Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PASIEN DENGAN KASUS ASMA


BRONKIAL

NOVITA OKTAVIANA

J130170046

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

JURUSAN PROFESI FISIOTERAPI

2017
DAFTAR ISI

Cover ............................................................................................................

Lembar Pengesahan ....................................................................................

Kata Pengantar .............................................................................................

BAB I ............................................................................................................

BAB II ...........................................................................................................

BAB III ..........................................................................................................

BAB IV ..........................................................................................................

BAB V ...........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah ini dengan kasus Asma Bronkial. Disetujui dan diterima


pembimbing praktek profesi fisioterapi untuk melengkapi tugas praktek profesi
fisioterapi dari praktek di RS Paru Respira Yogjakarta.

Pada : Selasa, 11 Juli 2017

Pembimbing lahan/CE

( Prayitno, SST.Ft )
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan
berkat-Nya sehingga penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada stase
fisioterapi pulmonal. Dalam makalah ini membahas tentang definisi, etiologi,
manifestasi, patofisiologi, assesment fisioterapi, diagnosa fisioterapi, intervensi
fisioterapi dan evaluasi dari kasus.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum penulis
penuhi, untuk itu diperlukan saran-saran dan kritikan untuk lebih
menyempurnakan makalah ini.

Yogyakarta, 11 Juli 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya


terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data
laporan dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012
dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah
tiga ratus juta orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat
hingga 180.000 orang per tahun (GINA,2012). Data WHO juga
menunjukkan data yang serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat
dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh
dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan
kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya (Rengganis, 2008).
Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan
dan kematian di Indonesia. Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah
Tangga mencatat 225.000 orang meninggal karena asma (Dinkes Jogja,
2011). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional
tahun 2007, penyakit asma ditemukan sebesar 4% dari 222.000.000 total
populasi nasional, sedangkan di Sumatera Barat Departemen Kesehatan
menyatakan bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita asma yang
ditemukan sebesar 3,58% (Zara, 2011). Jumlah kunjungan penderita
asma di seluruh rumah sakit dan puskesmas di Kota Padang sebanyak
12.456 kali di tahun 2013 (DKK Padang, 2013).
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang
bersifat reversible dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan
yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas (Henneberger dkk., 2011).
Pada umumnya penderita asma akan mengeluhkan gejala batuk,
sesak napas, rasa tertekan di dada dan mengi. Pada beberapa keadaan
batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala. Gejala asma sering
terjadi pada malam hari dan saat udara dingin, biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa tertekan di dada, disertai dengan
sesak napas (dyspnea) dan mengi. Batuk yang dialami pada awalnya
susah, tetapi segera menjadi kuat. Karakteristik batuk pada penderita
asma adalah berupa batuk kering, paroksismal, iritatif, dan non produktif,
kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental. Jalan
napas yang tersumbat menyebabkan sesak napas, sehingga ekspirasi
selalu lebih sulit dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien
untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot aksesori pernapasan.
Penggunaan otot aksesori pernapasan yang tidak terlatih dalam jangka
panjang dapat menyebabkan penderita asma kelelahan saat bernapas
ketika serangan atau ketika beraktivitas (Brunner & Suddard, 2002).
Tingkat gejala asma yang dialami oleh penderita asma telah
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu:
1) intermiten merupakan jenis asma yang terjadi bulanan dengan gejala
kurang dari satu kali seminggu, tidak menimbulkan gejala 3 di luar
serangan dan biasanya terjadi dalam waktu singkat.
2) Persisten ringan yang serangannya terjadi mingguan dengan gejala lebih
dari satu kali seminggu tetapi kurang dari satu kali sehari, yang dapat
mengganggu aktivitas dan tidur.
3) Persisten sedang dengan gejala yang muncul setiap hari dan
membutuhkan bronkodilator setiap hari.
4) Persisten berat yang terjadi secara kontinyu, gejala terus menerus,
sering kambuh dan aktivitas fisik terbatas (GINA, 2012).

Asma mempunyai dampak yang sangat mengganggu aktivitas sehari-


hari. Gejala asma dapat mengalami komplikasi sehingga menurunkan
produktifitas kerja dan kualitas hidup (GINA, 2012). Pada penderita asma
eksaserbasi akut dapat saja terjadi sewaktu-waktu, yang berlangsung dalam
beberapa menit hingga hitungan jam. Semakin sering serangan asma terjadi
maka akibatnya akan semakin fatal sehingga mempengaruhi aktivitas
penting seperti kehadiran di sekolah, pemilihan pekerjaan yang dapat
dilakukan, aktivitas fisik dan aspek kehidupan lain (Brunner & Suddard,
2002).
Tujuan perawatan asma adalah untuk menjaga agar asma tetap
terkontrol yang ditandai dengan penurunan gejala asma yang dirasakan atau
bahkan tidak sama sekali, sehingga penderita dapat melakukan aktivitas
tanpa terganggu oleh asmanya. Pengontrolan terhadap gejala asma dapat
dilakukan dengan cara menghindari alergen pencetus asma, konsultasi
asma dengan tim medis secara teratur, hidup sehat dengan asupan nutrisi
yang memadai, dan menghindari stres. Gejala asma dapat dikendalikan
dengan pengelolaan yang dilakukan secara lengkap, tidak hanya dengan
pemberian terapi farmakologis tetapi juga menggunakan terapi
nonfarmakologis yaitu dengan cara mengontrol gejala yang 4 timbul serta
mengurangi keparahan gejala asma yang dialami ketika terjadi serangan.
(Wong, 2008).
Terapi non farmakologis yang umumnya digunakan untuk
pengelolaan asma adalah dengan melakukan terapi pernapasan. Terapi
pernapasan bertujuan untuk melatih cara bernapas yang benar, melenturkan
dan memperkuat otot pernapasan, melatih ekspektorasi yang efektif,
meningkatkan sirkulasi, mempercepat dan mempertahankan pengontrolan
asma yang ditandai dengan penurunan gejala dan meningkatkan kualitas
hidup bagi penderitanya. Pada penderita asma terapi pernapasan selain
ditujukan untuk memperbaiki fungsi alat pernapasan, juga bertujuan melatih
penderita untuk dapat mengatur pernapasan pada saat terasa akan datang
serangan, ataupun sewaktu serangan asma (Nugroho, 2006).
B. Rumusan Masalah
Untuk mengetahui bagaimana Penatalaksanaan Fisioterapi Pada
Pasien Dengan Kasus Asma Bronkial?

C. Tujuan
Untuk mengetahui tujuan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada
Pasien Dengan Kasus Asma Bronkial.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian
samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh
diafragma yang berotot kuat. Paru-paru memiliki dua bagian yaitu paru-
paru kanan (Pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri
(Pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua
selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung
menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (Pleura visceralis) dan
selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang
rusuk disebut pleura luar (Pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh
bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus
tidak mempunyai tulang rawan, tetapi ronga bronkus masih bersilia dan
dibagian ujungnya mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap
bronkiolus terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,
kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus alveolaris
mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.
Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna,
oksigen masuk melalui hidung dan mulut, kemudian disalurkan melalui
trakea dan pipa bronkial ke alveoli. Oksigen yang masuk kemudian terikat
dengan hemoglobin sel darah merah setelah menembus membran
alveoli-kapiler. Oksigen tersebut kemudian dibawa ke jantung dan
kemudian dipompa di dalam arteri ke seluruh bagian tubuh. Dalam paru-
paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan metabolisme, menembus
membranalveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli, dan setelah melalui
pipa bronkial dan trakea, dikeluarkan melalui hidung dan mulut.

B. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus
yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkioulus terhadap benda-benda asing di udara. Pada
Asma, antibody Ig E umumnya melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang
tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai
macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat
(yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik, dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan
edema lokal pada dinding bronkioulus kecil maupun sekresi mukus yang
kental dalam lumen bronkioulus dan spasme otot polos bronkiolus
sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat.
Pada Asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru
selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Bronkiolus yang
sudah tersumbat sebagian selanjutnya akan mengalami obstruksi berat
akibat dari tekanan eksternal. Penderita Asma biasanya dapat melakukan
inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sulit melakukan ekspirasi. Hal
ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu
paru menjadi sangat meningkat selama serangan Asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Keadaan ini bisa menyebabkan
terjadinya barrel chest.

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada Asma merupakan


suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari
sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus,
lumen jalan napas, dan di bawah membrane basal. Berbagai factor
pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain yang
juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar,
eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit, dan monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
allergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi.
Ada 2 faktor yang berperan penting untuk terjadinya Asma, yaitu
factor genetik dan faktor lingkungan. Beberapa proses terjadi Asma :

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan


apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi belum tentu menjadi
Asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan
dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada
saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau
proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan Asma (mengi).

C. Diagnosa Asma Bronkial


Diagnosa penyakit Asma Bronkial perlu dipikirkan bilamana ada
gejala batuk yang disertai dengan wheezing (mengi) yang karakteristik
dan timbul secara episodik. Gejala batuk terutama terjadi pada malam
atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas fisik. Adanya riwayat
penyakit atopik pada pasien atau keluarganya memperkuat dugaan
adanya penyakit Asma. Pada anak dan dewasa muda gejala Asma sering
terjadi akibat hiperaktivitas bronkus terhadap alergen, banyak diantaranya
dimulai dengan adanya eksim, rhinitis, konjungtivitis, atau urtikaria.
Penderita Asma yang tidak memberikan reaksi terhadap tes kulit maupun
uji provokasi bronkus, tetapi mendapat serangan Asma sesudah infeksi
saluran napas, disebut Asma Idiosinkrasi.

D. Klasifikasi Asma Bronkial


Tipe asma berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi alergi,
idiopatik, dan nonalergik atau campuran (mixed).
1. Asma Alergik/Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asma dengan
alergen seperti bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan
lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan musiman (seasonal).
Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi
pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rinitis alergik. Paparan
terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini
biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
2. Idiopatik atau Nonalergik Asma/Intrinsik, tidak berhubungan secara
langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold,
infeksi saluran napas atas, aktivitas, emosi/stress, dan polusi lingkungan
akan mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti
antagonis -adrenergik dan bahan sulfat (penyedap makanan) juga dapat
menjadi faktor penyebab. Serangan dari Asma idiopatik atau nonalergik
menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat
berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai
ketika dewasa (>35 tahun).
3. Asma campuran (Mixed Asma), merupakan bentuk Asma yang paling
sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan
idiopatik atau nonalergi.

F. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia,
diperkirakan terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini.
Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Prevalensi
Asma lebih tinggi pada kelompok usia anak-anak.
Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta penderita Asma di Indonesia.
Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia menunjukkan prevalensi Asma
yang bervariasi, di Bandung 2,6%; Jakarta 16,4%; Yogyakarta 10,5%. Hasil
penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC)
pada anak berusia 13-14 tahun melaporkan prevalensi Asma di Indonesia
sebesar 2,1% pada tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Hasil yang didapatkan dari nilai evaluasi adalah sebagai
berikut :

Setelah dilakukan tindakan chest physiotherapy dan


breathing control exercise, sputum dapat dikeluarkan dan
pasien sesaknya berkurang (VAS = 2).
Pada auskultasi suara whizzing dan ronchi sudah berkurang.
Spasme M. Pectoralis Mayor belum sepenuhnya berkurang.

B. Pembahasan
Dari hasil nilai evaluasi di atas maka bisa dilihat ada
perubahan yang signifikan pada hasil VAS dan Auskultasi,
sedangkan pada spasme otot masih belum berkurang sepenuhnya.
BAB V

UNDERLYING

Anda mungkin juga menyukai