Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

APPENDISITIS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah
Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Bedah
di Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Disusun oleh:
Yuana Astaringg
30101407352

Pembimbing:
Kolonel dr. Akhmad Rusli Budi Ansyah, Sp.B, MARS

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
CASE BASED DISCUSSION
HEMOROID

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Rumah Sakit TK.II
dr. Soedjono Magelang

Oleh :

Yuana Astaringga
30101407352

Magelang, November 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

Kolonel dr. Akhmad Rusli Budi Ansyah, Sp.B, MARS


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan Karunia-

Nya saya dapat menyelesaikan tugas penyusunan laporan kasus yang berjudul

“APPENDISITIS”.

Adapun laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang dilaksanakan di Rumah

Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Kolonel dr. Akhmad Rusli Budi Ansyah,

Sp.B, MARS yang telah membimbing dalam penyelesaian laporan kasus ini serta pihak yang

secara langsung maupun tidak langsung membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.

Akhir kata bila ada kekurangan dalam pembuatan laporan kasus ini saya mohon kritik

dan saran yang bersifat membangun menuju kesempurnaan dengan berharap laporan kasus

ini bermanfaat bagi pembacanya.

Magelang, 13 November 2019

Penyusun
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. NW
Usia : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Trenten 03/02 Candimulyo Magelang
MR number : 135***
Ruang : Edelweis

B. Data
1. Anamnesis

Keluhan Utama: Nyeri pada perut kanan bawah


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RST dr. Soedjono pada tanggal 9 November 2019
dengan keluhan nyeri pada bagian perut kanan bawah. Awalnya nyeri dirasakan
disekitar pusar, kemudian berpindah diperut kanan bawah. Nyeri tersebut mulai
muncul sejak 6 bulan yang lalu dan dirasakan hilang timbul. Keluhan nyeri mulai
dirasakan memberat dalam 3 hari SMRS. Nyeri hilang timbul dan memberat saat
digunakan untuk aktivitas. Nyeri tersebut sempat berkurang, saat diberikan obat
anti nyeri yang dibelikan di apotek, namun akan kambuh selang beberapa jam
meminum obat tersebut. 1 hari SMRS, pasien kembali merasakan nyeri, terus-
menerus, lebih nyeri dari biasanya, dan lebih nyaman apabila dalam posisi
membungkuk. Pasien mengaku sangat jarang mengkonsumi serat, karena pasien
tidak suka sayur dan buah. Pasien juga mengeluhkan bahwa BAB kurang lancar,
seminggu hanya 1-2x, keras, darah (-), namun lendir (-), BAK lancar. Mual
muntah (+), demam (-). Pasien sempat beberapa kali memeriksakan keluhan
tersebut, namun keluhan tersebut tetap saja kambuh kembali, selang beberapa
waktu setelah periksa.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi disangkal


Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi (+)


Riwayat hemoroid (-)

Riwayat DM (+)

Riwayat Kebiasaan
Kurang mengkonsumsi sayur, buah, air putih
BAB 2x seminggu
Riwayat Sosial - Ekonomi
Pasien merupakan seorang pekerja SWASTA dan berobat menggunakan
asuransi kesehatan.

2. Pemeriksaan Fisik

• Keadaan umum : tampak nyeri berat


• Kesadaran : Komposmentis
a. Vital sign
• Tekanan darah : 130/90 mmHg
• Heart rate : 80 x/mnt
• Respiratory rate : 20 x/mnt
• Suhu tubuh : 36,5o C
b. Status Antropometri
• Berat Badan : 65 kg
• Tinggi badan : 175 cm
• BMI : 21,22 (normal)
c. Umum : tampak sakit sedang
d. Kepala : mesocephal, jejas (-)
e. Mata : mata merah (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
penglihatan kabur (-), pupil isokor (+/+)
f. Telinga : berdenging (-/-), kurang pendengaran (-/-), discharge (-/-)
g. Hidung : simetris, nafas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-), discharge
(-/-)
h. Mulut : simetris, sianosis (-), bibir pucat (-), mukosa hiperemis (-),
deviasi lidah (-), lidah tremor (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-
).
i. Tenggorokan : nyeri tenggorokan (-), serak (-), nyeri telan (-)
j. Leher : deviasi trachea (-), pembesaran thyroid (-), pembesaran
kelenjar limfe (-).
k. Dada : Dada kanan kiri simetris, pernafasan thorakoabdominal.
Cor : Bunyi jantung I-II normal, regular
Pulmo : Vesikuler, wheezing-/-, ronkhi -/-
l. Ekstremitas : oedem ekstremitas (-/-), reflex patologi (-/-)

