Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM KOMPLEKS + BRONKOPNEUMONIA

Oleh:
Fara Idamawati, S.Ked
Diana Utama Putri, S.Ked

Pembimbing:
Dr.dr. Rosiana A Marbun, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. IBNU SUTOWO BATURAJA
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Kejang Demam
Kompleks + Bronkopneumonia untuk memenuhi tugas laporan kasus yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Rosiana A Marbun, Sp.A, selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian
laporan kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan rekan-rekan
dokter muda,serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat, amin.

Palembang, Oktober 2014

Penulis

DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................3
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................4
BAB I LAPORAN KASUS...................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................13
BAB III ANALISIS KASUS.................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38

HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi Kasus

Kejang Demam Kompleks + Bronkopneumonia

Oleh:
Fara Idamawati, S.Ked
Diana Utama Putri, S.Ked
Sebagai salah satu komponen/syarat dalam mengikuti kepaniteraan
klinik senior bagian Ilmu Penyakit Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang Periode 20 Oktober 2014 7
November 2014.

Baturaja,

Oktober 2014

Dr. dr. Rosdiana A. M, Sp.A

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI

Nama

: M Hasbi Alfarish

Umur

: 11 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama Ayah

: Edi Winarno

Nama Ibu

: Sri Kartini

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Alamat

: Pusar

Dikirim Oleh : IGD

MRS Tanggal : 17/10/2014

II. ANAMNESIS
Tanggal

: 20 Oktober 2014

Diberikan oleh

: Ibu penderita

Keluhan utama

: Demam

Keluhan tambahan

: Kejang

Sejak 2 hari SMRS anak menderita demam tinggi (+), demam tinggi terus
menerus. Pada saat malam hari anak dikompres dan diberi sanmol 1x sebanyak 1
sendok makan oleh ibunya demam turun dan anak berkeringat banyak. Batuk (-),
sesak nafas (-), pilek (-), sesak nafas (-), mual (-), muntah (-).
6 jam SMRS, anak menderita demam tinggi, anak dibawa berobat ke bidan,
diberi 1 obat sirup dan 1 obat racikan namun ibu tidak tahu jenis obat apa yang
diberikan. Demam sempat turun selama 2 jam, namun demam naik lagi dan anak
5

mengalami kejang seluruh badan, mata mendelik ke atas. Kejang terjadi 2 kali dalam
jarak waktu 2 jam, durasi kejang pertama 5 menit, kejang kedua durasi 10 menit,
setiap setelah kejang anak menangis lalu tertidur. Batuk (-), sesak nafas (-), pilek (-),
mual (-), muntah (-), BAB & BAK normal. Anak kemudian dibawa ke RS. Dr. Ibnu
Sutowo Baturaja.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Tidak ada
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga ada, ibu penderita
pernah mengalami demam lalu kejang saat masih kecil (ibu penderita lupa pada umur
berapa).
Riwayat Keluarga
Sri, 33th

8 th

Edi, 34th

OS, 11 bln

Penderita merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa Kehamilan

: Aterm

Partus

: Operasi sectio sesaria, dilakukan sectio sesaria


karena pinggul sempit.

Tempat

: Rumah Sakit

Ditolong oleh

: Spesialis kebidanan

Tanggal lahir

: 30 Agustus 2003

BB

: 3000 gram

PB

: lupa

Periksa hamil

: periksa hamil sebulan sekali ke bidan

Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan


Minum alkohol

: Tidak

Merokok

: Tidak

Makan obat-obatan tertentu

: Tidak

Riwayat Makanan
ASI

: Diberikan dari lahir sampai saat ini. Frekuensi lebih dari 8 kali dalam
sehari atau setiap anak menangis. Ibu terbangun menyusui malam
hari (+)

Susu Formula : Tidak diberikan.


Nasi Lembek : Diberikan sejak usia 6 bulan sampai saat ini. Frekuensi 3 kali sehari,
nasi dimasak dan dilembekkan disajikan di mangkuk kecil 2-3
sendok makan ditambah lauk pauk seperti wortel, kentang, ikan,
ayam, tempe, sayur bayam dan telur yang dipotong kecil-kecil
ditambahkan kuah bening.

