B1: Breathing).


26

1. Inspeksi : Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan

frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan.

- Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien pada posisi

duduk

- Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah

- Inspeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya,

skar, lesi, massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis,

skoliosis, dan lordosis.

- Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan

pergerakkan dada.

- Observasi tipe pernapasan, seperti pernapasan hidung pernapasan

diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.

- Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I)

dan fase eksifirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya 1:2. Fase

ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada

jalan napas dan sering ditemukan pada klien Chronic Airflow

Limitation (CAL) / Chornic obstructive Pulmonary Diseases.

- Kelainan pada bentuk dada

- Observasi kesimetrisan pergerakkan dada. Gangguan pergerakan

atau tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit

pada paru atau pleura

- Observasi trakea abnormal ruang interkostal selama inspirasi,

yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.

2. Palpasi : Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil

fremitus normal.
27

- Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan

mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keadaan kulit,

dan mengetahui vocal/ tactile premitus (vibrasi)

- Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat

inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.

- Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan

ketika berbicara (Nuraruf & Kusuma, 2015)

3. Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor

sedang diafragma menjadi datar dan rendah.

- Resonan (sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada

jaringan paru normal.

- Dullnes : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas

bagian jantung, mamae, dan hati

- Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang

berisi udara

- Hipersonan (hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan

dengan resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah.

- Flatness : sangat dullnes. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi.

Dapat terdengar pada perkusi daerah hati, di mana areanya

seluruhnya berisi jaringan. (Nuraruf & Kusuma, 2015)

4. Auskultasi

- Pengkajian yang sangat bermakna, mencakup mendengarkan

bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan (abnormal).

- Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika

melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.


28

- Suara nafas normal ; bronkial, bronkovesikular dan vesicular

- Suara nafas tambahan meliputi wheezing : peural friction rub,

dan

crackles (Nuraruf & Kusuma, 2015).

b. Kardiovaskuler (B2: Blood)

Perawat perlu memonitor dampak asma pada stutus kardiovaskular

meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, CRT.

c. Persyarafan (B3: Brain)

Pada saat inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji.

d. Perkemihan (B4: Bladder)

Pengukuran volume output urine perlu berkaitan dengan intake cairan.

e. Pencernaan (B5: Bowel)

Perlu dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri, tanda- tanda infeksi.

f. Tulang, otot dan integument (B6: Bone)

Dikaji adanya edema ekstrimitas, tremor, dan tanda-tanda infeksi.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

(kelemahan otot pernafasan).

b. Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

c. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
29

3. Perencanaan Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan pada pasien Asma Bronkial berdasarkan (SIKI, 2018) dan (SLKI, 2018)
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi Utama :
Definisi : selama 3x24 jam diharapkan keluarga Manajemen Jalan Napas
Inspirasi dan atau ekspirasi yang mampu merawat klien dengan pola nafas Observasi :
tidak kembali efektif, meliputi : 1. Monitor pola napas (frekuensi,
memberikan ventilasi adekuat. kedalaman, usaha napas)
Dengan kriteria luaran : 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Pola Napas gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering)
1. Ventilasi semenit dari menurun menjadi Terapeutik :
meningkat 1. Posisikan semi-Fowler atau fowler
2. Ekspirasi dari menurun menjadi 2. Berikan minum hangat
meningkat 3. Berikan oksigen, jika perlu
3. Teakanan inspirasi dari menurun menjadi Edukasi :
meningkat 1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika
4. Dispnea dari meningkat menjadi tidak kontraindikasi
menurun 2. Ajarkan teknik batuk efektif
5. Pemanjangan fase ekspirasi dari Kolaborasi
meningkat menjadi menurun 1. Kolaborasi pemberian bronkhodilator,
6. Frekuensi napas dari memburuk menjadi ekspektoran, mukolitik, jika perlu
membaik
7. Kesulitan bernapas dari memburuk
menjadi membaik
2. Defisit pengetahuan (D.0111) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi Utama :
Definisi : selama 3x24 jam diharapkan keluarga Edukasi Kesehatan
30

Ketiadaan atau kurangnya informasi mampu memahami masalah dan Observasi :


yang berkaitan dengan topik tertentu. pengetahuan meningkat, meliputi : 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi
Dengan kriteria luaran : 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat
Tingkat pengetahuan meningkatkan dan menurunkan motivasi
1. Keluarga dan klien mampu memahami perilaku hidup bersih dan sehat
tanda dan gejala asma Terapeutik :
2. Keluarga dan klien mampu memahami 1. Sediakan materi dan media pendidikan
penyebab dari asma kesehatan
3. Keluarga dan klien mampu memahami 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
pencegahan dari asma kesepakatan
4. Keluarga dan klien mampu memahami 3. Berikan kesempatan untuk bertanya
penanganan asma Edukasi :
1. Jelaskan faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan
2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
3. Ajarkan stratergi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat
3. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam Intervensi Utama :
(D.0001) diharapkan jalan nafas tetap paten, meliputi: Latihan Batuk Efektif
Definisi : Observasi :
Ketidakmapuan membersihkan sekret Luaran Utama : 1. Identifikasi kemampuan batuk
atau obstruksi jalan napas untuk Bersihan Jalan Napas 2. Monitor adanya retensi sputum
mempertahankan jalan nafas tetap 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran
paten Kriteria hasil : nafas
1. Batuk efektif dari menurun menjadi Terapeutik :
31