PEMERIKSAAN FISIK THORAKS

PULMO:
INSPEKSI ANTERIOR POSTERIOR

RR : 20 x/min,
Hiperpigmentasi (-),
Hyperpigmentasi (-),
tumor (-),
tumor (-), inflammation
inflammation (-),
Statis (-), spider nevi (-),
spider nevi (-),
Hemithorax D=S, ICS
Hemithorax D=S,
Normal, Diameter AP =
Diameter AP = LL
LL

Pergerakan Hemithorax Pergerakan hemithorax


Dinamik
kanan = kiri kanan = kiri

Nyeri tekan (-), tumor (-), Nyeri tekan (-), tumor


PALPASI ICS normal, Stem (-), ICS normal,
fremitus D=S Sterm fremitus D=S

PERKUSI D= Sonor, S= sonor D= Sonor, S= sonor

SDV normal, ronchi (-) , SDV normal, ronchi (-) ,


AUSKULTASI
wheezing (-) wheezing (-)

JANTUNG:

INSPEKSI Ictus cordis tidak terlihat

Kuat angkat (+), pulsus parasternal (-), sternal lift (-), pulsus
PALPASI
epigastrium (-)
Redup
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra (N)
Kiri jantung : ICS V linea midcalvicula sinistra 2 cm ke
PERKUSI
arah medial (N)
Batas atas jantung : ICS II lineasternalis sinistra (N)
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra (N)
Mitral : M1 > M2, bising suara jantung (-)
AUSKULTASI
Trikuspid : T1 > T2, bising suara jantung (-)
Aorta : A2 > A1, bising suara jantung (-)
Pulmonal : P2 > P1, bising suara jantung (-)

ABDOMEN:
INSPEKSI hyperpigmentasi (-), sikatrik(-), striae(-),
Bising peristaltik (-)  15 kali/menit, bising pembuluh
AUSKULTASI
darah (-)
Perkusi 4 regio : timpani (nyeri pada regio kuadran kanan
bawah)
PERKUSI Hepar : pekak (-)
Lien : troube space (-)
Ginjal : nyeri ketok ginjal (-)
Superfisial  Nyeri tekan abdomen region kanan bawah (+)
, Massa (-), defence muscular (+)
Dalam  Nyeri pada region kuadran kanan bawah
(+),teraba adanya massa, sebesar biji rambutan, jumlah 1,
PALPASI
konsistensi keras,permukaan berbenjol-benjol, nyeri (+),
Nyeri alih (-)
Nyeri tekan Mc Burney (+)
Rovsing sign (+)
 Turgor kulit : normal
EKSTREMITAS

EKSTREMITAS Superior Inferior

Oedem -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Capillary refill <2 detik <2 detik

Ulkus -/- -/-

Refleks Fisiologis +/+ +/+

Refleks Patologis -/- -/-

Rectal Toucher:

 Pasien saat pemeriksaan colok dubur, pasien berbaring posisi sim (miring
ke lateral), dan pasien diminta untuk mengedan

Inspeksi

 Tidak tampak benjolan, hematom perianal (-), abses (-)

Palpasi

 Tonus sphingter ani baik,tidak teraba massa, nyeri tekan (+) pada jam 9
dan 12, pada sarung tangan darah (-), lendir (-), feses (-).

