Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

KLIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN NUTRISI


AKIBAT PATOLOGIS SISTEM PENCERNAAN DAN
METABOLIC ENDROKRIN DI RUANG MAWAR
RSUD DR. GONDO SUWARNO UNGARAN

Disusun Oleh :
Dinar Putri Salsabila
P1337420121047
Reguler 2

PRODI DIII KEPERAWATAN SEMARANG JURUSAKEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS PRAKTIK KERJA LAPANGAN


LAPORAN PENDAHULUAN
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN NUTRISI AKIBAT PATOLOGIS
SISTEM PENCERNAAN DAN METABOLIC ENDROKRIN”
DI RUANG MAWAR RSUD DR. GONDO SUWARNO UNGARAN

Disusun oleh :
Dinar Putri Salsabila
P1337420121047

Disetujui,
Pembi
mbing klinik/CI

Nazarudin Miftah, S.Kep., Ns


NIP. 199403222020121008

Semarang, 3 Juni 2023


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan praktik kerja lapangan yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Kebutuhan Nutrisi
Akibat Patologis Sistem Pencernaan dan Metabolic Endrokrin”. Dalam laporan ini
dibahas mengenai materi tentang masalah gangguan kebutuhan nutrisi akibat
patologis sistem pencernaan. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan laporan ini
adalah untuk memenuhi penugasan praktik kerja lapangan.
Selama penulisan laporan ini banyak sekali hambatan yang penulis alami,
namun berkat bantuan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya
laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis beranggapan bahwa laporan ini merupakan karya terbaik yang dapat
penulis persembahkan. Tetapi penulis menyadari bahwa tidak tertutup kemungkinan
didalamnya terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Semarang, 3 Juni 2023

Penulis,

Dinar Putri Salsabila


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
3. Tujuan Studi Kasus ............................................................................................ 3
4. Manfaat Studi Kasus .......................................................................................... 4
5. Manfaat Teoritis ................................................................................................. 5

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 6


1. Pengertian Demam Tifoid .................................................................................. 6
2. Etiologi Demam Tifoid ...................................................................................... 6
3. Patofisiologi Demam Tifoid .............................................................................. 7
4. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 8
5. Klinikal Pathyways ............................................................................................ 9
6. Pemeriksaan Laboratorium ............................................................................... 10
7. Penatalaksanaan Demam Tifoid ....................................................................... 12
8. Rumusan Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 14
9. Fokus Intervensi ................................................................................................ 23

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 30


1. Kesimpulan ....................................................................................................... 30
2. Saran .................................................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31


BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi,

biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Penyakit akut

ditandai oleh demam berkepanjangan, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan,

dan sembelit atau kadang-kadang diare. Gejala seringkali tidak spesifik dan secara

klinis tidak dapat dibedakan dari penyakit demam lainnya (WHO, 2018). Dari data

WHO di dapatkan perkiraan jumlah kasus demam tifoid mencapai angka antara 11

dan 21 juta kasusdan 128.000 hingga 161.000 kematian terkait demam tifoid terjadi

setiap tahun di seluruh dunia. Penyakit serupa tetapi seringkali kurang parah, demam

paratipoid, disebabkan oleh Salmonella Paratyph (WHO, 2018).

Tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena penyakit

ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat. Permasalahannya

semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan

resistensi terhadap obat-obat yang dipakai. Angka kesakitan tifoid di Indonesia

dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok

umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun),

180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Hasil kajian kasus di

rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan

jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000

penduduk dan kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%. (Elisabeth Purba, 2016).


Demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh di

atas 38º Celsius. Suhu tubuh adalah suhu visera, hati, otak, yang dapat diukur lewat

oral, rektal, dan aksila. (Manajemen Terpadu Balita Sakit). (Ismoedijanto, 2016).

Demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 38ºC.

demam dianggap sebagai suatu kondisi sakit yang umum. Hampir setiap orang pasti

pernah merasakan demam (Riandita, 2014).

