Anda di halaman 1dari 66

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data

mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa

dekade terakhir (mchpee and Ganong 2011). Menurut Global Initiative For

Astma (GINA) tahun 2008, asma didefinisikan sebagai penyakit kronis pada

saluran pernafasan. Inflamasi kronis ini berhubungan dengan

hiperresponsivitas saluran pernafasan terhadap berbagai stimulus, yang

menyebabkan kekambuhan sesak nafas (mengi), kesulitan bernafas, dada

terasa sesak, biasanya terjadi pada malam hari. Sumbatan saluran nafas

bersifat reversibel baik dengan bantuan maupun tidak dengan bantuan.

Angka kejadian penyakit asma mengalami peningkatan dan relatif

sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. Badan kesehatan

dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia saat ini terkena

penyakit asma dan diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai

180.000 orang setiap tahun (WHO, 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar

(2013) prevalensi asma nasional di Indonesia mencapai 4,5 %. Artinya, dari

220 juta penduduk di Indonesia terdapat 9 juta penduduk yang menderita

asma. Angka kejadian asma meningkat 1,4 kali pada rentang umur 25-34

tahun mempunyai prevalensi asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur 1

tahun memiliki prevalensi asma terendah sebesar 1,5%. Menurut hasil survey

(Riskesdas, 2013), mencapai 4,5% dengan penderita terbanyak adalah

perempuan yaitu 4.6% dan laki-laki sebanyak 4.4%. Pada studi kasus di

1
2

RSUD Kudus faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma adalah

jenis kelamin 8,25%, kepemilikan binatang piaraan 30,65%, perubahan cuaca

19,27%, riwayat penyakit keluarga 8,27%, asap rokok 23,13% (Purnomo,

2010). Prevalensi kejadian asma pada provinsi NTB mencapai 46.789 dari

semua kelompok usia, artinya dari sekitar 4.813.948 penduduk NTB terdapat

46.789 jiwa penderita asma (Riskesdas, 2015). Berdasarkan data yang

diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Mataram, prevalensi kasus asma di Kota

Mataram tahun 2016 sebesar 1.811 jiwa dengan prevalensi tertinggi di

Puskesmas Cakranegara sebesar 593 jiwa. Jumlah penderita asma pada tiga

bulan terahir yaitu bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2017 di

Puskesmas Cakranegara berjumlah 81 jiwa.

Serangan asma sering terjadi apabila individu tidak bisa mengendalikan

dan mencegah kontak dengan faktor-faktor pemicu serangan asma. Pasien

dengan asma umumnya sudah mengetahui faktor dominan apa yang menjadi

pemicu terjadinya serangan. Kebanyakan orang dengan asma dapat bebas dari

gejala dan serangan apabila penderita melakukan perawatan medis yang tepat

menggunakan inhalasi kortikosteroid yang diresepkan dan memodifikasi

lingkungan mereka untuk mengurangi atau menghilangkan paparan alergen

dan iritan. Penderita dengan serangan asma akan mengalami gejala berupa

batuk, sesak nafas, mengi, dada terasa tertekan yang timbul dalam berbagai

derajat dari ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Penyebab

pencetus asma yaitu alergen, stres, lingkungan kerja, perubahan cuaca dan

infeksi saluran nafas. Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma
3

pada beberapa individu, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang

sudah ada. Salah satu respon terhadap stress adalah cemas (Hostiadi, 2015).

Kecemasan dapat dialami oleh pasien yang menderita penyakit kronis

karena penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan dan memerlukan

pengobatan dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama. Kondisi tersebut

tentu saja menimbulkan perubahan seperti perilaku penolakan, marah,

perasaan takut, rasa tidak berdaya, putus asa, cemas bahkan bunuh diri

(Chanafie, 2012). Untuk mengurangi cemas adalah dukungan keluarga dan

dukungan tenaga kesehatan. Dukungan keluarga diperlukan karena keluarga

sebagai pemberi nasehat dan saran (Yanes, 2013).

Kecemasan merupakan bagian kehidupan sehari-hari dan merupakan

gejala yang normal pada manusia. Bagi orang dengan penyesuaian yang baik,

kecemasan dapat segera diatasi dan di tanggulangi. Sedangkan bagi orang

yang penyesuaiannya kurang baik, maka kecemasan merupakan bagian

terbesar dalam kehidupannya. Apabila penyesuaiannya tidak tepat, akan

timbul dampaknya terhadap kesehatan jasmani dan psikis. Stres dapat

mengantarkan seseorang pada tingkat kecemasan sehingga memicu

dilepaskannya histamin yang menyebabkan penyempitan saluran nafas

ditandai dengan sakit tenggorokan dan sesak nafas, yang akhirnya memicu

terjadinya serangan asma (Haq, 2008).

Cemas juga dapat menjadi beban berat yang menyebabkan kehidupan

individu tersebut selalu dibawah bayangan kecemasan yang berkepanjangan

dan menganggap rasa cemas sebagai ketegangan mental yang disertai dengan

gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak waspada terhadap ancaman,

kecemasan berhubungan dengan stres fisiologis maupun psikologis. Artinya,


4

cemas terjadi ketika seseorang terancam baik secara fisik maupun psikologis

(Asmadi, 2008).

Penelitian Rosma Karinna Haq (2014), yang berjudul “Hubungan

Tingkat Kecemasan Dengan Serangan Asma Pada Penderita Asma Bronkial di

BP4 Semarang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30,8% responden tidak

mengalami kecemasan; 44,2% responden mengalami kecemasan ringan;

19,2% responden mengalami kecemasan sedang; 3,8% responden mengalami

kecemasan berat dan 1,9% responden mengalami kecemasan sangat berat.

Sedangkan 17,3% responden mengalami serangan asma ringan; 53,8%

responden mengalami serangan asma sedang dan 28,8% responden mengalami

serangan asma berat. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang

signifikan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita

asma bronkial di BP4 Semarang. Penderita asma dianjurkan dapat

meminimalkan timbulnya kecemasan yang menjadi pencetus terjadinya

serangan asma.

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Puskesmas

Cakra Negara, dengan melakukan wawancara terhadap 10 orang penderita

asma, didapatkan hasil bahwa 5 orang mengatakan pemicu kekambuhan

asmanya disebabkan karena perasaan cemas dan stress yang berlebihan, 3

orang karena kelelahan sehingga setiap mengalami kelelahan maka asmanya

kambuh, 1 orang mengatakan karena alergi asap dan debu dan 1 orang lagi

mengatakan kalau musim dingin selalu kambuh.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Serangan Asma

pada penderita Asma Bronkial di Puskesmas Cakranegara pada tahun 2018.


5

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas,peneliti dapat merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut: ”Apakah ada hubungan tingkat kecemasan dengan

serangan asma pada penderita asma bronkial di Puskesmas Cakranegara pada

tahun 2018?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adakah hubungan tingkat kecemasan dengan

serangan asma pada penderita asma bronkial di Puskesmas Cakranegara

pada tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kejadian serangan asma di Puskesmas

Cakranegara

2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan dengan kejadian serangan asma

di Puskesmas Cakranegara

3. Menganalisis hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma

pada penderita asma bronkhial di Puskesmas Cakranegara.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Responden


Memberikan informasi bahwa kecemasan dapat menjadi salah
satu sumber faktor pencetus serangan asma serta dapat memberikan
informasi tentang cara pencegahan asma.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
lembaga pendidikan dalam merencanakan program pembelajaran dan
6

dapat di gunakan sebagai bacaan bagi mahasiswalainnya serta dapat


dijadikan reprensi bagi peneliti lainnya.
1.4.3 Bagi Instansi Terkait (Puskesmas Cakranegara)
Bagi puskesmas diharapkan dapat meningkatkan upaya konseling,
informasi dan edukasi kepda pasien mengenai pencegahan
kekambuhan penyakit asma yang salah satunya adalah cara
menghindari rasa cemas yang dialaminya misalnya mengadakan
program kelas khusus pasien asma secara rutin serta membagikan
leaflet agar pasien mudah mengingatnya kembali informasi yang telah
diberikan.
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitian
lanjutan dalam peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang
asma walaupun penelitian terkait asma sudah banyak dilakukan
namun guna menambah wawasan lebih jauh perlu juga mencari
fenomena-fenomena terkait asma.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan

dengan serangan asma pada penderita asma bronkial, variabel yang diteliti

terdiri atas variabel independen yaitu tingkat kecemasan dan variabel

dependen yaitu serangan asma. Desain yang digunakan adalah pendekatan

cross sectional, penelitian yang akan dilakukan di puskesmas cakranegara,

alasan mengapa penelitian ini dilakukan yaitu karena tingginya angka kejadian

asma dikalangan masyarakat disebabkan oleh stress. Stress atau gangguan

emosi dapat menjadi pencetus asma pada beberapa individu, salah satu respon

terhadap stress adalah cemas.