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Nilai normal Satuan

Leukosit 8.100 4000 – 10.000 /µL

Eritrosit 4.8 3,7 – 5,8 10^6µL

Hemoglobin 13.3 13,1 – 17,5 g/dl

Hematokrit 37.7 31 – 45 %

Trombosit 183.000 154.000 – 442.000 uL


MCV 77.1 80 – 100 fL

MCH 27.2 22 – 34 Pg

MCHC 35.3 32 – 36 g/dl

GRA% 64.2 50-70 %

LYM% 28.8 25-40 %

MID % 7.0 2–8 %

CT/BT

Masa Pembekuan (CT) 12 8-18 Menit

Masa Perdarahan (BT) 4 2-6 Menit

Fungsi Ginjal

UREUM/KREATININ 33/1.2 13-43/0.8-1.3 mg/dl


Abnormalitas Data

Anamnesis

1. Nyeri pada perut kanan bawah


2. Nyeri memberat saat beraktivitas
3. BAB 3 - 4 hari sekali,
4. Jarang mengkonsumsi sayur, buah, air putih
5. Mual muntah (+)

Px. Fisik

6. Rectal Toucher : Didapatkan adanya nyeri pada arah jam 9 dan 12.
7. Perkusi : Didapatkan adanya nyeri saat diperkusi pada rego kanan bawa
8. Palpasi : Didapatkan adanya nyeri pada kanan bawa, terana masa sebesar biji
rambutan, lonjong, konsistensi keras,permukaan berbenjol-benjol, nyeri (+), suhu
normal (+)

Px. Penunjang

9. Darah Rutin : Dalam batas normal

Problem List
Appendisitis infiltrat
Pembahasan Problem List

 Assesment
Pasien laki-laki usia 46 tahun dengan diagnosis Appendisitis akan dilakukan
Laparotomy pada tanggal 11 November 2019.
 Planning
Jenis pembedahan : Laparotomy
Jenis anestesi : Anestesi Spinal (Regional)

Laporan Operasi

1. Posisi pasien terlentang.

2. Anestesia dilakukan dengan spinal anestesia

3. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis

4. Dibuat insisi pada bawah umbilicus secara vertikal sepanjan kurang lebih 5-7 cm,
lapis demi lapis.

5. Dilakukan laparotomy untuk menemukan appendix

6. Jepit appendix menggunakan klem, kemudian dilakukan insisi dan eksisi

7. Perdarahan didab

8. Luka insisi dan eksisi dijahit

9. Dilakukan penjahitan pada abdomen lapis demi lapis

10. Ditutup menggunakan kassa betadine dan kasa kering.

Instruksi Pasca Operasi

1. Infus RL 20 tpm
2. Inj Ketorolac 30 mg/8 jam
3. Asam Tranexamat 500 mg/8 jam
4. Cefotaxim 1 gr/12 jam
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Appendisitis

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm

(kisaran 3- 15cm), dan berpangkal di caecum . Apendiks menghasilkan lender 1-2ml

per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir

ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada

pathogenesis appendicitis. Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada

Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering

pada anak-anak maupun dewasa.( Mansjoer 2010)

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat

dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga

membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari

ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks

lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan

tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal

untuk membungkus proses radang

2. EtiologiHemoroid

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan

penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi

jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat dan cacing

usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat

mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi

penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. Frekuensi obstruksi meningkat

dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus
apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan

sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture.1,12 Penyebab lain yang

diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit

seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan

makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon

biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.

3. Anatomi dan Fisiologi

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan

Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat

pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya

Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih

medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus

mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix

selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix

ditentukanoleh lokasi Caecum


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-

15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan

melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,

lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin

menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus,

apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak

dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada

kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di

belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis

appendicitis ditentukan oleh letak apendiks . Persarafan parasimpatis berasal dari

cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis,

sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri

visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus .

Ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar diatas.

Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila

Appendix mengalami peradangan


Gambar 2. Vascularisasi apendiks

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica a.apendikularis yang

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena

thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren.

Gambaran histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada

submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.

Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa.

Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis dan

parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis berasal dari

medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis berasal dari kedua

nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks vermiformis mengiringi saraf

simpatis ke segmen medula spinalis thorakal 10 (Moore, 2006). Posisi apendiks

terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%), patileal (5%), paracaecal

(2%),

anteileal (2%) dan preleal (1%) (R.Putz dan R.Pabst, 2006). Pada 65% kasus,

apendiks terletak intraperitoneal, yang memungkinkan apendiks bergerak dan ruang

geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus


selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang

kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks(Schwartz)

Gambar 1. Variasi lokasi Appendix

Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara

apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin

sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat

di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat

efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks

tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil

sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

(Schwartz)

4. PatofisiologiAppendisitis

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus

yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal

hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen

sekitar 60 cmH20. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks

mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi

bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan

semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding

apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri

epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu

tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.. Bila

sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus

dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat

sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan

apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi

apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate

apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.4

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai

dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 - 48 jam

pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang

dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa

abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan

sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding

apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah

terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.4 Kecepatan rentetan peristiwa

tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada

dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain

seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir

proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi

perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai

tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum

abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar- benar istirahat (bedrest).15

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan

bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan

mengalami eksaserbasi akut.

5. Klasifikasi Appendisitis

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis

kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

1. Appendisitis Akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,

disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala

apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri

viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering

disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam

beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan

lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik

setempat.

Apendisitis akut dibagi menjadi :

a. Apendisitis Akut Sederhana

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan

terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran

limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala

diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,

anoreksia, malaise dan demam ringan (Rukmono, 2011).

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema

menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan

menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan

edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar

berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa

sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.

Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di

dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan


rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik

Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.

Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai

dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).

c. Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai

terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan

tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian

tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau

merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat

mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen

(Rukmono, 2011).

d. Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,

kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa

flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya (Rukmono,

2011).

e. Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi

nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum,

retrosekal, subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).

f. Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren

yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga


terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah

perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).

2. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan

adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang

kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria

mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding

apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan

parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik.

Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-

kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan

eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan

ikat (Rukmono, 2011).

6. Tanda dan Gejala Appendisitis

Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian

disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya

bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan

muntah. Dalam 2 - 12 jam nyeri beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan

diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan

demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-

kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum
ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen

kanan bawah akan semakin progresif.4 Apendisitis akut sering tampil dengan gejala

khas yang didasari oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda

setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umunya nafsu

makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ketitik

McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat

konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu

dianggap berbahaya karena bias mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat

perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau

batuk.1 Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung

sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada

rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul

pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.1

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan

gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,

pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi

menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena

rangsangan dindingnya.7 Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis

sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis

akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau

makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam

kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik.

Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada

bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.1


Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang

terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis

setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,

dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering

juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks

terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah

tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

7. Diagnosis Appendisitis

Diagnosis appendisitis dapat dilakukan dengan melakukan:


a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini

terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau

rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut

untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain

adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C tetapi jika suhu lebih

tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi di dapat penderita berjalan

membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi

perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses

(Departemen Bedah UGM, 2010). Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar

atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan

sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :

3. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan

kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda

kunci diagnosis.

4. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness

(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah

saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya

dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

5. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.

6. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah

apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini

diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi

peritoneal pada sisi yang berlawanan.

7. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh

peradangan yang terjadi pada apendiks.

8. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut

difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif,

hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah

hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat

peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena

peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak

membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah


terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada

pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-

12 (Departemen Bedah UGM, 2010).

Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat

dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado

Tabel Skor Alvarado Skor


Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Nafsu makan menurun 1
Mual dan atau muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas Mc. Burney 1
Nyeri tekan pada titik Mc. Burney 2
Demam (suhu > 37,2° C) 1
Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (leukosit > l 0.000/ml) 2
Shift to the left (neutrofil > 75%) 1
TOTAL 10
Sumber : www.alvarado score for appendicitis.co.id

Interpretasi:

Skor 7-10 = apendisitis akut,

Skor 5-6 = curiga apendisitis akut,

Skor l-4 = bukan apendisitis akut.