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada

usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella

typhi). Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. (Purnia

Pramitasari, 2017). Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu

sendiri dan carrier, yang mana mereka dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman

S.typhi dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber penularan. Debu yang

berasal dari tanah yang mengering, membawa bahan-bahan yang mengandung

kuman penyakit yang dapat mecemari makanan yang dijual di pinggir jalan. Debu

tersebut dapat mengandung tinja atau urin dari penderita atau karier demam tifoid.

Bila makanan dan minuman tersebut dikonsumsi oleh orang sehat terutama anakanak

sekolah yang sering jajan sembarangn maka rawan tertular penyakit infeksi demam

tifoid. Infeksi demam tifoid juga dapat tertular melalui makanan dan minuman yang

tercemar kuman yang dibawa oleh lalat (Arkhaesi et al, 2019).


2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan masalah adalah Bagaimanakah

Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Klien Demam Tifoid Dengan Muntah?

3. Tujuan Studi Kasus

3.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada klien demam tifoid dengan

muntah di ruang mawar RSUD dr Gondo Suwarno Ungaran.

3.2 Tujuan khusus

3.2.1 Mengobservasi hasil pengkajian pada dokumentasi keperawatan demam tifoid

dengan muntah.

3.2.2 Mengobservasi rumusan diagnosa pada dokumentasi keperawatan demam

tifoid dengan muntah.

3.2.3 Mengobservasi intervensi pada dokumentasi keperawatan demam tifoid

dengan muntah.

3.2.4 Mengobservasi implementasi pada dokumentasi keperawatan demam tifoid

dengan muntah.

3.2.5 Mengobservasi evaluasi pasien pada dokumentasi keperawatan demam tifoid

dengan muntah.
4. Manfaat Studi Kasus

4.1 Manfaat praktis

4.1.1 Bagi Pelayanan Kesehatan

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang asuhan keperawatan

demam tifoid dengan muntah.

4.1.2 Bagi Keluarga Pasien

Memberikan pengetahuan tambahan pada keluarga pasien agar lebih

mengetahui tentang penyakit demam tifoid dengan muntah.

4.1.3 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan

dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

5. Manfaat teoritis

5.1 Bagi Penulis

Hasil kajian asuhan keperawtan ini diharapkan dapat memberikan

pengalaman yang nyata untuk melakukan observasi dalam memberikan asuhan

keperawatan demam tifoid dengan muntah dan untuk menambah wawasan penulis

khususnya dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan demam tifoid.

5.2 Bagi Iptek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam

pengembangan ilmu keperawatan tentang asuhan keperawatan demam tifoid dengan

muntah serta sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan

demam tifoid dengan muntah. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang
asuhan keperawatan demam tifoid dengan mual.

5.3 Bagi Keluarga Pasien

Memberikan pengetahuan tambahan pada keluarga pasien agar lebih

mengetahui tentang penyakit demam tifoid dengan muntah.

5.4 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan

dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

6. Manfaat teoritis

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman yang nyata

untuk melakukan observasi dalam memberikan asuhan keperawatan anak demam

tifoid dengan diare dan untuk menambah wawasan peneliti khususnya dalam

penatalaksanaan asuhan keperawatan demam tifoid pada anak.

b. Bagi Iptek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam

pengembangan ilmu keperawatan tentang asuhan keperawatan anak demam tifoid

dengan diare serta sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan asuhan

keperawatan demam tifoid dengan muntah.


BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2. Konsep Dasar Penyakit

2.1 Pengertian Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella

enterica serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga

dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid

termasuk ke dalam demam enterik. Demam typhoid ialah penyakit infeksi akut yang

biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu

minggu, gangguan pada pencernaan (Moser-Van Der Geest, Schibli, & Huber, 2019).

Tipe demam thypoid pada anak, akan terjadi demam naik turun. Demam tinggi biasanya

terjadi pada sore dan malam hari kemudian turun pada pagi hari.