7

1.6 Keaslian Penelitian

No Peneliti Judul Metode Hasil


1 Rosma, Hubungan Studi korelasional Hasil penelitian
(2009) Tingkat dengan menunjukan bahwa
Kecemasan pendekatan 30,8% responden
dengan crossectional. tidak mengalami
Serangan Uji statistik kecemasan;
Asma pada menggunakan Chi 44,2% responden
Penderita Square mengalami
Asma Bronkial kecemasan ringan;
di BP4 19,2% responden
Semarang mengalami
kecemasan sedang;
3,8% responden
mengalami
kecemasan berat dan
1,9% responden
mengalami
kecemasan sangat
berat. Sedangkan
17,3% responden
mengalami serangan
asma ringan; 53,8%
responden
mengalami serangan
asma sedang dan
28,8% responden
mengalami serangan
asma berat. Hasil
analisis statistik
menunjukkan ada
hubungan yang
signifikan
antara tingkat
kecemasan dengan
serangan asma pada
penderita asma
bronkial di BP4
Semarang.
2 Puspita, Hubungan Pendekatan Hasil penelitian
2014 Kecemasan crossectional, menunjukkan pasien
8

Terhadap uji statistik asma perempuan


Tingkat Kontrol menggunakan Chi sebanyak 30 orang
Asma Square (81,08%) dan laki-
Di Balai Besar atau uji Fisher laki
Kesehatan Paru dengan nilai p < sebanyak 7 orang
Masyarakat 0,05. (18,92%). Distribusi
(Bbkpm) pasien asma
Surakarta terbanyak pada
kelompok
umur 48-53 tahun
(18,92%). Pasien
asma yang tidak
mengalami
kecemasan
sebanyak 31 orang.
Pasien asma yang
tidak terkontrol
sebanyak 17 orang.
Analisis uji statistik
menunjukkan adanya
hubungan kecemasan
terhadap tingkat
kontrol asma,
didapatkan nilai p
sebesar 0,022 (p <
0,05).
9
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Asma

2.1.1 Pengertian

Penyakit asma berasal dari kata asthma yang diambil dari bahasa

Yunani yang mengandung arti “sulit bernafas”. Secara umum, penyakit

asma merupakan suatu jenis penyakit gangguan pernapasan, khususnya

pada paru-paru (Mumpunu dan Wulandari, 2013).

Berdasarkan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma yang

diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI, asma didefinisikan sebagai

suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang

menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan.

Hiperaktivitas bronkus ditandai dengan gejala episodik berulang berupa

mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada terutama pada malam

hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat reversibel, baik

dengan atau tanpa pengobatan (Kemenkes RI, 2012).

Global Initiative For Asthma ( GINA ) mendefinisikan asma

sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel

yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan linfosit T. Pada

orang rentan inflamasi dapat menyebabkan mengisi berulang. Sesak

nafas rasa dada tertekan dan batuk, khususny apada malam dini hari

(Priyanto, 2010).

Wilson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala

megi serta batuk dengan karateristik sebagai berikut; timbul secara

10
11

episodik dan atau kronik, cendrung pada malam hari atau dini hari (

nukturnal) musiman. Adanya faktor pencetus diantara aktivitas fisik

dan bersifat reversibel baik secara sepontan maupun dengan

penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien

atau keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan

( Lorence, 2010).

Pedoman Nasional asma anak juga menggunakan batasan yang

praktis dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang

terkadang disertai batuk persisten dan karekteristik sebagai berikut:

timbul secara episodik, cenderung pada malam hari atau dini hari

(Noktural) musiman, faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik, dan

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,

serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau

keluarganya (Priyanto, 2010).

2.1.2 Penyebab dan Pemicu Serangan Asma

Pemicu mengakibatkan terganggunya saluran pernafasan dan

mengakibatkan penyempitan dari saluran pernafasan (bronkokstriksi).

Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Banyak kalangan kedokteran

yang menganggap pemicu dan bronkokstriksi adalah gangguan

pernafasan akut, yang belum berarti asma (John Ayres, 2009).

Sedangkan menurut (Tanjung 2003 dalam Aban 2014), ada

beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi

timbulnya serangan asma bronchiale.


12

1. Faktor Predisposisi

a. Genetik

Genetik dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya,

meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang

jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai

keluarga dekat juga menderita penyakit alergi, karena adanya bakat

alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial

jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitifisitas

saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2. Faktor Presipitasi ( Pencetus Serangan Asma)

a. Alergen

Alergen dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan contohnya debu,

bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, (streptococuss

pneumoniae, haemophilus influenzae, chlamydia Sp, dan

mycoplasma pneumoniae) dan polusi.

2) Ingestan, yang masuk melalui mulut contohnya makanan dan obat

obatan.

3) Kontakan, yang masuk melalui kontak dengan kulit contoh

perhiasan, logam dan jam tangan.

b. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma, atmosfir yang mendadak dingin merupakan

faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan


13

berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,

musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk

bunga dan debu.

c. Stres

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma

yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera

diobati penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu

diberikan nasehat untuk menyelesaikan masalah peribadinya.

Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa

diobati.

d. Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya

serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.

Misalnya orang yang bekerja dilaboratorium hewan, industri tekstil,

pabrik asbes, pabrik batubara, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik

pada waktu libur dan cuti.

e. Olahraga/aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan jika

melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.Lari cepat

paling mudah menimbulkan serangan asma karena aktivitas

biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

f. Rangsangan farmakologik

Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode

akut asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis


14

betaadregenik dan bahan sulfat. Masalah ini biasanya berawal

dengan rhinitis vasomotor perennial yang diikuti dengan

rinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul

asma progresif (Harrison, 2011).

g. Infeksi

Infeksi jalan nafas merupakan rangsangan yang paling umum

membangkitkan eksaserbasi akut asma. mekanisme bagaimana virus

menginduksi timbulnya asma tidak diketahui, tetapi mungkin bahwa

hasil perubahan akibat radang mukosa jalan nafas mengubah

pertahanan penjamu dan menyebabkan saluran trakeobrokhial lebih

rentan terhadap rangsangan eksogen (Harrison, 2011).

h. Status gizi

Frekuensi serangan asma dapat dipengaruhi oleh status gizi

penderita. Status gizi kurang dapat mengakibatkan penurunan sistem

imun dan respon inflamasi. Dimana status gizi yang kurang akan

menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah

putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan

proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan

berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering

karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap

proses inflamasi. Faktor nutrisi sering diabaikan oleh klien sehingga

frekuensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada

keadaan yang lebih buruk, sebaliknya status gizi yang membaik


15

dapat memperpendek massa serangan dan memperkecil frekuensi

kekambuhan.

2.1.3 Patofisiologi

Berkaitan dengan gangguan saluran pernafasan yang berupa

peradangan dan bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2

golongan besar yakni asma ekstriksi dan asma intrinsik (Hadibroto,

2012). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan masing-masing

dari patofisiologinya.

1. Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat

pada mukosa bronkus yang mengakibatkan konstriksi otot polos,

hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme terjadinya

reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita

yang telah disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik,

akan membuat antibodi terhadap alergen yang dihirup itu. Antibodi ini

merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada

permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain

daripada basofil yang kita kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu

molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast menangkap satu

molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan

melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus.

Salah satu contoh yaitu histamin, contoh lain ialah prostaglandin. Pada

permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila

reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2

mimetik), maka pelepasan histamin akan terhalang (Muttaqin, 2012).


16

Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak

eosinofil. Adanya eosinofil dalam sputum dapat dengan mudah

diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak diketahui,

tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil

terdapat enzim yang menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi

eosinofil memberikan perlindungan terhadap serangan asma. Dengan

demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah tepi

(Herdinsibuae, dkk, 2010).

2. Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik.

Mungkin mula-mula akibat kepekaan yang berlebihan

(hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan

merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan

batuk dan sekresi lendir melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus,

demikian hipersensitifnya sehingga langsung menimbulkan refleks

konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering

dapat menolong kasus-kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat

lengket akan disekresikan sehingga pada kasus-kasus berat dapat

menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total, sehingga

berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan

akhirnya kematian. Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini

ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu (common cold), adenovirus

dan juga oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara oleh

gas iritatif asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan

demikian merokok juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2010).


17

2.1.4 Patogenesis Asma

Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik

pada saluran pernafasan yang menyebabkan saluran pernafasan menjadi

sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011). Asma dalam derajat apapun

merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat sejumlah penderita

dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini

sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah terjadi sebelum

disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan munculnya

disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa gejalapun

inflamasi telah ada (Surjanto dan Martika, 2009).

Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran

pernafasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos

bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran

pernafasan. Sumbatan saluran pernafasan menyebabkan peningkatan

tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang

berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan

bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi.

Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga

terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernafasan. Peningkatan tekanan intra

pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernafasan

yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan

penutupan dini saluran pernafasan, sehingga meningkatkan risiko

terjadinya pnemotoraks (Suharto, 2010).


18

Pada obstruksi saluran pernafasan yang berat, akan terjadi kelelahan

otot pernafasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan terjadinya

hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula terjadi

asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot

pernafasan dan masukan kalori yang berkurang. Hipoksia dan anoksia

dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel

alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan

kemungkinan terjadinya atelektasis (Suharto, 2010).

Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat

inflamasi yang perubahannya bersifat ireversibel disebut proses

remodeling (remodelling process). Proses remodeling saluran pernafasan

merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan

penyambung dan mengubah struktur saluran pernafasan melalui proses

deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro, 2008).

Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi

berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor

(TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi

myofibroblast, diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling.

Myofibroblast yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor

pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel

otot polos saluran pernafasan dan meningkatkan permeabilitas

mikrovaskuler, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan

saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan

kompleks pada dinding saluran pernapasan dapat diamati pada pasien


19

yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan

dengan lamanya penyakit (Rahmawati, 2009).