Pembagian ini berdasarkan studi dari McKay (2007).

9. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium

a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.

b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat


leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang

meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit

meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh

terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut

dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb

(hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat

pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat

apakah terdapat infeksi pada ginjal.

10. Pemeriksaan Radiologi

a. Apendikogram

Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04

serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara

peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam

untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram

dibaca oleh dokter spesialis radiologi.

b. Ultrasonografi (USG)

USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses

subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,

atau efusi pleura (Penfold, 2008)

8. Diagnosis Banding Appendisitis

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena

penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan apendisitis,

diantaranya :
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare

mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis

kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.

2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau

gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan

perasaan mual dan nyeri tekan perut.

3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan

diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan

hematokrit yang meningkat.

4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan

apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan

nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita

biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.

5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat

memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan

siklusmenstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam

waktu 24 jam.

6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan

keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan

di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di

pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.

7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan

apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip

pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan


bedah yang sama.

8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi

gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan

sekum.

9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan

menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,

penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.

9. Tatalaksana Appendisitis

Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi

oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk

tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan

granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada

apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita

terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam

jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.

Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini

adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi

untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan

ringan yang longgar dan sangat berbahaya dan bilamana karena massa ini telah

menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka

harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.

Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikro perforasi

ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa

periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus


keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.

Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi

untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah.1,17

Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien

dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan

sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu

tubuh, ukuran massa, sertaluasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa

periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi

elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan

dapat ditekan sekecil mungkin. 1,17

Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan

kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan

massa, serta bertambahnya angka leukosit.7 Massa apendiks dengan proses radang

yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien

dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum.

Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit

infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana

tanpa perforasi.

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah

apabila dilakukanakan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa

apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.

Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun

tanpa peritonitis umum.


Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,

wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau

berkembang menjadi abses,dianjurkan operasi secepatnya.

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka

operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.

Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :

a) Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.

b) Diet lunak bubur saring

c) Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu

kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase

saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak

ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak

menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan

tindakan bedah.1,13

d) Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48

jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka

harus dipertimbangkan appendiktomy.

Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada

hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil,

tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri

tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila

apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber
infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika

dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan

selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase

didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari,drain dapat diputar

dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik

sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan

abses tiap hari penderita di RT. 13

Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :

- LED

- Jumlah leukosit

- Massa

Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :

1. Anamnesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen

2. Pemeriksaan fisik :

 Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal

dan aksiler)

 Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat

 Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil

dibanding semula.

3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :

- Bila LED telah menurun kurang dari 40

- Tidak didapatkan leukositosis

- Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak

mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa

- Apakah penderita sudah bed rest total

- Pemberian makanan penderita

- Pemakaian antibiotik penderita

- Kemungkinan adanya sebab lain.

4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada

perbaikan, operasi tetap dilakukan.

5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan

terapi adalah drainase.


Komplikasi

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa

perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan

sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, lekuk usus halus.

Pada apendisitis infiltrat dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat

terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh

peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih

bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut.

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga

abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

Resume

Pasien masuk ke RST dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari

sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan disekitar pusar, kemudian

berpindah diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak menjalar

serta dirasakan makin lama makin memberat. Nyeri dirasakan memberat saat perut

bagian kanan ditekan dan pasien bergerak, sehingga pasien susah beraktivitas. Pasien

juga mengalami demam (+), mual (+), muntah (+) saat masuk rumah sakit.

Hal tersebut diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa gejala klasik

apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus

yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 - 12 jam nyeri beralih kekuadran kanan,

yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan

anoreksia, malaise,. Pasien juga mengeluh sulit BAB dan belum BAB selama 4 hari,

hal tersebut juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah pada pasien dengan

apendisitis.