Penyakit sistemik yang bersifat akut atau dapat disebut demam tifoid,

mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang bervariasi dari ringan berupa demam,

lemas serta batuk yang ringan sampai dengan gejala berat seperti gangguan

gastrointestinal sampai dengan gejala komplikasi (Sucipta, 2015).

2.2 Etiologi Demam Tifoid

Penyebab penyakit ini adalah kuman Salmonella typhi, Salmonella para typhi

A, dan Salmonella para typhi B. Wujudnya berupa basil gram negatif, bergerak dengan

rambut getar, tidak berspora, dan mempunyai tiga macam antigen (antigen O, H, dan VI).

Dalam serum penderita terdapat zat (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Salmonella typhi merupakan basil gram (-) dan bergerak dengan rambut getar. Transmisi
Salmonella typhi kedalam tubuh manusia dapat melalui hal –hal berikut:

1. Transmisi oral, melalui makanan yang terkontaminasi kuman salmonella typhi.

2. Transmisi dari tangan ke mulut, di mana tangan yang tidak higenis yang mempuyai

Slmonella typhi langsung bersentuhan dengan makanan yang di makan.

3. Transmisi kotoran, di mana kotoran individu yang mempunyai basil Salmonella typhi

kesungai atau sumber air yang digunakan sebagai air minum yang kemudian langsung

di minum tanpa di masak (Britto, Wong, Dougan, & Pollard, 2018).

2.3 Patofisiologi Demam Tifoid

Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram negatif ananerob

fakultatif. Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh melalui oral bersama dengan

makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian bakteri akan dimusnahkan dalam

lambung oleh asam lambung. Sebagian bakteri Salmonella yang lolos akan segera

menuju ke usus halus tepatnya di ileum dan jejunum untuk berkembang biak. Bila sistem

imun humoral mukosa (IgA) tidak lagi baik dalam merespon, maka bakteri akan

menginvasi kedalam sel epitel usus halus (terutama sel M) dan ke lamina propia. Di

lamina propia bakteri akan difagositosis oleh makrofag. Bakteri yang lolos dapat

berkembang biak didalam makrofag dan masuk ke sirkulasi darah (bakterimia I).

Bakterimia I dianggap sebagai masa inkubasi yang dapat terjadi selama 7-14 hari Bakteri

Salmonella juga dapat menginvasi bagian usus yang bernama plak payer. Setelah

menginvasi plak payer, bakteri dapat melakukan translokasi ke dalam folikel limfoid

intestin dan aliran limfe mesenterika dan beberapa bakteri melewati sistem

retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga melewati organ hati dan
limpa. Di hati dan limpa, bakteri meninggalkan makrofag yang selanjutnya berkembang

biak di sinusoid hati. Setelah dari hati, bakteri akan masuk ke sirkulasi darah untuk kedua

kalinya (bakterimia II).

Saat bakteremia II, makrofag mengalami hiperaktivasi dan saat makrofag

memfagositosis bakteri, maka terjadi pelepasan mediator inflamasi salah satunya adalah

sitokin. Pelepasan sitokin ini yang menyebabkan munculnya demam, malaise, myalgia,

sakit kepala, dan gejala toksemia. Plak payer dapat mengalami hyperplasia pada minggu

pertama dan dapat terus berlanjut hingga terjadi nekrosis di minggu kedua. Lama

kelamaan dapat timbul ulserasi yang pada akhirnya dapat terbentuk ulkus diminggu

ketiga. Terbentuknya ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi. Hal ini

merupakan salah satu komplikasi yang cukup berbahaya dari demam tifoid.