meningkat 1. Atur posisi semi-Fowler atau Fowler


2. Produksi sputum dari meningkat menjadi 2. Pasang perlak atau bengkok di pangkuan
menurun pasien
3. Adanya suara nafas mengi dari meningkat 3. Buang sekret pada tempat sputum
menjadi menurun Edukasi :
4. Adanya suara nafas wheezing dari 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
meningkat menjadi menurun 2. Anjurkan tarik napas dalammelalui
5. Dispnea yang semula meningkat menjadi hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
menurun detik, kemudian keluarkan dari mulut
6. Kegelisahan dari menurun menjadi dengan bibir mencucu (dibulatkan)
meningkat selama 8 detik
7. Frekuensi napas dari memburuk menjadi 3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam
membaik hingga 3 kali
8. Pola napas dari memburuk menjadi 4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung
membaik setelah tarik napasdalam yang ke-3
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
32
33

4. Implementasi

Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam

rencana keperawatan. Tindakan mencakup tindakan mandiri dan tindakan

kolaborasi (Tarwoto&Wartonah, 2011).

Pada tahap ini perawat menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam

melaksanakan tindakan keperawatan terhadap pasien anak dengan penyakit asma,

berdasarkan intervensi keperawatan yang telah disusun.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang di buat

pada tahap perencanaan (Hasanudin, M, A. 2018). Tujuan dari evaluasi adalah

untuk mengetahui sejauh mana perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan

balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Tarwoto&Wartonah, 2011).

1. Pola napas tidak efektif

2. Defisit Pengetahuan

3. Bersihan jalan nafas efektif

C. Saturasi Oksigen Pada Pasien Asma

1. Pengertian

Pada penderita asma, keluhan utama yang sering terjadi adalah sesak

napas. Sesak napas terjadi disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas.

Penyempitan saluran napas terjadi karena adanya hiperraktivitas dari saluran

napas terhadap berbagai rangsangan, sehingga menyebabkan bronkospasme,

infiltrasi sel inflamasi yang menetap, edema mukosa, dan hipersekresi mucus
34

yang kental (Price & Wilson, 2006). Bronkospasme pada asma menyebabkan

terjadinya penurunan ventilasi. Penurunan ventilasi paru menyebabkan terjadinya

penurunan tekanan tranmural. Penurunan tekanan transmural berdampak pada

mengecilnya gradient tekanan transmural (Perry & Potter, 2006).

Semakin kecil gradient tekanan transmural yang dibentuk selama inspirasi

semakin kecil compliance paru. Semakin kecil compliance paru yang dihasilkan

akan berakibat pengembangan paru menjadi tidak optimal. Pengembangan paru

yang tidak optimal berdampak pada terjadinya penurunan kapasitas paru serta

peningkatan residu fungsional dan volume residu paru (Guyton & Hall, 2012).

Penurunan kapasitas vital paru yang diikuti dengan peningkatan residu fungsional

dan volume residu paru menyebabkan timbulnya perbedaan tekanan parsial gas

dalam alveoli dengan tekanan parsial gas dalam pembuluh kapiler paru (Guyton

& Hall, 2012).

Penurunan tekanan parsial gas oksigen dalam alveoli, menyebabkan

kecilnya perbedaan gradient tekanan gas oksigen dalam alveoli dengan kapiler

(Potter & Perry, 2006). Penurunan difusi oksigen menyebabkan konsentrasi

oksigen dalam darah akan berkurang sehingga dalam keadaan klinis akan terjadi

penurunan saturasi oksigen (Guyton & Hall, 2012).

Jika saturasi oksigen dalam tubuh rendah (<95%) dapat menimbulkan

masalah kesehatan diantaranya terjadi hipoksemia. Hipoksemia ditandai dengan

sesak napas, peningkatan frekuensi napas > 35% x/menit, nadi cepat dan dangkal,

sianosis serta penurunan kesadaran (Potter & Perry, 2006).

2. Penyebab penurunan saturasi oksigen

Penumpukan lendir dari suatu kondisi peradangan jangka panjang saluran

napas bawah yang menyebabkan iritasi pada bronkitis sehingga terjadi

pembentukan mokus berlebih yang menyebabkan saluran napas menyempit dan


35

terjadi kolapsnya saluran napas halus serta kerusakan pada dinding alveolus

menyebabkan paru-paru kehilangan keelastisitasnya (Sherwood, 2016). Luas

permukaan paru-paru juga berkurang sehingga area permukaan yang kontak

dengan kapiler paru secara kontinu berkurang. Hal ini yang menyebabkan

terjadinya pertambahan ruang rugi yaitu tidak ada pertukaran gas yang terjadi di

area paru dan mengakibatkan penurunan difusi oksigen, yaitu CO 2 tidak bisa

dikeluarkan dan O2 tidak bisa masuk. CO2 yang tidak dapat dikeluarkan akan

mengakibatkan PCO2 meningkat yang menyebabkan terjadinya afinitas terhadap

hemoglobin (Hb) dan O2 yang tidak bisa masuk akan mengakibatkan penurunan

PO2 yang menyebabkan terjadinya penurunan perfusi oksigen, sehingga akan

terjadi penurunan pada saturasi oksigen (Smeltzer & Bare, 2002).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen

(Smeltzer & Bare, 2002)

a. pH

Asam Basa, normal PH darah adalah 7,35 – 7,45. Asam basa dalam darah

mempengaruhi pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin. Keadaan asidosis

(PH rendah) mengakibatkan afinitas Hb terhadap O2 menurun sebaliknya

alkalosis (PH tinggi) mengakibatkan afinitas Hb terhadap O2 meningkat

(Superdana & Sumara, 2015). Pada kurva disosiasi hemoglobin-oksigen, bila

darah menjadi sedikit asam, dengan terjadinya penurunan pH dari normal 7,4

menjadi 7,2 menandakan terjadinya pergeseran rata-rata 15% ke kanan

(Guyton & Hall, 2012).

b. PCO2

Peningkatan CO2 dan ion hidrogen dalam darah memberi pengaruh penting

dalam meningkatkan pelepasan oksigen dari darah dalam jaringan dan


36

meningkatkan oksigenasi dalam darah paru. Semakin tinggi PCO2 maka O2

semakin mudah untuk terlepas dari Hb (Guyton & Hall, 2012).

Jumlah karbon dioksida yang singgah dalam paru-paru merupakan salah satu

penetu utama keseimbangan asam basa tubuh. Normalnya, hanya 6% karbon

dioksida vena yang dibuang dan jumlah yang cukup tetap ada di arteri untuk

memberikan tekanan 40 mmHg. Kebanyakan karbon dioksida (90%)

memasuki sel-sel darah merah dan sejumlah kecil (5%) yang tersisa

duilarutkan ke dalam plasma (PCO2) adalah faktor yang penting untuk

menentukan gerakan karbon dioksida masuk dan kelaur dari darah (Smeltzer &

Bare, 2002).

c. Suhu

Semakin tinggi sushu tubuh maka jumlah oksigen yang lepas dari Hb juga akan

meningkat. Panas adalah hasil sampin dari reaksi metabolisme jaringan.

Semakin aktif metabolisme akan membutuhkan semakin banyak oksigen dan

semakin banyak asam dan panas yang dihasilkan. Demikian juga sebaliknya,

bila terjadi hypotermia (penurunan suhu tubuh) metabolisme melambat dan

kebutuhan oksigen berkurang. Oksigen cenderung tetap berikatan dengan Hb

(Sundaru, 2000). Suhu tubuh normal berkisar antara 36 0C-37 0C (Guyton &

Hall, 2012).

d. Kadar Hb

Hemoglobin memegang peranan penting dalam fungsi transport oksigen dalam

darah, oksigen dibawa oleh aliran darah ke jaringan sel-sel tubuh, termasuk sel-

sel otot jantung. Pengangkutan oksigen ini dimaksudkan untuk menunjang

proses metabolime. Pada keadaan normal, satu gram Hb dapat mengikat 1,34

ml oksigen. Pada tingkat jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari Hb untuk
37

keperluan metabolisme sebanyak 25% (Price & Wilson, 2006).

e. Usia

Salah satu faktor yang mempengaruhi oksigenasi, kadar oksigen dalam darah,

sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan adalah usia. Sesuai kurva

disosiasi oksihemoglobin terdapat hubungan antara PaO 2 dan SaO2, sehingga

turunnya nilai PaO2 akan mempengaruhi saturasi oksigen (Price & Wilson,

2006).

f. Merokok

Menurut Septia dkk (2016) yang melakukan penelitian di manado

menyebutkan bahwa derajat merokok aktif, ringan, sedang, dan berat sangat

mempengaruhi kadar saturasi oksien. Saturasi oksigen perifer yang diukur

menggunakan oksimetri nadi, memeberikan responden dengan derajat merokok

ringan memiliki saturasi oksigen berkisar 98- 100%, responden dengan derajat

merokok sedang memiliki saturasi oksigen 97-98% sedangkan responden

dengan derajat merokok berat memiliki saturasi oksigen 95-97%. Responden

terbanyak adalah perokok derajat ringan (63,33%) dengan saturasi oksigen

rata-rata 98,37. Perokok derajat ringan, sedang dan berat memiliki saturasi

oksigen rata-rata 97,97. Seluruh responden masih termasuk kategori saturasi

oksigen baik (100%) (Septia, 2016).

