Pembimbing:
DAFTAR ISI...................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4
2.1 Definisi Diare..........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi............................................................................................................4
2.3 Etiologi.....................................................................................................................5
2.4 Klasifikasi.................................................................................................................7
2.5 Patofisiologi...........................................................................................................12
2.6 Patogenesis.............................................................................................................14
2.7 Diagnosis................................................................................................................21
2.8 Tatalaksana Diare...................................................................................................31
2.9 Komplikasi.............................................................................................................44
2.10 Prognosis..............................................................................................................45
BAB III DAFTAR PUSTAKA......................................................................................47
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
4,76%). Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada
balita.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Penyakit Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada negara
berkembang. Diare merupakan penyebab kematian tebesar (9%) kematian masa
kanak-kanak. Pada tahun 2010, terdapat 1.731 miliar episode diare pada anak-anak
di bawah usia 5 tahun. Insiden diare secara keseluruhan hanya menurun dari 3,4
menjadi 2,9 episode per tahun dalam 2 dekade terakhir. Penyakit diare merupakan
penyakit endemis di Indonesia yang berpotensial menjadi kejadian luar biasa (KLB)
yang sering disertai kematian di Indonesia. Pada tahun 2018, Jumlah balita yang
mengalami diare di sarana kesehatan sebanyak 1.637.708 atau 40,90 %. Insiden
diare untuk semua umur secara nasional adalah 270/1000 penduduk (rapid survey
diare tahun 2015).2,3
Pada tahun 2018, cakupan pelayanan tertinggi penderita diare balita yaitu
Nusa Tenggara Barat (75,88%), DKI Jakarta (68,54%), dan Kalimantan Utara
(55,00%). Sedangka provinsi dengan cakupan terendah yaitu Maluku (9,77%),
Sumatera Utara ( 16,70%), dan Kepulauan Riau (18,68%). Pada tahun 2018, terjadi
10 kali KLB Diare di 8 provinsi, 8 kabupaten/kota. Terjadi 2 kali KLB di
4
Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buru. Jumlah penderita 756 orang dan
kematian 36 orang (CFR 4,76%).2
2.3 Etiologi
2.3.1 Etiologi Diare Akut
Penyebab infeksi utama timbulnya diare adalah virus, bakteri, dan
parasite. Pada diare akut terdapat dua tipe dasar yaitu noninflamatory dan
inflammatory. PAda diare inflammatory biasanya disebabkan oleh bakteri yang
langsung menginfasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin,
sedangkan pada diare noninflammatory disebabkan oleh enterotoksin yang
diproduksi oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus atau perlekatan
oleh parasite.3
1. Golongan bakteri
a. Aeromonas
b. Bacillus cereus
c. Camphylobacter jejuni
d. Clostridium perfringens
e. Clostridium defficile
f. Escherichia coli
g. Plesiomonas shigeloides
5
h. Salmonella
i. Shigella
j. Staphylococcus aureus
k. Vibrio cholera
l. Vibrio parahaemolyticus
m. Yersinia enterocolitica
2. Golongan Virus
a. Astrovirus
b. Calcivirus
c. Enteric adenovirus
d. Coronavirus
e. Rotavirus
f. Norwalk virus
g. Herpes simplex virus
h. Cytomegalovirus
3. Golongan Parasit
a. Balantidium coli
b. Blastocytis homonis
c. Cryptosporodium parvum
d. Entamoeba histolytica
e. Giardia lamblia
f. Isospora belli strongyloides stercoralis
g. Trichuris trichiura
Terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare
berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju
sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi :3
6
a. intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan,
tinja sering disertai dengan darah)
b. celiac disease (gluten-sensitive enteropathy)
c. cystic fibrosis.
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi Diare Akut
1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik.
Gangguan fungsi absorpsi diakibatkan adanya perbedaan tekanan osmose antara
lumen usus dan darah. Bagian jejenum menjadi lebih permeabel dan terjadi
perpindahan air ke lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen,
dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar
Na yang normal. Hal ini dapat diakibatkan oleh berbagai sebab seperti celiac
sprue yaitu penyakit autoimun akibat konsumsi gluten, atau karena:4
a. mengkonsumsi magnesium hidroksida
b. defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang
lebih besar
c. adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada
usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan
menyebabkan hiperosmolaritas.