Buah-buahan

: Buah yang dijus atau dilembekkan, disajikan di gelas plastik kecil


sebanyak -1 gelas, buah yang sering dimakan seperti pepaya,
melon, jeruk dan kadang apel.

Kesan

: asupan makanan baik.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Tengkurap

: 5 bulan

Duduk

: 10 bulan

Dipegang Berdiri: 11 bulan


Berbicara

: 9 bulan, mengoceh 2 suku kata

Kesan

: Perkembangan fisik anak sesuai usia

Riwayat Imunisasi
BCG

: 1 kali, bekas scar ada

Polio

: 4 kali

DPT

: 3 kali

Campak

: 1 kali

Hepatitis

: 3 kali

Kesan

: Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak kedua dari pasangan Tuan Edi Winarto, usia 34 tahun, yang
bekerja sebagai wiraswasta, dan Ny. Sri Kartini, usia 33 tahun, seorang pedagang,.
Pendidikan terakhir orang tua adalah SMP. Penghasilan rata-rata satu bulan sekitar
Rp 500.000-1.000.000
Kesan : Sosioekonomi menengah

Riwayat Sanitasi
Penderita tinggal di rumah papan, lantai dasar semen. Sumber air untuk keperluan
memasak, minum, kakus, berasal dari sumur. Jarak antara sumur dan WC sekitar 3
meter. Keperluan cuci baju dan mandi menggunakan air sungai. Terdapat timbunan
sampah sekitar 2 meter dari tempat tinggal. Sampah dibakar tiap seminggu sekali.
Kesan : sanitasi kurang baik.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum

: Sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Berat badan

: 8,8 kg

Tinggi badan

: 71 cm

Nadi

: 116 x/menit

Frekuensi nafas

: 35x/menit

Suhu

: 37,7 oC

Status Gizi
BB/U

: 0-2 SD

TB/U

: 0 -2 SD

BB/TB

: 1-0 SD

Kesan

: Gizi baik

Keadaan Spesifik
Kepala
Rambut

: Normocephali, lingkar kepala = 45 cm


: Warna hitam, distribusi normal, tebal dan halus, tidak mudah

Mata

dicabut, alopecia (-)


Mata cekung (-), konjungtiva palpebra anemis (-), sclera ikterik (-),

Hidung

pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya +/+


Deformitas (-), nafas cuping hidung (-), deviasi septum (-), mukosa

hiperemis (-), hipertrofi konka (-), sekret (-)


Deformitas (-), mukosa hiperemis (-), sekret (-), serumen(+), nyeri

Mulut

tekan tragus (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tarik auricula (-)
Mukosa bibir basah (+), rhagaden (-), cheillitis (-), stomatitis (-),

Faring
Leher
Thoraks
Pulmo

:
:

fisura (-), atrofi papil (-)


Faring hiperemis (-), uvula di tengah, T1-T1, detritus (-), kripta (-)
Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Inspeksi

Dinamis kanan=kiri, simetris, retraksi (+) subcostae

Palpasi

Stem fremitus kanan=kiri, simetris

Perkusi

Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar ICS V linea

Telinga

midclavicularis

dextra,

batas

paru-lambung

ICS

linea

midclavicularis sinistra.
Auskultasi :
Cor

Vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)

Inspeksi

Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

Batas atas jantung : ICS II linea midclavicularis sinistra


Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung : ICS IV linea axillaris anterior sinistra

Auskultasi :

HR = 116 x/menit, regular, bunyi jantung I-II normal, murmur (-),


gallop (-), pulsus deficit (-)

Abdomen
Inspeksi

Datar

Palpasi

Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) di semua kuadran

Perkusi

Timpani

Auskultasi :
Ekstremitas :

Bising usus (+) normal (5x/menit)


Akral hangat, tidak pucat, CRT< 2, edema (-)

