Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh manusia sebagau
satu organ pengatur keseimbangan tubuh dan organ pembuangan zat-zat yang
tidak berguna serta bersifat toksis. Fungsi ginjal yang terpenting adalah untuk
mempertahankan homeostasis biokimiawi yang normal di dalam tubuh, hal ini
dilakukan dengan cara mengekresikan zat-zat yang tidak diperlakukan lagi
melalui proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus.
Sindrom nerotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
dijumpai pada anak, merupakan kumpulan gejala-ejala klinis yang terdiri dari
preoteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta edema. Sekitar 90%
kasus anak adalah sindrom nefrotik primer. Sinrom nefrotik yang paling banyak
ditemukan adalah jenis kelainan minimal yaitu sekitar 76%.
Angka kejadian di Indonesia pada sindrom nefrotik mencapai 6 kasus
pertahun dari 100.000. Jumlah penderita sindrom nefrotik bertambah tiap
tahunnya dibeberapa negara. Angka kejadian di Amerika dan Inggris berkisar
antara 2-7 per 100.000 anak
Data studi dan epidemiologi tentang sindrom nefrotik di Indonesia belum
ada, namun di luar negeri yaitu Amerika Serikat, sindrom nefrotik merpakan salah
satu penyebab gagal ginjal kronik dan merupakan masalah kesehatan yang utama
dengan jumlah penderita mencapai 225 (11,86 %) orang pertahun dari 2150 orang
yang berobat ke rumah sakit.
Umumnya pada sindrom nefrotik fungsi ginjal normal kecuali pada bagian
kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pembengkakan yang
terjadi pada mata, kaki maupun badomen bisa diidentifiksikan sebagai salah satu
tanda- tanta dari sinrom nefrotik. Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinis
utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom

nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira anak
bertambah gemuk.
Sindrom nefrotik berkembang menjadi gagal ginjal total apabila tidak
dilakukan perawatan dan usaha penyembuhan yang baik dari tenaga kesehatan.
Maka dari itu perlu pengetahuan yang baik mengenai sindrom nefrotik agar dapat
mengatasi gejala dan mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih lanjut serta
serta komplikasi lainnya.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

ANAMNESIS
1. IDENTIFIKASI
Seorang laki-laki, Tn. P, usia 16 tahun, agama Islam, alamat
Kebun Tebeng Kota Bengkulu, pekerjaan satpam, dirawat diruang
Melati RSUD DR. M. Yunus Bengkulu sejak tanggal 9 Februari 2016
dengan keluhan utama bengkak diseluruh badan sejak 15 jam SMRS.
2. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Sejak 15 jam yang lalu pasien mengaku badannya sembab.
sembab muncul dipagi hari saat bangun tidur dimulai pada area muka
terutama disekitar mata, kaki dan tangan kemudian di seluruh badan.
Sembab tidak disertai dengan sesak. Sembab tidak disertai batuk.
Keluhan tidak disertai demam. Pasien juga mengalami muntah
sebanyak 5 kali yang berisi makanan yang dimakan sebanyak 1
setengah gelas air mineral. Pasien merasa nafsu makannya menurun.
Pasien juga mengeluhkan badannya lemas. BAK lancar, 1 gelas air
mineral 3-4 kali dalam sehari. BAK berwarna coklat, keruh dan
berbusa. Nyeri saat BAK tidak ada. BAB lancar 1 kali setiap hari.
3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
a. Riwayat kencing manis disangkal
b. Riwayat batu ginjal dan saluran kemih disangkal
c. Riwayat infeksi saluran kemih disangkal
d. Pasien pernah di rawat karena sindrome nefrotik 5 bualn lalu.
Setelah dirawat pasien tidak pernah kontrol ulang.
e. Riwayat hipertensi disangkal
f. Riwayat sakit maagh

4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


a. Saudari pasien meninggal karena gagal ginjal
b. Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal
c. Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
d. Riwayat sakit ginjal dalam keluarga disangkal
5. RIWAYAT KEBIASAAN
a. Pasien merokok 1bungkus setiap hari (16 batang/ bungkus)
b. Pasien minum teh setiap pagi
c. Pasien minum minuman penambah stamina setiap siang
d. Riwayat sering minum alkohol disangkal
e. Pasien jarang berolahraga

6. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Os merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara. Os tinggal bersama kedua
orangtua, istri dan adiknya. Status ekonomi sedang.