Pada pemeriksaan fisik teori menyatakan bahwa demam biasanya ringan,

dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi

perforasi, pada pasien suhu tertinggi yang didapatkan adalah 37,80C. Pada inspeksi

perut tidak tampak penonjolan pada daerah perut kanan bawah, pada palpasi

didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, hal tersebut juga sesuai teori,

pada perkusi biasanya didapatkan nyeri ketok tapi pada pasien tersebut nyeri ketok (-)

sedangkan pada auskultasi didapatkan bising usus normal.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil darah rutin yang menunjukkan

hasil normal.

Untuk tatalaksana pada pasien dilakukan sesuai dengan teori yaitu terpi konservatif

dengan dianjurkan untuk total bed rest, posisi fawler, diet bubur dan diberikan

antibiotik parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob dan analgesik.


KESIMPULAN

1. Apendisitis infiltrat merupakan komplikasi dari apendisitis akut. Apendisitis


infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh
omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa
(appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak
peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih
sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan
tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal
untuk membungkus proses radang.
2. Etiologi dan patofisiologi appendisitis infiltrat diawali oleh adanya apendisitis
akut. Dimulai dari
o acute focal gangrenous appendicitis
o acute suppurative apendicitis
Appendicitis dapat (tahap pertama dari apendisitis yang mengalami
komplikasi) terjadi 3 kemungkinan :

o perforated apendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau


rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi apendisitis infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama kelamaan
akan mengecil dan menghilang)
o apendisitis kronis, merupakan serangan ulang apendisitis yang telah sembuh.
3. Appendisitis infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat
apendisitis akut dengan tanda khasnya, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
mendukung. Diagnosis apendisitis infiltrat dapat dibingungkan dengan penyakit
lain pada kuadran kanan abdomen dengan massa diantaranya tumor cekum,
lymfoma maligna intra abdomen, apendisitis tuberkulosa, amuboma, penyakit
crohn, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun kista ovarium
terpuntir.
4. Terapi appendisitis infiltrat adalah operasi elektif appendiktomy jika massa
dianggap tenang dengan sebelumnya diberikan terapi konservatif dengan
kombinasi antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob selama 6-8
minggu. Apabila massa mengecil pembedahan dapat dibatalkan tetapi apabila
massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan
massa harus segera dibuka dan dilakukan drainase.
5. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perforasi apendisitis yang
dapat mengakibatkan peritonitis yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan organ
dan kematian. Komplikasi terjadi biasanya akibat keterlambatan diagnosa
apendisitis akut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-646.

2. Buckius, et al., 2011.Changing epidemiology of acute appendicitis in the United


States: study period 1993-2008.J Surg Res. 2012 Jun 15;175(2):185-90. doi:
10.1016/j.jss.2011.07.017. Epub 2011 Aug 9.
3. Thomas, Gloria A.,et. Al. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
4. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit MediaAesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
8. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery
Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins. 2001: 1466-78
9. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family
Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011.
From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html
10. Appendicitis. Available at: http://digestive.
niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/appendicitis/index.aspx.
11. Everhart, James E., 2004. Appendicitis. Chapter 17 No. 89 January 2009.
http://www2.niddk.nih.gov/NR/rdonlyres/78371061-3E1A-4ECC-B3B6-
4D16FF8B9306/0/BurdenDD_ch17_Jan2009.pdf.
12. Diseases Of The Colon & Rectum. Available at:
http://www2.niddk.nih.gov/NR/rdonlyres/F68D12F4-82E5-43C6-8D80-
97BCF3520E38/0/NCDD_04272009_ResearchPlan_DiseasesofColonRectum.pdf.
Accessed at: December 11, 2011.
13. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-
Graw Hilla Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
14. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-
15.www.emedmag.com
15. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR.
Surabaya.
16. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
17. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah
MadaUniversity Press. Yogyakarta.
18. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
NationalInstitute of Health. NIH Publication No. 04±4547.June 2004
www.digestive.niddk.nih.gov

Anda mungkin juga menyukai