Pemeriksaan Neurologis
Lengan

Tungkai
10

Kanan
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflex

Luas
5
Eutoni

Kiri
Fungsi Motorik
Luas
5
Eutoni

Kanan

Kiri

(+) normal

(+) normal

Luas
5
Eutoni
(+) normal

Luas
5
Eutoni
(+) normal

fisiologis
Reflex

patologis
GRM : Kaku kuduk (-)

IV. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


- Kejang demam kompleks + bronkopneumonia
- Kejang demam sederhana + bronkopneumonia
- Meningitis
V. DIAGNOSA KERJA
Kejang demam kompleks + bronkopneumonia
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, pungsi lumbal, EEG

VII. PENATALAKSANAAN
-

Bed rest
Diet: ASI diteruskan
Medikamentosa:
o IVFD D5 NS gtt X/menit
o Ampicilin 3x300mg
o Sagestan 2x20mg
o Paracetamol tablet 4x120 mg
o Diazepam 4 mg (saat kejang)

VIII. PROGNOSIS
11

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad fungsionam: dubia
IX. FOLLOW UP
Senin

S: Kejang (-)

21/10/2014 O:
Keadaan Umum:
T: 37,0OC, RR: 30x/mnt, N: 102x/mnt
Keadaan spesifik
Kepala: Sianosis (-), conjungtiva anemis (-), sclera ikterik
(-)
Thoraks: simetris, retraksi (+) subcostae
Pulmo : vesikuler (+) normal, wheezing (-)
Cor : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2
A : Kejang demam kompleks + BP

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Sistem Saraf Pusat
1) Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak
yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan
kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh
kualitas bagian ini.

12

Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus
Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.
a)

Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak

Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan


gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas,
kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b)

Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan

seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.


c) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan
visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek
yang ditangkap oleh retina mata
2) Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.
3) Brainstem (Batang Otak)

13

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan
sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya
bahaya
Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil
mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol
fungsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan
pencernaan.
c) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
4) Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem Limbik terletak pada bagian tengah otak membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama
dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia.
Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan
korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu
fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana
yang tidak.

14

Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera.
Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta
dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau
ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong
orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai
tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan
kejujuran.
5) Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang berbentuk
silinder memanjang dan terletak seluruhnya di dalam canalis verterbalis, dikeliling
oleh tiga lapis selaput pembungkus yang di sebut meninges. Apalagi lapisan-lapisan,
struktur-struktur dan ruangan-rungan yang mengeliling medulla spinalis itu
disebutkan dari luar ke dalam secara berturut-turut, maka terdapatlah :
a) Dinding canalis verterbralis (terdiri atas vertebrae dan ligmenta)
b) Lapisan jaringan lemak (ekstradural) yang mengandung anyaman pembuluhpembuluh darah vena
c) Dura mater
d) Arachnoidea
e) Ruang subrachnoidal (cavitas subarachnoidealis), yang antara lain berisi liquor
cerebrospinalis
f) Pia mater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung
membungkus permukaan sebelah luar medulla spinalis.
Ventrikel dalam Encephalon
a. Ventrikel Lateral
Terdiri atas ventrikel I dan II, terdapat di hemispherium cerebri. Berisi corpus
collosum hippocampus, plexus choroideus, dan nucleus caudatus. Ventrikel
lateral dengan ventrikel III dihubungkan oleh foramen interventricularis atau
nama lainnya foramen Monro
b. Ventrikel III

15

Mengelilingi thalamus kanan dan kiri. Berhubungan dengan ventrikel IV


melalui aquaductus cerebri
c. Ventrikel IV
Diantara brainstem dan cerebellum. Di dorsal medulla oblongata membentang
ke anterior dan posterior
B.Kejang Demam
2.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak,
terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus statement
on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda
dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan
saraf pusat. Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu
kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi
oleh demam (epilepsi triggered of by fever). Terjadinya bangkitan kejang demam
bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga
mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang
tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga
penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
16

termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam.
2.2 Klasifikasi Kejang
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam
sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan berlangsung umum, dan
kejang demam kompleks, yang berlangsung kurang dari 15 menit, fokal, atau
multiple (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Kriteria penggolongan tersebut
dikemukan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil
dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekam otak dan lainnya.
I. Kalsifikasi KD menurut Prichard dan Mc Greal
Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:

Kejang demam sederhana

Kejang demam tidak khas

Ciriciri kejang demam sederhana ialah:

Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang
kejang sama seperti yang kanan

Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun

Suhu 100F (37,78C) atau lebih

Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit

Keadaan neurology normal dan setelah kejang juga tetap normal

EEG (electro encephalography rekaman otak) yang dibuat setelah tidak


demam adalah normal

17

Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkan sebagai
kejang demam tidak khas
II. Klasifikasi KD menurut Livingston
Livingston membagi dalam:

KD sederhana

Epilepsi yang dicetuskan oleh demam

Ciri-ciri KD sederhana:

Kejang bersifat umum

Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)

Usia waktu KD pertama muncul kurang dari 6 tahun

Frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun

EEG normal

KD yang tidak sesuai dengan ciri tersebut diatas digolongkan sebagai epilepsy yang
dicetuskan oleh demam. Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI RSCM Jakarta,
menggunakan kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuak
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:
Umur anak ketika kejang antara 6 bulan 6 tahun
Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
Kejang bersifat umum
Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali

18

KD yang tidak memenuhi kriteria diatas digolongkan sebagai epilepsi yang


diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar
kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan
faktor pencetus.
2.3 FAKTOR RESIKO
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu
juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan
khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33%
anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak
mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia dini,
cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang sangat
rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat (orangtua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam. Tsuboi
mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang demam
ialah 17% dan pada saudara kandungnya 22%. Delapan-puluh persen dari kembar
monosigot dengan kejang demam adalah konkordans untuk kejang demam.
Kebanyakan peneliti mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan secara
dominan dengan penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau
melalui modus poligenik. Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung
berikutnya untuk mendapat kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orangtuanya dan satu saudara pernah pula mengalami KD, kemungkinan ini meningkat
menjadi 50% .
2.4 ETIOLOGI

19

Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:

Demamnya sendiri

Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak

Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit

Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak
diketahui atau ensefalopati toksik sepintas

Gabungan semua faktor diatas

Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam.
Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang
demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis
(DPT) dan morbili (campak).

Penyebab demam pada 297 penderita KD


Penyebab Demam

Jumlah
Penderita
100

Tonsilitis dan/atau faringitis

Otitis media akut (radang liang telinga tengah)

Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)

Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi

Bronkitis (radang saiuran nafas)

Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)

17

Morbili (campak)

38

Varisela (cacar air)

91
22
44

20

Dengue (demam berdarah)

Tidak diketahui

12
1
1
66

2.5 Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang. Untuk
mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa.
Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi
paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan
permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel
neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan
sel. Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1.Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2 Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3.Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

21

Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme


basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel
neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah
dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan
otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme
anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan
peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler
dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron. Dari kenyataan ini
dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah sehingga didalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
2.6 Manifestasi Klinis
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang
cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39C atau lebih (rectal).
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang

22

yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau
kelemahan,gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan
atau kekakuan fokal. Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan
kurang dari 8% yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti
sendiri setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak
capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak
atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik
atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat
fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara
pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang
yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama. Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang
telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf
Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan
gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi perlu
diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada kelainan

23

lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis)
Pemeriksaan

cairan

serebrospinal

dapat

dilakukan

untuk

menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai prognostic, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang dikemudian hari. Saat
ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan keseimbangan
cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan
elektrolit diperlukan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari
penyebab timbulnya demam.