4. Pengukuran saturasi oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

a. Analisis gas darah (AGD)

Analisis gas darah pemeriksaan laboratorium atau prosedur invasif

yang dilakukan dan menimbulkan rasa nyeri. AGD digunakan untuk mengukur

kapabilitas paru untuk menyediakan oksigen untuk mencukupi kebutuhan


38

tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida, membantu mengevaluasi status

metabolik dan respirasi pasien, untuk mengukur pH darah dan integritas

keseimbangan asam-basa pada tubuh (Patria & Fairuz, 2012). SaO2 merupakan

salah satu komponen yang diperiksa saat pemeriksaan AGD selain pH, PO 2,

PCO2, HCO3- dan BE (base excess). Nilai normal gas darah adalah pH 7,35-

7,45, PO2 60-80 mmHg, saturasi oksigen >95%, PCO2 34-35, HCO3- 22-26

mEq/L, dan BE -2 sampai +2 (Gallo & Hudak, 2010)

Pengukuran pH darah, tekana oksigen, dan tekanan karbon dioksida

perlu dilakukan saat menangani pasien dengan masalah pernapasan. Tekanan

oksigen arteri menunjukkan derajat oksigenasi darah dan tekanan karbon

dioksida menunjukan keadekuatan ventilasi alveolar. Gas-gas darah arteri

didapatkan melalui fungsi pada arteri radialis, brakialis atau femoralis

(Smeltzer & Bare, 2002)

b. Pulse oximetry

Saturasi oksigen dapat diukur dengan menggunakan Pulse Oximetry,

Pulse Oximetry merupakan metode pemantauan non-invasif secara kontinu

terhadap saturasi oksigen hemoglobin. Meski oksimetri nadi tidak bisa

menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri nadi merupakan suatu cara efektif

untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau

mendadak (Smeltzer & Bare, 2002).

Oksimetri yang paling umum digunakan adalam Pulse Oximetry

portable. Tipe ini melaporkan amplitudo nadi dengan data saturasi oksigen.

Perawat biasanya mengikatkan sensor non-invasif ke jari tangan atau jari kaki

klien yang memantau saturasi oksigen darah. Nasal probe (alat untuk

menyelidiki kedalamamn) direkomendasikan untuk kondisi perfusi darah yang


39

sangat rendah (Potter & Perry, 2006).

Keakuratan nilai oksimetri nadi secara langsung berhubungan dengan

perfusi di daerah probe. Pengukuran oksimetri pada klien yang memiliki

perfusi jaringan buruk, yang disebabkan oleh syok, hipotermia, atau penyakit

vascular perifer mungkin tidak dapat dipercaya. Oksimetri nadi mengukur

konsenrasi oksigen dalam pembuluh darah arteri terutama dalam hemoglobin

(Potter & Perry, 2006). Pulse Oximetry dapat dikatakan akurat dalam

menentukan hipoksemia atau saturasi oksigen dengan nilai akurasi sebesar 95%

(Effendy dkk, 2009)

Tujuan klinis yang ingin dicapai untuk Hb dengan saturasi oksigen

paling sedikit 90% yaitu sesuai dengan PaO2 yang berkadar sekitar 60 mmHg.

Hubungan antara PaO2 dengan SaO2 yang dapat diperkirakan dalam kurva

disosiasi oksihemoglobin. Nilai dibawah 85% menunjukan bahwa jaringan

tidak mendapatkan cukup oksigen dan penderita membutuhkan evaluasi lebih

jauh (Price & Wilson, 2006).

Pada penelitian ini menggunakan alat pengukuran saturasi oksigen

dengan menggunakan Pulse oximetry karena cara penggunaannya mudah

dilakukan dan juga murah serta dapat menjadi cara yang efektif untuk

memantau penderita terhadap perubahan konsentrasi oksigen yang kecil.


40

D. Konsep Ballon Blowing Pada Pasien ASMA

1. Definisi

Blowing Balloons atau yang mempunyai makna latihan pernapasan

dengan cara meniup balon merupakan salah satu latihan relaksasi nafas

dengan menghirup udara melalui hidung dan ekspirasi melalui mulut ke dalam

balon. Relaksasi ini dapat memperbaiki transpor oksigen, membantu pasien

untuk memperpanjang ekshalasi dan untuk pengembangan paru yang optimal

(Tunik, 2017).

Menurut Raju (2015), latihan sederhana yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kapasitas paru adalah dengan meniup balon setiap hari. Meniup

balon dapat membantu otot interkosta untuk mengelevasikan diafragma dan

tulang costa. Hal ini memungkinkan untuk menyerap oksigen, mengubah

bahan kimia yang masih ada dalam paru dan mengeluarkan karbondioksida

dalam paru. Meniup balon merupakan latihan yang sangat efektif

untukmembantu ekspansi paru. Pengaruhnya dalam alveoli, meniup balon

dapat memudahkan untuk terjadinya proses pertukaran karbondioksida selama

ekshalasi dan oksigen selama inhalasi. Banyak oksigen yang tersuplai karena

efek dari latihan meniup balon. Latihan ini mencegah terjadinya sesak napas

dan kelemahan karena oksigen yang masuk dalam tubuh menyediakan energi

untuk sel dan otot dengan mengeluarkan karbondioksida. Meniup balon secara

rutin 10-15 balon dapat meningkatkan kapasitas paru, meningkatkan otot

pernapasan. Selain itu latihan ini juga bermanfaat untuk orang yang mengalami

kelebihan berat badan, stres dan untuk seseorang yang terkena asma.