II.

PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS PRAESENS
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran
: Kompos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi
: 82x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernapasan
: 18x/menit, abdominotorako
Suhu Aksila
: 36.50 C
Berat Badan
: 70 kg
Tinggi Badan
: 168 cm
2. STATUS GENERALIS
Kepala

: Normocephal, rambut hitam, tersebar merata, dan tidak

Mata

rontok
: Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
eksoftalmus (-/-), edema palpebra (+/+)

Hidung

: Sekret -/-, nafas cuping hidung (-), deviasi (-)

Telinga

: Sekret -/-, nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-

Mulut

: Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-), gusi


berdarah (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

Leher

: JVP (5-2) cmHO, pembesaran kelenjar getah bening (-),


tiroid tidak teraba membesar

Thoraks
Paru
Inspeksi

: Statis, dinamis simetris, retraksi (-), otot bantu nafas (-)

Palpasi

: Stemfremitus simetris kiri dan kanan, ekspansi


dinding dada dextra sinistra simetris.

Perkusi

: Sonor pada lapangan paru dextra dan sinistra


Nyeri ketok (-) pada semua lapanggan paru

Auskultasi : Vesikuler (+) di seluruh lapang paru dextra dan sinistra,


Ronkhi -/-, wheezing -/Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis terlihat di ICS 4 linea midklavikula sinistra

Palpasi

: Iktus kordis teraba di ICS 4 linea midklavikula sinistra


Tril (-), Kuat angkat (-)

Perkusi

: Batas kanan jantung di ICS 5 linea parasternalis dextra,


Batas kiri jantung di ICS 4 linea midklavikula sinistra

Batas atas jantung ICS 2 linea parasternalis sinistra


Auskultasi : BJ1 dan BJ2 (+) reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi

: Datar, scar (-), striae (-)

Auskultasi : BU (+) Normal


Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium, hepar dan lien


tidak teraba, Ballotment (-), nyeri ketok CVA (-),

Perkusi

: Timpani di seluruh regio abdomen, Shifting dullnes (-)

Ekstremitas
Superior

: Akral hangat +/+, CRT <2 detik, edema(+/+), akral


pucat (-/-)

Inferior

: Akral hangat +/+, CRT <2 detik, edema(+/+),


akral pucat (-/-)

Genital:
Inspeksi

: Luka(-), Skar (-), Edema (+) pada skrotum, Hiperemis (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM
Hb
: 15,3 g/dl
Ht
: 45%
Leukosit
: 9.100 mm3
Trombosit
: 369.000 sel/mm3
Kolestrerol
: 536
Ureum
: 38 mg/dl
Creatinin
: 1,4 mg/dl

IV.

RESUME
Dari anamnesis didapatkan informasi dari pasien berupa keluhan
sebagai berikut; Pasien mengalami bengkak di seluruh tubuh, muntah 5
kali sebanyak 1,5 gelas air mineral. Nafsu makan menurun dan disertai
lemas. BAK lancar warna orange dan keruh. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kelainan berupa edema anasarka dan nyeri tekan abdomen pada
regio epigastrium. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan kadar kolesterol : 536 mg/dl, penurunan kadar protein total:
4,3, penurunan kadar albumin 1,9, peningkatan kadar globulin 7,4.

V.

MASALAH
1. DAFTAR MASALAH
a. Sindroma nefrotik
b. Dispepsia

2. PENGKAJIAN MASALAH
a. Sindroma Nefrotik
Pada pasien ini dipikirkan mengalami sindroma nefrotik karena
dari anamnesis adanya gejala seperti edema anasarka, dan BAK
keruh. Selain itu pasien juga pernah dirawat dengan keluhan yang
sama dengan diagnosis sindroma nefrotik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan edema paada palpebra, wajah dan ekstremitas. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar kolesterol yang
meningkat, dan penurunan jumlah protein total.
Rencana Diagnostik
-

Urinalis (protein urin, epitel, leukosit, eritrosit dan kristal)

USG ginjal

SGOT

SGPT

Profil lipid

Biopsi ginjal

Rencana Terapi
Non- Farmakologi
-

Istirahat

Diet rendah protein 0,8 1,0 gr/KgBB/Hari

Diet rendah garam (1-2 g/hari)