DIAGNOSIS BANDING

Epilepsi

Meningitis

Ensefalitis

PENATALAKSANAAN
Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta,
dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu, tindakan awal yang
mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat. Setelah air
menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara gigi. Jangan
memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah lidahnya tergigit.
Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah atau jari luka.
Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba

24

menahan gerakan anak. Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak
dengan air sedikit.1
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan
dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung.
Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik. Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama
pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu
pemberian obat obatan antipiretik sanagt diperlukan. Obat obat yang dapat
digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 6
jam atau ibuprofen 5 10 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek
terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek
toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis
tidak melebihi 50 mg persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan
intrarectal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2
mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam
habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum
dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali menyulitkan,
cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah dibuktikan
keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981). Pemberian

25

dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol yang
ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke rektum
sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya
untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus
gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau
10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit
kemudian, bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20
mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian
fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat
basa dan menyebabkan iritasi vena.Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan
dengan fenobarbital yang langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal
untuk bayi 1 bulan 1 tahun 50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular.
Lalu 4 jam kemudian diberikan fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama
diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya
dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik,
obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral. Harus diperhatikan
bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya adalah
hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:
1. Profilaksis intermiten

26

Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang


menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis
intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien
demam. Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg
(BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5C.
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik
yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya
kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari
dengan fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat
digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan
dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi mental).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan

27

diazepam oral alau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik Dalam penanganan kejang
demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengobservasi
anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,


bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.

Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau
penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.

Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.

Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan


khusus.

Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke fasilitas
kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang
menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin tanpa
menyatakan batasan menit. Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu
dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan
leher, muntah-muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poinpoin di atas adalah sebagai berikut :

Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat

Pemberian oksigen melalui face mask

Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika
telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus

Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan

Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti


kemungkinan hipoglikemia.

28

Namun sumber lain hanya menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang mengalami
kejang cukup lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang
berkelanjutan.
Imunisasi dan kejang demam
Walaupun imunisasi dapat menimbulkan demam, namun imunisasi jarang diikuti
kejang demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang
demam pada beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:
o

DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan
menurun setelahnya.

MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah
imunisasi.

Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih
besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi
kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi kejang
demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.
PROGNOSIS
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak
perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang
berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila
melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973)
mendapatkan:

Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita
50% dan pria 33%.

Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga

29

adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat
kejang 25%.

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya


Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Living-ston
(1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang
menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam temyata
97% yang menjadi epilepsi.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:

Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.

Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita


kejang demam.

Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa
demam hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada
penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project di
Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca kejang demam diikuti
perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai
kejang

akibat

demam. Anak dengan kejang demam ini lalu dibandingkan dengan

saudara kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan menggunakan WISC.


Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat kejang
demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya (kontrol). Anak
yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau dicurigai menunjukkan
gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada saudara
kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative Perinatal Project ini
hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The National Child

30

Development-Study* Didapatkan bahwa anak yang pernah mengaiami KD kinerjanya


tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun. Pada
penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ waktu
diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang tanpa
kejang demam.
C. BRONKOPNEUMONIA
3.1 DEFINISI
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Bronkopneumonia
disebut juga pneumoni lobularis, yaitu

radang paru-paru yang disebabkan oleh

bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai


peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan
meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.
3.2 ETIOLOGI
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan
bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi
yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus(RSV) yang mencakup 1540% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus
dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV
anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode
pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian
66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di
negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi

31

potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal
maupun bersama dengan infeksi lain
3.3 PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri
di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai
cara, antara lain :
1.
2.
3.
4.

Inhalasi langsung dari udara


Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
Penyebaran secara hematogen.

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi
yang terdiri dari :
1.
2.
3.

Susunan anatomis rongga hidung.


Jaringan limfoid di nasofaring.
Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret

lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.


4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
3.4 GEJALA KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan dirumah sakit.

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis

pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme


penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi,
32

terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang


relative lebih sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak
merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda,
sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
-

Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
-

Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,

napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.


3.5 PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
-

Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan

pernapasan cuping hidung.


-

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.


Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran

fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru
(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
-

Pada perkusi tidak terdapat kelainan

Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles

33

dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan


napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
3.6 PENATALAKSANAAN
Sebagian pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan trutama
berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak mau
makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan
intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin
A tidak terbukti efektif.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri.
a.
Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25
mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB
sulfametoksazol.
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan
adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin
30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin
diberikan 2 kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari
10mg/kgBB 3-5 hari (hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari
berikutnya.
b.
Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam, ampisilin
atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan
berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15
mg/kgBB setiap 6 jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ).
Keduanya diberikan selama 10 hari.
Indikasi rawat
Kriteria rawat inap, yaitu :
Pada bayi
34

saturasi oksigen 92 %, sianosis

frekuensi napas > 60 x/menit

distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting

tidak mau minum / menetek

keluarga tidak bisa merawat dirumah

Pada anak

saturasi oksigen 92 %, sianosis

frekuensi napas 50 x/menit

distress pernapasan

grunting

terdapat tanda dehidrasi

keluarga tidak bisa merawat dirumah


Kriteria pulang:

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan peroral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah

35

BAB III
ANALISIS KASUS

Telah dilaporkan pada kasus, seorang anak laki-laki usia 11 bulan dengan BB
8,8kg, TB 71cm di rawat di RSUD Ibnu Sutowo dengan keluhan utama kejang.
Dari anamnesis didapatkan Sejak 2 hari SMRS anak menderita demam tinggi
(+), demam tinggi terus menerus. Pada saat malam hari anak dikompres dan diberi
sanmol 1x sebanyak 1 sendok makan oleh ibunya demam turun dan anak
berkeringat banyak. Batuk (-), sesak nafas (-), pilek (-), sesak nafas (-), mual (-),
muntah (-).
6 jam SMRS, anak menderita demam tinggi, anak dibawa berobat ke bidan,
diberi 1 obat sirup dan 1 obat racikan namun ibu tidak tahu jenis obat apa yang
diberikan. Demam sempat turun selama 2 jam, namun demam naik lagi dan anak
mengalami kejang, menurut ibu anaknya mengalami kejang seluruh badan dan mata
mendelik ke atas. Kejang terjadi 2 kali dalam jarak waktu 2 jam, durasi kejang
pertama 5 menit, kejang kedua durasi 10 menit, setelah kejang anak menangis.
Batuk (-), sesak nafas (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB & BAK normal. Anak
kemudian dibawa ke RS. Dr. Ibnu Sutowo Baturaja.
Pada penderita retraksi subcostae. Kemungkinan penyakit yang diderita
mengarah ke bronkopneumonia.

36

Penderita memiliki riwayat ibu yang pernah menderita demam kejang saat
masih kecil. Kesimpulan: Anak laki-laki usia 11 bulan mengalami kejang umum tonik
klonik. Pada pasien ini diberikan Inj. Diazepam bila kejang, dengan dosis 4mg, IVFD
D5 NS gtt X/menit. Ampicilin 3x300mg. Sagestan 2x20mg. Paracetamol tablet
4x120 mg. IVFD D5 NS gtt X/menit. Ampicilin 3x300mg. Sagestan 2x20mg.
Paracetamol tablet 4x120 mg. Diazepam 4 mg (saat kejang).

DAFTAR PUSTAKA
1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. Standar Penatalaksanaan Imu
Kesehatan Anak. Palembang 2007.
2. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson Esensi Pediatri; edisi 4. Jakarta: EGC;
2010.
3. Lumbantobing,S.M:Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2007
4. Sidharta P. Afasia dan afonia. In: Neurologi klinis dalam praktek umum.
Jakarta: Dian Rakyat; 1999. p. 479-80.
5. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi.
Penanganan Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan

Ilmu

Kesehatan

Anak

XLVII.Cetakan

pertama,FKUI-

RSCM.Jakara,2005
6. Pellock, JM. 1998. Treatment of Seizure and Epilepsy in children and
adolescents. Neurology.
7. Pinzon, R. 2007. Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya.
SMF Saraf RSUD Dr.M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran No. 157.
8. World Health Organization. 2001. Epidemiology, Prevalence, Incidence,
Mortality

of

Epilepsy.

Fact

sheet.

URL

http:

//www.who.in/inf-

fs/en/fact165.html.

37

Anda mungkin juga menyukai