2. Tujuan Blowing Balloons

Tujuan dari dilakukannya blowing balloons menurut Tunik (2017) adalah:


41

a. Memperbaiki transporoksigen

b. Menginduksi pola napas lambat dandalam

c. Memperlama fase ekspirasi dan meningkatkan tekanan jalan napasselama

ekspirasi

d. Mengurangi udara yang terjebak di dalam paru-paru

e. Mencegah terjadinya kolaps paru

3. Prosedur Latihan Blowing Balloons

Prosedur pelaksanaan Blowing Balloons menurut Boyle (2010) adalah:

Persiapan alat:

a. 3 buahbalon

b. Jam

4. Persiapan pasien

a. Atur posisi pasien senyaman mungkin, jika pasien mampu untuk berdiri

maka lakukan sambil berdiri (karena dengan posisi berdiri tegak lebih

meningkatkan kapasitas paru dibandingkan dengan posisiduduk).

Gambar 2.3 Posisi Supinasi


Sumber : https://www.nerslicious.com/posisi-pasien/

b. Jika pasien melakukan dengan posisi tidur maka tekuk kaki pasien atau

menginjak tempat tidur (posisi supinasi) dan posisi badan lurus atau tidak

memakaibantal
42

Gambar 2.4 Tekuk kaki


Sumber : https://www.raynersmale.com/blog/2017/2/2/blowing-up-a-balloon

c. Mengatur posisi pasien senyamanmungkin

d. Rilekskan tubuh, tangan dan kaki (motivasi dan anjurkan pasienuntuk

rileks)

e. Siapkan balon /pegang balon dengan kedua tangan, atau satu tangan

memegang balon, tangan yang lain rileks disamping kepala (Boyle, 2010).

Gambar 2.5 : Meniup balon


Sumber : https://www.raynersmale.com/blog/2017/2/2/blowing-up-a-balloon

f. Tarik napas secara maksimal melalui hidung, kemudian tiupkan ke dalam

balon secara maksimal dengan waktu 2 detik lebih lama dari waktu tarik

napas, (tarik napas selama 5 detik dan hembuskan selama 7 detik). Boyle

(2010), tarik napas selama 3-4 detik ditahan selama 2-3 detik kemudian

lakukan ekhalasi dengan meniup balon selama 5-8 detik.

g. Tutup balon dengan jari-jari.

h. Tarik napas sekali lagi secara maksimal dan tiupkan lagi kedalambalon.

i. Lakukan 3 kali dalam 1 setlatihan


43

j. Istirahat selama 1 menit untuk mencegah kelemahanotot.

k. Lakukan 3 set latihan setiapsesi.

l. Hentikan latihan jika terjadi pusing atau nyeri dada.

5. Evaluasi

a. Pasien mampu mengembangkanbalon.

b. Pasien merasakan otot-otot pernapasan menjadirileks.

c. Pasien dapat mengatur pola napas dalam danlambat.


BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Desain Studi Kasus

Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang

telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh

proses penelitian (Nursalam, 2015).

Dalam karya tulis ini penulis menggunakan penelitian deskriptif, dengan

rancangan studi kasus. Menurut Nursalam 2015, penelitian deskriptif bertujuan untuk

mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi masa kini.

Deskripsi peristiwa dilakukan secara sistematis dan lebih menekankan pada data

faktual daripada penyimpulan. Fenomena disajikan secara apa adanya tanpa

manipulasi dan peneliti tidak mencoba menganalisis bagaimana dan mengapa

fenomena tersebut bisa terjadi, oleh karena itu penelitian jenis ini tidak memerlukan

adanya suatu hipotesis.

B. Subjek Studi Kasus

Pada studi kasus ini tidak mengenal populasi dan sampel, namun lebih

mengarah kepada istilah subyek studi kasus oleh karena yang menjadi subyek studi

kasus sejumlah satu pasien (individu) yang diamati secara mendalam.

Subjek yang digunakan dalam studi kasus ini adalah pasien anak asma dengan

masalah keperawatan yaitu penurunan saturasi oksigen, perawat yang memberikan

tindakan keperawatan berupa Ballon Blowing. Subyek pada studi kasus ini memiliki

dua kriteria yaitu :

44
45

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi

target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2015). Kriteria inklusi dari

studio kasus ini yaitu:

a. Pasien asma yang bersedia untuk datanya dijadikan responden penelitian.

b. Pasien asma dengan penurunan saturasi oksigen.

c. Pasien anak yang stabil secara klinis.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang memenuhi

kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2015). Kriteria eksklusi

dari studi kasus ini yaitu:

a. Pasien asma yang mengalami sindrom hyperventilasi.

b. Pasien dengan kategori usia balita dan kanak-kanak.

C. Fokus studi

Fokus studi kasus adalah kajian utama yang akan dijadikan titik acuan studi kasus.

Fokus studi kasus pada studi karya tulis ini adalah:

1. Asuhan keperawatan pemberian prosedur Ballon Blowing untuk mengatasi

penurunan saturasi oksigen pada pasien anak dengan asma.

D. Definisi Operasional Fokus Studi

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur)

itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Definisi operasional adalah

mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati,

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat


46

terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan

parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Nursalam, 2015).

1. Asuhan keperawatan dengan masalah penurunan saturasi oksigen pada pasien

anak asma merupakan suatu asuhan keperawatan secara menyeluruh dari

pengkajian hingga evaluasi pada pasien asma untuk mengatasi penurunan saturasi

oksigen.