Farmakologi
-

IVFD RL Asnet

Inj. Furosemid 2 x 1 amp (IV)

Methylprednisolon 1x 80 mg (IV) pagi


Dosis 2 mg/kg/ hari, dosis maksimal 80 mg/hari

Simvastatin 1 x 10 mg

Enalapril 2 x 17,5 mg (0,5 mg x 70 kg/hari dibagi 2 kali


pemberian = 35/2 mg = 17,5 mg/ sekali pemberian)

Rencana Edukasi
- Menjelaskan kepada

pasien

dan

keluarganya

tentang

penyakitnya, prosedur diagnostik yang akan dilakukan serta


-

pengobatan dan perawatan selanjutnya yang harus dilakukan


Menjelaskan kepada pasien untuk banyak istirahat dan
menghindari stress

b. Dispepsia
Berdasarkan keluhan pasien didapatkan mual dan muntah
sebanyak 5 kali berisi makanan yang dimakan dan nyeri tekan di
regio epigastrium serta riwayat sakit maagh sebelumnya.
Rencana diagnostik:
-

Endoskopi
Rencana terapi:

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)

Domperidone 3 x 1 mg
Rencana edukasi:

menjelaskan tentang penyakit yang diderita, rencana diagnostik


yang akan dilakukan dan terapi yang akan diberikan.

VI.

DIAGNOSA SEMENTARA
Sindroma nefrotik dan Dispepsia

VII.

DIAGNOSIS BANDING
- Glomerulonefritis Kronik dan dispepsia

Sindroma nefritik dan dispepsia

VIII. PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP


Tanggal
S

10 Februari 2016
mual (+), muntah (+) 4 kali berisi makanan 1 gelas air
mineral, badan lemas (+), demam (-), BAK (+) normal,
nyeri BAK (-), BAB (+) Normal, bengkak pada mata,
wajah, kaki, dan tangan (+)

O
Keadaan umum

Tampak Sakit Sedang

Kesadaran

Kompos Mentis

Tekanan darah

120/80 mmHg

Nadi

90 x/ menit

Frekuensi napas

20x/ menit

Suhu

36,5C

Keadaan spesifik
Kepala

CA -/-, SI -/-, Edema palpebra (+), Edem pada wajah (+)

Leher

Pembesaran kelenjar getah bening (-), tiroid tidak teraba


membesar.

Thorax

Cor : BJ I dan II normal, regular, murmur (-), gallop (-)


Pulmo : Sonor di seluruh lapang paru, Vesikuler (+),
ronkhi (-), wheezing (-)

Abdomen

Datar, BU (+) normal, nyeri tekan regio epigastrium (+),


Timpani di seluruh abdomen, hepar dan lien tak teraba.
Shifting dullnes(-)

Ekstremitas

pucat (-/-)
Perbaikan Sindroma nefrotik

A
P

Akral hangat (+/+), edema (+/+), CRT <2 detik, akral

(terapi

ruangan)

Perbaikan Dispepsia
di Terapi :

IVFD RL Asnet

Rencana

Inj. Furosemid 2 x 1 amp (IV)

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)

Methylprednisolon 1x 80 mg (IV) pagi

Albumin Infus 100cc

Simvastatin tab 1x 10mg PO

Enalapril 2 x 17,5 mg PO

Urinalisis

Pemeriksaan
Tanggal
S

11 Februari 2016
mual (+), muntah (-), badan lemas (+), demam (-), BAK
mulai jernih, nyeri BAK (-), bengkak pada mata, wajah,
kaki, dan tangan (+)

O
Keadaan umum

Tampak Sakit Sedang

Kesadaran

Kompos Mentis

Tekanan darah

120/80 mmHg

Nadi

80 x/ menit

Frekuensi napas

20x/ menit

Suhu

37,0 C

Keadaan spesifik
Kepala

CA -/-, SI -/-, Edema palpebra (+), Edem pada wajah (+)

Leher

Pembesaran kelenjar getah bening (-), tiroid tidak teraba


membesar.

Thorax

Cor : BJ I dan II normal, regular, murmur (-), gallop (-)


Pulmo : Sonor di seluruh lapang paru, Vesikuler (+), ronkhi
(-), wheezing (-)

Abdomen

Datar, BU (+) normal, nyeri tekan regio epigastrium (+),


Timpani di seluruh abdomen, hepar dan lien tak teraba.