2.1.5 Pencegahan Penyebab Kekambuhan

Pencegahan sejak dini merupakan satu -satunya hal yang bisa

dilakukan untuk menghindari terjadinya penyakit asma. Usaha-usaha

pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah kemungkinan

terjadinya serangan penyakit asma ialah menerapkan pola hidup sehat dan

menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu,kita harus senantiasa bisa

menghindari diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

serangan penyakit asma (Espland, 2008).

1. Menjaga kesehatan

Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari

pengobatan penyakit asma.Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak

saja mudah terserang penyakit tetapi juga berarti mudah untuk

mendapat serangan penyakit asma beserta komplikasinya.

2. Menjaga kebersihan lingkungan

Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat

mempengaruhi timbulnya serangan asma. Rumahnya sebaiknya tidak

lembab, cukup ventilasi, dan cahaya matahari, saluran pembuangan air

lancar, kamar tidur merupakan tempat yang perlu mendapat perhatian

yang khusus. Sebaliknya kamar tidur sedikit mungkin berisi barang-

barang untuk menghindari debu rumah. hewan peliharaan, asap rokok,

semprotan rambut dan lain-lain dapat menjadi pemicu penyakit

asma/kekambuhan Asma. Lingkungan pekerjaan juga perlu mendapat


20

perhatian apalagi kalau jelas-jelas ada hubungan antara lingkungan

kerja dengan serangan penyakit asma.

3. Menghindari fakror pemicu Kekambuhan Asma

Alergen yang sering menimbulkan penyakit asma adalah debu.

Alergen lain seperti kucing,anjing,burung,perlu mendapatkan perhatian

dan juga perlu diketahui bahwa binatang yang tidak diduga seperti

kecoa dan tikus juga dapat menimbulkan asma.

Zat –zat yang merangsang saluran napas seperti asap rokok, asap

mobil, uap bensin, uap cat, uap zat-zat kimia, dan udara kotor lainnya

harus dihindari.

4. Menggunakan obat anti asma

Pada serangan penyakit asma yang ringan apalagi frekuensinya

jarang, penderita boleh memakai bronkodilator,baik bentuk tablet,

kapsul, maupun sirup. Tetapi jika ingin gejala asma cepat hilang maka

aerosol lebih baik. Pada serangan yang lebih berat bila masih mungkin

dapat menambah dosis obat sering lebih baik mengkombinasikan dua

atau tiga macam obat. Pada penyakit asma kronis bila keadaannya

sudah terkendali dapat dicoba obat-obat pencegah penyakit asma.

Tujuan obat-obat mencegah penyakit asma ialah selain mencgah

terjadinya serangan penyakit asma juga diharapkan agar penggunaan

obat-obat bronkodilator dan steroid sistemik dapat dikurangi dan

bahkan kalau mungkin dihentikan (Sunarti, 2011).


21

2.1.6 Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit

dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan

beratpenyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan

jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi pengobatan.

Tabel 2.1 Pembagian Derajat Asma

Derajat Gejala Fungsi Paru


asma
I. Siang hari <2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Intermiten Malam hari <2 kali per bulan VEP1 >80% nilai
Serangan singkat prediksi
Tidak ada gejala antar APE >80% nilai terbaik
serangan
Intensitas serangan bervariasi
II. Persisten Siang hari > 2 kali per Variabilitas APE 20 -
Ringan minggu, tetapi < 1 kali per 30%
hari VEP1 >80% nilai
Malam hari > 2 kali per bulan prediksi
Serangan dapat APE >80% nilai terbaik
mempengaruhi aktifitas
III. Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Persisten Malam hari > 1 kali per VEP1 60-80% nilai
Sedang minggu prediksi
Serangan mempengaruhi APE 60-80% nilai
aktifitas terbaik
Serangan >2 kali per minggu
Serangan berlangsung berhari-
hari
Sehari-hari menggunakan
inhalasi β2-agonis short acting
IV. Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE > 30%
Persisten gejala VEP1 <60% nilai
Berat Setiap malam hari sering prediksi
timbul gejala APE < 60% nilai
Aktifitas fisik terbatas terbaik
Sering timbul serangan
Sumber: Buku saku kemenkes 2011
22

2.1.7 Komplikasi

Menurut lippincott william (2012) ada beberapa komplikasi dari

serangan asma yaitu: pneumotoraks, pneumomediastinum dan emfisema

subkutis, ateletaksis, aspergilosis bronkopulmonal alergik, gagal napas,

bronchitis, dan fraktur iga.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Yunus (2009), Pemeriksaan penunjang yang diperlukan

untuk menegakkan diagnosis asma antara lain:

1. Tes faal paru

Ukur APE (memakai alat sederhana murah dan praktis dilakukan pada

pagi dan malam hari)

2. Tes kepekaan kulit

Tujuan tes ini yaitu untuk menunjukkan adanya antibody

immunoglobulin E yang spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya meyokong

anamnesis, karena alergen yang menunjukkan tes kulit positif tidak

selalu merupakan penyebab asma, sebaliknya tes kulit yang negatif

tidak berarti ada factor kerentanan kulit. Dengan berbagai bahan alergik

dapat membantu untuk menentukan pada asma atopik.

3. Tes darah eusinofil

4. Tes profokasi
23

Dengan cara bernafas dalam dilingkungan pekerjaan, muncul dalam

beberapa saat/malam harinya diukur dengan APE atau dengan lari

selama 6 menit catat APE sebelum sesudah lari.

5. Scanning paru

Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa

redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-

paru.

6. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel, cara yang

paling cepat dan sederhana adalah melihat respon pengobatan dengan

bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah

pemberian bronkudilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan

adrenergik. Peningkatan FEVI atau FVC lebih dari 20% menunjukkan

diagnosis asma.

2.1.9 Penatalaksanaan Asma

Menurut Global Initiative For Astma (GINA) 2015, tujuan jangka

panjang dari terapi asma adalah tercapainya kontrol gejala yang baik dan

meminimalkan resiko kekambuhan dimasa depan, keterbatasan aliran

udara dan efek samping pengobatan. Setiap pasien perlu menentukan

sendiri tujuan tercapainya masing-masing terkait dengan kondisi asma

dan macam pengobatannya.

Penatalaksanaan asma yang efektif membutuhkan kerjasama yang

baik antara pasien orang tua/pengasuhnya dengan tenaga kesehatan yang


24

memberikan perawatan (Dokter, Apoteker dan Perawat). Strategi trapi

asma dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi non farmakologi (tanpa

menggunakan obat) dan trapi farmakologi (dengan obat) (Anonymouns,

2009).

1. Terapi non-farmakologi

Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama yaitu:

edukasi pada pasien atau yang merawat mengenai berbagai hal tentang

asma, dan kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan. Berbagai

pemicu serangan antra lain adalah: debu, polusi, merokok, olahraga,

perubahan temperatur, secara ekstrim dll.

Edukasi pada pasien juga meliputi pengetahuan tentang

patogenesis asma, bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal

tanda–tanda awal keparahan gejala, cara penggunaan obat yang tepat

terutama tehnik inhalasi yang benar, dan bagaimana memonitor fungsi

paru-parunya. Selain itu juga dapat dilakukan fisioterapi napas

(senam), vibrasi dan atau perkusi toraks, dan batuk yang efisien.

2. Terapi farmakologi

Asma penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan yang

perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan.

Berdasarkan penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam tiga

golongan yaitu:

a. Obat pengontrol: digunakan secara rutin untuk terapi

pemeliharaan/pencegahan kekambuhan. Beberapa obat yang

digunakan untuk terapi pemeliharaan antara lain inhalasi steroid, β2


25

agonis panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil,

modifier leukotrien, dan golongan metil ksantin.

b. Obat pelega (reliver): digunakan bila perlu untuk meredakan gejala

pada saat eksaserbasi atau Kekambuhan Asma, termasuk pada saat

terjadi perburukan gejala asma. Obat yang sering digunakan untuk

terapi pelega adalah suatu bronkodilator (β2 agonis aksi cepat,

antikolinergik, metilkasantin), dan kortikosteroid oral (sistemik).

c. Obat tambahan add-on therapies) untuk pasien dengan asma berat

digunakan jika pasien mengalami gejala yang menetap (persisten)

dan/atau mengalami eksaserbasi walaupun sudah mendapatkan terapi

pengontrol yang optimal dengan dosis tinggi. Juga digunakan untuk

mengatasi faktor-faktor resiko yang bisa dimodifikasi. Termasuk

obat golongan ini adalah antagonis leukotrein, omalizumab (anti

IgE).

2.1.10 Serangan Asma

Serangan asma adalah memburuknya gejala asma secara tiba-tiba

yang disebabkan oleh penyempitan otot-otot disekitar saluran udara

(bronkospasme). Selama serangan asma, lapisan saluran udara menjadi

berlendir dan membengkak atau meradang dan lebih tebal dari pada

biasanya. Serangan asma ditandai dengan sesak nafas, bising mengi, batuk,

dada terasa tegang , dan kesulitan melakukan aktivitas normal sehari-hari.

Serangan asma umumnya timbul karena adanya pajanan terhadap factor

pencetus, atau gagalnya penatalaksanaan asma jangka panjang

(Sundaru, 2008).
26

Berdasarkan standar Global Strategy For asthma Management and

Prevention GINA-Global Initiative For Asthma (2009), asma dikatakan

terkontrol apabila memiliki 6 kriteria yaitu:

1. Tidak atau jarang mengalami gejala asma

2. Tidak pernah atau jarang menggunakan obat pelega

3. Tidak pernah terbangun dimalam hari karena asma

4. Dapat melakukan aktifitas dan latihan secara normal

5. Hasil Tes fungsi paru-paru (PEF dan FEVI) normal atau mendekati normal

6. Tidak pernah atau jarang mengalami serangan asma

Tabel 2.2 Klasifikasi Derajat Serangan Asma (Shofyan, 2008)

Gambaran Klinis
Gejala Klinis Ringan Sedang Berat
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Posisi Dapat terlentang Duduk Duduk
membungkuk
Kesadaran Kadang gelisah gelisah gelisah
Frekuensi nafas Meningkat Meningkat > 30x/menit
Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi >120 x/menit
paksa

2.2 Konsep Kecemasan

2.2.1 Definisi

Kecemasan atau anxietas adalah rasa khawatir atau takut yang tidak

jelas sebabnya. Pengaruh kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan

merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan tingkah laku, baik

tingkah laku normal maupun tingkah laku yang menyimpang. Kecemasan

yang menyebabkan seseorang putus asa dan tidak berdaya sehingga


27

mempengaruhi seluruh kepribadiannya adalah kecemasan yang negatif.

Rasa takut yang di timbulkan oleh adanya ancaman, sehingga seseorang

akan menghindar diri dan sebagainya (Prof. Dr. Singgih D.Gunarsa,

2008).

Kecemasan adalah emosi yang tidak meyenangkan, yang ditandai

dengan istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang

kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda (Atkinson,

2010).

Kecemasan merupakan emosi subjektif yang membuat individu

tidak nyaman, ketakutan yang tidak jelas dan gelisah, dan disertai respon

otonom. Kecemasan juga merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan

menyebar berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya

(Stuart, 2008).

Cemas adalah perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan oleh

sumber yang tidak jelas/tidak spesifik (Tarwoto, 2011).

2.2.2 Rentang Respon dan Proses Adaptasi Terhadap cemas

Stuart dan Sundeen (2007) mengatakan rentang respon

individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptive seperti:

Adaptif Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat

Gambar 2.1. Rentang respon adaptif dan maladaptif


28

Menurut Roy (2000) menyebutkan manusia mahluk yang unik

karena mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung

kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan

kemampuan koping individu. Koping adalah mekanisme

mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress.

2.2.3 Gambaran Respon Terhadap Kecemasan

Sebelum mengetahui respon terhadap kecemasan akan dijelaskan

mengenai fisiologi kecemasan. Menurut Ganong (dalam Gunawan

Pamungkas, 2011) memaparkan bahwa reaksi takut dapat terjadi melalui

perangsangan hipotalamus dan nuclei amigdaloid. Sebaliknya amigdala

dirusak, reaksi takut beserta manisfestasi otonom dan endokrinnya tidak

terjadi pada keadaan-keadaan normalnya menimbulkan reaksi dan

manisfestasi tersebut, terdapat banyak bukti bahwa nuclei amigdaloid

bekerja menekan memori-memori yang memutuskan rasa takut masuknya

sensorik aferent yang memicu respon takut terkondisi berjalan langsung

dengan peningkatan aliran darah bilateral ke berbagai bagian ujung

anterior kedua sisi lobus temporalis. Sistem saraf otonom yang

mengendalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh. Pada saat pikiran

mengalami rasa takut, sistem saraf otonom menyebabkan tubuh bereaksi

secara mendalam, jantung berdetak lebih keras, nadi dan napas bergerak

meningkat, biji mata membesar, proses pencernaan dan yang

berhubungan dengan usus berhenti, pembuluh darah mengerut, tekanan

darah meningkat, kelenjar adrenal melepas adrenalin ke dalam darah.

Akhirnya, darah di alirkan ke seluruh tubuh sehingga menjadi tegang dan

selanjunya mengakibatkan tidak bisa tidur.


29

Menurut Nursalam (2008) bahwa respon individu terhadap

kecemasan meliputi respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif.

a. Respon fisiologis individu terhadap kecemasan, yaitu:

1) Kardiovaskuler: Responnya berupa palpitasi, jantung berdebar,

tekanan darah meningkat atau menurun, rasa mau pingsan, dan

denyut nadi menurun.

2) Pernapasan: Responnya berupa napas cepat dan dangkal, napas

pendek, tekanan pada dada, pembengkakan pada tenggorokan,

sensasi tercekik, dan terengah-engah.

3) Neuromuskuler: Responnya berupa refleks meningkat, reaksi

kejutan, mata berkedip-kedip, tremor, gelisah, wajah tegang,

kelemahan umum, kaki goyang, dan gerakan yang janggal.

4) Gastrointestinal: Responnya berupa kehilangan nafsu makan,

menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, dandiare.

5) Traktus urinarius: Responnya berupa sering berkemih, tidak dapat

menahan buang air kecil.

6) Kulit: Responnya berupa wajah kemerahan, berkeringat setempat

(telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah

pucat, dan berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon perilaku

Respon perilaku berupa gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup,

bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mendapat cidera, menarik

diri dari hubungan interpersonal, menghalangi, dan menghindar dari

masalah.

c. Kognitif
30

Responnya berupa konsentrasi terganggu dan pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, hambatan berfikir, kreatifitas dan produktifitas

menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat,

kehilangan objektifitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran

visual, takut cidera atau kematian.

d. Afektif

Responnya berupa mudah terganggu, tidak sabar, gelisah dan

tegang, ketakutan, dan gugup.

2.2.4 Tingkat Kecemasan

Menurut Nursalam (2010), klasifikasi tingkat kecemasan dibedakan

menjadi empat, yaitu:

a. Tingkat kecemasan ringan, ditandai dengan:

1) Respon fisiologis seperti ketegangan otot ringan.

2) Respon kognitif seperti lapang pandang meluas, memotivasi untuk

belajar, kesadaran yang pasif pada lingkungan.

3) Respon tingkah laku dan emosi seperti suara melemah, otototot

wajah relaksasi, mampu melakukan kemampuan/keterampilan

permainan secara otomatis, ada perasaan aman dan nyaman.

b. Tingkat kecemasan sedang, ditandai dengan:

1) Respon fisiologis seperti peningkatan ketegangan dalam batas

toleransi, perhatian terfokus pada penglihatan dan pendengaran,

kewaspadaan meningkat.
31

2) Respon kognitif seperti lapang persepsi menyempit, mampu

memecahkan masalah, fase yang baik untuk belajar, dapat fokus

pada hal-hal yang spesifik.

3) Respon tingkah laku dan emosi seperti perasaan tertantang dan

perlu untuk mengatasi situasi pada dirinya, mampu mempelajari

keterampilan baru.

c. Tingkat kecemasan berat, ditandai dengan:

1) Respon fisiologis seperti aktivitas sistem saraf simpatik

(peningkatan epinefrin, tekanan darah, pernapasan, nadi,

vasokonstriksi, dan peningkatan suhu tubuh), diaphoresis, mulut

kering, ingin buang air kecil, hilang nafsu makan karena penurunan

aliran darah ke saluran pencernaan dan peningkatan produk glukosa

oleh hati, perubahan sensori seperti penurunan kemampuan

mendengar, nyeri, pupil dilatasi, ketegangan otot dan kaku.

2) Respon kognitif seperti lapang persepsi sangat menyempit, sulit

memecahkan masalah, fokus pada satu hal

3) Respon tingkah laku dan emosi seperti lapang personal meluas,

aktifitas fisik meningkat dengan penurunan mengontrol, contoh

meremas tangan, jalan bolak-balik. Perasaan mual dan kecemasan

mudah meningkat dengan stimulus baru seperti suara. Bicara cepat

atau mengalami blocking, menyangkal, dan depresi.

d. Tingkat panik, ditandai dengan:

1) Respon fisiologis seperti pucat, dapat terjadi hipotensi, berespon

terhadap nyeri, bising dan stimulus eksternal menurun. Koordinasi

motorik buruk. Penurunan aliran darah ke otot skeletal.


32

2) Respon kognitif seperti tidak terkontrol, gangguan berpikir secara

logis, tidak mampu memecahkan masalah.

3) Respon tingkah laku dan emosi seperti perasaan marah, takut dan

segan. Tingkah laku menjadi tidak biasa seperti menangis dan

menggigit. Suara menjadi lebih tinggi, lebih keras, bicara cepat dan

blocking.

2.2.5 Etiologi Kecemasan

Kecemasan disebabkan faktor patofisiologis maupun faktor

situasional. Penyebab kecemasan tidak spesifik bahkan tidak diketahui

oleh individu. Perasaan cemas diekspresikan secara langsung melalui

perubahan fisiologis dan perilaku, dapat juga diekspresikan secara tidak

langsung melalui timbulnya gejala dan mekanisme koping sebagai upaya

melawan kecemasan (Sutrimo, 2012).

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor

yang mempengaruhi kecemasan menurut antara lain : (dr. Namora

Lumongga Lubis, 2010).

1. Faktor Predisposisi

a. Teori Psikoanalisis

Pandangan teori psikoanalisis memaparkan bahwa cemas

merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen

kepribadian yaitu id dan superego.

b. Teori Interpersonal

Teori interpersonal menyatakan bahwa cemas timbul dari

perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan

interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan


33

trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan

kerentanan tertentu.

c. Teori Perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa cemas merupakan produk

frustasi. Frustasi merupakan segala sesuatu yang menggangu

kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. dan

dikarakteristikkan sebagai suatu dorongan yang dipelajari untuk

menghindari kepedihan.

d. Teori Kajian Keluarga

Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan cemas terjadi

didalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara

gangguan kecemasan dan depresi.

Setiap perubahan dalam kehidupan yang dapat menimbulkan

keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat

menimbulkan kecemasan (Ibrahim, 2012).

2. Faktor Presipitasi

Pengalaman cemas setiap individu bervariasi bergantung pada

situasi dan hubungan interpersonal. Ada dua faktor presipitasi yang

mempengaruhi kecemasan menurut (Tarwoto, 2011) yaitu :

a. Faktor Eksternal

1) Ancaman Integritas Diri


34

Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan

terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan

yang akan dilakukan).

2) Ancaman Sistem Diri

Antara lain: ancaman terhadap identitas diri, harga diri,

hubungan interpersonal, kehilangan, dan perubahan status dan

peran.

b. Faktor Internal

a) Potensial Stresor

Stresor psikososial merupakan keadaan yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan sehingga individu

dituntut untuk beradaptasi.

b) Maturitas

Kematangan kepribadian inidividu akan mempengaruhi

kecemasan yang dihadapinya. Kepribadian individu yang lebih

matur maka lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan,

karena individu mempunyai daya adaptasi yang lebih besar

terhadap kecemasan.

c) Pendidikan

Tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap

kemampuan berpikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka

individu semakin mudah berpikir rasional dan menangkap

informasi baru. Kemampuan analisis akan mempermudah

individu dalam menguraikan masalah baru.

d) Respon Koping
35

Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami

kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara

konstruktif merupakan penyebab terjadinya perilaku patologis.

e) Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan

menyebabkan individu mudah mengalami kecemasan.

f) Keadaan Fisik

Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah

mengalami kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan

memper mudah individu mengalami kecemasan.

g) Lingkungan dan Situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah

mengalami kecemasan dibandingkan di lingkungan yang sudah

dikenalnya.

h) Dukungan Sosial

Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber

koping individu. Dukungan sosial dari kehadiran orang lain

membantu seseorang mengurangi kecemasan sedangkan

lingkungan mempengaruhi area berfikir individu.

i) Usia

Semakin bertambah usia sesorang dan semakin matang

dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan pasien yang

menderita penyakit kronis, seseorang yang lebih dewasa akan


36

lebih percaya diri dari orang yang belum tinggi kedewasaannya.

Makin tua umur seseorang makin konsentrasi dalam

menggunakan koping dalam masalah yang dihadapi.

j) Jenis Kelamin

Perempuan lebih sering mengalami kecemasan karena

kurang komunikasi dan pengetahuan tentang penyakit yang

dideritanya. Gangguan kecemasan lebih sering dialami wanita

dari pada pria. Dampak negatif dari kecemasan merupakan rasa

khawatir yang berlebihan tentang masalah yang nyata maupun

potensial. Keadaan cemas akan membuat individu menghabiskan

tenaganya, menimbulkan rasa gelisah, dan menghambat individu

melakukan fungsinya dengan adekuat dalam situasi interpersonal

maupun hubungan sosial (Videbeck, 2008).

2.2.6 Penatalaksanaan Kecemasan

Aspek klinik menyatakan bahwa kecemasan dapat dijumpai pada

orang yang menderita stres normal, pada orang yang menderita sakit fisik

berat lama dan kronik, dan pada orang dengan gangguan psikiatri berat.

Kecemasan yang berkepanjangan menjadi patologis dan menghasilkan

berbagai gejala hiperaktivitas otonom pada sistem muskuloskeletal,

kardiovaskuler, gastrointestinal bahkan genitourinarius. Respon

kecemasan yang berkepanjangan dinamakan gangguan kecemasan

(Romadhon, 2009). Penyembuhan gangguan kecemasan dapat dilakukan

dengan cara farmakologis maupun non farmakologis menurut Maramis

(2008) yaitu sebagai berikut :


37

1. Farmakologis

Anxiolytic mempunyai keunggulan efek terapeutik cepat dalam

menurunkan tanda dan gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian

risiko adiksi. Terapi kombinasi yang diberikan untuk menurunkan

kecemasan merupakan obat anxiolytic dan psikoterapi. Obat anxiolytic

diberikan sampai 2 minggu pengobatan, kemudian dilakukan

psikoterapi yang dimulai pada awal minggu kedua. Pengobatan

farmakologi anxiolytic mempunyai efek klinik tranquilaizer dan

neroleptika (Maramis, 2008).

2. Non Farmakologis

Psikoterapi yang digunakan untuk gangguan kecemasan

merupakan psikoterapi berorientasi insight, terapi perilaku, terapi

kognitif atau psikoterapi provokasi kecemasan jangka pendek

(Sutrimo, 2012). Menurut Dongoes (2002) menurunkan stresor yang

dapat memperberat kecemasan dilakukan dengan beberapa cara

sebagai berikut :

a. Menurunkan kecemasan dengan teknik distraksi yang memblok

persepsi nyeri dalam korteks serebral.

b. Relaksasi dapat menurunkan respon kecemasan, rasa takut, tegang

dan nyeri. Teknik relaksasi terdapat dalam berbagai jenis yaitu

latihan nafas dalam, visualisasi dan guide imagery, biofeedback,


38

meditasi, teknik relaksasi autogenik, relaksasi otot progresif dan

sebagainya.

c. Pendidikan kesehatan membantu pasien dengan gangguan

kecemasan untuk mempertahankan kontrol diri dan membantu

membangun sikap positif sehingga mampu menurunkan

ketergantungan terhadap medikasi.

d. Bimbingan yang diberikan dapat berupa bimbingan fisik maupun

mental Memberikan bimbingan pada klien dengan gangguan

kecemasan untuk membuat pilihan perawatan diri sehingga

memungkinkan klien terlibat dalam aktivitas pengalihan.

e. Dukungan keluarga meningkatkan mekanisme koping dalam

menurunkan stres dan kecemasan.

3. Cara Penilaian Tingkat Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh  mana  derajat  kecemasan  seseorang

apakah ringan, sedang, berat dan berat sekali. Menggunakan alat ukur

(instrumen)  yang  dikenal  dengan  nama  Hamilton  Rating  Scale  for

Anxiety (HRS-A) dikutip Hawari (2013).

Penilaian kecemasan terdiri 14 item gejala meliputi gejala

perasaan cemas, gejala ketegangan, ketakutan, gangguan tidur,

gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik fisik/somatik,

gejala kardiovaskuler dan pembuluh darah, gejala respiratori, gejala

gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, sikap dan tingkah

laku. masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor)

antara 0-4, yang artinya adalah tidak ada gejala diberi kor 0, gejala
39

ringan diberi skor 1, gejala sedang diberi skor 2, gejala berat diberi

skor 3, gejala berat sekali diberi skor 4. Masing-masing nilai angka

(skor) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil

penjumlahan tersebut  dapat  diketahui  derajat  kecemasan  seseorang,

yaitu: 

1) Skor <11 = Tidak cemas

2) Skor 11-21 = Kecemasan ringan

3) Skor 21-27 = Kecemasan sedang

4) Skor 28-41 = Kecemasan berat

5) Skor 42-56 = Kecemasan berat sekali/ panic, (Hawari,  2013).

4. Respon Klien Terhadap Kecemasan

Kecemasan yang timbul dapat diidentifikasi malalui respon

yang dapat berupa respon fisik, emosional, dan kognitif atau

intelektual.

a. Respon Fisikologis

1) Kordivaskular : tekanan darah meningkat atau menurun, nadi

meningkat atau menurun.

2) Saluran pernafasan : Nafas cepat dangkal, rasa tertekan di dada,

rasa seperti tercekik.

3) Gastrointestinal : Hilang nafsu makan, mual, rasa tak enak pada

epigastrium, diare.
40

4) Neuromuskuler : peningkatan reflex, wajah tegang, insomnia,

gelisa, kelelahan secara umum, ketakutan, tremor, gemetar,

pusing.

5) Saluran kemih : tak dapat menahan buang air kecil.

6) System kulit : Muka pucat, perasan panas/ dingin pada kulit,

rasa terbakar pada muka, berkeringat setempat atau seluruh

tubuh dan gatal-gatal.

b. Respon kognitif : konstrasi menurun, pelupa, raung persepsi

berkurang atau menyempit, takut kehilangan control, obyektifitas

hilang

c. Respon emosional : kewaspadaan meningkat, tidak sadar, takut,

gelisa, pelupa, cepat marah, kecewa, menangis dan rasa tidak

berdaya, lemah, panik.

2.2.7 Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Serangan Asma

Menurut Hawari (2010), menyatakan bahwa adanya peranan

kejiwaan yang saling mendukung pada asma menjadikan asma termasuk

penyakit psikosomatik. Pada penyakit psikosomatik stres emosional yang

dialami seseorang seperti kecemasan, depresi, frustasi, amarah yang

terpendam dikonversikan dalam bentuk keluhan fisik.

Semakin besar ahli penyakit asma berpendapat bahwa akan sulit

menentukan penyebab asma karena asma merupakan penyakit dengan

banyak penyebab dan banyak akibat. Serangan asma dapat disebabkan

faktor infeksi, alergi maupun faktor psikologik (Hadis, 2010).

Pertimbangan terbaru dalam bidang psikoneuroimunologi (PNI)


41

menghubungkan antara stres psikososial, sistem saraf pusat, perubahan

dalam fungsi imun dan endokrin menghasilkan jalur biologi yang masuk

akal diduga dimana stress berdampak pada tanda-tanda asma (Surjanto

dkk, 2009).

Stres menyebabkan perubahan aktifitas Hypothalamic-pituitary-

adrenal (HPA) dan menghasilkan peningkatan sekresi hormone kortisol.

Paparan terhadap kortisol dosis tinggi nantinya dapat menyimpangkan

sistem imun atau deviasi imun kearah respon berlebihan T-helper (Th) 2

sitokin. Pergeseran Th-1 ke Th-2 sitokin selama stress penting pada asma

sebab dapat menaikkan respons humoral terhadap alergen yang

memudahkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas (Surjanto dkk, 2009).

2.2 Kerangka Teori

Tingkat kecemasan
Faktor1. yang
Tidakmemengaruhi
cemas
Kecemasan: Serangan Asma
2. Ringan
1. Factor predisposisi 1. Ringan
3. Sedang
a. Psikoanalisis 2. Sedang
b.4.Interpersonal
Berat 3. Berat
c. Prilaku
2. Factor Prespitasi
a. Eksternal Faktor yang memengaruhi
1) Ancaman integritas Serangan Asma:
diri 1. Faktor predisposisi :
2) Ancaman system diri a. Genetik
b. Internal
2. Faktor prespitasi :
1) Potensial stressor
2) Maturitas a. Alergen
3) Pendidikan b. Perubahan cuaca
4) Respon koping c. Stress
5) Status sosial d. Lingkungan kerja
ekonomi e. Olahraga/aktifitas jasmani
6) Keadaan fisik yang kuat
7) Lingkungan
f. Rangsangan farmakologik
8) Dukungan social
9) Usia g. Infeksi
10) Jenis kelamin h. Status gizi
Stuart, 2007 dan Tomb, 2004
42

Gambar 2.1 Kerangka Teori, Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan


Serangan Asma Pada Penderita Asma bronkhial (Modifikasi
Teori Notoadmojo, 2010: Harisson, 2011).
BAB 3

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Serangan Asma
Tingkat
kecemasan
Faktor yang memengaruhi
Serangan Asma:
1. Faktor predisposisi :
Genetik
2. Faktor prespitasi :
a. Alergen
b. Perubahan cuaca
c. Stress/emosi
d. Lingkungan kerja
e. Olahraga/aktifitas
jasmani yang kuat
f. Rangsangan
farmakologik
g. Infeksi
h. Status gizi
Aban, 2004 dan Harrison, 2011

Keterangan :
: Tidak Diteliti
: Diteliti
: Hubungan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep, Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan


Serangan Asma Pada Penderita Asma bronkhial (Modifikasi
Teori Notoadmojo, 2010: Harisson, 2011).

43
44

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja

yang ditetapkan oleh peneliti yang dipelajari, diperoleh sehingga informasi

tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012).

1. Variabel Independent

Variabel independent adalah suatu variabel yang bersifat bebas,

atau biasa disebut variabel bebas. Variabel independent pada penelitian ini

adalah tingkat kecemasan.

2. Variabel Dependent

Variabel dependent adalah suatu variabel yang bersifat terikat, atau biasa

disebut variabel terikat. Variabel dependent pada penelitian ini adalah

serangan asma.

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang dikumpulkan.

(Arikunto, 2010).

Ho : Tidak Ada hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada

penderita asma bronkial di Puskesmas Cakranegara pada tahun 2017.

Ha : Ada hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada

penderita asma bronkial di Puskesmas Cakranegara pada tahun 2017.


45

3.4 Definisi Operasional

Variabel-variabel yang membatasi ruang lingkup yang diamati atau

diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Definisi Alat Cara Skala
Variabel Parameter Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur Ukur
Variabel Perasaan tidak a. Perasaan cemas Kuesi Mengisi 0 Skor <11 = Ordi
independen : menyenangkan b. Ketegangan oner kuesion tidak cemas nal
Tingkat yang ditandai c. Ketakutan er 1 Skor 11-21=
Kecemasan dengan gejala d. Gangguan tidur kecemasan
denyut jantung e. Gangguan ringan
bertambah kecerdasan 2 Skor 21-27 =
cepat, nafas f. Perasaan depresi kecemasan
yang cepat, g. Gejala sedang
keringat somatic/fisik 3 Skor 28-41 =
dingin, (otot) kecemasan
gemetar,lemas h. Gejala berat
dan lelah. somatic/fisik 4 Skor 42-56=
(sensorik) kecemasan
i. Gejala berat sekali/
kardiovaskuler panic
j. Gejala (HRS-A
pernafasan Hawari, 2013)
k. Gejala
pencernaan
l. Gejala urogenital
m.Gejala autonom
n. Tingkah laku
(sikap)
Variabel Memburuknya 1. Tidak atau kuesi Mengisi 0 : Skor < 20 : Ordi
dependen: gejala asma jarang oner kuesion Asma Tidak nal
Serangan secara tiba-tiba mengalami er Terkontrol
asma yang disebabkan gejala asma 1 : Skor 20-24:
oleh penyempitan 2. Tidak pernah atau
AsmaTerkontrol
otot-otot disekitar jarang
Sebagian
saluran udara menggunakan
ditandai dengan obat pelega 2 : Bila Skor 25:
sesak nafas, 3. Tidak pernah Asma Terkontrol
bising mengi, terbangun
batuk, dada terasa dimalam hari
tegang , dan karena asma
kesulitan 4. Dapat melakukan
melakukan aktifitas dan
46

aktivitas normal latihan secara


sehari- normal
5. Tidak pernah atau
jarang mengalami
serangan asma
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah Studi Korelasi dengan

pendekatan cross sectional. cross sectional merupakan rancangan penelitian

yang pengukuran atau pengamatannya di lakukan secara stimultan pada satu

saat atau sekali waktu (Hidayat, 2010).

Peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat.

Artinya tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel

subjek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut. Metode analitik korelasi

pada penelitian ini digunakan untuk mengukur hubungan tingkat kecemasan

dengan serangan asma pada penderita asma bronkial di Puskesmas

Cakranegara.

4.2 Lokasi Penelitian

4.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Cakranegara

pada tahun 2018

4.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan Maret 2018

4.3 Populasi, Sampel dan Tehnik Pengambilan Data

4.3.1. Populasi

Menurut Sugiono, 2015 mendifinisikan populasi sebagai

wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang

47
48

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi

dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita asma bronkhial

sebanyak 81 orang di Puskesmas Cakranegara.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti

(Arikunto, 2010).

Penentuan sample menggunakan rumus :

n= 25% x N

Keterangan :

n= besar sampel

N= besar populasi

Berdasarkan rumus di atas jumblah sample yang di gunakan

dalam penelitian ini adalah :

n=25% x 81

25 x 81 2.025
= = = 20,25 = 20
100 100

4.3.3. Tehnik Sampling

Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan objek

penelitian. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

Purposive Sampling maka peneliti dapat mengambil sampel sesuai

dengan yang diinginkan atau dikehendaki sesuai dengan kriteria-kriteria

yang dapat di jadikan sampel (Notoatmodjo, 2012)


49

Dalam menentukan besar sampel dalam penelitian ini berdasarkan

pada kriteria inklusi dan eksklusi.

1) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek

penelitian pada populasi target dan sumber (Riyanto, 2011).

Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

a) Pasien yang tidak mengalami kegawat daruratan

b) Pasien penderita asma yang berkunjung di Puskesmas

Cakranegara

c) Pasien dengan penyakit asma yang bersedia menjadi responden

d) Pasien yang bisa membaca dan menulis

e) Pasien yang tidak mengalami gangguan jiwa

f) Pasien Asma yang berusia 12-55 tahun.

g) Pasien yang tidak mengalami serangan asma

h) Pasien yang tidak mengalami komplikasi

i) Pasien yang tidak sedang dalam keadaan di rawat inap

2) Kriteria Eksklusi

Kriteria Eksklusi merupakan kriteria dari subjek penelitian

yang tidak boleh ada, dan jika subjek mempunyai kriteria eksklusi

maka subjek harus dikeluarka dalam penelitian (Ryanto, 2011).

Kriteria Eksklusi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

a) Pasien yang mengalami kegawat daruratan


50

b) Pasien yang tidak berkunjung di Puskesmas Cakranegara

c) Pasien yang menolak menjadi responden

d) Pasien yang tidak bisa membaca dan menulis

e) Pasien yang mengalami gangguan jiwa

f) Pasien Asma yang tidak berusia 12-55 tahun.

4.4 Etika Penelitian

Pada penelitian ini peneliti tetap akan mempertahankan prinsif dari etika

selama penelitian (Kondisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, 2007).

Penelitian dengan menekankan masalah prinsip dan etik yang meliputi :

1. Informed consent

Setelah responden diberi penjelasan mengenai penelitian yang akan

dilakukan, kemudian bila responden bersedia diteliti maka responden

harus menanda tangani lembar persetujuan tersebut. Jika responden tidak

bersedia atau menolak untuk diteliti maka peneliti tidak memaksa dan

tetap menghormati hak responden.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak

mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan

memberi nomer kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh

peneliti. Keterbatasan penelitian daalam penelitian ini, peneliti memiliki

kekurangan dan keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti.


51

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya

lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah

diolah (Arikunto, 2010).

Kuesioner digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan

dengan serangan asma di Puskesmas Cakranegara. Pada kuesioner ini ada 14

item untuk pengukuran tingkat kecemasan penelitian ini menggunakan

Hamilton  Rating  Scale  forAnxiety (HRS – A ) untuk mengukur tingkat

kecemasan pasien penyakit asma. Skala Hamilton  Rating  Scale  forAnxiety

(HRS – A) terdiri dari 14 kelompok gejala, meliputi  gejala perasaan  cemas,

gejala ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan

depresi, gejala somatik,  gejala somatik  fisik/ somatik, gejala kardiovaskuler

dan pembuluh darah, gejala respiratori, gejala  gastrointestinal, gejala

urogenital, gejala autonom, sikap dan tingkah  laku. Masing- masing

kelompok gejala diberi panilaian angka  (skor)  antara  0 – 4 yang artinya

adalah  tidak  ada  gejala  diberi  skor  0,  gejala ringan diberi skor 1,  gejala

sedang  diberi  skor 2,  gejala berat  diberi skor 3, gejala berat sekali diberi

skor  4. Masing-  masing nilai angka  (skor)  dari  14 kelompok gejala

tersebut dijumlahkan dan dari hasil  penjumlahan tersebut dapat diketahui

derajat kecemasan seseorang, yaitu : 

1. Skor <11 = Tidak cemas

2. Skor 11-21 = Kecemasan ringan

3. Skor 21-27 = Kecemasan sedang


52

4. Skor 28-41 = Kecemasan berat

5. Skor 42-56 = Kecemasan berat sekali/ panik

(Hawari,  2013).

Menurut Global Strategy For asthma Management and Prevention

GINA- Global Initiative For Astha (2009), Kuesioner serangan asma terdiri

dari 5 pertanyaan Pada kuesioner ini ada 5 item untuk pengukuran serangan

asma dengan alat ukur Asthma Control Test (ACT) dengan nilai skor 25

mengkuantifikasi tingkat pencapaian masing-masing kriteria kontrol artinya

penyandang sudah mencapai total kontrol. Pertama : Dalam 4 minggu terakhir,

seberapa sering penyakit asma mengganggu anda dalam melakukan pekerjaan

sehari-hari dikantor, disekolah atau dirumah? (1) Selalu, (2) Sering, (3)

Kadang-kadang, (4) jarang, (5) tidak pernah, Kedua : Dalam 4 minggu

terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak nafas?, (1) Selalu, (2) Sering,

(3) Kadang-kadang, (4) jarang, (5) tidak pernah, Ketiga: Dalam 4 minggu

terakhir, seberapa sering gejala-gejala asma (bengek, batuk-batuk, sesak nafas,

nyeri dada atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun di malam

hari atau lebih awal dari biasanya?, (1) 4 kali atau lebih seminggu, (2) 2-3 kali

seminggu, (3) 1 kali seminggu, (4) 1-2 kali seminggu, (5) Tidak pernah,

keempat: Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat

semprot/nebulizer (tablet/sirup) atau obat oral untuk melegakan pernafasan?,

(1) 3 kali atau lebih sehari, (2) 1-2 kali sehari, (3) 2-3 seminggu (4) 1 kali

seminggu atau kurang, (5) Tidak pernah, Kelima: Bagaimana penilaian anda

terhadap tingkat control asma anda dalam 4 minggu terakhir?, (1) Tidak

terkontrol sama sekali, (2) Kurang terkontrol, (3) Cukup terkontrol, (4)
53

Terkontrol dengan baik, (5) Terkontrol sepenuhnya. Apabila skor <20 diberi

kode 0 dan dikatakan asma tidak terkontrol, bila Skor 20-24 diberi kode 1

dikatakan asma terkontrol sebagian, skor 25 diberi 2 dan dikatakan asma

terkontrol.

4.6 Pengumpulan Data

Adapun tahap pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :

1. Tahap persiapan

a. Mengurus surat izin pengambilan data dan surat izin penelitian pada

institusi

b. Menyerahkan surat izin pengambilan data dan mengurus surat izin

pengambilan data dan penelitian di bangkesbangpol kota mataram

c. Meminta izin untuk pengambilan data tentang penyakit asma bronkial

di puskesmas Cakranegara

d. Meminta data jumlah pasien yang menderita asma bronkial yang datang

ke puskesmas Cakranegara

e. Memilih responden yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah

ditetapkan

f. Mempersiapkan alat dan bahan seperti lembar kuesioner

2. Tahap pelaksanaan

a. Mengajukan surat ijin penelitian untuk disampaikan ke bangkesbangpol

kota mataram

b. Menetapkan sample serta meminta persetujan responden (informed

consent), memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang pemberian


54

lembar kuesioner serta bagaimana seharusnya responden menjawab

kuesioner yang diterimanya.

4.7 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu upaya untuk memprediksi data

dan menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisis lebih lanjut dan

mendapatkan data siap untuk disajikan (Riyanto, 2009).

Langkah-langkah pengolahan data menurut Setiadi (2007) yaitu :

1. Editing (Pemeriksaan data)

Sebelum data diolah lebih lanjut, sangat perlu dilakukan

pemeriksaan (Editing) data unyuk menghindari kekeliruan atau

kesalahan data. Langkah-langkah yang dilakukan dalam editing adalah

memeriksa kembali matriks pengumpulan data yang telah terkumpul

mengenai indentitas responden. Apabila ada data yang belum lengkap,

maka data diperbaiki, diperjelas dan bila ditemukan kejanggalan, maka

segera mintai keterangan kepada responden yang bersangkutan.

2. Coding (Pengkodean)

Coding merupakan proses pengklasifikasian dengan cara

memberikan kode tertentu pada data yang terkumpul, untuk memudahkan

proses pengolahan data. Data dari penelitian ini menggunakan data

ordinal. Pada skala ini dilakukan pengkodean, data hasil interprestasi item

Tingkat Kecemasan, kode (0) Tidak cemas, (1) Kecemasan ringan, (2)

Kecemasan sedang, (3) Kecemasan berat, (4) panik. Item Serangan Asma,

Kode (0) Asma Tidak Terkontrol, (1)Tingkat Terkontrol Asma Baik, (2 )

Asma Terkontrol
55

3. Entry atau Processing (memasukan data)

Entry data atau jawaban-jawaban dari masing-masing responden

yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukan kedalam

program atau “Software” komputer (Notoatmodjo, 2012).

4. Cleaning (Perbersihan data)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selasai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan

sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau korelasi

(Notoatmodjo, 2012).

4.8 Analisa data

Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan program

komputer. Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan

asma pada skala masing-masing variabel

4.8.1. Univariat

1. Variabel independen

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tingkat kecemasan

2. Variabel dependen

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

serangan asma

4.8.2. Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui interaksi antar variabel,

baik bersifat komparatif, asosiatif ataupun korelatif pada dua variabel


56

(Saryono, 2011). Pada uji bivariat ini untuk menganalisis pengaruh dua

variabel. Data yang telah terkumpul dilakukan analisis uji dengan

bantuan program komputer. Uji statistik Sperman Rank digunakan

dalam penelitian ini dengan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat

kesalahan 5%
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Puskesmas Cakranegara Kota Mataram

5.1.1 Visi dan Misi

Puskesmas Cakranegara dalam melaksanakan fungsinya

mempunyai visi sebagai berikut : ”Terbentuknya Masyarakat Sehat Yang

Mandiri Di Wilayah Puskesmas Cakranegara Tahun 2020”

Untuk memujudkan visi tersebut,puskesmas cakranegara memiliki

misi sebagai berikut :

1. Meningkatkan Sumber Daya Manusia dan kualitas manajemen

2. Memberikan pelayanan kesehatan secara professional dan

terintegrasi

3. Meningkatakan derajat kesehatan melalui pemberdayaan masyarakat

5.1.2 Keadaan Geografi

Puskesmas Cakranegara adalah salah satu puskesmas dari 11

puskesmas yang ada di Wilayah Kota Mataramyang terletak paling timur

dari kota mataram, terletak di kecamatan sandubaya yang merupakan

pusat perdagangan/ekonomi berlokasi di Jalan Brawijaya No.3b

Cakranegara

Adapun batas-batas wilayah Puskesmas Cakranegara adalah

sebagai berikut :

a. Sebelah timur : Kecamatan Narmada

b. Sebelah barat : Kelurahan Cakra Barat

c. Sebelah Utara : Kelurahan Cakra Utara

d. Sebelah Selatan : Kelurahan Babakan

1
2

5.1.3 Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan identitas responden penderita

asma bronkial di Puskesmas Cakranegara. Karakteristik responden pada

penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan.

1. Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di

Puskesmas Cakranegara tahun 2018 dapat dilihat pada tabel 4.1

berikut :

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin


di Puskesmas Puskesmas Cakranegara Tahun 2018

No Jenis Kelamin N %
1 Laki-laki 17 37.8
2 Perempuan 28 62.2
Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 28 orang

(62,2%) dan sebagian kecil responden dengan jenis kelamin laki-laki

yaitu sebanyak 17 orang (37,8%).

Menurut jenis kelamin responden terbanyak ialah perempuan

dengan jumlah 28 orang (62,2%). Sejalan dengan National Center Fot

Health Staistics (NCHS) pada tahun 2011 mengatakan bahwa

prevalensi asma menurut jenis kelamin terbanyak yaitu perempuan

(9,7%) dibandingkan laki-laki (7,2%). Hal ini dikarenakan jenis

kelamin merupakan faktor predisposisi asma. Perempuan lebih rentan

terhadap stres dan mengalami masalah hormonal (menstruasi,


3

premenstruasi, kehamilan) yang menjadi faktor pencetus asma

bronkial (Surjanto, 2001). Kemudian pada penelitian yang dilakukan

oleh Katerine (2014) juga lebih mendominasi perempuan dengan

jumlah 49 responden (75,4%).

2. Umur

Karakteristik responden berdasarkan umur di puskesmas

Puskesmas Cakranegara tahun 2018 dapat dilihat pada tabel 4.3

berikut :

Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di


Puskesmas Puskesmas Cakranegara Tahun 2018
No Umur n %
1 20-30 tahun 29 64.4
2 31-40 tahun 10 22.2
3 41-50 tahun 4 8.9
4 >50 tahun 2 4.4
Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa sebagian

besar responden berumur 20-30 tahun yaitu 29 orang (64,4%) dan

sebagian kecil responden berumur >50 tahun yaitu 2 orang (4,4%).

Distribusi responden menurut umur didapatkan paling banyak

adalah responden yang berumur 20-30 tahun sebanyak 29 orang

(64,4%). Berdasarkan teori Ikawati (2014) dikatakan bahwa pada

dewasa asma dapat disebabkan oleh sinusitis, polip hidung,

sensitivitas terhadap asoirin dan obat-obatan dan picuan dari tempat

kerja tertentu yang banyak terdapat agen-agen yang dapat terhirup

seperti bulu binatang, debu dan lain-lain. Hasil Penelitian ini


4

ditemukan asma adalah sinusitis dan alergi terhadap sesuatu. Hasil

penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hostiadi (2015) dengan jumlah responden terbanyak ada pada umur

21-43 tahun jumlah responden.

5.1.4 Tingkat Kecemasan

Kondisi responden berdasarkan tingkat kecemasan di puskesmas

Puskesmas Cakranegara tahun 2018, dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden menurut tingkat kecemasan


di Puskesmas Puskesmas Cakranegara Tahun 2018
No Tingkat Kecemasan n %
1 Tidak Cemas 10 22.2
2 Ringan 17 37.8
3 Sedang 12 26.7
4 Berat 6 13.3
Jumlah 45 100

Distribusi responden menurut tingkat kecemasan didapati paling

banyak responden berada pada kategori cemas ringan. Kecemasan

adalah situasi yang dirasa tidak menyenangkan dan ditakuti oleh fisik

yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam (Feist,

2010). Kecemasan mempengaruhi gejala fisik, terutama pada fungsi

saraf akan terlihat gejala-gejala yang ditimbulkan diantaranya tidak

dapat tidur, jantung berdebar-debar, keringat keluar berlebihan, sering

mual, gemetar, muka memerah dan sukar bernafas (Komalasari, 2010).

Pada penelitian ini, didapatkan gejala yang sering dialami oleh

responden adalah tidak dapat tidur, jantung berdebar dan sulit bernapas.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridawi


5

(2014) dengan jumlah responden terbanyak adalah cemas sedang.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haq

(2010) dimana responden terbanyak yaitu tingkat kecemasan ringan.

5.1.5 Serangan Asma

Kondisi responden berdasarkan serangan asma kecemasan di

puskesmas Puskesmas Cakranegara tahun 2018, dapat dilihat pada tabel

4.4 berikut:

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden menurut Serangan Asma di


Puskesmas Puskesmas Cakranegara Tahun 2018
No Serangan Asma n %
1 Terkontrol total 15 33.3
2 Terkontrol sebagian 20 44.4
3 Tidak terkontrol 10 22.2
Jumlah 39 100

Distribusi responden menurut Serangan Asma, didapatkan

sebanyak 20 responden (44,4%) kategori mengalami serangan asma

terkontrol sebagian. Berbagai faktor berperan dalam menyebabkan

keadaan asma yang tidak terkontrol, diantaranya adalah usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat berat, penggunaan

obat kortikosteroid yang salah, genetik, penyakit komorbid, kepatuhan

berobat yang buruk, pengetahuan yang buruk mengenai asma, dan berat

badan yang berlebihan (Atmoko, 2011). Pada penelitian ini responden

paling banyak mengalami serangan asma tidak terkontrol sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2014) responden paling banyak

mengalami serangan asma tidak terkontrol yaitu 17 responden (45,9%).


6

5.1.6 Hubungan Antara Tingkat Kecemasan dengan Serangan Asma

Tabel 4.5. Analisis Hubungan Antara Tingkat Kecemasan dengan Serangan


Asma
Serangan Asma
Tingkat Terkontro Terkontrol Tidak Total p-
Kecemasan total l sebagian terkontrol value
N % N % n % n %
Tidak Cemas 1 6,7 5 25,0 4 4,0 1 22,2 0,041
Ringan 7 46,7 7 35,0 3 30,0 17 37,8
Sedang 5 33,3 4 20,0 3 30,0 12 26,7
Berat 2 13,3 4 20,0 0 0 6 13,3
Total 15 33,3 20 44,4 10 22,2 45 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa responden paling

banyak dengan kategori tingkat kecemasan ringan dan serangan asma

terkontrol total yaitu sebanyak 7 orang (46,7%). Hasil yang didapat pada

pengolahan data variabel independen dengan 4 kategori yaitu tidak

cemas, cemas ringan, cemas sedang dan cemas berat, serta variable

dependen dengan 3 kategori yaitu terkontrol penuh, terkontrol sebagian

dan tidak terkontrol. Seperti yang dikatakan didalam jurnal Haq (2010),

Stres dapat mengantarkan pada seseorang pada tingkat kecemasan

sehingga memicu dilepaskannya histamine yang menyebabkan

penyempitan saluran napas ditandai dengan sakit tenggorokan dan sesak

napas, yang akhirnya memicu terjadinya serangan asma. Penyebab

pencetus asma yaitu alergen, stres, lingkungan kerja, peubahan cuaca

dan infeksi saluran napas. Stres atau gangguan emosi dapat menjadi

pencetus asma pada beberapa individu, selain itu juga dapat


7

memperberat serangan asma yang ada. Salah satu respon terhadap stres

adalah cemas (Hostiadi, 2015).

Secara teori didalam Saydam (2011), faktor penyebab asma

sangatlah banyak macamnya, antara lain adalah: zat yang dapat

menyebabkan alergi seperti debu rumah, tungau, kapas, serpihan kulit

manusia atau binatang, tepung sari bunga, dan berbagai makanan. Yang

kedua adalah infeksi saluran penapasan akibat virus yang dikenal secara

umum sebagai pilek, batuk dan flu. Yang ke tiga adalah berbagai

kegiatan fisik, emosi yang berlebihan (tertawa atau marah yang

berlebihan) dan obat seperti aspirin.

Masyarakat harus mengenal pemicu mana yang dapat

menimbulkan serangan asma pada seseorang karena selain obat asma,

mereka harus menghindarkan pemicupemicu tadi. Dari penelitian yang

dilakukan pada penderita asma di Kelurahan Mahakeret Timur dan

Mahakeret Barat, di dapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat

kecemasan dengan serangan asma, menurut peneliti mengapa dikatakan

ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma karena

kecemasan merupakan salah satu penyebab dari kekambuhan asma.

Ketika penderita mengalami kecemasan, akan memicu penderita asma

untuk merasakan ketakutan dan stres berat yang memicu penderita asma

untuk berpikir lebih banyak dan menyebabkan kekambuhan sesak napas.

Ada beberapa responden yang mengalami serangan asma tidak

terkontrol dan memiliki tingkat kecemasan yang normal (tidak cemas),

dari hasil wawancara pada saat penelitian beberapa responden yang

tidak cemas ini sekalipun memiliki serangan asma yang tidak terkontrol
8

menjelaskan bahwa masih bias tidur nyenyak dimalam hari dan jika

mengalami sesak napas penderita akan segera mengambil obat untuk

diminum dan kembali tidur seperti biasa sehingga tidak membuat

penderita asma merasakan kecemasan yang berat, namun ada beberapa

responden yang merasakan kecemasan walaupun memiliki serangan

asma dalam tingkat kontrol yang baik karena hasil wawancara pada saat

penelitian responden mengatakan bahwa sikap dan sifat yang dimiliki

oleh responden adalah mudah mengalami kecemasan dan menyebabkan

kecemasan yang berlebihan dalam menghadapi penyakit asma yang

diderita. Sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Prawitasari (1998)

dalam Wiyono (2009) stres dan kecemasan merupakan bagian di dalam

kehidupan manusia sehari-hari. Bagi orang yang penyesuaiannya baik

maka stres dan kecemasan dapat cepat diatasi dan ditanggulangi. Bagi

orang yang penyesuaian dirinya kurang baik, maka stres dan kecemasan

merupakan bagian terbesar di dalam kehidupannya, sehingga stres dan

kecemasan menghambat kegiatan sehari-hari Hasil observasi dan

wawancara penderita asma yang mengalami kecemasan tidak lagi

memiliki kemauan untuk melakukan kegiatan yang mengundang

kekambuhan serangan asma. Beberapa responden juga mengatakan

bahwa mereka tidak memiliki riwayat penyakit asma di dalam keluarga.

Sesuai dengan teori didalam Junaidi (2010) seringkali faktor riwayat

asma dalam keluarga tidak ada hubungan dengan terjadinya asma.

Seringkali penderita asma merasa heran bahwa dalam keluarganya tidak

ada yang menderita asma, tetapi mereka tetap saja terserang penyakit

tersebut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia,


9

diketahui bahwa hanya 30% penderita asma yang memiliki riwayat asma

dalam keluarganya.
BAB VI

PENUTUP

61. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Cakranegara, dapat

ditarik kesimpulan yaitu: responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak

dari responden laki-laki, usia responden terbanyak adalah 20-30 tahun, tingkat

kecemasan responden berada pada kategori kecemasan ringan, serangan asma

responden berada pada kategori serangan asma terkontrol sebagian. Terdapat

hubungan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma

bronkhial di Puskesmas Cakranegara.

Anda mungkin juga menyukai