Pembimbing:
>
NON K
PIELODYAYOE
campak.1
Penyakit Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada
negara berkembang. Diare merupakan penyebab kematian tebesar (9%) kematian
masa kanak-kanak. Pada tahun 2010, terdapat 1.731 miliar episode diare pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun. Insiden diare secara keseluruhan hanya
menurun dari 3,4 menjadi 2,9 episode per tahun dalam 2 dekade terakhir. Penyakit
diare merupakan penyakit endemis di Indonesia yang berpotensial menjadi
kejadian luar biasa (KLB) yang sering disertai kematian di Indonesia. Pada tahun
2018, Jumlah balita yang mengalami diare di sarana kesehatan sebanyak 1.637.708
atau 40,90 %. Insiden diare untuk semua umur secara nasional adalah 270/1000
penduduk (rapid survey diare tahun 2015).2,3
Pada tahun 2018, cakupan pelayanan tertinggi penderita diare balita yaitu Nusa
Tenggara Barat (75,88%), DKI Jakarta (68,54%), dan Kalimantan Utara (55,00%).
Sedangka provinsi dengan cakupan terendah yaitu Maluku (9,77%), Sumatera
Utara ( 16,70%), dan Kepulauan Riau (18,68%). Pada tahun 2018, terjadi 10 kali KLB
Diare di 8 provinsi, 8 kabupaten/kota. Terjadi 2 kali KLB di Kabupaten Tabanan
dan Kabupaten Buru. Jumlah penderita 756 orang dan kematian 36 orang (CFR
3
4,76%). Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada
balita.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Penyakit Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada
negara berkembang. Diare merupakan penyebab kematian tebesar (9%) kematian
masa kanak-kanak. Pada tahun 2010, terdapat 1.731 miliar episode diare pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun. Insiden diare secara keseluruhan hanya
menurun dari 3,4 menjadi 2,9 episode per tahun dalam 2 dekade terakhir. Penyakit
diare merupakan penyakit endemis di Indonesia yang berpotensial menjadi
kejadian luar biasa (KLB) yang sering disertai kematian di Indonesia. Pada tahun
2018, Jumlah balita yang
Pada tahun 2018, cakupan pelayanan tertinggi penderita diare balita yaitu
Nusa Tenggara Barat (75,88%), DKI Jakarta (68,54%), dan Kalimantan Utara
(55,00%). Sedangka provinsi dengan cakupan terendah yaitu Maluku (9,77%),
Sumatera Utara ( 16,70%), dan Kepulauan Riau (18,68%). Pada tahun 2018, terjadi
10 kali KLB Diare di 8 provinsi, 8 kabupaten/kota. Terjadi 2 kali KLB di
<
Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buru. Jumlah penderita 756 orang dan
kematian 36 orang (CFR 4,76%).2
15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan
kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis
menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di
dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih
terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara
keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara
bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare
persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak
berusia 6-11 bulan.4
2.3 E t io lo g i
2.3 . 1 E ti o logi Diare Akut
1. Golongan bakteri
a. Aeromonas
b. Bacillus cereus
c. Camphylobacter jejuni
d. Clostridium perfringens
e. Clostridium defficile
f. Escherichia coli
5
g. Plesiomonas shigeloides
5
h. Salmonella
i. Shigella
j. Staphylococcus aureus
k. Vibrio cholera
l. Vibrio parahaemolyticus
m. Yersinia enterocolitica
2. Golongan Virus
a. Astroνirus
b. Calciνirus
c. Enteric adenoνirus
d. Coronaνirus
e. Rotaνirus
f. Norwalk νirus
7
a. intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan,
tinja sering disertai dengan darah)
b. celiac disease (gluten-sensitive enteropathy)
c. cystic fibrosis.
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi Diare Akut
8
pemberian susu magnesium, malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan
pada hipermotilitas pada kolon iritabel)
c. Gangguan pada villi chorialis:
- Kerusakan sel (virus, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
inflammatory bowel disease)
- atropi villi.
- gangguan faal membran brush border (giardiasis, dan enteroadheren E.
coli)
4
4. Diare akibat gangguan peristaltik
Terjadinya peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat
menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh
lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi
akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat
menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu
dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery
diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada
bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada
thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain.4
5. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan hilangnya sel epitel dan
kerusakan pada tight junction dan cytoskeleton. Tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan
seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Bakteri
yang umum menyebabkan inflamasi pada usu halus maupun kolon adalah
Clostridium difficile, Bacteroides fragilis dan Vibrio cholera.4
6. Diare terkait imunologi
Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III
dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen
makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan
reaksi tipe IV terdapat pada Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada
reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan
dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada
permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang
dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti
histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi
reaksi komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan
Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil
melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler,
;
disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel
APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi
pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin
tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa
berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh
natrium dan air.4
Diare yang terjadi lebih dari 14 hari disebut diare kronis atau persisten. 1
Diare ini dapat disebabkan oleh dasar infeksi dan non-infeksi. Patogenesis diare
kronis dan persisten melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks.
Paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi, seperti
malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi micronutrient, dan ketidaktepatan terapi
diare akut akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu
kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis/persisten.3,5
Diare kronis merupakan diare yang paling sering terjadi dan paling sulit
untuk untuk didiagnosis pada bayi. Meskipun demikian diare kronik dapat
terjadi di semua usia anak. Semakin muda usia bayi, maka semakin besar
kemungkinan untuk masuk ke dalam siklus diare dan malnutrisi sekunder yang
mengarah pada diare, malnutrisi dan risiko infeksi yang lebih lanjut (diare
berkepanjangan pada bayi).3,5
Faktor risiko terjadinya diare persisten adalah kelompok usia <12 bulan,
pemberian makanan pendamping asi terlalu dini, penundaan pemberian ASI
pertama pada awal kelahiran, dan manajemen yang tidak tepat pada diare akut.
Gambaran klinis umumnya bermanifestasi sebagai diare cair dengan/tanpa
malnutrisi yang terjadi selama lebih dari 14 hari. Juga dapat disertai penurunan
nafsu makan, muntah, demam, serta adanya lendir dalam tinja. Gejala lain yang
mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya.5
10
Diare berkepanjangan pada bayi biasanya terjadi pada bayi yang berusia
kurang dari tiga tahun dan diare terjadi menetap/persisten selama lebih dari
dua minggu. Pada bayi dan anak dengan sindrom malabsorbsi biasanya akan
mengalami diare, streatorea, gagal tumbuh atau kombinasi dari kondisi
tersebut. Celiac disease dan cystic fibrosis merupakan penyakit kronis yang
paling sering menyebabkan malabsorbsi pada anak-anak. Intoleransi
karbohidrat (monosakarida atau disakarida) dapat menjadi penyebab primer
atau sekunder dari penyakit gastrointestinal. Enteritis bacterial atau viral akut
juga dapat menjadi pemicu terjadinya diare berkepanjangan pada bayi. Pada
alergi makanan, hipersensitivitas protein diet terjadi pada 6-8% anak-anak pada
usia lima tahun pertama kehidupan dan umumnya adalah hipersensitivitas
terhadap protein susu sapi. Pada 85% anak-anak dengan intoleransi protein diet
gejala akan hilang pada usia 3 tahun. Kemungkinan alergi protein ini perlu
dipikirkan
ketika bayi dengan diare kronis memiliki manifestasi: darah tinja samar atau
jelas, protein-losing enteropathy, eosinophilia perifer, manifestasi
ekstraintestinal alergi seperti eksim, gatal-gatal atau asma. Diare kronis akibat
irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease dan konstipasi kronis
dengan encopresis lebih sering ditemukan pada anak-anak usia lebih tua.3
11
Penyebab Umum Diare Kronis4,5
•
(enteropati AIDS)(Alergi susu sapi atau susu soya)
Alergi makanan
• Diare kronis nonspesifik (toddler's diarrhea, irritable colon of
childhood); postinfection irritable bowel
• Intoleransi disakarida (laktosa)
• Konstipati kronis dengan diare berlebihan
• Cystic fibrosis
• Celiac disease (enteropati sensitif gluten)
• Infalmmatory bowel disease: Crohn disease dan colitis ulseratif
• Hirschprung disease
• Kondisi imunodefisiensi
• Intoleransi monosakarida
• Gastroenteritis eosinofilik (alergi)
• Short bowel syndrome
• Infeksi saluran kemih
Evaluasi status dehidrasi, status gizi dan tumbuh kembang anak pada
kasus diare kronis adalah penting untuk mengetahui apakah diarenya telah
mempengaruhi penambahan berat badan dan pertumbuhannya, sehingga
dapat diperkirakan derajat keparahan diare.4,5
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi Diare Akut
Secara umum, diare dapat dibagi menjadi dua penyebab. Penyebabnya
adalah penurunan absorpsi cairan oleh usus atau peningkatan sekresi cairan ke
usus. Penurunan absorpsi cairan menyebabkan diare osmotik. Sementara itu,
peningkatan ekskresi cairan ke usus menyebabkan diare sekretorik.4,5
Diare osmotik terjadi akibat banyaknya partikel osmotik aktif yang ada
pada lumen usus. Hal ini menyebabkan cairan berpindah ke dalam lumen usus
mengikuti derajat osmotiknya. Apabila hal ini terjadi secara berlebihan, maka
akan terjadi diare. Diare osmotik ini disebabkan oleh banyak hal, seperti laksatif,
12
adanya malabsorpsi, adanya kerusakan pada mukosa usus seperti pada
inflamasi dan reaksi alergi, dan adanya gangguan motilitas seperti gastroskisis,
irritable bowel syndrome, dan hipertiroidisme.4,6
Diare sekretorik terjadi akibat banyaknya jumlah cairan yang
disekresikan oleh mukosa usus ke dalam lumen akibat berbagai macam
penyebab. Penyebab dari diare ini antara lain toksin seperti pada toksin kolera,
atau adanya abnormalitas pada enterosit seperti adanya atrofi mikrovili usus.4
Secara umum, tidak ada penyebab tunggal diare kronis, banyak faktor dari
sudut pandang patofisiologi4 Ghishan menggambarkan dan membagi
patofisiologi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi
protein transport membran apikal, (4) Pengurangan luas permukaan anatomi.
Dan (5) perubahan motilitas usus5.
1. Sekretoris
Terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator
intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga
memecah terjadinya perangkaian antar Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal
ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan
secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda
khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24 jam). Konsistensi tinja
+ -
2.6 Patogenesis
2.6.1 Patogenesis Diare Akut
Patogenesis Diare Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare:7,8,9
15
dan
16
paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab
parasite yang sering yaitu E. histolitika dan G. lamblia.
Terdapat 3 mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai
kerusakan brush border dan beberapa kematian sel enterosit disertai
ulserasi. Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus secara langsung
akan merusak atau membunuh sel-sel enterosit. Infeksi cacing akan
mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan
antibodi IgE dan IgG untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau
reinfeksi, maka akibat reaksi silang reseptor antibodi IgE atau IgG di sel
mast, terjadi pelepasan mediator inflamasi yang hebat seperti histamin,
adenosin, prostaglandin, dan lekotrin.4,11
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit
polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit-T akan mengakibatkan
dimana vili-vili yang tak berkembang pada usus halus dan kolon. Sel sel
imatur ini akan mengalami gangguan dalam fungsi absorbsi dan hanya
mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya
tidak terdapat mekanisme Nacoupled sugar atau mekanisme transport asam
amino, dan berkurangnya atau tak terjadi sama sekali transport absorbsi
NaCl. Sebaliknya selsel kripta dan sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel
permukaan mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi Cl-
(mungkin HCO3- ). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya mediator
inflamasi dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang sekresi
kripta hiperplasi dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang imatur. Kerusakan
immune mediated
17
vascular mungkin menyebabkan kebocoran protein dari kapiler. Apabila
terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat
berperan terhadap terjadinya diare.4,10
2.6.2 Patogenesis Diare Kronik
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat
kompleks. Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal
and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis
yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi
maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya
memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali
diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa
referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua
jenis diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare
kronis
berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare
oleh karena infeksi.9,10
18
Perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan bahwa faktor
seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan
terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang
memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.4,9
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen
dan (2) faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan
dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane.
Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan
penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan
perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi
transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat
disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu
sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya
disebabkan gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.4
19
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel
kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator
tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili
usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran
cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda
khas
yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat
cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap
penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae
di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan
mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.
2. Osmotik
gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare
akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik
infeksi
maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer),
menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap.
Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh
mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan
tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi,
dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.
20
3. Mutasi protein transport
tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus
yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang
tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik.
Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan
konsekuensi polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh
kembang. Kadar klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi.
Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai daerah di dunia seperti Amerika
Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan
Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada
penukar Na+/H+ dan Na+—protein pengangkut asam empedu.
22
proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.
2.7 Diagnosis
2.7.1 Diagnosis Diare Akut
➢ Anamnesis
•
Penderita diare disekitarnya serta sumber air minum.
Pemeriksaan Fisik
23
□ Ubun — ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata
ada, mukosa mulut dan bibir basah
□ Turgor abdomen baik, bising usus normal
□ Akral hangat
2. Dehidrasi ringan sedang/ tidak berat (kehilangan cairan 5 — 10%
berat badan)
□ Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda
tambahan
□ Keadaan umum gelisah atau cengeng
□ Ubun — ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air
mata berkurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering
□ Turgor kurang, akral hangat
3. Dehidrasi Berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila
ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
• Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja:
c Makroskopis: konsistensi, warna, lendir, darah dan bau
24
• Analisa gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
25
disertai KEP dan penyakit penyerta, yang dapat mengganggu penilaian
indikator derajat dehidrasi
2. Nutrisi
• Status gizi ditetapkan sesuai standar. Kurang mikronutrien seperti
vitamin A dan zinc dapat memperpanjang lama diare, tetapi sering
manifestasi klinik klasik kekurangan mikronutrien ini belum muncul.
Memeriksa kadar mikronutrien ini relatif sukar dan mahal, sehingga
dalam praktek, tanpa pemeriksaan terlebih dahulu, semua penderita
dengan diare persisten diberi suplementasi mikronutrien tertentu
• Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat makanan
sewaktu sehat, selama sakit, keadaan umum anak, serta melalui
pengamatan untuk menentukan cara (enteral atau parenteral) dan
bentuk pemberian makanan (cair, saring, lunak, atau biasa).
• Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan
sewaktu sehat, dan selama sakit, dihubungkan dengan manifestasi
klinis yang muncul untuk sampai pada dugaan ada tidaknya
intoleransi pada jenis makanan tertentu
3. Penyebab infeksi
Langkah yang dapat dilakukan adalah:
• Mempelajari perjalanan penyakit dengan harapan mengarahkan
pada
diagnosis etiologic
• Melakukan pemeriksaan mikroskopik feses
• Melakukan pemeriksaan darah tepi
• Biakan feses
4. Penyakit penyerta
Diare persisten sering disertai penyakit penyerta
5. Indikasi rawat inap
• Berumur kurang dari 4 bulan
• Mengalami dehidrasi
2<
• Menderita KEP sedang dan berat
• Menderita infeksi berat
Pemeriksaan Laboratorium
25
• Anamnesis adanya • Adanya telur atau cacing
infeksi cacing
28
Tabel 6. Evaluasi pasien dengan dengan diare persisten
Fase 1
Fase II
Fase III
1. Pemeriksaan endoskopik.
2. Biopsi usus kecil
3. Pemeriksaan biopsi sigmoidoskopi dan kolonoskopi
4. Pemeriksaan Biopsi.
Fase IV
24
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
karena dehidrasi)
Nilai turgor
2;
-Auskultasi : Nilai Bising Usus
9. Pemeriksaan Ekstremitas :
- Nilai akral
- Nilai CRT
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
- Pemeriksaan darah lengkap, jika ditemukan ada nya penurunan jumlah Hb
berarti interpretasi nya anemia. Jika ditemukan Nilai Leukosit meningkat
dari jumlah normal (leukositosis) menunjukkan adanya proses inflamasi dan
infeksi bacterial. Adanya peningkatan Eosinofil berarti kemungkinan adanya
infeksi parasit, alergi, atau keganasan.
2. Analisis Feses
- Pemeriksaan konsentrasi Na dan K
4. Antibiotik selektif
Nasihat kepada orang tua Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di
Asia
31
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit
ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik
daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga
menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.4
2. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk
persediaan 24 jam.
3. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
ketentuan sebagaiberikut: Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100
ml tiap kali BAB. Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml
tiap BAB
4. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa
larutan harus dibuang.
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan beratnya
diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini
memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang
bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan
di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc
pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah
tinja/cairan yang dikeluarkan.4
32
Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi
fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan,
perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu
makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan
mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.4
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari
diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit.
Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air
matang atau oralit.4
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
33
nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.4
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan
Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit
disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan
mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya
pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah
terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti
ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15
tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut:
inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh
bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.4
Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja
berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering,
atau belum membaik dalam 3 hari. Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi
terapi non spesifik dapat membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan
terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme
penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat
beberapa pertimbangan terapi : 4
2. Terapi diit
34
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare
biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya
sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana
kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di
masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi
sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi
serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan
secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta
melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare
tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi
berat.4
35
36
SUMBER: Depkes RI. Buku Saku Lintas Diare.Jakarta;DEPKES.2015
Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur, makanan
yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada
umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan
dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan
selama anak
37
mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling
tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas
laktosa secara rutin tidak diperlukan.4
Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk
sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau
bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan
pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang
mereduksi dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan
selama 2 hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya
diminum secara bertahap selama 2 — 3 hari.4
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak
atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus
berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau
lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan
tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada
anak yang telah disapih.4
Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari :
makanan pokok setempat, misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi.
Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5 — 10 ml minyak
nabati
untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan
kaya akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan
sayur-
sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau
pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan
yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan,
minuman ringan, sebaiknya dihindari.4
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa
38
kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia
hebat. Oleh
39
karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa
minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai
serta mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada
saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat
menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4
Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus.
Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya
mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan
untuk anak umur kurang dari 2 — 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-
obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.4
Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak
dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 — 20%) yang
disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.
40
Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan
tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-
obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
Adsorben
mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari
penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
Antimotilitas
• Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
42
digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini tidak
rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat ini
digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk
menggunakan obat ini pada anak dengan diare.
Obat-obat lain :
- Darah atau plasma tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi oleh
karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan
elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan
untuk penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi
secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga
perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan
43
asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada
anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi
sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
➢ Pemberian nutrisi
• Dietelemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental
terdiri atas asam amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau
disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai panjang atau sedang.
Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu,
rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-
anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk
mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental
mayoritas hanya digunakan di negara maju.
➢ Pemberianmikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan
asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui
defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal
dua RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA
untuk
anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A
400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg.
WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6
bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar
20 mg (1
44
➢ Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii
pada penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi
➢ Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti
diare setelah 2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan
anak yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ±
0,33 hari). Sebuah studi uji klinis randomized controlled double-blind yang
dilakukan oleh Soenarto et al (1997) menunjukkan bahwa formula yang
berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta
mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode
diare akut.
➢ Terapi Farmakologis
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak
efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik
infeksi intestinal maupun ekstra- intestinal. Jika dalam tinja didapatkan
2.9 Komplikasi
Komplikasi utama pada diare akut adalah dehidrasi, kemudian
penurunan berat badan jika pemberian makan tidak dilanjutkan, sedangkan
komplikasi utama pada diare kronik adalah malnutrisi dan infeksi serius non-
intestinal, dehidrasi dapat juga terjadi. Dehidrasi terjadi ketika kehilangan
cairan tidak digantikan secara adekuat dan terjadi kekurangan air dan elektrolit
dalam tubuh. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang, dehidrasi dibagi
menjadi tiga derajat. Pada tahap awal dehidrasi, tidak terdapat tanda atau
gejala, seiring meningkatnya derajat dehidrasi, gejala yang dapat muncul
adalah rasa haus, perilaku gelisah atau iritabel, turgor kulit menurun, mata
cekung, serta ubun- ubun cekung pada bayi. Pada dehidrasi berat, tanda dan
gejala tersebut akan lebih terlihat, dan pasien dapat mengalami syok
hipovolemik. Selain itu, pada diare, kombinasi dari penurunan asupan makan,
penurunan absorpsi nutrisi, dan peningkatan kebutuhan nutrisi akan
menyebabkan penurunan berat badan, dan jika diare terjadi secara kronik,
dapat terjadi malnutrisi.16
46
Komplikasi lain yang dapat terjadi saat sedang rehidrasi berupa gangguan
elektrolit seperti hipernatremia, hiponatremia, hiperkalemia, dan hipokalemia.
Hiponatremia dapat terjadi pada anak dengan diare yang hanya minum air putih
atau cairan dengan sedikit garam, dan sering terjadi pada anak dengan shigellosis
dan anak malnutrisi berat disertai edema.16
2. ?0 Prohnosis
Prognosis biasanya baik jika dilakukan terapi dengan benar (koreksi
dehidrasi, antibiotik untuk etiologi infeksi) dengan pengaturan nutrisi yang
baik. Faktor penentu prognosis tidak baik pada diare kronik adalah usia
beberapa bulan pertama (khususnya < 3 bulan ketika pengaturan nutrisi sulit
dilakukan), keadaan nutrisi yang jelek, dehidrasi sedang-berat dengan refrakter
diselektrolitemia terhadap koreksi, infeksi sistemik (seperti sepsis), dan
intoleransi laktosa dan/atau monosakarida berat.18
47
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Penerbit IDAI;2011
5. McInerny TK, Adam HM, Campbell DE, DeWitt TG, Foy JM, Kamat DM.
Textbook of Pediatric Care. 2nd Edition. USA: American Academy of Pediatrics.
2017.
6. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
8. Camilleri, M. Chronic diarrhea: a review on pathophysiology and management
for the clinical gastroenterologist. Clinical Gastroenterology and Hepatology.
2004
9. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J Clin
Invest. 2003
10. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea and
Malnutrition: The Gambian Experience, Journal of Pediatric Gastroenterology
and Nutrition. 2002
11. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children: Part II. Clinical Approach and
Management. Saudi J Gastroenterol. 1995
48
13. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi RS Rujukan Tingkat
pertama di kabupaten/Kota. WHO. 2009.
14. Keating JP. Chronic Diarrhea. Pediatric in Review. 2004.
15. Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Nelson Textbook of Pediatrics. 21th
edition.2019
16. World Heatlth Organization. The Treatment of Diarrhoea: A Manual for
Physicians and Other Senior Health Workers. 2005.
17. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: World Health Organization. 2009.
18. Gupte S. Persistent Diarrhea in Childhood: Issues and Concerns. Gastroenterol
Hepatol Int J 2016. 1 (2).
44