Shifting dullnes (-)


Ekstremitas

Akral hangat (+/+), edema (+/+), CRT <2 detik, akral pucat
(-/-)

Hasil

Pemeriksaan Laboratorium

pemeriksaan

Urinalisis:
Makroskopis

: Warna kuning, keruh

Kimiawi

Protein

: +3

Bilirubin

: +1

Mikroskopis
Epitel

:+

Leukosit

: 3-6/ LPB

Eritrosit

: 1-2/LPB

Silinder

:-

Kristal

:-

Bakteri
:Perbaikan Sindrom Nefrotik

A
P

(terapi

ruangan)

Perbaikan Dispepsia
di Terapi :

IVFD RL Asnet

Inj. Furosemid 2 x 1 amp (IV)

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)

Methylprednisolon 1x vial (IV) pagi

Albumin Infus 100cc

Enalapril 2 x 17,5 mg PO
Simvastatin 1 x 10mg PO
Sucralfat syrup 3 x C1 PO

Rencana

Tanggal
S

12 Februari 2016
Mual (-), muntah (-), demam (-), BAK jernih, bengkak
pada kaki (+)

O
Keadaan umum

Tampak Sakit Ringan

Kesadaran

Kompos Mentis

Tekanan darah

120/70 mmHg

Nadi

82 x/ menit

Frekuensi napas

21x/ menit

Suhu

37,2C

Keadaan spesifik
Kepala

CA -/-, SI -/-, Edema palpebra (-), Edem pada wajah (-)

Leher

Pembesaran kelenjar getah bening (-), tiroid tidak teraba


membesar.

Thorax

Cor : BJ I dan II normal, regular, murmur (-), gallop (-)


Pulmo : Sonor di seluruh lapang paru, Vesikuler (+), ronkhi
(-), wheezing (-)

Abdomen

Datar, BU (+) normal, nyeri tekan regio epigastrium (-),


Timpani di seluruh abdomen, hepar dan lien tak teraba.
Shifting dullnes (-)

Ekstremitas

Akral hangat (+/+), edema (+) pada tungkai, CRT <2 detik,
akral pucat (-/-)

A
P

Perbaikan Sindroma nefrotik


(terapi

ruangan)

Perbaikan Dispepsia
di Terapi :
Methylprednisolon 8 mg (4-3-3) PO

Furosemid tablet 1x1


Lansoprazol tablet 1x 30 mg
Sucralfat syrup 3 x C1
Domperidon 3x1
Enalapril 2 x 17,5mg
Rencana

Simvastatn 1 x 10mg
Pasien boleh pulang
Rawat jalan poli penyakit dalam tanggal 15 Februari 2016

BAB III
ANALISIS KASUS
SINDROMA NEFROTIK
Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/1,73 m 2 luas permukaan tubuh
per hari), hipoalbuminemia (albumin kurang dari 3 gram/dl), edema anasarka,
hiperlipidemia. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula
hipertensi, hematuria, bahkan kadang-kadang azotemia Sindroma nefrotik
merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis. Pada proses awal

sindrom nefrotik atau sindrom nefrotik ringan untuk menegakkan diagnosis tidak
perlu semua gejala tersebut ditemukan. 2,3,4,8
A.

Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan
ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah
1 tahun.8
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study
of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of
Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).9

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom


nefrotik primer

1. Kelainan minimal (KM)


2. Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)


4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit


transmembran/subepitelial

7. Glomerulopati membranosa (GM)


8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sementara itu, berdasarkan histopatologis, Churk dkk membagi sindrom


nefrotik primer menjadi empat, yaitu:
a. Kelainan minimal

Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu.
Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding
kapiler glomerulus.

Gambar 1. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis


kelainan minimal.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.

Gambar 2. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis


glomerulopati membranosa.

c. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler

tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang

lobular.
Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai

kapsular dan viseral. Prognosis buruk.


Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA

rendah. Prognosis buruk.


Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

d. Glomerulosklerosis fokal segmental


Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
atrofi tubulus. Prognosis jenis ini adalah buruk.

Gambar 3. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis


glomerulosklerosis fokal segmental.