2. Blowing Balloons atau yang mempunyai makna latihan pernapasan dengan cara

meniup balon merupakan salah satu latihan relaksasi nafas dengan menghirup

udara melalui hidung dan ekspirasi melalui mulut ke dalam balon. Relaksasi ini

dapat memperbaiki transpor oksigen, membantu pasien untuk memperpanjang

ekshalasi dan untuk pengembangan paru yang optimal (Tunik, 2017).

E. Ruang Lingkup Studi Kasus

1. Tempat Studi Kasus

Tempat yang dipilih sebagai lokasi studi kasus yaitu di Kota Bima, NTB

2. Waktu Studi Kasus

Waktu studi kasus dilaksanakan pada 2023

F. Pengumpulan data

Metode pengumpulan data dapat diartikan sebagi teknik untuk mendapatkan

data yang kemudian dianalisis dalam suatu penelitian. Tujuan dari pengumpulan data

adalah untuk menemukan data yang dibutuhkan dalam tahapan penelitian (Masturoh

dan Anggita, 2018). Metode pengumpulan data studi kasus ini dilakukan dengan

Wawancara dan Observasi.

1. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan


47

informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek

penelitian (Masturoh dan Anggita, 2018). Data yang didapatkan oleh peneliti

melalui wawancara ini adalah Data tentang karakteristik responden yang meliputi

usia, jenis kelamin yang diperoleh menggunakan kuesioner kepada responden.

2. Observasi

Observasi merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa

penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang

diperlukan untuk menjawab masalah penelitian (Masturoh dan Anggita, 2018).

Data yang didapatkan oleh peneliti melalui observasi ini adalah Data tentang nilai

saturasi oksigen sebelum dan sesudah pemberian Ballon Blowing menggunakan

pulse oksimetri manual.


48

G. Daftar Artikel Hasil Pencarian

Intervensi yang peneliti lakukan dalam studi kasus ini berdasarkan evidence based dari jurnal berikut :

Tabel 3.1 Artikel Hasil Pencarian Jurnal

METODE (DESAIN, SAMPEL,


NO AUTHOR JUDUL VARIABLE, INSTRUMEN, HASIL PENELITIAN DATABASE
ANALISIS)
Ni Made Dwi Relaksasi Pernafasan Desain penelitian menggunakan Hasil penelitian pada 30
Yunica Dengan Teknik Ballon rancangan one group pre-post test responden PPOK menunjukkan
Astriani1, Putu Blowing Terhadap design. Penelitian pada 30 responden prevalensi jenis kelamin
Indah Sintya Peningkatan Saturasi PPOK. sebagian besar responden
Dewi2, Kadek Oksigen Pada Pasien Melakukan pre test untuk berjenis kelamin laki-laki 73,3
Hendri Yanti3 PPOK mengetahui nilai saturasi oksigen % dengan usia rata-rata 61,87
(2020) pada pasien PPOK sebelum dengan rentang umur 45- 80
diberikan teknik relaksasi pernafasan tahun, rata-rata (mean) pre-test
dengan teknik ballon blowing. adalah 89,27 dan rata-rata Google
1
Setelah itu memberikan teknik (mean) Scholar
relaksasi pernafasan dengan teknik post-test adalah 94,53 dengan p-
ballon blowing pada pasien PPOK value 0,000. Simpulan, terdapat
selama 5- pengaruh relaksasi
10 menit selama 4 minggu. pernafasan dengan teknik ballon
Dilakukan post test untuk melihat blowing terhadap peningkatan
perubahan saturasi oksigen. saturasi oksigen pada pasien
PPOK di RSUD Kabupaten
Buleleng.
METODE (DESAIN, SAMPEL,
NO AUTHOR JUDUL VARIABLE, INSTRUMEN, HASIL PENELITIAN DATABASE
ANALISIS)
2 Tunik1, Pengaruh Breathing Penelitian ini merupakan pre Hasil data diukur dengan Google
49

Rahayu1, Edi1 Relaxation Dengan Teknik experiment menggunakan pre post menggunakan uji Repeated
(2020) Balloon Blowing Terhadap test one design. Populasi dalam ANOVA. Hasil penelitian
Saturasi Oksigen Pasien penelitian ini pasien PPOK yang menunjukkan bahwa terjadi
PPOK dirawat di ruang Flamboyan RSUD perubahan secara signifikan
dr.Soedomo Trenggalek yang terhadap saturasi oksigen
diambil dengan metode consecutive sebelum dan sesudah diberikan
sampling. Intervensi yang dilakukan intervensi selama 3 hari dan 7
adalah breathing relaxation dengan hari. Hasil analisis statistik Scholar
meniup balon 2 kali sehari pada pagi menunjukkan p value < 0,05
dan sore hari, setiap sesi latihan pada variabel saturasi oksigen.
dilakukan 3 set latihan meniup balon, Breathing relaxation dengan
dalam 1 set latihan pasien meniup menggunakan teknik balloon
balon tiga kali sampai balon blowing dapat meningkatkan
mengembang kemudian diselingi saturasi oksigen pada pasien
istirahat selama 1 menit diantara set PPOK
latihan.
Putra Agina Studi Kasus: Terapi Metode penelitian ini menggunakan Studi kasus didapatkan ketiga Google
Widyaswara Blowing Ballon Untuk studi kasus dengan pendekatan pasien memberikan respon Scholar
Suwaryo1, Mengurangi Sesak Nafas deskriptif. Observasi deskriptif positif dan mengalami
Selfa Yunita2, Pada Pasien Asma dengan pendekatan studi kasus. penurunan respirasi. Rata-rata
Barkah Subyek dalam penelitian 3 pasien frekuensi respirasi pasien 21-
3 Waladani1, yang menderita asma dengan usia 23x/menit dengan keluhan sesak
Aprilia 13-50 tahun, menderita asma lebih berkurang. Terapi blowing
Safaroni3 dari 3 bulan, frekuensi kekambuhan ballon efektif untuk
(2021) ≤ 2 kali/minggu. Terapi dilakukan menstabilkan frekuensi
sebanyak 5 kali. Subjek diberikan pernafasan pasien asma
tindakan terapi blowing ballon
METODE (DESAIN, SAMPEL,
NO AUTHOR JUDUL VARIABLE, INSTRUMEN, HASIL PENELITIAN DATABASE
ANALISIS)
4 Dayita Sukma Pengaruh Latihan Deep Penelitian eksperimental dengan Rerata SpO2 pre dan post latihan Google
Destanta1 , Breathing Terhadap desain one group pre-test post-test. deep breathing akut adalah 96,9 Scholar
50

Erna Saturasi Oksigen Pada Sampel adalah 10 perokok dewasa ± 1,101 dan 98,2 ± 1,033;
Setiawati2 , Perokok Aktif aktif yang diseleksi dengan metode sedangkan rerata SpO2 post
Rahmi Isma purposive sampling. Instrumen yang latihan deep breathing kronik
Asmara Putri2 digunakan adalah timbangan, adalah 98,4 ± 0,516. Pada
(2019) microtoise, dan pulse oximeter. analisis uji Wilcoxon didapatkan
Latihan deep breathing dilakukan 3 perbedaan bermakna pada
kali dalam seminggu selama 4 analisis latihan akut (p=0,018)
minggu dengan durasi 15 menit per dan latihan kronik (p=0,010).
latihan. Analisis data menggunakan Latihan deep breathing secara
uji Wilcoxon. . akut dan kronik memberikan
peningkatan bermakna pada nilai
saturasi oksigen perokok aktif.
METODE (DESAIN, SAMPEL,
NO AUTHOR JUDUL VARIABLE, INSTRUMEN, HASIL PENELITIAN DATABASE
ANALISIS)
Dewi, Ni Luh Deep Breathing Exercise Penelusuran artikel dilakukan Berdasarkan pemaparan dari 7
Listya Meningkatkan Saturasi melalui tiga database ( Urecol , artikelmenyatakan rata-rata
(2020) Oksigen Pada Pasien Google Schoolar , dan Researchgate) saturasi oksigen sebelum
Asma yang dicari mulai tahun 2010 sampai intervensi berada di bawah
2020 berupa laporan hasil penelitian normal dan saturasi oksigen
dan review yang membahas setelah intervensi rata- rata Google
5
pengaruh deep breathing exercise menyatakan dalam batas Scholar
terhadap saturasi oksigen . Kata normal .
kunci deep breathing exercise,
saturasi oksigen , dan asma
digunakan untuk mencari data pada
database eletronik.
METODE (DESAIN, SAMPEL,
NO AUTHOR JUDUL VARIABLE, INSTRUMEN, HASIL PENELITIAN DATABASE
ANALISIS)
6 Kartikasari, Pursed Lips Breathing Tujuan penelitian untuk mengetahui Hasil penelitian terdapat Google
51

Emi Nurlaela Terhadap Peningkatan pengaruh pursed lips breathing pada


(2021) Arus Puncak Ekspirasi peningkatan Arus Puncak Ekspirasi
(Ape) Pasien Asma (APE) pada pasien asma. Penelitian peningkatan APE pasien asma.
ini menggunakan metode quasi Diharapkan perawat
experiment pretest-posttest with mengaplikasikan pursed lips
control group. Jumlah subyek breathing sebagai intervensi
penelitian 20 orang yang dibagi keperawatan mandiri pasien Scholar
menjadi 2 kelompok yaitu 10 asma. Peneliti selanjutnya dapat
kelompok intervensi dan 10 melakukan penelitian terkait
kelompok kontrol. Pengukuran APE pursed lips breathing pada
menggunakan philips respironics pasien asma.
peak flow meter. Data dianalisis
dengan uji Mann-Whitney.
DAFTAR PUSTAKA

Astarini, N, M, D, Y., Dewi, P, I, S., Yanti, K, H. 2020. Relaksasi Pernafasan Dengan


Teknik Ballon Blowing Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pada Pasien ASMA
Junaidin., Syam, Y., Irwan, A, M. 2018. Pengaruh Pursed Lip BreathingDan Meniup
Balon Terhadap Kekuatan Otot Pernapasan, Saturasi Oksigen Dan Respiratory Rate
Pada Pasien ASMA
Mertha, I, M., Putri, P, J, Y., Suardana, I, K. 2018. Pengaruh Pemberian Deep Breathing
Exercise TerhadapSaturasi Oksigen Pada Pasien ASMA
Oemiati, Ratih. 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(ASMA). Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI; Jl.
Percetakan Negara No. 29, Jakarta, Indonesia

Pamungkas, Ratnaningtyassih., Ismonah., Arif, Syamsul. 2016. Efektivitas Pursed Lip


Breathing Dan Deep Breathing Terhadap Penurunan Frekuensi Pernafasan Pada
Pasien ASMA Di RSUD Ambarawa.
Putu Jana Yanti Putri. 2018. Pengaruh Pemberian Deep Breathing Exercise Terhadap
Saturasi Oksigen Pada Pasien ASMA Di IGD RSUD Sanjiwani Gianyar Tahun
2018.
Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2018. Mataram: Dinas Kesehatan.
NTB; 2018.
Silalahi, K, L., Siregar, T, H. 2019. Pengaruh Pulsed Lip Breathing Exercise
TerhadapPenurunan Sesak Napas Pada Pasien PenyakitParu Obstruktif Kronik
(ASMA) Di RSURoyal Prima Medan 2018. Joural Keperawatan Priority.
Supraba, N. 2015. Hubungan Aktivitas Sosial, Interaksi Sosial, Dan Fungsi Keluarga
Dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Utara
Kota Denpasar. Tesis Universitas Udayana Denpasar.

Sherwood, L. 2016. Fisiologi manusia. Ed-8. Jakarta:EGC.

Somantri, Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Zulkarni, R., Nessa, N., Athifah, Y. 2019. Analisis Ketepatan Pemilihan dan Penentuan
Regimen Obat pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (ASMA). Jurnal Sains
Farmasi dan Klinis
Lampiran 1
CHEKLIST
BALLON BLOWING

A. Pengertian

Blowing Balloons atau yang mempunyai makna latihan pernapasan dengan

cara meniup balon merupakan salah satu latihan relaksasi nafas dengan menghirup

udara melalui hidung dan ekspirasi melalui mulut ke dalam balon. Relaksasi ini dapat

memperbaiki transpor oksigen, membantu pasien untuk memperpanjang ekshalasi dan

untuk pengembangan paru yang optimal (Tunik, 2017).

B. Tujuan

Tujuan dari dilakukannya blowing balloons menurut Tunik (2017) adalah:

a. Memperbaiki transporoksigen

b. Menginduksi pola napas lambat dandalam

c. Memperlama fase ekspirasi dan meningkatkan tekanan jalan napasselama ekspirasi

d. Mengurangi udara yang terjebak di dalam paru-paru

e. Mencegah terjadinya kolaps paru

PROSEDUR KET
A. PERSIAPAN
a. 3 buah balon
b. Jam
B. PELAKSANAAN
1. Atur posisi pasien senyaman mungkin, jika pasien mampu untuk
berdiri maka lakukan sambil berdiri (karena dengan posisi
berdiri tegak lebih meningkatkan kapasitas paru dibandingkan
dengan posisiduduk).
Gambar 2.3 Posisi Supinasi
Sumber : https://www.nerslicious.com/posisi-pasien/
8. Jika pasien melakukan dengan posisi tidur maka tekuk kaki
pasien atau menginjak tempat tidur (posisi supinasi) dan posisi
badan lurus atau tidak memakaibantal

Gambar 2.4 Tekuk kaki


Sumber : https://www.raynersmale.com/blog/2017/2/2/blowing-up-
a-balloon
9. Mengatur posisi pasien senyamanmungkin
10. Rilekskan tubuh, tangan dan kaki (motivasi dan anjurkan
pasienuntuk rileks)
11. Siapkan balon /pegang balon dengan kedua tangan, atau
satu tangan memegang balon, tangan yang lain rileks disamping
kepala (Boyle, 2010).
Gambar 2.5 : Meniup balon
Sumber : https://www.raynersmale.com/blog/2017/2/2/blowing-up-
a-balloon
12. Tarik napas secara maksimal melalui hidung, kemudian
tiupkan ke dalam balon secara maksimal dengan waktu 2 detik
lebih lama dari waktu tarik napas, (tarik napas selama 5 detik
dan hembuskan selama 7 detik). Boyle (2010), tarik napas
selama 3-4 detik ditahan selama 2-3 detik kemudian lakukan
ekhalasi dengan meniup balon selama 5-8 detik.
13. Tutup balon dengan jari-jari.
14. Tarik napas sekali lagi secara maksimal dan tiupkan lagi
kedalambalon.
15. Lakukan 3 kali dalam 1 setlatihan
16. Istirahat selama 1 menit untuk mencegah kelemahanotot.
17. Lakukan 3 set latihan setiapsesi.
18. Hentikan latihan jika terjadi pusing atau nyeri dada.
C. Evaluasi
1. Pasien mampu mengembangkanbalon.
2. Pasien merasakan otot-otot pernapasan menjadirileks.
3. Pasien dapat mengatur pola napas dalam danlambat.

Anda mungkin juga menyukai