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala dapat muncul setelah masa inkubasi 7 – 14 hari. Gejala klinis bervariasi

mulai dari ringan sampai berat. Pada minggu pertama gejala serupa dengan penyakit

infeksi akut lain seperti demam, nyeri kepala, pusing, mialgia, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi atau diare, rasa tidak nyaman di perut, batuk, dan epistaksis. Demam meningkat

perlahan terutama sore hingga malam. Gejala pada minggu kedua lebih jelas berupa

bradikardia relatif, lidah berselaput (kotor di bagian tengah dan tepi, kemerahan pada

ujung dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, hingga perubahan status

mental (somnolen, sopor, koma, delirium, psikosis) dan demam akan semakin tinggi (39

– 40 derajat Celsius). Rose spot (ruam makulopapular, salmon-colored, dan pucat) dapat

muncul terutama di bagian dada pada akhir minggu pertama dan hilang setelah 2 – 5 hari.

Masa inkubasi demam tifoid sekitar 7 sampai 14 hari (dengan rentang 3 sampai 60 hari).
2.5 Klinikal Pathyway
2.6 Pemeriksaan Laboratorium

2.6.1 Pemeriksaan Darah Tepi

Pemeriksaan darah tepi seperti jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit

umumnya tidak spesifik untuk mendiagnosis demam tifoid. Leukopenia sering ditemukan

pada kasus demam tifoid, tetapi jumlah leukosit jarang kurang dari 2.500/mm3. Kondisi

leukopenia dapat menetap 1 sampai 2 minggu setelah infeksi. Pada kondisi tertentu,

jumlah leukosit dapat ditemukan meningkat (20.000-25.000/mm3).

2.6.2 Pemeriksaan serologi widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi.

Uji widal ini memiliki sensitivitas dan sensitivitas rendah. Pemeriksaan ini dilakukan

dengan melihat aglutinasi dalam serum penderita aglunitin yang dideteksi yaitu aglutinin

O, aglutinin H dan aglutinin Vi. Namun interpretasinya hanya dari aglutinin O dan H

saja. pemeriksaan widal sebaiknya mulai dilakukan pada minggu pertama demam. Hal ini

dikarenakan aglutinin baru meningkat pada minggu pertama dan akan semakin tinggi

hingga minggu keempat. Pembentukan aglutinin dimulai dari aglutinin O dan diikuti

dengan aglutinin H. Pada penderita demam tifoid yang telah bebas demam, aglutinin O

akan tetap ditemukan hingga 4-6 bulan sedangkan aglutinin H 9-12 bulan.

2.6.3 Pemeriksaan kultur

Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold standard dalam menegakkan

diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan kultur memiliki tingkat spesifisitas 100%.

Pemeriksaan kultur Salmonella typhi dari darah dan feses pada minggu pertama infeksi

memiliki tingkat sensitivitas sebesar 85-90% dan kemudian menurun sekitar 20-30%

seiring berjalannya waktu. Selain dari darah dan feses, pemeriksaan kultur juga dapat
dilakukan dengan menggunakan sampel urin dan cairan aspirasi sumsum tulang belakang.

Pemeriksaan kultur dari sampel urin umumnya kurang sensitif (25 – 30%). Sedangkan

pemeriksaan kultur dari sampel cairan aspirasi sumsum tulang belakang memiliki

sensitivitas 90% sampai pasien mendapatkan terapi antibiotik selama 5 hari. Namun,

tindakan aspirasi sumsum tulang belakang dapat menyebakan nyeri, sehingga harus

dipertimbangkan manfaat dan risikonya bila ingin melakukan pemeriksaan ini. Sampai

saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur. Pemilihan

spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan

awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur darah

positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya

diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel

biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun

invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.


2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid

Penatalaksanaan penyakit typhoid sampai saat ini di bagi menjadi tiga bagian yaitu:

2.7.1 Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah

komplikasi. Pada tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti

makan, minum, mandi, buang air kecil dan besar akan membantu mempercepat

masa penyembuhan. Dalam perawatan demam thypoid perlu sekali di jaga

kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang di pakai, khususnya

tempat makan.