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak


berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya
44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik
primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7%
tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi.10,11
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah infeksi, keganasan, penyakit jaringan
penyambung (connective tissue diseases), obat atau toksin, dan akibat
penyakit sistemik.12
Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik Sekunder
Infeksi
-

HIV, hepatitis virus B dan C

Sifilis, malaria, skistosoma

Tuberculosis, lepra

Keganasan
-

Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,


multiple mieloma, dan karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung


-

SLE, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue

diseases)
Efek obat dan toksin
-

Obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas, penisilinamin,


probenesid, air raksa, captopril, dan heroin

Lain-lain
-

Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf


kronik, refluk vesikoureter, atau sengatan lebah

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada


glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau virus hepatitis B, akibat obat
misalnya obat antiinflamasi nonsteroid atau preparat emas organik, dan akibat
penyakit sistemik misalnya SLE dan diabetes melitus.12

B.

Patogenesis
1. Permeabilitas Glomerulus
Pada orang sehat, kurang dari 0,1% albumin plasma melewati
barier filtrasi glomerulus. Hingga saat ini, masih ada perdebatan
mengenai saringan yang dilewati albumin pada barier filtrasi
glomerulus. Perdebatan tersebut mengenai albumin yang terus-menerus
berada di dalam urin yang ekuivalen dengan uptake albumin di
glomerulus. Hasilnya, jumlah albumin di urin kurang lebih 80 mg atau
kurang setiap hari. Perdebatan ini didasarkan pada studi yang dilakukan
pada binatang percobaan. Namun, studi yang dilakukan pada manusia
dengan defek transport tubular mengesankan bahwa jumlah konsentrasi
albumin di urin adalah 3,5 mg/l. Dengan jumlah sebesar ini, dan
glomerular filtration rate (GFR) per hari 150 liter, diperkirakan tidak

lebih dari 525 mg albumin yang ada di urin per hari. Jumlah di atas
merupakan batas nilai albumin yang mengarah ke glomerular diseases.
Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang
menduduki membran basement glomerulus dan ditutupi oleh epitel
glomerulus atau podosit. Podosit merupakan selubung kapiler dengan
perpanjangan seluler yang disebut foot processes. Diantara foot
processes merupakan celah filtrasi. Barier filtrasi glomerulus terdiri atas
3 struktur, yaitu endotelium fenestrasi, podosit, dan epitel glomerulus.
Gambar 1 merupakan gambaran skematik dari barier filtrasi
glomerulus.

Gambar 4.

Gambaran skematik barier filtrasi glomerulus. Podo =

podosit; GBM = glomerular basement membrane; Endo = fenestrated


endothelial cells; ESL = endothelial cell surface layer (sering disebut
juga glycocalyx). Urin primer dibentuk melalui filtrasi cairan plasma
melewati barier filtrasi glomerulus (tanda panah). Glomerular filtration
rate (GFR) pada manusia adalah 125 ml/menit. Plasma flow rate Q p =

700 ml/menit, dengan fraksi filtrasi mencapai 20%. Konsentrasi


albumin serum = 40 g/l, sedangkan perkiraan konsentrasi albumin
dalam urin primer adalah 4 mg/l, atau 0,1% dari konsentrasi di
plasma.13
2. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian
besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan
hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan

integritas

membran

basalisglomerulus

menyebabkan

peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan


protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Derajat
proteinuria tidak berhubungan dengan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Lewatnya protein plasma yang berukuran lebih
dari 70 kD melalui membrana basalais glomrulus normalnya dibatasi
oleh charge selective barrier dan size selective barrier. Charge
selective barrier merupakan suatu polyanionic glycosaminoglycan.
Pada nefropati lesi minimal, proteinuria disebabakan terutama oleh
hilangnya

charge

selective

barrier, sedangkan

pada

nefropati

membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya charge selective


barrier.2,9
3. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui
urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di
hati biasanya meningkat. Namun, masih tidak memadai untuk
menggantikan kehilangan albumin dalam urin.2,9
4. Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low


density lipoprotein, trigliserida meningkat, sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron,

dan

intermediate

density

lipoprotein

dari

darah).

Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan


albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.9
5. Edema
Menurut teori underfill, edema pada sindrom nefrotik disebabkan
oleh penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan
retensi natrium. Hipovolemia menyebabkan peningkatan renin,
aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin serta penurunan atrial
natriuretic

peptide

(ANP).

