Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH DIARE PADA ANAK

Pembimbing:

DR. dr. Dedy Rahmat, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK KESEHATAN ANAK DAN REMAJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA PERIODE 21 SEPTEMBER – 16 OKTOBER 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4
2.1 Definisi Diare..........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi............................................................................................................4
2.3 Etiologi.....................................................................................................................5
2.4 Klasifikasi.................................................................................................................7
2.5 Patofisiologi...........................................................................................................12
2.6 Patogenesis.............................................................................................................14
2.7 Diagnosis................................................................................................................21
2.8 Tatalaksana Diare...................................................................................................31
2.9 Komplikasi.............................................................................................................44
2.10 Prognosis..............................................................................................................45
BAB III DAFTAR PUSTAKA......................................................................................47

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare pada anak masih merupakan masalah kesehatan dengan angka kematian
yang masih tinggi terutama pada anak umut 1 hingga 4 tahun, yang memerlukan
penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan memadai. Secara umum penatalaksanaan
diare akut menunjukan untuk mencegah dan mengobati dehidrasi, gangguan
keseimbangan elektrolit, malabsorpsi akibat kerusakan mukosa usus, penyebab diare
yang spesifik dan gangguan gizi untuk memperoleh hasil yang baik pengobatan
harus rasional.1
Menurut Depkes RI (2010), penyakit yang sering menyerang anak-anak
diantaranya yaitu diare, pneumonia, demam berdarah dengue, malaria dan
campak.1
Penyakit Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada negara
berkembang. Diare merupakan penyebab kematian tebesar (9%) kematian masa
kanak-kanak. Pada tahun 2010, terdapat 1.731 miliar episode diare pada anak-anak
di bawah usia 5 tahun. Insiden diare secara keseluruhan hanya menurun dari 3,4
menjadi 2,9 episode per tahun dalam 2 dekade terakhir. Penyakit diare merupakan
penyakit endemis di Indonesia yang berpotensial menjadi kejadian luar biasa (KLB)
yang sering disertai kematian di Indonesia. Pada tahun 2018, Jumlah balita yang
mengalami diare di sarana kesehatan sebanyak 1.637.708 atau 40,90 %. Insiden
diare untuk semua umur secara nasional adalah 270/1000 penduduk (rapid survey
diare tahun 2015).2,3
Pada tahun 2018, cakupan pelayanan tertinggi penderita diare balita yaitu Nusa
Tenggara Barat (75,88%), DKI Jakarta (68,54%), dan Kalimantan Utara (55,00%).
Sedangka provinsi dengan cakupan terendah yaitu Maluku (9,77%), Sumatera Utara
( 16,70%), dan Kepulauan Riau (18,68%). Pada tahun 2018, terjadi 10 kali KLB
Diare di 8 provinsi, 8 kabupaten/kota. Terjadi 2 kali KLB di Kabupaten Tabanan
dan Kabupaten Buru. Jumlah penderita 756 orang dan kematian 36 orang (CFR

3
4,76%). Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada
balita.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diare


Diare merupakan keadaan seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek,
cair, atau hanya air, serta frekuensi tiga kali atau lebih dalam satu hari. Berdasarkan
lamanya, diare dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Diare akut didefinisikan
sebagai diare yang berlangsung kurang dari atau selama 14 hari, sedangkan diare
kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.1

2.2 Epidemiologi
Penyakit Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada negara
berkembang. Diare merupakan penyebab kematian tebesar (9%) kematian masa
kanak-kanak. Pada tahun 2010, terdapat 1.731 miliar episode diare pada anak-anak
di bawah usia 5 tahun. Insiden diare secara keseluruhan hanya menurun dari 3,4
menjadi 2,9 episode per tahun dalam 2 dekade terakhir. Penyakit diare merupakan
penyakit endemis di Indonesia yang berpotensial menjadi kejadian luar biasa (KLB)
yang sering disertai kematian di Indonesia. Pada tahun 2018, Jumlah balita yang
mengalami diare di sarana kesehatan sebanyak 1.637.708 atau 40,90 %. Insiden
diare untuk semua umur secara nasional adalah 270/1000 penduduk (rapid survey
diare tahun 2015).2,3

Pada tahun 2018, cakupan pelayanan tertinggi penderita diare balita yaitu
Nusa Tenggara Barat (75,88%), DKI Jakarta (68,54%), dan Kalimantan Utara
(55,00%). Sedangka provinsi dengan cakupan terendah yaitu Maluku (9,77%),
Sumatera Utara ( 16,70%), dan Kepulauan Riau (18,68%). Pada tahun 2018, terjadi
10 kali KLB Diare di 8 provinsi, 8 kabupaten/kota. Terjadi 2 kali KLB di

4
Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buru. Jumlah penderita 756 orang dan
kematian 36 orang (CFR 4,76%).2

Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada


balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-
15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan
kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis
menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di
dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih terbatas,
sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara keseluruhan
angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna dalam
rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar
0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.4

2.3 Etiologi
2.3.1 Etiologi Diare Akut
Penyebab infeksi utama timbulnya diare adalah virus, bakteri, dan
parasite. Pada diare akut terdapat dua tipe dasar yaitu noninflamatory dan
inflammatory. PAda diare inflammatory biasanya disebabkan oleh bakteri yang
langsung menginfasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin,
sedangkan pada diare noninflammatory disebabkan oleh enterotoksin yang
diproduksi oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus atau perlekatan
oleh parasite.3