2.7.2 Diet

Diet merupakan hal yang paling penting dalam proses penyembuhan

penyakit dengan ini karena makanan yang kurang bersih dan bergizi akan

menurunkan keadaan uamum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses

penyembuhan akan menjadi lama. Pada pasien dengan demam typhoid diberikan

makanan yang halus – halus seperti bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi

bubur kasar dan akhirnya di beri nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan

dengan tingkaat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut di tunjukan

untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau peforasi usus.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi

dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman. Disarankan untuk

mengonsumsi diet lunak rendah serat. Asupan serat maksimal yang dianjurkan

adalah 8 gram/ hari. Serta menghindari susu, daging berserat kasar, lemak terlalu

manis, asam, bumbu tajam dan diberikan dalam porsi kecil.


2.7.3 Terapi Farmakologi

a. Klorampenikol

Di Indonesia Klorampenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk

pengobatan typhoid fever. Diberikan peroral atau intravena, diberikan sampai hari

bebas demam. Penggunaannya kepada anak- anak usia 6-13 tahun tanpa komplikasi

masih efektif dalam mengobati typhoid fever ini. Perbaikan klinis biasanya akan

nampak dalam waktu 72 jam, dan suhu akan kembali normal dalam waktu 3-6 hari,

dengan lama pengobatan antara 7-14 hari. Dosis yang biasa diberikan adalah 50-

100 mg/kgBB/hari (Veeraraghavan et al., 2018).

b. Tiampenikol

Efektifitas tiampenikol pada typhoid fever hampir sama dengan

Klorampenikol. Akan tetapi kemungkinan terjadi anemia aplastik lebih rendah dari

klorampenikol. Diberikan sampai hari ke 5 dan ke 6 bebas demam. Pilihan lain

yang analog dengan kloramfenikol, yang masih digunakan di Indonesia dan masih

dianggap efektif untuk menyembuhkan typhoid fever adalah tiamfenikol. Efek

samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada

kloramfenikol. Pada penggunaan tiamfenikol 75 mg/kgBB/hari, demam pada tifoid

turun setelah rata-rata 5-6 hari. (Veeraraghavan et al., 2018).


I. RUMUSAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Risiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036)

Definisi :

Berisiko mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan perpindahan cairan dari

intravaskuler, interstisial atau intraselular.

Faktor Risiko :

1. Prosedur pembedahan mayor

2. Trauma/perdarahan

3. Luka bakar

4. Aferesis

5. Asites

6. Obstruksi intestinal

7. Peradangan pancreas

8. Penyakit ginjal dan kelenjar

9. Disfungsi intestinal

Kondisi Klinis Terkait:

1. Prosedur pembedahan mayor

2. Penyakit ginjal dan kelenjar

3. Perdarahan

4. Luka bakar
b. Risiko Defisit Nutrisi (D.0056)

Definisi :

Berisiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.

Faktor Risiko:

1. Ketidakmampuan menelan makanan

2. Ketidakmampuan mencerna makanan

3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient

4. Peningkatan kebutuhan metabolism

5. Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak mencukupi)

6. Faktor psikologis (mis. Stress, keengganan untuk makan)

Kondisi Klinis Terkait:

1. Stroke

2. Parkinson

3. Mobius syndrome

4. Cerebral palsy

5. Cleft lip

6. Cleft palate

7. Amyotropic lateral selerosis

8. Kerusakan neuromuscular

9. Luka bakar

10. Kanker

11. Infeksi

12. AIDS
13. Penyakit Crohn’s

14. Enterokolitis

15. Fibrosis kistik

c. Konstipasi (D.0049)

Definisi:

Penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta

feses kering dan banyak.