Pemberian

infus

albumin

akan

meningkatkan volume, meningkat laju filtrasi glomerulus dan eksresi


fraksional NaCl dan air yang menyebabkan edema berkurang.2,9
Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi
volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan ANP.

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan

kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema


merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun
secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama
fase dieresis. 2,9

6. Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen
urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui
membrana basalis glomerulus yang permeabel.7

7. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan
meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan
agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya
faktor zimogen (faktor IX, XI).7
8. Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan
lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme
menyebabkan

peningkatan

kerentanan

terhadap

infeksi

bakteri

berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.


Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering
terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.7

C.

Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:8,
1.

Proteinuria masif. Proteinuria > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam


atau > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
Biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain.

2.

Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua


pada sindrom nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila kadar albumin
serum < 2,5 g/dl.

3.

Edema anasarka.

Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat

ditemukan edema muka, asites, dan efusi pleura.


4.

Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar


kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL
menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.

5.

Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena


dan arteri.
Manifestasi klinik utama sindrom nefrotik adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali
sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira anak
bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten.
Biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai
resistensi jaringan yang rendah seperti daerah periorbita, skrotum atau
labia.

Akhirnya

sembab

menjadi

menyeluruh

dan

masif

(anasarka/generalisata).8
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak
sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur dan
kemudian menjadi sembab pada ekstremitas bawah pada siang
harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi
lebih tipis.8
Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas
pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal
daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh,
dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi
anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi

pernafasan, dengan kompensasi berupa takipnea. Akibat sembab kulit,


anak tampak lebih pucat.8
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC)
menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan
diastolik lebih dari ke-90 persentil umur.8
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat
awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari
peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik
dari tipe histologik yang bukan SNKM. Tidak perlu dilakukan
pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura
dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab
dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula
terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun
kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal.8

D.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang

berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna


kemerahan.
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat
disertai

hematuria.

Pada

pemeriksaan

darah

didapatkan

hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap


darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum
dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.

Pasien ini mengeluhkan bengkak di palpebra, ekstremitas, skrotum. Buang


air kecil keruh. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan edema anasarka. Untuk
menunjang anamnesis didapat hasil pemeriksaan laboratorium yaitu kadar
koleterol total 536, albumin 1,9, dan protein total 4,3. Hasil urinalisis menunjukan
urin keruh, protein +3, bilirubin +1, leukosit 3-6/LPB, dan eritrosit 1-2/LPB.
Pengobatan yang diberikan adalah IV line RL, Injeksi furosemid 2 x 1 amp
(IV), Methylprednisolon 1 x vial (IV), albumin infus 100 cc, candesartan 1 x 4
mg, Simvastatin 1 x 10 mg.

DISPEPSIA11

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah


abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau
beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa. Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor
utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi, asam lambung,
hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat
berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi
gastrointestinal sebelumnya.
A. Faktor yang mempengaruhi
a. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas
lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation),
inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung.
Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme
utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan
perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen,
kembung, dan rasa penuh.
b. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik
perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor
mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat
menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.
c. Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang
berperan

dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan

psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai


penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada
terjadinya dispepsia fungsional.
d. Peranan asam lambung

Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia


fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam
dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian
mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih
kontroversial.
e. Peranan infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari
39% sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas
tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia
fungsional. Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin , serta perubahan
ekspresi muscle-specific microRNAs berhubungan dengan proses
patofisiologi dispepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.
B. Diagnosis Dispepsia
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum,
gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia
fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum
divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk
mengikuti

konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan

gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui
sebagai gejala dispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan
satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
a. Nyeri epigastrium
b. Rasa terbakar di epigastrium
c. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
d. Rasa cepat kenyang

C. Tata laksana
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi
dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai

berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan


dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
a. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan
terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemeriksaan adanya Helicobacter pylory. Untuk daerah dan etnis tertentu
serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan
lebih awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi
asam lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole
dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor
(misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi
keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu
pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton
pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari
PPI, yaitu DLBS 2411.
b. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi
empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan
endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum
ditangani sebagai dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia
ditemukan GERD sebagai kelainannya.
c. Dispepsia organic
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara
lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus
duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster
dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi
PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan
d.

mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.


Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang

ada.Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,


itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada
beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan
cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan
obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini
menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia
fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di
sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin
tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo.Gangguan
psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral
mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi
antidepresan pada pasien dispepsia fungsional.

Gambar 5. Algoritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional


Pasien ini mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 5 kali dalam
waktu 15 jam. Muntah berisi makanan yang dimakan kurang lebih 1
gelas air mineral. Pasien juga merasa nafsu makannya menurun dan
terdapat riwayat sakit maagh sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pengobatan yang diberikan
adalah Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul (IV), sucralfat syrup 3 x C1,
lansoprazole 1 x 30mg dan domperidon 3 x 1.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsesus Tatalaksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta. Unit Kerja Koordinasi
Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia: 2005

2.

Noer MS dan Soemiarso N. Sindrom Nefrotik. Pedoman

Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : RSU


Dokter Sutomo, 2008.
3. Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome presentation. 2011 [disitasi 22
Oktober

2011].

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/982920-clinical#a0256.
4. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan.
Cermin Dunia Kedokteran 2006; 150: 50-3.
5. Pardede SO. Sindrom nefrotik infantil. Cermin Dunia Kedokteran 2002;
134: 32-7.
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, editor. Buku ajar pediatri
rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2007.h.1503-7.
7. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison's: Principles of internal medicine. 18th Ed. Volume 1. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Behrman, RE, Kliegman, RM and Jenson, HB. Nelson Textbook of
Pediatrics 16th Edition. Philadelphia : WB Saunders Company, 2002.
9. Djuanita E, Joseph E. Sindroma nefrotik patofisiologi

dan

penatalaksanaannya. Maj Kedokt Damianus 2008; 7(3): 151-8.


10. Appel Gerard. Improved outcome in nephrotic syndrome. Cliveland
Clinic Journal of Medicine 2006; 73: 161-6.
11. Simadribata M, dkk. Konsensus Nasional: Penatalaksanaan Dispepsia dan
Infeksi Helicobacter pylori. 2014. Jakarta. Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia: 2005

HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa

: Tria Claresia Bungarisi, S.Ked

NIM

: H1AP10004

Fakultas

: Kedokteran

Judul

: Sindroma Nefrotik dan Dispepsia

Bagian

: Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing

: dr. Etty Febrianti, Sp.PD

Bengkulu,

April 2016
Pembimbing

dr. Etty Febrianti, Sp.PD

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1.

dr. Etty Febrianti, Sp.PD sebagai pembimbing yang


telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan,
petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.

2.

Teman teman yang telah memberikan bantuan


baik material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,

maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, April 2016

Penulis

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK DAN DISPEPSIA

Oleh:
Tria Claresia Bungarisi
H1AP10004

Pembimbing
dr. Etty Febrianti, Sp. PD

SMF PENYAKIT DALAM RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................

ii

KATA PENGANTAR..................................................................................... iii


DAFTAR ISI..................................................................................................

iv

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................

BAB 2. LAPORAN KASUS


A. ANAMNESIS
1. Identifikasi....................................................................................
2. Riwayat Perjalanan Penyakit........................................................
3. Riwayat Penyakit Dahulu.............................................................
4. Riwayat Penyakit Keluarga..........................................................
5. Riwayat Kebiasaan.......................................................................
6. Riwayat Sosial Ekonomi..............................................................

3
3
3
4
3
3

II. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Praesens.............................................................................
2. Status Generalis............................................................................
III.

3
5

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.

Laboratorium..........................................................................

IV.

RESUME...................................................................................

V.

MASALAH
1.
2.

Daftar Masalah.......................................................................
Pengkajian Masalah................................................................

6
6
7
7

VI.

DIAGNOSIS SEMENTARA

............................................................

8
VII.
VIII.

DIAGNOSIS BANDING..................................................................

PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP...............................


.

BAB 3. ANALISIS KASUS


A. Sindroma Nefrotik...............................................................................
1.
Etiologi dan Klasifikasi..........................................................
2.
Patogenesis.............................................................................
3.
Manifestasi Klinis...................................................................
4.
Diagnosis................................................................................
B. Dispepsia .............................................................................................
1.
Faktor yang mempengaruhi............................
2.
Diagnosis .......................................................
3.
Tatalaksana.....................................................

14
14
20
24
26
27
27
28
29

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 32

Anda mungkin juga menyukai