Anda di halaman 1dari 47

Case Report Session

Gastroenteritis Akut dengan Dehridrasi Ringan Sedang + Demam Typoid

Disusun oleh:

Syiffa Ilhami Augustami Suryanto 1710070100044

Preseptor:

dr. Laura Zeffira, Sp.A, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH BAGIAN


ILMU KESEHATAN ANAK
RSI SITI RAHMAH PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.
Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Gastroenteritis akut dengan dehidrasi
ringan sedang + demam tifoid”

Kami ucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada pembimbing


kepaniteraan anak dr. Laura Zeffira, Sp.A, M.Biomed atas bimbingan selama
kepaniteraan. Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan demi
perbaikan penyusunan makalah ini.

Semoga penulisan laporan kasus ini dapat berguna bagi saya sebagai penulis
dan seluruh pihak yang membaca makalah ini. Wassalamualaikum Wr.Wb.

Padang, 12 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Gastroenteritis...................................................................................................4
2.1.1 Definisi..............................................................................................................4
2.1.2 Epidemiologi.....................................................................................................4
2.1.3 Etiologi..............................................................................................................5
2.1.4 Klasifikasi ........................................................................................................6
2.1.5 Patogenesis........................................................................................................7
2.1.6 Gejala Klinis....................................................................................................11
2.1.7 Diagnosis.........................................................................................................13
2.1.8 Tatalaksana......................................................................................................14
2.1.9 Pencegahan……………………………………………………………………18
2.2 Demam Tifoid ..................................................................................................18
2.2.1 Definisi..............................................................................................................18
2.2.2 Epidemiologi.....................................................................................................18
2.2.3 Etiologi..............................................................................................................19
2.2.4 Faktor Resiko.....................................................................................................19
2.2.5 Patofisiologi.......................................................................................................21
2.2.6 Gejala Klinis......................................................................................................22
2.2.7 Diagnosis...........................................................................................................23
2.2.8 Tatalaksana........................................................................................................23
2.2.9 Komplikasi........................................................................................................27
2.2.10 Pencegahan......................................................................................................27
BAB III LAPORAN KASUS....................................................................................28
BAB IV DISKUSI.....................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................41

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), gastroenteritis adalah

suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja

yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar

yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin

dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah.1

Berdasarkan data WHO, pada tahun 2015, diare menyebabkan

sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000 kematian di seluruh dunia terjadi

pada anak-anak dibawah 5 tahun. Hampir 1,7 miliar kasus diare terjadi pada

anak dengan angka kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap

tahunnya.2 Tiga provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Sumatera

Utara (14%), Papua (13%) dan Aceh (12%). Prevalensi diare pada balita di

Indonesia menurut data Riskesdas tahun 2013 yang hanya sebesar 2,4 % dan

meningkat pada tahun 2018 sebesar 11%. Prevalensi diare di Sumatera Barat

juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 yang hanya sebesar 2,5 %

meningkat menjadi 14 % tahun 2018.3

Secara klinis penyebab diare yaitu infeksi yang dapat disebabkan

oleh bakteri, virus atau parasit, malabsorpsi, alergi, keracunan,

imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan

di lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan

keracunan. (kemenkes 2011). Penyebab utama infeksi oleh virus yang

terutama ialah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya ialah virus

1
Norwalk,astrovirus, coronavirus, minirotavirus.4

Diare biasanya dapat pulih sendiri tanpa terapi. Penatalaksanaan

kasus diare mempunyai tujuan mengembalikan cairan yang hilang akibat

diare. Kegagalan dalam pengobatan diare dapat menyebabkan infeksi

berulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya resistensi. Untuk

menanggulangi masalah resistensi tersebut, WHO telah merekomendasikan

pengobatan diare berdasarkan penyebabnya.5

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan

oleh Salmonella typhi6. Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada usia

3 – 19 tahun, dan angka kejadian meningkat setelah usia 5 tahun. Sembilan

puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh S. typhi,

sisanya disebabkan oleh S. paratyphi.7

Faktor resiko terjadinya demam tifoid ialah higien perorangan yang

rendah, higien makanan dan minuman yang rendah, penyediaan air bersih

yang tidak memadai, serta jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.8

Gejala yang ditimbulkan seperti demam puncak nya pada sore serta

malam hari, malaise, sakit kepala, nyeri perut, dan distensi, kadang-kadang

konstipasi yang diikuti dalam waktu 48 jam oleh diare. Ensefalopati dapat

terlihat dengan iritabilitas, kebingungan, delirium, dan pingsan. Mual,

muntah dan meningismus mungkin menonjol pada bayi dan anak kecil.

Prodromal dapat berlangsung hanya 2-3 hari, dan tahap defeverescence

berlangsung 1-2 minggu.6,9

Demam tifoid tanpa komplikasi biasanya dapat diobati dengan

2
pemberian antibiotik tunggal. Pemilihan lini pertama obat antibiotik di

negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan, dan biaya.

Berdasarkan faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat lini pertama,

terutama di negara berkembang10.

1.2 Batasan masalah

Laporan kasus ini membahas tentang gastroenteritis akut dan demam

tifoid pada anak dari definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,

diagnosis, klasifikasi, tatalaksana, dan prognosis

1.3 Tujuan Penulisan

Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman mengenai gastroenteritis akut dan demam tifoid pada anak

1.4 Metode penulisan

Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan

pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

Melalui penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat untuk

informasi dan pengetahuan tentang gastroenteritis akut dan demam tifoid

pada anak.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gastroenteritis Akut

2.1.1 Definisi

Menurut World Health Organization (WHO), gastroenteritis adalah suatu

penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek

sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa,

yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau

tinja yang berdarah.1

2.1.2 Epidemiologi

Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak karena daya tahan tubuh

yang belum optimal dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara

berkembang termasuk di Indonesia. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2015,

diare menyebabkan sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000 kematian di

seluruh dunia terjadi pada anak-anak dibawah 5 tahun. Hampir 1,7 miliar kasus

diare terjadi pada anak dengan angka kematian sekitar 525.000 pada anak balita

tiap tahunnya.1 Tiga provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Sumatera

Utara (14%), Papua (13%) dan Aceh (12%). Prevalensi diare pada balita di

Indonesia menurut data Riskesdas tahun 2013 yang hanya sebesar 2,4 % dan

meningkat pada tahun 2018 sebesar 11%. Prevalensi diare di Sumatera Barat

juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 yang hanya sebesar 2,5 %

4
meningkat menjadi 14 % tahun 2018.2,3

2.1.3 Etiologi

Secara klinis penyebab diare yaitu infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri,

virus atau parasit, malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab

lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah

diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. (kemenkes 2011). Penyebab utama

infeksi oleh virus yang terutama ialah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya

ialah virus Norwalk,astrovirus, coronavirus, minirotavirus.4,11

Rotavirus merupakan penyebab utama diare dengan dehidrasi berat pada anak

dibawah umur 5 tahun di seluruh dunia. Pada anak-anak, manifestasi penyakit

rotavirus berkisar dari tanpa gejala hingga diare cair ringan dengan durasi singkat dan

hingga diare berat dengan muntah dan demam yang dapat mengakibatkan dehidrasi

cepat dengan syok, ketidakseimbangan elektrolit, dan kematian.12

Sebuah studi mengaanalisis yang dilakukan oleh Parashar et al tahun 2009

menunjukkan bahwa infeksi rotavirus dapat menyebabkan 114 juta episode diaredan

610.000 kematian balita pada tahun 2004. Diperkirakan 82% kematian akibat diare

rotavirus terjadi pada negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, dimana akses

kesehatan dan status gizi masih menjadi masalah.4

Survei yang dilakukan di 6 rumah sakit di Indonesia melaporkan bahwa rotavirus

bertanggung jawab terhadap 60% angka kejadian diare. Diare karena rotavirus

umumnya menyerang anak pada kelompok umur 6-24 bulan, dengan puncaknya pada

usia 9-12 bulan. Bayi prematur, kelompok usia lanjut, dan orang dengan gangguan

sistem imun rentan terhadap infeksi rotavirus.4

5
2.1.4 Klasifikasi Berdasarkan Derajat Dehidrasi
Ada tiga jenis diare menurut lama terjadinya yaitu diare akut, diare persisten

dan diare kronik. Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu dapat dikelompokka

n menjadi :

1) Diare Akut

Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsi

stensi tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlang

sung dalam waktu kurang dari 2 minggu. Diare akut berlangsung kurang dari 14

hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari. Berdasarkan banyaknya cai

ran yang hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit diare dapat dibedakan dal

a empat kategori, yaitu:

a)  Diare tanpa dehidrasi, apabila cairan yan hilang <5% dari berat badan

b)  Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan yan hilang 5-10% dari berat badan

d)  Diare dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari >10% dari bera
t badan.

Gejala/ derajat Diare tanpa dehidrasi Diare dehidrasi/ Diare dehidrasi berat
dehidrasi ringan-sedang

Bila terdapat dua tanda Bila terdapat dua Bila terdapat dua
atau lebih tanda atau lebih tanda atau lebih

6
Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai/tidak
sadar

Mata Tidak cekung Cekung Cekung

Keingina n Normal, tidak ada rasa Ingin minum terus, Malas minum
untuk minum haus ada rasa haus

Turgor Kembali segera Kembali lambat Kembali sangat


lambat

Gambar 2.1 Derajat Dehidrasi Pada Diare

2) Diare persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan

dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

3) Diare Kronik
Diare kronis adalah diare hilang-timbull, atau berlangsung lama dengan penyeba

b non-infeksi, seperti penyakit sensitive terhadap gluten atau gangguan metabolism y

ang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Diare kronik adalah diare yang be

rsifat menahun atau persisten dan berlangsung 2 minggu lebih.

2.1.5 Patogenesis

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:

1) Gangguan Osmotik

7
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan meyeba

bkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran

air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini aka

n merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. Mukosa usus

halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat u

ntuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraselul

er.

Diare terjadi jika terdapat bahan yang secara osmotik dan sulit diserap. Bah

an tersebut berupa larutan isotonik dan hipertronik. Larutan isotonik, air dan ba

han yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare.

Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik akan

pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari us

us sama dengan cairan ekstraseluler dan darah sehingga terjadi diare

2) Gangguan Sekresi

Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terja

di peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya d

iare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus. Akibat rangsangan med

iator abnormal misalnya enterotoksin yang menyebabkan villi gagal mengabsor

bsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meni

ngkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam ron

gga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkan

nya sehingga timbul diare.

8
9
3) Gangguan Motilitas Usus

Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk

menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya, bila peristaltik usus menurun

akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan

diare pula

A. Virus

Beberapa jenis virus seperti rotavirus, berkembang biak dalam epitel vili

usus halus, menyebabkan kerusakan sel epitel dan pemendekan vili. Hilangnya

sel-sel vili yang secara normal mempunyai fungsi absorpsi dan penggantian

sementara oleh sel epitel berbentuk kripta yang belum matang, menyebabkan

terjadi Hipertonis bahan intralumen akibatnya terjdi perpindahan air da Na ke

lumen usus akibatnya bab encer tidak berlendir dan berdarah . Kerusakan vili

dapat juga dihubungkan dengan hilangnya enzim disakaridase, menyebabkan

berkurangnya absorpsi disakarida terutama laktosa. Penyembuhan terjadi bila

vili mengalami regenerasi dan epitel vilinya menjadi matang.13

B. Bakteri

 Penempelan di mukosa. Bakteri yang berkembang biak dalam usus halus

pertama-tama harus menempel mukosa untuk menghindarkan diri dari

penyapuan. Penempelan terjadi melalui pili yang melekat pada reseptor di

permukaan usus. Hal ini terjadi misalnya pada E.coli enterotoksigenik dan V.

Cholera 01. Pada beberapa keadaan, penempelan mukosa dihubungkan dengan

perubahan epitel usus yang menyebabkan pengurangan kapasitas penyerapan

10
atau menyebabkan sekresi cairan.13

 Toksin yang menyebabkan sekresi. E. Coli enterotoksigenik, V. Cholerae 01 dan

beberapa bakteri lain mengeluarkan toksin yang menghambat fungsi sel epitel.

Toksin ini mengurangi absorpsi natrium melalui vili dan mungkin meningkatkan

sekresi klorida dari kripta, yang menyebabkan sekresi air dan elektrolit.

Penyembuhan terjadi bila sel yang sakit diganti dengan sel yang sehat setelah 2-4

hari.13

 Invasi mukosa. Shigella, C jejuni, E coli enteroinvasife dan Salmonella dapat

menyebabkan diare berdarah melalui invasi dan perusakan sel epitel mukosa. Ini

terjadi sebagian besar di kolon dan bagian distal ileum. Invasi mungkin diikuti

dengan pembentukan mikroabses dan ulkus superfisial yang menyebabkan

adanya sel darah merah dan sel darah putih atau terlihat adanya darah dalam

tinja. Toksin yang dihasilkan oleh kuman ini menyebabkan kerusakan jaringan

dan kemungkinan juga sekresi air dan elektrolit dari mukosa.13

C. Protozoa

Penempelan mukosa. G.lamblia dan Cryptosporidium menempel pada

epitel usus halus dan menyebabkan pemendekan vili, yang kemungkinan

menyebabkan diare.Invasi mukosa.E. Histolitica menyebabkan diare dengan

cara menginvasi epitel mukosa di kolon (atau ileum) yang menyebabkan

mikroabses dan ulkus

Namun keadaaan ini terjadi bila strainnya sangat ganas. Pada manusia, 90% infeksi

terjadi oleh strain yang tidak ganas. Dalam hal ini tidak ada invasi ke mukosa dan

11
tidak timbul gejala/tanda-tanda, meskipun kista amoeba dan trofozoit mungkin ada di

dalam tinja.13

2.1.6 Gambaran Klinis

Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya

meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timul diare. Tinja

cair dan mungkin disertai lender atau darah. Warna tinja makin lama berubah

menjadi kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu. Anus dan daerah

sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam

sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang

tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum

atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang

atau akibat gangguan keseimbangan asam basa atau elektrolit.

Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala

dehidrasi makin tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan

ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit

tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi

dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma

dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik.

12
Tabel 1. Penentuan tanda dehidrasi

Tabel 2. Manifestasi Klinis Tergantung Penyebab

13
2.1.7 Diagnosa4

Anamnesa
a. Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsentrasi tinja, ada
tidaknya lendir atau darah.

b. Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil
terakhir,demam, sesak, kejang, kembung
c. Jumlah cairan yang masuk selama diare
d. Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare.
e. Penderita diare di sekitarnya dan sumber air minum
f. Gejala penyerta seperti sakit perut, banyak gas, kembung.

Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
b. Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus,
turgor kulit abdomen menurun
c. Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir,
mulut, dan lidah
d. Berat badan menurun
e. Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan
dalam (asidosis metabolik), bising usus melemah atau tidak ada (hipokalemia),
kejang (hipo atau hipernatremia)
f. Pemeriksaan ekstremitas perlu dilakukan karena perfusi dan capillary refill time
dapat menentukan derajat dehidrasi.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada tanda
intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Hal yang dinilai pada pemeriksaan
tinja :
 Makroskopis : konsistensi, warna, lendir, darah, bau

14
 Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasit, bakteri

 Kimia: pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)


b. Biakan dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada diare akut
c. Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit
2.1.8 Tatalaksana

Berdasarkan Lima langkah tuntas diare terdapat lima langkah14

15
16
17
18
Pemberian antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut

oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited

dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotik. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang

disebabkan oleh bakteri pathogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.

Coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya

19
2.1.9 Pencegahan

Pencegahan diare yang baik dan benar, sebagai berikut 14 :

1. Memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai 2 tahun

2. Memberikan makanan pendamping ASI sesuai umur

3. Memberikan minum air yang sudah direbus dan menggunakan air bersih yang

cukup

4. Mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan dan sesudah buang air

besar

5. Buang air besar di jamban

6. Membuang tinja bayi dengan benar.

2.2 Demam tifoid

2.2.1 Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan

oleh Salmonella typhi. Demam enterik merupakan istilah kumulatif yang

menggambarkan demam tifoid dan demam paratifoid. Paratifoid secara

klinis tidak berbeda dengan demam tifoid sehingga istilah demam enterik

dan tifoid menggambarkan hal yang sama.6

2.2.2 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. Prevalensi

91% kasus demam tifoid terjadi pada usia 3 – 19 tahun, dan angka kejadian

meningkat setelah usia 5 tahun. Sembilan puluh enam persen (96%) kasus

demam tifoid disebabkan oleh S. typhi, sisanya disebabkan oleh S.

paratyphi.7

Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai

20
rekomendasi WHO, sehingga sulit menentukan prevalensi tifoid di dunia.

Beberapa sistem surveilans di negara berkembang masih terbatas. Data pada

tahun 2000 menunjukkan estimasi penyakit sebanyak 21.650.974, namun

data tersebut tidak akurat.10

2.2.3 Etiologi

Demam tifoid diakibatkan oleh bakteri gram negative Salmonella

enterica servoar Typhi (S.Typhi). Penyebab lain yang dapat menyebabkan

gambaran klinis sama namun biasanya lebih ringan disebabkan oleh

Salmonella Paratyphi A dan jarang diakibatkan oleh Salmonella Paratyphi

B, dan Salmonella Paratyphi C.6

S. enterica serotipe typhi adalah bagian dari famili enterobacteriacieae,

merupakan gram negative, berbentuk batang, memiliki flagella, dan

menggunakan tubuh manusia sebagai reservoir. Bakteri ini, memiliki

serologi positif untuk lipopolisakarida antegien O9 dan O12, serta antigen

kapsuler polisakarida Vi.16,17

Gambar 1. Struktur S. Typhi


2.2.4 Faktor Resiko
Beberapa keadaan ataupun kebiasaan dari kehidupan manusia bisa menjadi

faktor resiko terjadinya penyebaran Salmonella Typhi .

Menurut Pedoman Pengendalian Demam Tifoid (2006) yang dikeluarkan oleh

Kementerian Kesehatan RI, beberapa faktor resiko tersebut adalah :

21
a. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa

dilakukan. Hal ini jelas banyak pada anak-anak, penyaji makanan serta

pengasuh anak.

b. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan dalam

penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini, 16 diantaranya : makanan

yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-

buahan); sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia; makanan yang tercemar

debu, sampah, dihinggapi lalat; air minum yang tidak dimasak; dan lain

sebagainya.

c. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan

sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

g. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.

Selain itu, Als dkk. membagi faktor resiko terjadinya demam tifoid menjadi 3

yaitu :

a. Faktor lingkungan Sanitasi yang buruk, waduk, perbedaan musim dan iklim,

praktek pertanian, dan pengolahan limbah.

b. Faktor sosiodemografi Status sosial ekonomi yang rendah, kemiskinan,

kurangnya teknik penanganan makanan, kepadatan penduuduk, pembangunan

rumah, dan pekerjaan.

c. Karakteristik individu Diet, malnutrisi, mikroflora usus, usia, status karier,

imunitas parsial, pengetahuan tentang praktik kebersihan dan koinfeksi /

22
penggunaan antibiotik sebelumnya.

Faktor resiko lain yang juga bisa menyebabkan terjadi demam tifoid

adalah adanya ditemukan polimorfisme genetik (sekalipun jarang). Hal ini

mempengaruhi berbagai patogen intraseluler, seperti kode PARK1 dan

PACGR yang penting untuk pemecahan molekul sinyal bakteri. Konsumsi

obat atau keadaan-keadaan yang menurunkan asam lambung seperti

antasida, antagonis reseptor histamin-2 (penghambat H2), penghambat

pompa proton, gastrektomi, dan achlorhydria juga bisa menjadi faktor resiko

terjadi demam tifoid, karena Salmonella Typhi bisa bertahan pada PH

serendah 1,5. 8

2.2.5 Patofisiologi

S typhi masuk melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Setelah

tertelan dan melewati lambung, S. typhi akan menginvasi usus halus (ileum)

melalui sel antigen khusus yang dikenal sebagai sel M, enterosit, atau jalur

paraselular. S. typhi melintasi penghalang mukosa usus setelah menempel dengan

mikrovili. Selanjutnya S. typhi menembus hingga plak peyer6,7.

Setelah melewati mukosa usus, S. typhi masuk ke aliran sistem limfa

mesentrikal dan masuk ke pembuluh darah melalui limfatik. Bakterimia primer ini

biasanya asimtomatik dan hasil kultur darah sering negative. Bakteri yang terbawa

menyebar ke seluruh tubuh dan berkoloni pada jaringan RES (hepar, lien, sumsum

tulang untuk bermultiplikasi). Setelah replikasi, bakteri akan kembali ke dalam

aliran darah, sehingga menyebabkan baketrimia sekunder yang bertepatan dengan

timbulnya gejala klinis dan menandai akhir masa inkubasi. Masa inkubasi dapat

berlangsung selama 10 – 14 hari6,7

23
Gambar 2. Patofisiologi Tifoid

2.2.6 Gejala Klinis

Pada anak-anak, awitan demam tifoid biasanya tiba-tiba dan tidak berbahaya,

dengan malaise, sakit kepala, nyeri perut, dan distensi, kadang-kadang konstipasi

yang diikuti dalam waktu 48 jam oleh diare, demam tinggi, dan toksemia. Demam

dapat meninggi perlahan, namun jarang. Ensefalopati dapat terlihat dengan

iritabilitas, kebingungan, delirium, dan pingsan. Mual, muntah dan meningismus

mungkin menonjol pada bayi dan anak kecil. Prodromal dapat berlangsung hanya

2-3 hari, dan tahap defeverescence berlangsung 1-2 minggu.6,9

Selama tahap prodromal, mungkin tidak ditemukan abnormalitas pada

pemeriksaan fisik, atau biasanya hanya ada distensi dan nyeri tekan abdomen,

meningismus, hepatomegaly ringan, dan splenomegaly minimal. Ruam khas tifoid

(rose spot rash) muncul pada 10-15% anak. Ruam biasanya muncul pada minggu

kedua dan pecah selama 10-14 hari berikutnya. Lesi berupa bercak mawar (rose

spot) maculopapular eritematosa dengan diameter 2-3mm yang memudar saat

ditekan. Lesi ditemukan terutama pada badan dan dada, umumnya hilang dalam 3-

4 hari.

24
2.2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis dan manifestasi klinis

yang diperkuat oleh pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang biasa

dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium, meliputi darah lengkap, dan kultur

baik urine atau feses. Hasil kultur darah positif 40-60% pada awal perjalanan

penyakit, sedangkan kultur urine atau feses positif setelah minggu pertama.

Namun, hasil pemeriksaan darah kurang spesifik. Tes yang cukup sensitive adalah

aspirasi sumsum tulang6,17

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan leukositosis atau leukopenia

dengan pergeseran ke kiri tergantung pada usia pasien. Selain itu, anemia

relative terjadi. Trombositopenia mungkin merupakan penanda penyakit

berat dan dapat menyertai DIC. Hasil tes fungsi hati dapat berubah, tetapi

disfungsi hati signifikan jarang terjadi6,16.

Tes widal mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari S. typhi,

tetapi tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas di daerah endemik. Tes

diagnostik lain adalah Tubex yang mendeteksi antibodi IgM spesifik O9

lipopolisakarida S.typhi. Tes Tubex memiliki sensitivitas dan spesifisitas

beriksar 70%6,18.

2.2.8 Tatalaksana

Tatalaksana demam tifoid pada anak umumnya dibagi dua, yaitu tatalakasana

umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik

sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid diberikan baik kepada

penderita demam tifoid maupun karier S. typhi, berupa imunisasi tifoid dan

profilaksis bagi pelaku perjalanan ke daerah endemis tifoid.10

25
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam

menangani demam tifoid selain pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi

baik secara oral maupun parenteral, pemberian antipiretik, pemberian nutrisi

yang adekuat serta transfusi darah bila terdapat indikasi, merupakan

tatalaksana yang dapat memperbaiki kualitas hidup seorang anak yang

menderita demam tifoid.10

Demam tifoid tanpa komplikasi biasanya dapat diobati dengan

pemberian antibiotik tunggal. Pemilihan lini pertama obat antibiotik di

negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan, dan biaya.

Berdasarkan faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat lini pertama,

terutama di negara berkembang10.

Kloramfenikol pertama kali digunakan secara luas pada tahun 1948.

Namun, pada tahun 1950 ilmuan menyatakan bahwa kloramfenikol memiliki

efek samping berupa anemia aplastik. Atas hal itu, kloramfenikol tidak lagi

menjadi lini pertama yang digunakan untuk demam tifoid pada negara maju.

Efikasi kloramfenikol terjadi setelah 4-5 hari pengobatan dimulai, selain itu

harga kloramfenikol termasuk murah dan mudah ditemukan. Menurut

WHO, kloramfenikol dimasukan sebagai obat alternatif atau obat pilihan lini

kedua. Indonesia sebagai negara endemis, masih menggunakan

kloramfenikol sebagai lini pertama pengobatan demam tifoid.10,19

Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat

demam tifoid, meskipun secara literature, kemampuannya lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol. Amoksisilin dan ampisilin biasanya diberikan

pada pasien tifoid dengan leukopenia yang tidak mungkin diberikan

26
kloramfenikol atau sudah resisten terhadap kloramfenikol. Pemberian

amoksisilin oral selama 14 hari memberikan efektivitas yang sama dengan

amoksisilin pemberian IV untuk mengobati tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol. Bebas demam tercapai setelah lima hari pengobatan.7

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektivitasnya

dengan kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama dengan

penggunaan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus tifoid yang

resisten terhadap kloramfenikol7.

Penggunaan sefiksim tidak digunakan pada pengobatan demam tifoid

tanpa komplikasi. Sefiksim hanya digunakan pada tifoid dengan

kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotic (MDR), dan sebagai terapi

lini kedua atau alternatif sefalosporin generasi ketiga lainnya, seperti

seftriakson. Durasi terapi dengan seftriakson bervariasi antara 3-10 hari

dengan waktu demam turun rata-rata empat hari.10,19

Azitromisin dengan dosis 10mg/kgBB diberikan sekali sehari selama 7

hari, secara efektif terbukti mengobati demam tifoid baik pada dewasa

maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang relative hampir

sama bila menggunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama

bila demam tifoid resistensi terhadap golongan kuinolon. Pemberian singkat

selama 7 hari, dinilai cukup efektif mengobati tifoid tanpa komplikasi10.

27
Pengobatan karier demam tifoid, dapat diberikan ampisilin atau amoksisilin

dengan dosis 40mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasikan dengan

probenesid 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis atau trimetropin-sulfamektosazol

selama 4-6 minggu menunjukan angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak

efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid. Selain ampisilin atau

amoksisilin, untuk pengobatan karier tifoid beberapa obat lain dapat digunakan

seperti kotrimoksazol, siprofloksasin, dan norfloksasin, walaupun dua obat

terakhir sebaiknya tidak digunakan pada tifoid anak10.

Gambar 3. Table Pengobatan Tifoid

28
2.2.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling buruk adalah perdarahan gastrointestinal, yang

beriksar 2- 10% dan perforasi sebesar 1-3%. Komplikasi ini biasanya terjadi

di minggu kedua atau minggu ketiga setelah penyakit berlangsung. Perforasi

usus menjadi salah satu penyebab utama kematian. Perforasi umumnya

terjadi di ileum terminal atau sekum. Manifestasi klinis perforasi sulit

dibedakan dengan apendisitis akut dengan nyeri tekan kuadran bawah dan

kekakuan pada kuadran bawah9.

Komplikasi yang jarang terjadi adalah pneumonia bacterial, meningitis,

artritis septik, abses, dan osteomyelitis, terutama jika pengobatan spesifik segera

diberikan. Komplikasi lainnya adalah syok, yang juga dapat menyebabkan

kematian.9

2.2.10 Pencegahan

Faktor resiko yang dapat dikendalikan berupa mencegah terjadinya

pasokan air dengan limbah. Menjaga sanitasi menjadi salah satu cara yang

paling mudah sebagai pencegahan demam tifoid salah satunya dengan

menjaga kebersihan tangan. Pada negara endemis tifoid, konsumsi makanan

seperti jajanan menjadi faktor resiko penting.6

Pencegahan lainnya dapat dilakukan dengan vaksin tifoid. Vaksin ini berisi

sel utuh yang tidak diaktifkan. Secara global vaksin ini tersedia untuk anak-anak.

Efek samping jarang terjadi. Vaksin ini diberikan secara intramuscular dosis

tunggal dan dilakukan booster setiap dua tahun. Hal tersebut meningkatkan efikasi

sekitar 70-80%. Vaksin saat ini direkomendasikan kepada siapa saja yang

bepergian ke negara endemis tifoid.6

29
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An.F
MR : 2023245109
Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 9 bulan 30 hari

Suku Bangsa : Minang


Nama Ibu : Ny.Z
Alamat : Kuranji

Tanggal masuk : 21/04/2023

ANAMNESIS
Alloanamnesis Keluhan Utama

BAB cair sejak 5 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:

 BAB cair sejak 5 hari yll, frekuensi >6 x/hari. BAB cair berwarna

kekuningan, tidak ada darah maupun lendir, tidak berbau. Pasien ganti

pempes >6 x/hari. Pasien sudah berobat ke RST dan dikasih obat namun

belum juga membaik.

 Muntah sejak 4 hari yll, frekuensi >6 x/hari muntah berisi makanan yang

dimakan dengan volume ¼ gelas

 Demam sejak 4 hari yll. Demam naik turun dan semakin tinggi ketika sore

hingga malam hari, damam membaik hanya ketika minum obat (parasetamol)

saja, tetapi setelah 1 jam minum obat demam kembali

 Nafsu makan menurun sejak 4 hari yll.

30
 Anak tampak rewel sejak 3 hari yll

 Tampak lemas sejak 1 hari yll.

 BAK normal

 Kejang tidak ada.

 Sesak tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


- Tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada
Riwayat Persalinan
Lama hamil : Cukup bulan
Cara lahir : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Indikasi : Gravid aterm
Berat lahir : 2700 gr
Panjang lahir : 49 cm
APGAR score : langsung menangis kuat, kebiruan tidak ada Kesan
: Riwayat kelahiran normal
Riwayat Makan dan Minuman
 Bayi
ASI : 0-9 bulan
Bubur Susu : 6-9 bulan
Nasi Tim : 6-9 bulan
Buah, biskuit : 6-9 bulan
Susu Formula : 0-9 bulan

 Anak
Makanan utama : Nasi 3x/hari, menghabiskan 1 porsi Daging
: 1x/minggu
Ikan : 3x/minggu

31
Telur : 2x/minggu
Sayur : 2x/minggu
Buah : 2x/minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas nutrisi baik.
Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar/umur Booster/umur

BCG 1 bulan

DPT : 1 2 bulan

2 3 bulan

3 4 bulan

Polio : 1 1 bulan
2 bulan
2
3 3 bulan
Hepatitis B : 1 2 bulan
3 bulan
2
3 4 bulan
Hemofilus influenza B : 1 2 bulan
3 bulan
2 4 bulan
3
Campak -
Kesan: riwayat imunisasi dasar lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Umur Riwayat Gangguan Umur


Pertumbuhan dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Ketawa 3 bulan Isap jempol Tidak ada
Miring 3 bulan Gigit kuku Tidak ada

32
Tengkurap 4 bulan Sering mimpi Tidak ada
Duduk 7 bulan Mengompol Tidak ada
Merangkak 6 bulan Aktif sekali Tidak ada
Berdiri 9 bulan Apatik Tidak ada
Lari Membangkang Tidak ada
Gigi pertama 5 bulan Ketakutan Tidak ada
Bicara Pergaulan jelek Tidak ada
Membaca Kesukaran belajar Tidak ada
Prestasi di sekolah
Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal

Riwayat Keluarga

Data Ayah Ibu


Nama R Z
Umur 36 tahun 34 tahun
Pendidikan SMA D3
Pekerjaan POLRI IRT
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

Saudara kandung

No Nama Jenis kelamin Tahun Lahir Keterangan


1 Anak ke-1 Laki-laki 2013 Sehat
2 Anak ke-2 Laki-laki 2014 Sehat
3 Anak ke-3 Perempuan 2017 Sehat
4 Anak ke-4 Perempuan 2017 Sehat
5 Anak ke-5 Perempuan 2022 Pasien

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


 Rumah tempat tingga : Permanen
 Sumber air minum : Air mineral isi ulang

33
 Buang air besar : Jamban didalam rumah
 Pekarangan : Luas
 Sampah : Dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir
 Kesan : Higienitas dan sanitasi baik

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah :-
Frekuensi nadi : 130x / menit Frekuensi nafas : 36x / menit
Suhu : 38,3°C
Spo2 : 98%
Edema : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
BB : 7,9 kg
TB : 71 cm
BB/U : - 1 SD < + 2 SD : Normal
TB/U : - 2 SD < + 2 SD : Normal
BB/TB : - 2 SD < + 2 SD : Normal
Status gizi : Status gizi baik

Anemia : Tidak ada


Sianosis : Tidak ada

 Kulit : Teraba hangat, turgor mulai menurun


 Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
 Kepala : Bulat, simetris
 Rambut : Rambut hitam dan tidak mudah rontok
 Mata : Tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, diameter 2mm/2 mm, refleks cahaya
+/+

 Telinga : Tidak ada kelainan

34
 Hidung : Napas cuping hidung tidak ada,sekret tidak
ada,septum deviasi tidak ada, epistaksis tidak
ada
 Gigi dan mulut : Mukosa mulut dan bibir kering
 Tenggorok : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak
hiperemis
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB
 Thoraks Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan (statis
dan dinamis).
Palpasi : Fremitus taktil sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi :Suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada,
wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di 1 jari medial linea
midklavikularis sinistra RIC 5
Perkusi :
Batas Kanan : RIC 2 linea parastrenalis dextra
Batas Kiri : RIC 5 1 jari medial linea midklavikularis sinistra

Batas Atas : RIC 2 linea sternalis sinistra


Auskultasi : SI S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
 Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada, tidak ada sikatrik
Palpasi : Supel, nyeri tekan tidak ada, hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, turgor kulit kembali lambat
Perkusi : Hipertimpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

35
 Punggung : Tidak ada kelainan
 Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Anggota Gerak : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema
tidak
ada, sianosis perifer tidak ada PEMERIKSAAN LABORATORIUM
(21/04/2023)
 Hb : 11.8 gr/dl
 Leukosit : 16.700 /mm3
 Trombosit : 359.000/mm3
 Hematokrit : 34%
 Gula Darah Sewaktu : 84 mg/dl
 Natrium Darah : 134 mmol/L
 Kalium : 3.0 mmol/L
 Chlorida : 110 mmol/L
 Tubex TF : Skala 4 Positif lemah

DIAGNOSIS KERJA
Gastroenteritis akut dehidrasi ringan sedang + demam tifoid

PENATALAKSANAAN
 IVFD 2A 12 tpm
 Inj ceftriaxon 2x320 mg
 Lacto B 1x1
 Zinc 1x10 mg
 Oralit 2x1
 KSR 3x200 mg (selama 2 hari)
 PCT 3x80 mg

36
FOLLOW UP
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
22-04-2023 S/ P/
BAB cair berampas (+) IVFD 2A 12 tpm
Demam (+) Inj ceftriaxon 2x320 mg
Mual (+) Lacto B 1x1
Muntah (+) - Zinc 1x10 mg
BAK dan BAB biasa - Oralit 2x1
O/ - KSR 3x200 mg (selama 2 hari)
- PCT 3x80 mg
KU KES TD Nadi RR T

Sakit CMC 137 35 38.4


sedang x/i x/i

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera


tidak ikterik
Paru : retraksi dinding dada tidak ada,
suara napas vesikuler, rhonki (-) dan wheezing
(-) Jantung : irama jantung teratur, bising
tidak ada
Abdomen : distensi (-), nyeri tekan ulu hati
(-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT<
2 detik
Kulit : turgor kembali lambat
A/ GEA dehidrassi ringan sedang + demam
tifoid

37
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
23-04-2023 S/ P/
BAB cair berampas (+) IVFD 2A 12 tpm
Demam (+) Inj ceftriaxon 2x320 mg
Mual (+) Lacto B 1x1
Muntah (-) - Zinc 1x10 mg
BAK dan BAB biasa - Oralit 2x1
O/ - KSR 3x200 mg (selama 2 hari)
- PCT 3x80 mg
KU KES TD Nadi RR T

Sakit CMC 126 31 37.9


sedang x/i x/i

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera


tidak ikterik
Paru : retraksi dinding dada tidak ada,
suara napas vesikuler, rhonki (-) dan wheezing
(-) Jantung : irama jantung teratur, bising
tidak ada
Abdomen : distensi (-), nyeri tekan ulu hati
(-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT<
2 detik
Kulit : turgor baik
A/ GEA dehidrassi ringan sedang + demam
tifoid

38
Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi
24-4-2023 S/ P/
BAB mulai berkurang Pasien di pulangkan
Demam (-)
Mual (-) Indikasi pulang :
Muntah (-) -BAB sudah mulai
berkurang
-Muntah (-)
O/
KU KES TD Nadi RR T -Demam (-)
Kesan : kondisi sudah
Sakit CMC mmHg 131 x/i 30x/i 37,5 membaik
sedang
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : retraksi dinding dada tidak ada, suara napas
vesikuler, rhonki (-) dan wheezing (-)
Jantung : irama jantung teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), nyeri tekan ulu hati (-), bising
usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT< 2 detik Kulit
: turgor baik
A/ GEA dehidrasi ringan sedang + demam tifoid
Perbaikan

39
40
41
BAB IV DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang anak perempuan berumur 9 bulan 30 haari


dengan diagnosa gastroenteritis akut dehidrassi ringan sedang + demam tifoid..
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pada anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan utama BAB cair
sejak 5 hari SMRS dengan frekuensi >6x/hari dengan ampas tanpa disertai darah
atau pun lendir. Muntah sejak 4 hari SMRS dengan frekuensi > 6x/hari, muntah
berisi makanan yang dimakan. Demam sejak 4 hari SMRS. Demam naik turun
dan semakin tinggi ketika sore hingga malam hari, damam membaik hanya ketika
minum obar (parasetamol) saja, tetapi setelah 1 jam minum obat demam kembali.
Nafsu makan menurun sejak 4 hari SMRS. Tampak lemas dan kurang respon
sejak 2 hari SMRS. Riwayat kejang tidak ada , Riwayat ganti susu formula tidak
ada, BAK tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: kesadaran compos mentis saat diare suhu
38,2 ‘C, (-) , turgor kulit kembali lambat .
Pada pemeriksaan laboratorium hb : 11.8 gr/dl1, leukosit 16.700/mm3 dan
tubex TF : skala 4. Oleh karena itu untuk diagnosis kerja pada pasien ini adalah
gastroenteritis akut dehidrasi ringan sedang + demam tifoid. Gastroenteritis akut
adalah peradangan pada mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan
diare/buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan
berlangsung kurang dari 1 minggu dengan atau tanpa lendir dan darah. Demam
tifoid adalah Penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi
Untuk tatalaksana yang dilakukan selanjutnya diberikan IVFD 2A 12 tpm, Inj
ceftriaxon 2x320 mg, Lacto B 1x1 , Zinc 1x10 mg, Oralit 2x1 , KSR 3x200 mg
(selama 2 hari), PCT 3x80 mg
Edukasi yang dapat diberikan kepada orangtua pasien adalah memberikan
asi ekslusif selaa 6 bulan dan dilanjutkan sampai 2 tahun, berikan makanan
pendamping asi sesuai usia, minum dengan air yang sudah direbus, mencuci
tangan menggunakan sabun sebelum dan sesudah makan, serta menjaga
kebersihan dan nutrisi anak.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 2017. Diarrhea : Water, Sanitation and Hygiene Links to Health


2. Kemenkes RI. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2018
3. Kemenkes RI. Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI; 2019.
4. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : 2009. Ikatan Dokter Anak Indonesia
5. Hartati S, Nurazila N. Faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada balita
di wilayah kerja puskesmas Rejosari Pekanbaru. J Endur. 2018;3(2):400
6. Kliegman R, Nelson WE. Nelson Textbook of Pediatrics 21st ed. 2021.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis jilid 1. Arch Dis Child.
2009;25(122):99.
8. Maksura A. Angka Kejadian Demam Tifoid Berdasarkan Pemeriksaan Serologis
Di RS Universitas hasanuddin Makassar, Puslkesmas Tamalanrea Jaya dan
Puskesmas Tamalanrea Tahun 2019-2020. 2021; : 6.
9. William W. Hay J, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current Diagnosis
and Treatment Pediatrics 19th Ed.
10. Hadinegoro SRS, Kadim M, Devaera Y. Update Management of Infectious
Diseases and Gastrointestinal Disorders.; 2012.

11. UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. Buku ajar gastroenterologihepatologi


jilid 1 cetakan keempat. 2015.
12. UNICF (United Nation Children’s Fund). Improving Child Nutrion The
Achivble Imperative For Global Progress. New York City : 2013
13. Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BMD, Geme JS, Schor N. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi 19. Saunders. 2011.
14. Buku Saku Pelayanan Anak di Rumah Sakit. Halanam 131 – 155 .
15. Kementrian Kesehatan RI. Buletin-Diare. Jendela Data dan Pusat Informasi
Kesehatan. Jakarta. 2011

16. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. TYPHOID fever is a
systemic infection with the bacterium. N Engl J Med. 2002;347(22):1770-1782.

43
17. Crump JA, Sjölund-Karlsson M, Gordon MA, Parry CM. Epidemiology, clinical
presentation, laboratory diagnosis, antimicrobial resistance, and antimicrobial
management of invasive Salmonella infections. Clin Microbiol Rev.
2015;28(4):901-937. doi:10.1128/CMR.00002-15
18. Hadinegoro SRS, Kadim M, Devaera Y. Update Management of Infectious
Diseases and Gastrointestinal Disorders.; 2012
19. Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak
Kloramfenikol atau Seftriakson 2010;11(6).

44

Anda mungkin juga menyukai