Penyebab:

Fisiologis

1. Penurunan motilitas gastrointestinal

2. Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi

3. Ketidakcukupan diet

4. Ketidakcukupan asupan serat

5. Ketidakcukupan asupan cairan

6. Anganglionik (mis. Penyakit Hircsprung)

7. Kelemahan otot abdomen

Psikologis

1. Konfusi

2. Depresi

3. Gangguan emosional
Situasional

1. Perubahan kebiasaan makan (mis. jenis makanan, jadwal makan)

2. Ketidakadekuatan toileting

3. Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan

4. Penyalahgunaan laksatif

5. Efek agen farmakologis

6. Ketidakteraturan kebiasaan defekasi

7. Kebiasaan menahan dorongan defekasi

8. Perubahan lingkungan

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Defekasi kurang dari 2 kali seminggu

2. Pengeluaran fases lama dan sulit

Objektif

1. Feses keras

2. Peristalitik usus menurun

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

1. Mengejan saat defekasi


Objektif

1. Distensi abdomen

2. Kelemahan umum

3. Teraba massa pada rektal

Kondisi Klinis Terkait:

1. Lesi/cedera pada medula spinalis

2. Spina bifida

3. Stroke

4. Sklerosis multipel

5. Penyakit parkinson

6. Demensia

7. Hiperparatiroidisme

8. Hipoparatiroidisme

9. Ketidakseimbangan elektrolit

10. Hemoroid

11. Obesitas

12. Pasca operasi obstruksi bowel

13. Kehamilan

14. Pembesaran prostat

15. Abses rektal

16. Fisura anorektal

17. Striktura anorektal


18. Prolaps rektal

19. Ulkus rektal

20. Rektokel

21. Tumor

22. Penyakit Hircsprung

23. Impaksi feses

d. Hipertermia (D.0130)

Definisi:

Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh.

Penyebab :

1. Dehidrasi.

2. Terpapar lingkungan panas.

3. Proses penyakit (misal infeksi,kanker)

4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan.

5. Peningkatan laju metabolisme.

6. Respon trauma.

7. Aktivitas berlebihan.

8. Penggunaan inkubator.

Gejala dan Tanda Mayor :

Subjektif : (tidak tersedia)


Objektif :

Suhu tubuh diatas nilai normal

Gejala dan Tanda Minor :

Subjektif : (tidak tersedia)

Objektif :

1. Kulit merah.

2. Kejang.

3. Takikardi.

4. Takipnea.

5. Kulit terasa hangat.

Kondisi Klinis Terkait :

1. Proses infeksi

2. Hipertiroid

3. Stroke

4. Dehidrasi

5. Trauma.

6. Prematuritas.
e. Nyeri Akut (D.0077)

Definisi:

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual

atau fungsional, dengan onset mendadak atau lamat dan berintensitas ringan hingga berat

yang berlangsung kurang 3 bulan.

Penyebab:

1. Agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, lakemia, neoplasma)

2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)

3. Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,

prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif : (tidak tersedia)

Objektif

1. Tampak meringis

2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)

3. Gelisah

4. Frekuensi nadi meningkat

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif : (tidak tersedia)


Objektif

1. Tekanan darah meningkat

2. pola napas berubah

3. nafsu makan berubah

4. proses berpikir terganggu

5. Menarik diri

6. Berfokus pada diri sendiri

7. Diaforesis

Kondisi Klinis Terkait:

1. Kondisi pembedahan

2. Cedera traumatis

3. Infeksi

4. Sindrom koroner akut

5. Glaukoma
II. FOKUS INTERVENSI

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi TTD


Keperawatan
1. Risiko Meningkat dengan Manajemen Cairan
Ketidakseimbangan kriteria hasil : (I.03098)
Cairan (D.0036)
- Mempertahankan Observasi
urine output sesuai
 Monitor status hidrasi
dengan usia dan BB,
(mis: frekuensi nadi,
BJ urine normal, HT
kekuatan nadi, akral,
normal
pengisian kapiler,
- Tekanan darah, nadi,
kelembaban mukosa,
suhu tubuh dalam
turgor kulit, tekanan
batas normal
darah)
- Tidak ada tanda
 Monitor berat badan
tanda dehidrasi,
harian
Elastisitas turgor
 Monitor berat badan
kulit baik, membran
sebelum dan sesudah
dialisis
 Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium (mis:
hematokrit, Na, K, Cl,
berat jenis urin, BUN)
 Monitor status
hemodinamik (mis:
MAP, CVP, PAP,
PCWP, jika tersedia)
Terapeutik