2. Malabsoprsi umum.
Malabsorpsi dapat diakibatkan berbagai macam hal seperti:4
a. Gangguan gerakan osmotik pada lumen usus (short bowel syndrom,
celiac,insuficiensi eksokrin pankreas, Mendapat cairan hipertonis dalam
jumlah besar dan cepat setelah mengalami diare)
b. Steatorrhea memicu sekresi Cl- (malabsorpsi karbohidrat oleh karena
kerusakan difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa dan
defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,
7
pemberian susu magnesium, malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan
pada hipermotilitas pada kolon iritabel)
c. Gangguan pada villi chorialis:
- Kerusakan sel (virus, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
inflammatory bowel disease)
- atropi villi.
- gangguan faal membran brush border (giardiasis, dan enteroadheren E.
coli)
8
4. Diare akibat gangguan peristaltik
Terjadinya peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat
menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh
lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi
akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi.
Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat
disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan
motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi
asam empedu dan berbagai penyakit lain.4
5. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan hilangnya sel epitel dan
kerusakan pada tight junction dan cytoskeleton. Tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan
seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Bakteri
yang umum menyebabkan inflamasi pada usu halus maupun kolon adalah
Clostridium difficile, Bacteroides fragilis dan Vibrio cholera.4
6. Diare terkait imunologi
Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III
dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen
makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan
reaksi tipe IV terdapat pada Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada
reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan
dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada
permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang
dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti
histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi
reaksi komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan
Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil
melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler,
9
disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel
APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi
pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin
tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang
akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan
air.4
Diare kronis merupakan diare yang paling sering terjadi dan paling sulit
untuk untuk didiagnosis pada bayi. Meskipun demikian diare kronik dapat terjadi
di semua usia anak. Semakin muda usia bayi, maka semakin besar kemungkinan
untuk masuk ke dalam siklus diare dan malnutrisi sekunder yang mengarah pada
diare, malnutrisi dan risiko infeksi yang lebih lanjut (diare berkepanjangan pada
bayi).3,5
Faktor risiko terjadinya diare persisten adalah kelompok usia <12 bulan,
pemberian makanan pendamping asi terlalu dini, penundaan pemberian ASI
pertama pada awal kelahiran, dan manajemen yang tidak tepat pada diare akut.
Gambaran klinis umumnya bermanifestasi sebagai diare cair dengan/tanpa
malnutrisi yang terjadi selama lebih dari 14 hari. Juga dapat disertai penurunan
nafsu makan, muntah, demam, serta adanya lendir dalam tinja. Gejala lain yang
mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya.5
10
Diare berkepanjangan pada bayi biasanya terjadi pada bayi yang berusia
kurang dari tiga tahun dan diare terjadi menetap/persisten selama lebih dari dua
minggu. Pada bayi dan anak dengan sindrom malabsorbsi biasanya akan
mengalami diare, streatorea, gagal tumbuh atau kombinasi dari kondisi tersebut.
Celiac disease dan cystic fibrosis merupakan penyakit kronis yang paling sering
menyebabkan malabsorbsi pada anak-anak. Intoleransi karbohidrat
(monosakarida atau disakarida) dapat menjadi penyebab primer atau sekunder
dari penyakit gastrointestinal. Enteritis bacterial atau viral akut juga dapat
menjadi pemicu terjadinya diare berkepanjangan pada bayi. Pada alergi
makanan, hipersensitivitas protein diet terjadi pada 6-8% anak-anak pada usia
lima tahun pertama kehidupan dan umumnya adalah hipersensitivitas terhadap
protein susu sapi. Pada 85% anak-anak dengan intoleransi protein diet gejala
akan hilang pada usia 3 tahun. Kemungkinan alergi protein ini perlu dipikirkan
ketika bayi dengan diare kronis memiliki manifestasi: darah tinja samar atau
jelas, protein-losing enteropathy, eosinophilia perifer, manifestasi
ekstraintestinal alergi seperti eksim, gatal-gatal atau asma. Diare kronis akibat
irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease dan konstipasi kronis
dengan encopresis lebih sering ditemukan pada anak-anak usia lebih tua.3
11
Penyebab Umum Diare Kronis4,5
Infeksi enteric kronis: Salmonella; Yersinia enterocolitica;
Campylobacter, Giardia, Cryptosporidium, dan Cyclospora; C
difficile toxin; enteroadherent E coli; rotavirus (pada pasien
imunokompremais); cytomegalovirus; adenovirus; dan HIV
(enteropati AIDS)
Alergi makanan (Alergi susu sapi atau susu soya)
Diare kronis nonspesifik (toddler’s diarrhea, irritable colon of
childhood); postinfection irritable bowel
Intoleransi disakarida (laktosa)
Konstipati kronis dengan diare berlebihan
Cystic fibrosis
Celiac disease (enteropati sensitif gluten)
Infalmmatory bowel disease: Crohn disease dan colitis ulseratif
Hirschprung disease
Kondisi imunodefisiensi
Intoleransi monosakarida
Gastroenteritis eosinofilik (alergi)
Short bowel syndrome
Infeksi saluran kemih
Evaluasi status dehidrasi, status gizi dan tumbuh kembang anak pada
kasus diare kronis adalah penting untuk mengetahui apakah diarenya telah
mempengaruhi penambahan berat badan dan pertumbuhannya, sehingga dapat
diperkirakan derajat keparahan diare.4,5
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi Diare Akut
12
adanya malabsorpsi, adanya kerusakan pada mukosa usus seperti pada inflamasi
dan reaksi alergi, dan adanya gangguan motilitas seperti gastroskisis, irritable
bowel syndrome, dan hipertiroidisme.4,6
Diare sekretorik terjadi akibat banyaknya jumlah cairan yang
disekresikan oleh mukosa usus ke dalam lumen akibat berbagai macam
penyebab. Penyebab dari diare ini antara lain toksin seperti pada toksin kolera,
atau adanya abnormalitas pada enterosit seperti adanya atrofi mikrovili usus.4
Secara umum, tidak ada penyebab tunggal diare kronis, banyak faktor dari
sudut pandang patofisiologi4 Ghishan menggambarkan dan membagi patofisiologi
menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein transport
membran apikal, (4) Pengurangan luas permukaan anatomi. Dan (5) perubahan
motilitas usus5.
1. Sekretoris
Terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator
intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca 2+. Mediator tersebut juga
memecah terjadinya perangkaian antar Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal
ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan
secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda
khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24 jam). Konsistensi tinja
yang sangat cair, konsentrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebabnya adalah Vibrio
cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktifasi cAMP
dengan mekanisme yang telah disebutkan diatas.
2. Osmotik
Bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses pencernaa dan/atau
penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung
memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik
dilumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus
tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada
13
kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak
dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan
penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan
gangguan absopsi nutrien
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur
pertukaran ion Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon,
berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak
dapat disekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengemasan
isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na +. Kadar Cl- dan
Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme
osmotik
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Kondisi seperti necrotizing enterocolitis, vulvus, atresia intestinal,
penyakit Crohn, dll, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian
usus yang kemudian menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan
patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang
masif, serta malabsorpsi makro dan mikronutrien.
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat kondisis seperti malnutrisi, skleroedema,
obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri
berlebih diusus yang menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang
berdampak meningatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada diare
sekretorik.
2.6 Patogenesis
2.6.1 Patogenesis Diare Akut
Patogenesis Diare Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare:7,8,9
a. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat
diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi
14
rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkanya sehingga timbul diare.
b. Gangguan sekresi Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada
dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam
rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi
rongga usus.
c. Ganggua motilitas usus Hiperperistaltik akan mengkkpuakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga
timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.
15
paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab
parasite yang sering yaitu E. histolitika dan G. lamblia.
Terdapat 3 mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai
kerusakan brush border dan beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi.
Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus secara langsung akan
merusak atau membunuh sel-sel enterosit. Infeksi cacing akan mengakibatkan
enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan antibodi IgE dan IgG
untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat
reaksi silang reseptor antibodi IgE atau IgG di sel mast, terjadi pelepasan
mediator inflamasi yang hebat seperti histamin, adenosin, prostaglandin, dan
lekotrin.4,11
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit
polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit-T akan mengakibatkan
kerusakan dan kematian sel-sel enterosit. Pada keadaan-keadaan di atas sel
epitel, makrofag, dan subepitel miofibroblas akan melepas kandungan
(matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrane basalis dan
kandungan molekul interstitial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-
sel epitel dan selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sel epitel) yang
mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kripta-kripta di usus halus
dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di usus besar (kolon).8,9
16
vascular mungkin menyebabkan kebocoran protein dari kapiler. Apabila
terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat
berperan terhadap terjadinya diare.4,10
2.6.2 Patogenesis Diare Kronik
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat
kompleks. Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal
and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis
yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi
maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya
memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali
diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa
referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis
diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis
berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare
oleh karena infeksi.9,10
17
Perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan bahwa faktor
seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan
terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang
memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.4,9
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen
dan (2) faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan
dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane.
Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan,
sehingga berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan
integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi transport
protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh
proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi
laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan
penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.4
18
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel
kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator
tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili
usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan
secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas
yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat
cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap
penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae
di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan
mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.
2. Osmotik
19
3. Mutasi protein transport
20
proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.
2.7 Diagnosis
2.7.1 Diagnosis Diare Akut
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
21
Ubun – ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
Turgor abdomen baik, bising usus normal
Akral hangat
2. Dehidrasi ringan sedang/ tidak berat (kehilangan cairan 5 – 10%
berat badan)
Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda
tambahan
Keadaan umum gelisah atau cengeng
Ubun – ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
berkurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering
Turgor kurang, akral hangat
3. Dehidrasi Berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih
tanda tambahan
Keadaan umum lemah, letargi atau koma
Ubun – ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak
ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering
Turgor sangat kurang dan akral dingin
Pasien harus rawat inap
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila
ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja:
o Makroskopis: konsistensi, warna, lendir, darah dan bau
o Mikroskopi: leukosit, eritrosit, parasit dan bakteri
o Kimia: pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
o Biakan dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada diare akut
22
Analisa gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
23
disertai KEP dan penyakit penyerta, yang dapat mengganggu penilaian
indikator derajat dehidrasi
2. Nutrisi
Status gizi ditetapkan sesuai standar. Kurang mikronutrien seperti
vitamin A dan zinc dapat memperpanjang lama diare, tetapi sering
manifestasi klinik klasik kekurangan mikronutrien ini belum muncul.
Memeriksa kadar mikronutrien ini relatif sukar dan mahal, sehingga
dalam praktek, tanpa pemeriksaan terlebih dahulu, semua penderita
dengan diare persisten diberi suplementasi mikronutrien tertentu
Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat makanan
sewaktu sehat, selama sakit, keadaan umum anak, serta melalui
pengamatan untuk menentukan cara (enteral atau parenteral) dan
bentuk pemberian makanan (cair, saring, lunak, atau biasa).
Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan
sewaktu sehat, dan selama sakit, dihubungkan dengan manifestasi
klinis yang muncul untuk sampai pada dugaan ada tidaknya intoleransi
pada jenis makanan tertentu
3. Penyebab infeksi
Langkah yang dapat dilakukan adalah:
Mempelajari perjalanan penyakit dengan harapan mengarahkan
pada
diagnosis etiologic
Melakukan pemeriksaan mikroskopik feses
Melakukan pemeriksaan darah tepi
Biakan feses
4. Penyakit penyerta
Diare persisten sering disertai penyakit penyerta
5. Indikasi rawat inap
Berumur kurang dari 4 bulan
Mengalami dehidrasi
24
Menderita KEP sedang dan berat
Menderita infeksi berat
Indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain
Penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan
sesuai dengan jenis, bentuk, dan jumlah yang direkomendasikan
Pemeriksaan Laboratorium
25
Anamnesis adanya Adanya telur atau cacing
infeksi cacing
26
– Analisis cairan duodenum:
antitrypsin, kemotripsin, pH,
enterokinase
– Serum tripsinogen
– Bentiro mide test
Lemak
– α-1-antitripsin
27
Tabel 6. Evaluasi pasien dengan dengan diare persisten
Fase 1
1. Riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang meliputi konsumsi
jumlah cairan per hari.
2. Pemeriksaan fisik yang meliputi penilaian terhadap nutrisi
3. Pemeriksaan Feses ( pH, pemeriksaan smear Leukosit, lemak, telur cacing,
dan parasi ).
4. Kultur feses
5. Pemeriksaan toxin untuk Clostridium difficile
6. Pemeriksaan darah ( Jumlah Eritrosit, laju endapan darah, elektrolit, BUN,
kreatinin ).
Fase II
Fase III
1. Pemeriksaan endoskopik.
2. Biopsi usus kecil
3. Pemeriksaan biopsi sigmoidoskopi dan kolonoskopi
4. Pemeriksaan Biopsi.
Fase IV
28
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
29
- Auskultasi : Nilai Bising Usus
8. Pemeriksaan Fisiik Urogenitalia :
- Inspeksi : Apakah ada tanda-tanda inflamasi/infeksi
Anus nya dilihat, apakah ada tanda-tanda inflamasi
9. Pemeriksaan Ekstremitas :
- Nilai akral
- Nilai CRT
- Apakah ada sianosis atau tidak
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
- Pemeriksaan darah lengkap, jika ditemukan ada nya penurunan jumlah Hb
berarti interpretasi nya anemia. Jika ditemukan Nilai Leukosit meningkat dari
jumlah normal (leukositosis) menunjukkan adanya proses inflamasi dan
infeksi bacterial. Adanya peningkatan Eosinofil berarti kemungkinan adanya
infeksi parasit, alergi, atau keganasan.
2. Analisis Feses
- Pemeriksaan konsentrasi Na dan K
- Pemeriksaan pH feses, bila < 5,6 menunjukkan adanya malabsorpsi
karbohidrat.
- Pemeriksaan darah tersamar, bila positif adanya penyakit peradangan usus,
neoplasma, atau penyakit celiac.
- Pemeriksaan lemak feses dengan menggunakan pengecatan sudan atau
pemeriksaan langsung. Adanya globul lemak yang berlebihan dengan
pengecatan atau eksresi lemak feses > 14 g/24 jam menunjukkan adanya
malabsorpsi atau maldigesti lemak.
30
2.8.1 Tatalaksana Diare Akut
4. Antibiotik selektif
Nasihat kepada orang tua Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia
Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan
berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare
yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak
terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan
oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan
elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula
baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru
lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko
terjadinya hipernatremia.4
31
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini
sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik
daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga
menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.4
2. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk
persediaan 24 jam.
3. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
ketentuan sebagaiberikut: Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100
ml tiap kali BAB. Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap
BAB
4. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa
larutan harus dibuang.
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan beratnya
diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini
memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang
bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan
di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc
pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan
yang dikeluarkan.4
32
Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis,
zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan
seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc
juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial
pertahanan tubuh terhadap infeksi.4
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada
efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan
terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada
diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus.
Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam
tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang
memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.4
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari
diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit.
Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air
matang atau oralit.4
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
33
nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.4
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman
terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik
terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh
bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.4
Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja
berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari. Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi
non spesifik dapat membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi
spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme
penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat
beberapa pertimbangan terapi : 4
2. Terapi diit
34
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare
biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya
sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana
kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di
masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi
sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi
serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan
secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan
pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak
direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi
berat.4
35
36
SUMBER : Depkes RI. Buku Saku Lintas Diare.Jakarta;DEPKES.2015
Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur, makanan
yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada umumnya
makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan dengan anak
sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak
37
mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling
tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas
laktosa secara rutin tidak diperlukan.4
Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk
sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah
hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat
tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja > 0,5%,.
Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba
kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3
hari.4
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak
atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus
berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih)
dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan
tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak
yang telah disapih.4
Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan
pokok setempat, misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk
meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati
untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya
akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-
sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau
pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang
mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman
ringan, sebaiknya dihindari.4
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan
pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh
38
karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa
minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta
mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat
anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan
tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4
Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus.
Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya
mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk
anak umur kurang dari 2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat
tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.4
Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak
dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang
disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.
coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
39
Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan
tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat
ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
Adsorben
Antimotilitas
Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
40
digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini tidak
rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat ini digunakan
sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk menggunakan obat ini
pada anak dengan diare.
Obat-obat lain :
- Cardiac stimulan renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi
dan hipovolemi. Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral
dengan elektrolit yang seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat
vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.
- Darah atau plasma tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi oleh
karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan
elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk
penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi
secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga
perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan
41
asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada
anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi
sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
Pemberian nutrisi
Dietelemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental
terdiri atas asam amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau
disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai panjang atau sedang.
Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu,
rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-
anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk
mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas
hanya digunakan di negara maju.
42
pencernaan. ASI juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus
pasca infeksi karena mengandung epidermial growth factors.
Pemberianmikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan
asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui
defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua
RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk
anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A
400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO
(2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan
sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1
43
Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii
pada penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi
diare, dan durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan
Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat
mencegah terjadinya antibiotic- associated diarrhea.
Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare
setelah 2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak
yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33
hari). Sebuah studi uji klinis randomized controlled double-blind yang
dilakukan oleh Soenarto et al (1997) menunjukkan bahwa formula yang
berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta
mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare
akut.
Terapi Farmakologis
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak
efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik
infeksi intestinal maupun ekstra- intestinal. Jika dalam tinja didapatkan
darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis.
Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi
adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit
Giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada
pemberian dua antibotik berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika
dicurigai penyebab adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan
hasil biakan tinja dan sensitivitas.
Followup
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus
memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan
44
perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare
yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus
diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara
maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen
nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti
kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan
dalam waktu 7 hari.
2.9 Komplikasi
Komplikasi utama pada diare akut adalah dehidrasi, kemudian penurunan
berat badan jika pemberian makan tidak dilanjutkan, sedangkan komplikasi
utama pada diare kronik adalah malnutrisi dan infeksi serius non-intestinal,
dehidrasi dapat juga terjadi. Dehidrasi terjadi ketika kehilangan cairan tidak
digantikan secara adekuat dan terjadi kekurangan air dan elektrolit dalam tubuh.
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang, dehidrasi dibagi menjadi tiga
derajat. Pada tahap awal dehidrasi, tidak terdapat tanda atau gejala, seiring
meningkatnya derajat dehidrasi, gejala yang dapat muncul adalah rasa haus,
perilaku gelisah atau iritabel, turgor kulit menurun, mata cekung, serta ubun-
ubun cekung pada bayi. Pada dehidrasi berat, tanda dan gejala tersebut akan
lebih terlihat, dan pasien dapat mengalami syok hipovolemik. Selain itu, pada
diare, kombinasi dari penurunan asupan makan, penurunan absorpsi nutrisi, dan
peningkatan kebutuhan nutrisi akan menyebabkan penurunan berat badan, dan
jika diare terjadi secara kronik, dapat terjadi malnutrisi.16
45
Komplikasi lain yang dapat terjadi saat sedang rehidrasi berupa gangguan
elektrolit seperti hipernatremia, hiponatremia, hiperkalemia, dan hipokalemia.
Hiponatremia dapat terjadi pada anak dengan diare yang hanya minum air putih
atau cairan dengan sedikit garam, dan sering terjadi pada anak dengan shigellosis
dan anak malnutrisi berat disertai edema.16
2.10 Prognosis
Prognosis biasanya baik jika dilakukan terapi dengan benar (koreksi
dehidrasi, antibiotik untuk etiologi infeksi) dengan pengaturan nutrisi yang baik.
Faktor penentu prognosis tidak baik pada diare kronik adalah usia beberapa
bulan pertama (khususnya < 3 bulan ketika pengaturan nutrisi sulit dilakukan),
keadaan nutrisi yang jelek, dehidrasi sedang-berat dengan refrakter
diselektrolitemia terhadap koreksi, infeksi sistemik (seperti sepsis), dan
intoleransi laktosa dan/atau monosakarida berat.18
46
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
47
13. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi RS Rujukan Tingkat
pertama di kabupaten/Kota. WHO. 2009.
14. Keating JP. Chronic Diarrhea. Pediatric in Review. 2004.
15. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Nelson Textbook of Pediatrics. 21th
edition.2019
16. World Heatlth Organization. The Treatment of Diarrhoea: A Manual for
Physicians and Other Senior Health Workers. 2005.
17. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: World Health Organization. 2009.
18. Gupte S. Persistent Diarrhea in Childhood: Issues and Concerns. Gastroenterol
Hepatol Int J 2016. 1 (2).
48