Beberapa penyebab diare akut pada manusia adalah sebagai berikut :3

1. Golongan bakteri
a. Aeromonas
b. Bacillus cereus
c. Camphylobacter jejuni
d. Clostridium perfringens
e. Clostridium defficile
f. Escherichia coli
g. Plesiomonas shigeloides

5
h. Salmonella
i. Shigella
j. Staphylococcus aureus
k. Vibrio cholera
l. Vibrio parahaemolyticus
m. Yersinia enterocolitica
2. Golongan Virus
a. Astrovirus
b. Calcivirus
c. Enteric adenovirus
d. Coronavirus
e. Rotavirus
f. Norwalk virus
g. Herpes simplex virus
h. Cytomegalovirus
3. Golongan Parasit
a. Balantidium coli
b. Blastocytis homonis
c. Cryptosporodium parvum
d. Entamoeba histolytica
e. Giardia lamblia
f. Isospora belli strongyloides stercoralis
g. Trichuris trichiura

Di Negara berkembang pathogen penyebab diare akut pada anak yang


sering adalah Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, shigella,
Campylobacter jejuni, dan Cryptosporidium.

2.3.2 Etiologi Diare Kronis

Terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare
berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju
sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi :3

6
a. intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan,
tinja sering disertai dengan darah)
b. celiac disease (gluten-sensitive enteropathy)
c. cystic fibrosis.

Namun, perhatian global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan


yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini
banyak terjadi di negara-negara berkembang.3

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi Diare Akut
1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik.
Gangguan fungsi absorpsi diakibatkan adanya perbedaan tekanan osmose antara
lumen usus dan darah. Bagian jejenum menjadi lebih permeabel dan terjadi
perpindahan air ke lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen,
dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar
Na yang normal. Hal ini dapat diakibatkan oleh berbagai sebab seperti celiac
sprue yaitu penyakit autoimun akibat konsumsi gluten, atau karena:4
a. mengkonsumsi magnesium hidroksida
b. defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang
lebih besar
c. adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada
usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan
menyebabkan hiperosmolaritas.
2. Malabsoprsi umum.
Malabsorpsi dapat diakibatkan berbagai macam hal seperti:4
a. Gangguan gerakan osmotik pada lumen usus (short bowel syndrom,
celiac,insuficiensi eksokrin pankreas, Mendapat cairan hipertonis dalam
jumlah besar dan cepat setelah mengalami diare)
b. Steatorrhea memicu sekresi Cl- (malabsorpsi karbohidrat oleh karena
kerusakan difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa dan
defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,

7
pemberian susu magnesium, malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan
pada hipermotilitas pada kolon iritabel)
c. Gangguan pada villi chorialis:
- Kerusakan sel (virus, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
inflammatory bowel disease)
- atropi villi.
- gangguan faal membran brush border (giardiasis, dan enteroadheren E.
coli)

3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik Hiperplasia kripta.


Gangguan sekresi atau yang disebut luminal secretagogues umumnya
disebebkan oleh 2 hal :4
a. enterotoksin bakteri
toksin bakteri meningkatkan cAMP, cGMP atau Ca++ lalu
mengaktifkan protein kinase yang akan menyebabkan fosforilasi
membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion.
Sebagai hasilnya akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain
terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen
usus bersama Cl-. Pada anak di negara berkembang sering diakibatkan
oleh E coli atau Cholera, sedangkan di negara maju lebih disebabkan
karena obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma
yang menghasilkan hormon seperti VIP.
b. bahan kimia
seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak
rantai panjang. Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada
aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan
kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas intestinal dan
sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa.
c. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat
menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan
konsentrasi garam empedu, lemak.

8
4. Diare akibat gangguan peristaltik
Terjadinya peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat
menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh
lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi
akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi.
Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat
disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan
motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi
asam empedu dan berbagai penyakit lain.4
5. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan hilangnya sel epitel dan
kerusakan pada tight junction dan cytoskeleton. Tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan
seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Bakteri
yang umum menyebabkan inflamasi pada usu halus maupun kolon adalah
Clostridium difficile, Bacteroides fragilis dan Vibrio cholera.4
6. Diare terkait imunologi
Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III
dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen
makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan
reaksi tipe IV terdapat pada Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada
reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan
dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada
permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang
dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti
histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi
reaksi komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan
Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil
melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler,

9
disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel
APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi
pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin
tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang
akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan
air.4

2.4.2 Klasifikasi Diare Kronik


Diare yang terjadi lebih dari 14 hari disebut diare kronis atau persisten.1
Diare ini dapat disebabkan oleh dasar infeksi dan non-infeksi. Patogenesis diare
kronis dan persisten melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Paparan
berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi, seperti malnutrisi,
defisiensi imun, defisiensi micronutrient, dan ketidaktepatan terapi diare akut
akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan
mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis/persisten.3,5

Diare kronis merupakan diare yang paling sering terjadi dan paling sulit
untuk untuk didiagnosis pada bayi. Meskipun demikian diare kronik dapat terjadi
di semua usia anak. Semakin muda usia bayi, maka semakin besar kemungkinan
untuk masuk ke dalam siklus diare dan malnutrisi sekunder yang mengarah pada
diare, malnutrisi dan risiko infeksi yang lebih lanjut (diare berkepanjangan pada
bayi).3,5

Faktor risiko terjadinya diare persisten adalah kelompok usia <12 bulan,
pemberian makanan pendamping asi terlalu dini, penundaan pemberian ASI
pertama pada awal kelahiran, dan manajemen yang tidak tepat pada diare akut.
Gambaran klinis umumnya bermanifestasi sebagai diare cair dengan/tanpa
malnutrisi yang terjadi selama lebih dari 14 hari. Juga dapat disertai penurunan
nafsu makan, muntah, demam, serta adanya lendir dalam tinja. Gejala lain yang
mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya.5

10
Diare berkepanjangan pada bayi biasanya terjadi pada bayi yang berusia
kurang dari tiga tahun dan diare terjadi menetap/persisten selama lebih dari dua
minggu. Pada bayi dan anak dengan sindrom malabsorbsi biasanya akan
mengalami diare, streatorea, gagal tumbuh atau kombinasi dari kondisi tersebut.
Celiac disease dan cystic fibrosis merupakan penyakit kronis yang paling sering
menyebabkan malabsorbsi pada anak-anak. Intoleransi karbohidrat
(monosakarida atau disakarida) dapat menjadi penyebab primer atau sekunder
dari penyakit gastrointestinal. Enteritis bacterial atau viral akut juga dapat
menjadi pemicu terjadinya diare berkepanjangan pada bayi. Pada alergi
makanan, hipersensitivitas protein diet terjadi pada 6-8% anak-anak pada usia
lima tahun pertama kehidupan dan umumnya adalah hipersensitivitas terhadap
protein susu sapi. Pada 85% anak-anak dengan intoleransi protein diet gejala
akan hilang pada usia 3 tahun. Kemungkinan alergi protein ini perlu dipikirkan
ketika bayi dengan diare kronis memiliki manifestasi: darah tinja samar atau
jelas, protein-losing enteropathy, eosinophilia perifer, manifestasi
ekstraintestinal alergi seperti eksim, gatal-gatal atau asma. Diare kronis akibat
irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease dan konstipasi kronis
dengan encopresis lebih sering ditemukan pada anak-anak usia lebih tua.3

11
Penyebab Umum Diare Kronis4,5
 Infeksi enteric kronis: Salmonella; Yersinia enterocolitica;
Campylobacter, Giardia, Cryptosporidium, dan Cyclospora; C
difficile toxin; enteroadherent E coli; rotavirus (pada pasien
imunokompremais); cytomegalovirus; adenovirus; dan HIV
(enteropati AIDS)
 Alergi makanan (Alergi susu sapi atau susu soya)
 Diare kronis nonspesifik (toddler’s diarrhea, irritable colon of
childhood); postinfection irritable bowel
 Intoleransi disakarida (laktosa)
 Konstipati kronis dengan diare berlebihan
 Cystic fibrosis
 Celiac disease (enteropati sensitif gluten)
 Infalmmatory bowel disease: Crohn disease dan colitis ulseratif
 Hirschprung disease
 Kondisi imunodefisiensi
 Intoleransi monosakarida
 Gastroenteritis eosinofilik (alergi)
 Short bowel syndrome
 Infeksi saluran kemih

Evaluasi status dehidrasi, status gizi dan tumbuh kembang anak pada
kasus diare kronis adalah penting untuk mengetahui apakah diarenya telah
mempengaruhi penambahan berat badan dan pertumbuhannya, sehingga dapat
diperkirakan derajat keparahan diare.4,5

2.5 Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi Diare Akut

Secara umum, diare dapat dibagi menjadi dua penyebab. Penyebabnya


adalah penurunan absorpsi cairan oleh usus atau peningkatan sekresi cairan ke
usus. Penurunan absorpsi cairan menyebabkan diare osmotik. Sementara itu,
peningkatan ekskresi cairan ke usus menyebabkan diare sekretorik.4,5
Diare osmotik terjadi akibat banyaknya partikel osmotik aktif yang ada
pada lumen usus. Hal ini menyebabkan cairan berpindah ke dalam lumen usus
mengikuti derajat osmotiknya. Apabila hal ini terjadi secara berlebihan, maka
akan terjadi diare. Diare osmotik ini disebabkan oleh banyak hal, seperti laksatif,

12
adanya malabsorpsi, adanya kerusakan pada mukosa usus seperti pada inflamasi
dan reaksi alergi, dan adanya gangguan motilitas seperti gastroskisis, irritable
bowel syndrome, dan hipertiroidisme.4,6
Diare sekretorik terjadi akibat banyaknya jumlah cairan yang
disekresikan oleh mukosa usus ke dalam lumen akibat berbagai macam
penyebab. Penyebab dari diare ini antara lain toksin seperti pada toksin kolera,
atau adanya abnormalitas pada enterosit seperti adanya atrofi mikrovili usus.4

2.5.2 Patofisiologi Diare Kronik

Secara umum, tidak ada penyebab tunggal diare kronis, banyak faktor dari
sudut pandang patofisiologi4 Ghishan menggambarkan dan membagi patofisiologi
menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein transport
membran apikal, (4) Pengurangan luas permukaan anatomi. Dan (5) perubahan
motilitas usus5.
1. Sekretoris
Terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator
intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca 2+. Mediator tersebut juga
memecah terjadinya perangkaian antar Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal
ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan
secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda
khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24 jam). Konsistensi tinja
yang sangat cair, konsentrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebabnya adalah Vibrio
cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktifasi cAMP
dengan mekanisme yang telah disebutkan diatas.
2. Osmotik
Bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses pencernaa dan/atau
penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung
memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik
dilumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus
tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada

13
kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak
dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan
penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan
gangguan absopsi nutrien
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur
pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon,
berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak
dapat disekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengemasan
isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na +. Kadar Cl- dan
Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme
osmotik
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Kondisi seperti necrotizing enterocolitis, vulvus, atresia intestinal,
penyakit Crohn, dll, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian
usus yang kemudian menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan
patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang
masif, serta malabsorpsi makro dan mikronutrien.
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat kondisis seperti malnutrisi, skleroedema,
obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri
berlebih diusus yang menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang
berdampak meningatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada diare
sekretorik.

2.6 Patogenesis
2.6.1 Patogenesis Diare Akut
Patogenesis Diare Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare:7,8,9

a. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat
diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi

14
rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkanya sehingga timbul diare.
b. Gangguan sekresi Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada
dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam
rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi
rongga usus.
c. Ganggua motilitas usus Hiperperistaltik akan mengkkpuakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga
timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.

Patogenesis diare karena infeksi bakteri/parasit terdiri atas:10,11

1. Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik)


Diare jenis ini biasanya disebut juga sebagai diare tipe sekretorik
dengan konsistensi berair dengan volume yang banyak. Bakteri yang
memproduksi enterotoksin ini tidak merusak mukosa seperti V. cholerae
Eltor, Eterotoxicgenic E. coli (ETEC) dan C. Perfringens. V.cholerae Eltor
mengeluarkan toksin yang terkait pada mukosa usus halus 15-30 menit
sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini menyebabkan kegiatan
berlebihan nikotinamid adenin di nukleotid pada dinding sel usus, sehingga
meningkatkan kadar adenosin 3’-5’-siklik monofosfat (siklik AMP) dalam
sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus
yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation, natrium dan kalium.
2. Diare karena bakteri/parasite invasive (enterovasif)
Diare yang diakibatkan bakteri enterovasif disebut sebagai diare
Inflammatory. Bakteri yang merusak (invasif) antara lain Enteroinvasive E.
coli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, C. perfringens tipe C. diare
disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat
diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir dan
darah. Kuman salmonella yang sering menyebabkan diare yaitu S.

15
paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab
parasite yang sering yaitu E. histolitika dan G. lamblia.
Terdapat 3 mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai
kerusakan brush border dan beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi.
Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus secara langsung akan
merusak atau membunuh sel-sel enterosit. Infeksi cacing akan mengakibatkan
enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan antibodi IgE dan IgG
untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat
reaksi silang reseptor antibodi IgE atau IgG di sel mast, terjadi pelepasan
mediator inflamasi yang hebat seperti histamin, adenosin, prostaglandin, dan
lekotrin.4,11
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit
polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit-T akan mengakibatkan
kerusakan dan kematian sel-sel enterosit. Pada keadaan-keadaan di atas sel
epitel, makrofag, dan subepitel miofibroblas akan melepas kandungan
(matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrane basalis dan
kandungan molekul interstitial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-
sel epitel dan selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sel epitel) yang
mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kripta-kripta di usus halus
dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di usus besar (kolon).8,9

Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter


dimana vili-vili yang tak berkembang pada usus halus dan kolon. Sel sel
imatur ini akan mengalami gangguan dalam fungsi absorbsi dan hanya
mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya
tidak terdapat mekanisme Nacoupled sugar atau mekanisme transport asam
amino, dan berkurangnya atau tak terjadi sama sekali transport absorbsi NaCl.
Sebaliknya selsel kripta dan sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel
permukaan mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi Cl- (mungkin
HCO3- ). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya mediator inflamasi dari
sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang sekresi kripta hiperplasi
dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang imatur. Kerusakan immune mediated

16
vascular mungkin menyebabkan kebocoran protein dari kapiler. Apabila
terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat
berperan terhadap terjadinya diare.4,10
2.6.2 Patogenesis Diare Kronik
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat
kompleks. Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal
and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis
yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi
maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya
memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali
diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa
referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis
diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis
berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare
oleh karena infeksi.9,10

Gambar : Perjalanan diare akut menjadi diare persisten.

17
Perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan bahwa faktor
seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan
terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang
memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.4,9

Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen
dan (2) faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan
dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane.
Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan,
sehingga berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan
integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi transport
protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh
proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi
laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan
penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.4

Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara


jelas oleh Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2)
osmotik, (3) mutasi protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas
permukaan anatomi, dan (5) perubahan motilitas usus.10

18
1. Sekretoris

Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel
kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator
tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili
usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan
secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas
yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat
cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap
penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae
di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan
mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.

2. Osmotik

Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan


proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat
tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus.
Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi
juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan
kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai
dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan
gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat
intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi
maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer),
menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap.
Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh
mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan
tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi,
dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.

19
3. Mutasi protein transport

Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur


pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon,
berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat
tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus
yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang
tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada
kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi
polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar
klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah
dilaporkan di berbagai daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir
seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada
penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+–protein
pengangkut asam empedu.

4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus

Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu


seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan
lain-lain, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang
kemudian menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini
ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi
makro dan mikronutrien.

5. Perubahan pada gerakan usus

Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi,


skleroderma, obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan
bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan
dekonjugasi garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP
intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus
pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf
adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau

20
proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.

2.7 Diagnosis
2.7.1 Diagnosis Diare Akut
 Anamnesis

 Lama diare berlangsung, frekuensi diare dalam sehari, warna dan


konsistensi tinja, terdapat lendir dan/darah dalam tinja.
 Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air
kecil terakhir, demam, sesak, kejang, kembung.
 Jumlah cairan yang masuk selama diare berlangsung.
 Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengonsumsi
makanan yang tidak biasa atau tidak.
 Penderita diare disekitarnya serta sumber air minum.

 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum: kesadaran, dan tanda vital.


 Tanda utama: keadaan umum gelisah/ cengeng, atau lemah/letargi/koma,
rasa haus, turgor kulit abdomen menurun.
 Tanda tambahan: ubun – ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa
bibir, mulut dan lidah.
 Berat badan.
 Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti nafas
cepat dan dalam (asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang
(hipo atau hipernatremia).
 Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut:
1. Tanpa Dehidrasi (kehilangan cairan <5% berat badan)
 Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
 Keadaan umum baik, sadar

21
 Ubun – ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
 Turgor abdomen baik, bising usus normal
 Akral hangat
2. Dehidrasi ringan sedang/ tidak berat (kehilangan cairan 5 – 10%
berat badan)
 Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda
tambahan
 Keadaan umum gelisah atau cengeng
 Ubun – ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
berkurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering
 Turgor kurang, akral hangat
3. Dehidrasi Berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
 Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih
tanda tambahan
 Keadaan umum lemah, letargi atau koma
 Ubun – ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak
ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering
 Turgor sangat kurang dan akral dingin
 Pasien harus rawat inap

 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila
ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
 Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja:
o Makroskopis: konsistensi, warna, lendir, darah dan bau
o Mikroskopi: leukosit, eritrosit, parasit dan bakteri
o Kimia: pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
o Biakan dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada diare akut

22
 Analisa gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

2.7.2 Diagnosis Diare Persisten Anak

Diagnosis ditegakkan atas adanya diare lebih dari 2 minggu. Hal-hal


yang perlu diperhatikan adalah:

1. Kemungkinan anak mengalami dehidrasi


a. Keseimbangan cairan, riwayat input dan output cairan
b. Tanda dehidrasi
Derajat dehidrasi pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan
tatalaksana diare akut. Hanya perlu berhati-hati pada diare persisten yang

23
disertai KEP dan penyakit penyerta, yang dapat mengganggu penilaian
indikator derajat dehidrasi

2. Nutrisi
 Status gizi ditetapkan sesuai standar. Kurang mikronutrien seperti
vitamin A dan zinc dapat memperpanjang lama diare, tetapi sering
manifestasi klinik klasik kekurangan mikronutrien ini belum muncul.
Memeriksa kadar mikronutrien ini relatif sukar dan mahal, sehingga
dalam praktek, tanpa pemeriksaan terlebih dahulu, semua penderita
dengan diare persisten diberi suplementasi mikronutrien tertentu
 Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat makanan
sewaktu sehat, selama sakit, keadaan umum anak, serta melalui
pengamatan untuk menentukan cara (enteral atau parenteral) dan
bentuk pemberian makanan (cair, saring, lunak, atau biasa).
 Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan
sewaktu sehat, dan selama sakit, dihubungkan dengan manifestasi
klinis yang muncul untuk sampai pada dugaan ada tidaknya intoleransi
pada jenis makanan tertentu
3. Penyebab infeksi
Langkah yang dapat dilakukan adalah:
 Mempelajari perjalanan penyakit dengan harapan mengarahkan
pada
diagnosis etiologic
 Melakukan pemeriksaan mikroskopik feses
 Melakukan pemeriksaan darah tepi
 Biakan feses
4. Penyakit penyerta
Diare persisten sering disertai penyakit penyerta
5. Indikasi rawat inap
 Berumur kurang dari 4 bulan
 Mengalami dehidrasi

24
 Menderita KEP sedang dan berat
 Menderita infeksi berat
 Indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain
 Penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan
sesuai dengan jenis, bentuk, dan jumlah yang direkomendasikan

Kasus diare persisten ini walaupun sedikit tetapi penting karena


penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya dan memerlukan
pemeriksaan yang khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan
penderita diare, menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat
badan 3 kali lebih banyakdaripada diare yang berakhir kurang dari 7 hari,
mempunyai risiko kematian yang tinggi, hampir separuh dari kematian karena
diare disebabkan oleh diare persisten.

Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan laboratorium rutin


Pada diare persisten pemeriksaan yang paling sederhana yang dapat
dilakukan adalah melihat tinja, apakah tinja berdarah atau tidak.
Pemeriksaan laboratorium sederhana yang dapat dilaksanakan dapat
dilihat pada table dibawah ini.
Tabel Pemeriksaan laboratorium rutin pada diare persisten

Pemeriksaan Indikasi Arti pemeriksaan dan apa


yang harus dicari
Makroskopis tinja Rutin Adanya darah menunjukkan
disentri, biasanya Shigella
Mikroskopis tinja  Diare akut dan  Adanya trofozoit dan/atau
kronik yang tidak kista untuk mendiagnosis
bereaksi terhadap Giardiasis dan Amubiasis
pemberian cairan  Adanya sel darah merah
dan makanan serta sebagai bukti adanya
pengobatan kuman invasif, misalnya
antimikroba shigella

25
 Anamnesis adanya  Adanya telur atau cacing
infeksi cacing

Biakan tinja dan Pengamatan etiologi Adanya bakteri penyebab,


sensitivitas diare kronik (terutama bersama-sama dengan
bila gizinya buruk) kepekaan terhadap antibiotika
pH tinja dan zat Diare kronik yang Rendahnya pH ditambah
reduksi berhubungan dengan adanya gula (tes Benedict atau
intoleransi terhadap Clinitest tablet)menunjukkan
karbohidrat sewaktu penyerapan karbohidrat
diberi oralit, tinja seperti laktosa, sukrosa, dan
yang keluar laktosa, sukrosa, dan glukosa
bertambah banyak yang buruk
Darah Rutin: analisis gas  Adanya kelainan elektrolit
darah  Gangguan fungsi ginjal

b. Pemeriksaan laboratorium lanjutan


Tabel Pemeriksaan Laboratorium lanjutan

Indikasi Pemeriksaan laboratorium


Malabsorpsi/maldigesti
 Karbohidrat – pH tinja
– Tes reduksi glukosa (Klinites)
– Breath Hydrogen Test
– Biopsi usus (morfologi,
penentuan disakaridase)
– Tes toleransi, termasuk tes D
Xylose
 Protein

26
– Analisis cairan duodenum:
antitrypsin, kemotripsin, pH,
enterokinase
– Serum tripsinogen
– Bentiro mide test
 Lemak
– α-1-antitripsin

– Analisis cairan duodenum:


lipase, co-lipase konsentrasi
asam empedu
– Tes Van de Kamer
– Tes absoprsi lipiodol
– Biopsi usus
Evaluasi status imunitas – Respon humoral imun
– Tes defisiensi sel B
– Tes absorpsi lipiodol
– Biopsi usus
Kontaminasi usus – Intubasi duodenum
Kerusakan hepar
CMPSE – one hour xylose absorption test
– Fosfatase lindi
Akrodermatitis enterohepatika – Serum zinc rendah
Kolitis alergika – Eosinofil di lamina propria
meningkat
Intractable diarrhea – Biopsi usus (atrofi mukosa)
Kelainan bawaan (malrotasi, stenosis, – Radiografi
Hirschprung)

Langkah-langkah dalam penegakkan pasien dengan diare persistent dapat di bagi


dalam 4 tahapan yaitu :

27
Tabel 6. Evaluasi pasien dengan dengan diare persisten

Fase 1
1. Riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang meliputi konsumsi
jumlah cairan per hari.
2. Pemeriksaan fisik yang meliputi penilaian terhadap nutrisi
3. Pemeriksaan Feses ( pH, pemeriksaan smear Leukosit, lemak, telur cacing,
dan parasi ).
4. Kultur feses
5. Pemeriksaan toxin untuk Clostridium difficile
6. Pemeriksaan darah ( Jumlah Eritrosit, laju endapan darah, elektrolit, BUN,
kreatinin ).

Fase II

1. Sweat Test ( sebuah pemeriksaan menentukan kadar klorida pada


keringat).
2. Pengumpulan feses selama 72 jam untuk mendeteksi lemak pada feses.
3. Pemeriksaan elektrolit feses, osmolaritas
4. Pemeriksaan feses phenolphthalein, magnesium sulphate, phosphate.
5. Pemeriksaan H2 pernafasan

Fase III

1. Pemeriksaan endoskopik.
2. Biopsi usus kecil
3. Pemeriksaan biopsi sigmoidoskopi dan kolonoskopi
4. Pemeriksaan Biopsi.

Fase IV

1. Pemeriksaan hormonal polipeptida intestinal vasoaktif, gastrin, sekretin,


dan 5-hydroxyindoleacetic.

2.7.3 Diagnosis Diare Kronik

28
 Anamnesis

1. Ditanyakan sudah berapa lama mengalami diare?


2. Berapa frekuensi BAB dalam sehari?
3. Apakah ada gejala lain? Seperti demam? Mual dan muntah?
4. Apa yang dilakukan untuk mengurangi gejala?
5. Apakah sudah minum obat untuk mengurangi gejala diarenya?
6. Apakah sebelumnya sudah mengalami hal yang sama?
7. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak nya? Apakah sesuai
dengan anak lain yang seusianya?
8. Apakah imunisasi pada anak lengkap?
9. Apakah di sekitar rumah/ lingkungan nya ada yang mengalami daire juga?
10. Bagaimana pola makan anak?

 Pemeriksaan Fisik

1. Nilai Keadaan umum dan Kesadaran pasien


2. Nilai Status Antropometri
3. Pemeriksaan Fisik Kepala :
- Inspeksi : Ubun-ubun cekung atau tidak (nilai tanda dehidrasi)
4. Pemeriksaan Mata : Konjungtiva anemis/tidak
5. Pemeriksaan Fisik Mulut :
- Inspeksi : Mukosa mulut kering atau tidak
6. Pemeriksaan Fisik Thoraks :
- Inspeksi : Dada simetris atau tidak
- Apakah ada retraksi otot bantu nafas? (sebagai tanda syok karena
dehidrasi)

7. Pemeriksaan Fisik Abdomen :


- Inspeksi : Bentuk abdomen
Nilai turgor

- Palpasi : Apakah ada nyeri tekan atau tidak

29
- Auskultasi : Nilai Bising Usus
8. Pemeriksaan Fisiik Urogenitalia :
- Inspeksi : Apakah ada tanda-tanda inflamasi/infeksi
Anus nya dilihat, apakah ada tanda-tanda inflamasi

9. Pemeriksaan Ekstremitas :
- Nilai akral
- Nilai CRT
- Apakah ada sianosis atau tidak

 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium :
- Pemeriksaan darah lengkap, jika ditemukan ada nya penurunan jumlah Hb
berarti interpretasi nya anemia. Jika ditemukan Nilai Leukosit meningkat dari
jumlah normal (leukositosis) menunjukkan adanya proses inflamasi dan
infeksi bacterial. Adanya peningkatan Eosinofil berarti kemungkinan adanya
infeksi parasit, alergi, atau keganasan.
2. Analisis Feses
- Pemeriksaan konsentrasi Na dan K
- Pemeriksaan pH feses, bila < 5,6 menunjukkan adanya malabsorpsi
karbohidrat.
- Pemeriksaan darah tersamar, bila positif adanya penyakit peradangan usus,
neoplasma, atau penyakit celiac.
- Pemeriksaan lemak feses dengan menggunakan pengecatan sudan atau
pemeriksaan langsung. Adanya globul lemak yang berlebihan dengan
pengecatan atau eksresi lemak feses > 14 g/24 jam menunjukkan adanya
malabsorpsi atau maldigesti lemak.

2.8 Tatalaksana Diare

30
2.8.1 Tatalaksana Diare Akut

Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana


Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai
diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam
penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga
menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan
menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit,
yaitu: 4

1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

3. ASI dan makanan tetap diteruskan

4. Antibiotik selektif

Nasihat kepada orang tua Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia
Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan
berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare
yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak
terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan
oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan
elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula
baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru
lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko
terjadinya hipernatremia.4

31
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini
sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik
daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga
menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.4

Ketentuan pemberian oralit formula baru:

1. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru

2. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk
persediaan 24 jam.

3. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
ketentuan sebagaiberikut: Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100
ml tiap kali BAB. Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap
BAB

4. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa
larutan harus dibuang.

Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan beratnya
diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini
memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang
bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan
di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc
pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan
yang dikeluarkan.4

32
Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis,
zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan
seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc
juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial
pertahanan tubuh terhadap infeksi.4

Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada
efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan
terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada
diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus.
Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam
tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang
memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.4

Dosis zinc untuk anak-anak:

Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari

Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari
diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit.
Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air
matang atau oralit.4

ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti

33
nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.4

Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman
terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik
terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh
bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.4

Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja
berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari. Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi
non spesifik dapat membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi
spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme
penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat
beberapa pertimbangan terapi : 4

1. Terapi cairan dan elektrolit

2. Terapi diit

3. Terapi non spesifik dengan antidiare

4. Terapi spesifik dengan antimikroba

34
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare
biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya
sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana
kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di
masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi
sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi
serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan
secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan
pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak
direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi
berat.4

35
36
SUMBER : Depkes RI. Buku Saku Lintas Diare.Jakarta;DEPKES.2015

 Pemberian makanan selama diare

Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah


sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak
mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul
kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan
mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima
dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi dapat
dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan
menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan
kembalinya fungsi usus akan lebih lama.4

Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur, makanan
yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada umumnya
makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan dengan anak
sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak

37
mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling
tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas
laktosa secara rutin tidak diperlukan.4

Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk
sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah
hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat
tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja > 0,5%,.
Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba
kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3
hari.4

Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak
atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus
berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih)
dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan
tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak
yang telah disapih.4

Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan
pokok setempat, misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk
meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati
untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya
akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-
sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau
pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang
mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman
ringan, sebaiknya dihindari.4

 Pemberian makanan setelah diare

Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan
pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh

38
karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa
minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta
mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat
anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan
tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4

 Terapi medikamentosa

Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus.
Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya
mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk
anak umur kurang dari 2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat
tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.4

 Antibiotik

Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak
dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang
disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.
coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.

39
 Obat antidiare

Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan
tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat
ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :

 Adsorben

(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine).


Obat-obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya
untuk mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang
menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi
mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari
penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.

 Antimotilitas

(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura


opii, paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada
orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari
itu dapat menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat
memperpanjang infeksi dengan memperlambat eliminasi dari organisme
penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari
obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.

 Bismuth subsalicylate

Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

Kombinasi obat banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas


atau bahan lain. Produsen obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk

40
digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini tidak
rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat ini digunakan
sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk menggunakan obat ini
pada anak dengan diare.

 Obat-obat lain :

- Anti muntah. Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan


chlorpromazine yang dapat menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu
pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat anti muntah tidak
digunakan pada anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti bila
penderita telah terehidrasi.

- Cardiac stimulan renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi
dan hipovolemi. Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral
dengan elektrolit yang seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat
vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.

- Darah atau plasma tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi oleh
karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan
elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk
penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.

- Steroid tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.

2.8.2 Tatalaksana Diare Persisten

Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi:

 Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi

Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi
secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga
perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan

41
asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada
anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi
sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.

 Pemberian nutrisi

a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis


Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut
sebesar 100 kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang
mengandung energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi: diet
elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet berbahan dasar ayam.

 Dietelemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental
terdiri atas asam amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau
disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai panjang atau sedang.
Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu,
rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-
anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk
mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas
hanya digunakan di negara maju.

 Diet berbahan dasar susu


Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki
keunggulan dalam mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain
mengandung nutrisi dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang
tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8
gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap oleh sistem pencernaan
bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses
pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan susu
non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah,
dengan demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran

42
pencernaan. ASI juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus
pasca infeksi karena mengandung epidermial growth factors.

 Diet berbahan dasar daging ayam


Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas
laktosa, hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi telah
menunjukkan bahwa pemberian diet berbahan dasar unggas pada diare
persisten memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM dengan single
blind, randomized-controlled trial menunjukkan durasi diare yang lebih
pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur
ayam dibandingkan yang mendapat bubur tempe (1,92±0,66 vs
2,64±0,89, p 0,034). Namun demikian, mengingat harga bubur
refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur refeeding tempe,
penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare pada
situasi keterbatasan kondisi ekonomi.

 Pemberianmikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan
asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui
defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua
RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk
anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A
400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO
(2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan
sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1

tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.22 Meta-analisis yang dilakukan


The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian
zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan
mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.

43
 Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii
pada penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi
diare, dan durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan
Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat
mencegah terjadinya antibiotic- associated diarrhea.
 Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare
setelah 2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak
yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33
hari). Sebuah studi uji klinis randomized controlled double-blind yang
dilakukan oleh Soenarto et al (1997) menunjukkan bahwa formula yang
berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta
mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare
akut.

 Terapi Farmakologis
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak
efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik
infeksi intestinal maupun ekstra- intestinal. Jika dalam tinja didapatkan
darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis.
Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi
adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit
Giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada
pemberian dua antibotik berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika
dicurigai penyebab adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan
hasil biakan tinja dan sensitivitas.
 Followup
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus
memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan

44
perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare
yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus
diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara
maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen
nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti
kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan
dalam waktu 7 hari.

2.9 Komplikasi
Komplikasi utama pada diare akut adalah dehidrasi, kemudian penurunan
berat badan jika pemberian makan tidak dilanjutkan, sedangkan komplikasi
utama pada diare kronik adalah malnutrisi dan infeksi serius non-intestinal,
dehidrasi dapat juga terjadi. Dehidrasi terjadi ketika kehilangan cairan tidak
digantikan secara adekuat dan terjadi kekurangan air dan elektrolit dalam tubuh.
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang, dehidrasi dibagi menjadi tiga
derajat. Pada tahap awal dehidrasi, tidak terdapat tanda atau gejala, seiring
meningkatnya derajat dehidrasi, gejala yang dapat muncul adalah rasa haus,
perilaku gelisah atau iritabel, turgor kulit menurun, mata cekung, serta ubun-
ubun cekung pada bayi. Pada dehidrasi berat, tanda dan gejala tersebut akan
lebih terlihat, dan pasien dapat mengalami syok hipovolemik. Selain itu, pada
diare, kombinasi dari penurunan asupan makan, penurunan absorpsi nutrisi, dan
peningkatan kebutuhan nutrisi akan menyebabkan penurunan berat badan, dan
jika diare terjadi secara kronik, dapat terjadi malnutrisi.16

45
Komplikasi lain yang dapat terjadi saat sedang rehidrasi berupa gangguan
elektrolit seperti hipernatremia, hiponatremia, hiperkalemia, dan hipokalemia.
Hiponatremia dapat terjadi pada anak dengan diare yang hanya minum air putih
atau cairan dengan sedikit garam, dan sering terjadi pada anak dengan shigellosis
dan anak malnutrisi berat disertai edema.16

2.10 Prognosis
Prognosis biasanya baik jika dilakukan terapi dengan benar (koreksi
dehidrasi, antibiotik untuk etiologi infeksi) dengan pengaturan nutrisi yang baik.
Faktor penentu prognosis tidak baik pada diare kronik adalah usia beberapa
bulan pertama (khususnya < 3 bulan ketika pengaturan nutrisi sulit dilakukan),
keadaan nutrisi yang jelek, dehidrasi sedang-berat dengan refrakter
diselektrolitemia terhadap koreksi, infeksi sistemik (seperti sepsis), dan
intoleransi laktosa dan/atau monosakarida berat.18

46
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Balita. Kemenkes RI. 2011.
2. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2019
3. Kliegman, et al. Nelson Texbook of Pediatrics 21th Edition. Philadelphia:
Elsevier;2020
4. Juffrie, M., dkk. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI;2011
5. McInerny TK, Adam HM, Campbell DE, DeWitt TG, Foy JM, Kamat DM.
Textbook of Pediatric Care. 2nd Edition. USA: American Academy of Pediatrics.
2017.
6. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
8. Camilleri, M. Chronic diarrhea: a review on pathophysiology and management
for the clinical gastroenterologist. Clinical Gastroenterology and Hepatology.
2004
9. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J Clin
Invest. 2003
10. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea and
Malnutrition: The Gambian Experience, Journal of Pediatric Gastroenterology
and Nutrition. 2002
11. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children: Part II. Clinical Approach and
Management. Saudi J Gastroenterol. 1995
12. Suraatmaja, Sudaryat,dkk. Kapita Selekta Gastroenterologi. CV Sagung Seto.
Jakarta: 2007.

47
13. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi RS Rujukan Tingkat
pertama di kabupaten/Kota. WHO. 2009.
14. Keating JP. Chronic Diarrhea. Pediatric in Review. 2004.
15. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Nelson Textbook of Pediatrics. 21th
edition.2019
16. World Heatlth Organization. The Treatment of Diarrhoea: A Manual for
Physicians and Other Senior Health Workers. 2005.
17. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: World Health Organization. 2009.
18. Gupte S. Persistent Diarrhea in Childhood: Issues and Concerns. Gastroenterol
Hepatol Int J 2016. 1 (2).

48

Anda mungkin juga menyukai