 Catat intake-output
dan hitung balans
cairan 24 jam
 Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
 Berikan cairan
intravena, jika perlu
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
2. Risiko Defisit Dapat teratasi dengan Manajemen Muntah
Nutrisi (D.0056) kriteria hasil : (I.03118)

1. Porsi makan yang Observasi


dihabiskan meningkat
 Identifikasi
2. Berat badan membaik
pengalaman muntah
3. Indeks massa tubuh
 Identifikasi isyarat
(IMT) membaik
nonverbal
ketidaknyamanan
(mis: bayi, anak-anak,
dan mereka yang tidak
dapat berkomunikasi
secara efektif)
 Identifikasi dampak
muntah terhadap
kualitas hidup (mis:
nafsu makan,
aktivitas, kinerja,
tanggung jawab peran,
dan tidur)
 Identifikasi faktor
penyebab muntah
(mis: pengobatan dan
prosedur)
 Identifikasi antiemetik
untuk mencegah
muntah (kecuali
muntah pada
kehamilan)
 Monitor muntah (mis:
frekuensi, durasi, dan
tingkat keparahan)
 Monitor efek
manajemen muntah
secara menyeluruh
 Monitor
keseimbangan cairan
dan elektrolit
Terapeutik

 Kontrol lingkungan
penyebab muntah
(mis: bau tidak sedap,
suara, dan stimulasi
visual yang tidak
menyenangkan)
 Kurangi atau
hilangkan keadaan
penyebab muntah
(mis: kecemasan,
ketakutan)
 Atur posisi untuk
mencegah aspirasi
 Pertahankan
kepatenan jalan napas
 Bersihkan mulut dan
hidung
 Berikan dukungan
fisik saat muntah
(mis: membantu
membungkuk atau
menundukkan kepala)
 Berikan kenyamanan
selama muntah (mis:
kompres dingin di
dahi, atau sediakan
pakaian kering dan
bersih)
 Berikan cairan yang
tidak mengandung
karbonasi minimal 30
menit setelah muntah
Edukasi

 Anjurkan membawa
kantong plastik untuk
menampung muntah
 Anjurkan
memperbanyak
istirahat
 Ajarkan penggunaan
Teknik non
farmakologis untuk
mengelola muntah
relaksasi
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
obat antiemetik, jika
perlu

3. Konstipasi (D.0049) Manajemen Eliminasi


Kriteria hasil untuk Fekal (I.04151)
membuktikan bahwa
eliminasi fekal membaik Observasi
adalah:
 Identifikasi masalah
1. Kontrol pengeluaran usus dan penggunaan
feses meningkat obat pencahar
2. Keluhan defekasi lama  Identifikasi
dan sulit menurun pengobatan yang
3. Mengejan saat defekasi berefek pada kondisi
menurun gastrointestinal
4. Konsistensi feses  Monitor buang air
membaik besar (mis: warna,
5. Frekuensi BAB frekuensi, konsistensi,
membaik volume)
6. Peristaltik usus  Monitor tanda dan
membaik gejala diare,
konstipasi, atau
impaksi
Terapeutik

 Berikan air hangat


setelah makan
 Jadwalkan waktu
defekasi Bersama
pasien
 Sediakan makanan
tinggi serat
Edukasi

 Jelaskan jenis
makanan yang
membantu
meningkatkan
keteraturan peristaltik
usus
 Anjurkan mencatat
warna, frekuensi,
konsistensi, volume
feses
 Anjurkan
meningkatkan
aktivitas fisik, sesuai
toleransi
 Anjurkan
pengurangan asupan
makanan yang
meningkatkan
pembentukan gas
 Anjurkan
mengkonsumsi
makanan yang
mengandung tinggi
serat
 Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
obat supositoria anal,
jika perlu.
4. Hipertermia Manajemen Hipertermi
(D.0130) Kriteria hasil untuk
membuktikan bahwa (I.15506)
termoregulasi membaik Observasi
adalah:

1. Menggigil menurun  Identifikasi penyebab


2. Suhu tubuh normal hipertermia (mis:
3. Nadi dan RR normal. dehidrasi, terpapar
lingkungan panas,
penggunaan
inkubator)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar
elektrolit
 Monitor luaran urin
 Monitor komplikasi
akibat hipertermia
Terapeutik

 Sediakan lingkungan
yang dingin
 Longgarkan atau
lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hyperhidrosis
(keringat berlebih)
 Lakukan pendinginan
eksternal (kompres
hangat pada dahi,
leher, dada, abdomen,
aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi

 Anjurkan tirah baring


Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
5. Nyeri Akut (D.0077)
Kriteria hasil untuk Pemberian Analgesik
membuktikan bahwa (I.08243)
tingkat nyeri menurun
adalah: Observasi

1. Keluhan nyeri menurun  Identifikasi


2. Meringis menurun karakteristik nyeri
3. Sikap protektif (mis: pencetus,
menurun pereda, kualitas,
4. Gelisah menurun lokasi, intensitas,
5. Kesulitan tidur frekuensi, durasi)
menurun  Identifikasi Riwayat
6. Frekuensi nadi alergi obat
membaik  Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesik dengan
tingkat keparahan
nyeri
 Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
 Monitor efektifitas
analgesik
Terapeutik

 Diskusikan jenis
analgesik yang
disukai untuk
mencapai analgesia
optimal, jika perlu
 Pertimbangkan
penggunaan infus
kontinu, atau bolus
opioid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
 Tetapkan target
efektifitas analgesik
untuk
mengoptimalkan
respons pasien
 Dokumentasikan
respons terhadap efek
analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
Edukasi

 Jelaskan efek terapi


dan efek samping obat
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgesik, sesuai
indikasi

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Demam tifoid merupakan infeksi saluran pencernaan yang disebabkan

oleh bakteri Salmonella typhi. . Dengan gejala demam selama 1-2 minggu yang

ditandai dengan demam tinggi nyeri pada bagian perut, dan mual muntah dan bisa

menyebabkan penurunan kesadaran. Sehingga perawat dituntut untuk menjaga dan

mengawasi kebutuhan cairan dan elektrolit, hipertermi, dan status nutrisi pada

pasien. Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold standard dan dapat

didiagnosis dengan pemeriksaan fisik, darah perifer, serologi. Demam tifoid


berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk. Pilihan antibiotik untuk demam tifoid

adalah golongan dari fluoroquinolon.

3.2 Saran

a. Mengadakan penyuluhan cara hidup sehat dan pencegahan penyakit demam

tifoid kepada masyarakat, terutama masyarakat dengan pendidikan yang kurang.

b. Sebaiknya semua penderita tifoid dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapat

perawatan yang sempurna.

c. Sebaiknya penderita tifoid mendapat pengobatan sesuai dengan dosis dan

ketentuan pengobatan, untuk mencegah terjadinya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Kasper DL, et al. Harrison principles of internal

medicine 19th ed. USA: Mc Graw Hill; 2015.

Paul UK, Bandyopadhyay A. (2017). Typhoid fever: A review. Int J Adv Med.

Sultana S, Maruf AA, Sultana R, Jahan S.(2016). Laboratory diagnosis of enteric fever: A

review update. Bangladesh J Infect Dis.

Diri, K., Kebiasaan, D. A. N., & Di, J. (2016).Analisis Risiko Kejadian Demam Typhoid

Berdasarkan Kebersihan Diri Dan Kebiasaan Jajan Di Rumah. Jurnal Berkala

Epidemiologi. 4, 74–86. 10.20473/jbe.v4i1.74-86.


Nurarif. A.H. dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan

Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction.

Herdman,T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses :

Definitions & classification, 2018-2020. Oxford : Wiley Blackwell

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator

Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai